"Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dengan cepat?" batin seorang gadis bernama Anna, yang sudah terbiasa hidup dengan seribu beban di pundaknya.
Sejak ayahnya meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dan ibunya memilih pergi bersama keluarga barunya, hanya dia yang tersisa untuk merawat Ara—adik kecil yang tubuhnya ringkih, namun semangat hidupnya selalu menyala. Hidup Anna tak lepas dari kerja keras—pagi di toko bunga, malam di kafe. Tak ada hari tanpa lelah, tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Namun di balik letih yang tak pernah habis, hatinya masih menyimpan cahaya kecil: harapan bahwa esok akan ada hari yang lebih baik untuk adiknya. --- Suara mesin infus berdetak pelan, berpadu dengan alunan lagu anak-anak dari televisi kecil di sudut ruangan. Bau antiseptik yang tajam bercampur dengan wangi sabun bayi dari selimut tipis yang menyelimuti Ara. “Kak Anna!” seru gadis kecil itu dengan suara serak, matanya berbinar begitu Anna membuka pintu. Anna tersenyum, menahan lelah yang sudah menggerogoti tubuhnya. Ia meletakkan tas kain di sofa kecil, lalu mendekat untuk mencium kening adiknya yang dingin. “Gimana hari ini, Sayang?” Ara mengangkat komik bergambar putri berkilau. “Happy! Aku dapat hadiah dari Suster Lina. Judulnya Putri Bunga Ajaib. Cantik banget, kan? Dia bisa terbang!” Anna pura-pura melongo. “Wah, Kakak kalah kece sama putri itu. Bajunya aja berkilau sekali.” Ara terkikik, lalu memandang serius. “Kak, kamu nggak capek? Kerja dari pagi terus langsung ke sini…” Anna membetulkan selimut Ara, senyumnya tipis. “Enggak dong. Kakak malah semangat biar kamu bisa terus beli komik dan makan ayam goreng kesukaanmu. Saus sambalnya dua bungkus, kan?” Mata Ara berbinar. “Kakak selalu ingat!” Anna menelan ludah, menahan rasa sesak saat melihat rambut adiknya yang makin tipis. Ia ingin berkata kalau ia lelah, tapi tidak tega. Sebagai gantinya, ia menggenggam tangan Ara erat. “Kalau Kakak dipeluk Ara, tenaganya balik seratus persen.” Ara menariknya ke pelukan kecil. “Kalau bisa, Kak Anna jangan kerja malam. Temenin Ara terus…” Keheningan menelusup. Anna menutup mata sejenak, mengusap lembut punggung adiknya. “Kalau uang bisa tumbuh di pot bunga, Kakak langsung resign,” ujarnya setengah bercanda. Ara terkekeh. “Kita siram tiap hari, siapa tahu tumbuh!” Anna ikut tertawa, meski matanya memanas. Pandangannya sempat melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Ia mencium kening Ara sekali lagi. “Kakak kerja dulu, ya. Nanti malam kita video call, cerita tentang Putri Bunga Ajaib.” “Semangat, Kak! Aku sayang Kak Anna.” “Sama-sama, Sayang.” Anna bangkit, meraih tasnya. Saat keluar, ia berpapasan dengan Suster Lina. “Suster, tolong jagain Ara, ya.” Suster itu tersenyum lembut. “Tentu, Anna. Kerja yang tenang.” Anna mengangguk, lalu melangkah pergi dengan hati yang berat, seolah meninggalkan separuh jiwanya di ranjang rumah sakit itu. --- Udara malam menusuk kulit ketika Anna berlari kecil menuju kafe Melodi Malam. Napasnya tersengal, pundaknya terasa berat oleh tas kain yang hampir robek. Jam tangannya tepat menunjukkan pukul 18.59 ketika ia membuka pintu. Denting bel langsung disambut aroma kopi hangat dan karamel manis. “Wih, detik terakhir!” seru Lili, temannya yang duduk di kasir. Anna melepas jaket, tersenyum lelah. “Dari rumah sakit ke sini rasanya kayak lomba estafet.” Kafe mulai ramai. Lampu temaram vintage menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya hangat di meja-meja kayu. Musik jazz mengalun pelan, membuat suasana seolah tenang meski di dalam dada Anna, badai terus berputar: Uang… bagaimana caranya aku bisa dapat uang lebih banyak? Suara bel kembali berdenting. Anna menoleh. Seorang pria tinggi dan berwibawa melangkah masuk. Jas hitamnya tampak mahal, langkahnya tenang dan pasti, setiap gerakannya seperti memancarkan kuasa. Matanya tajam, dingin, menilai ruangan tanpa ekspresi. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya dengan tas branded menyusul. Wanita itu elegan, sikapnya anggun, jelas bukan tamu sembarangan. “Selamat malam, Bapak, Ibu,” sapa Anna ramah. Senyumnya hangat, meski lututnya nyaris gemetar karena lelah. “Ada yang bisa saya bantu?” “Kami ingin memesan minuman,” jawab wanita itu dengan sopan. “Ada meja kosong di pojok sana, ya?” Anna mengangguk. “Ada, Bu. Mari saya antar.” Mereka duduk di sudut yang lebih privat. Anna mendekat dengan buku menu. “Selamat malam. Apa yang bisa saya bantu?” “Saya latte,” kata wanita itu ramah. Ia menoleh ke pria di sebelahnya. “Tuan Dirga?” “Americano.” Suaranya dingin, pendek, menusuk. Ia bahkan tak menatap Anna. Anna mencatat, lalu ke bar. Tangannya lincah menyiapkan pesanan, tapi matanya sesekali melirik ke meja VIP itu. Sepertinya aku pernah lihat wajahnya di berita… siapa dia? Sosok pria itu begitu rapi dan dingin, aura kekuasaan menempel pada setiap gerakannya. “Silakan, ini latte dan Americano,” ucap Anna sambil meletakkan cangkir. Senyumnya tetap profesional. Namun sebelum ia berbalik, wanita itu menahannya. “Nona, tunggu sebentar.” Anna menoleh, sedikit heran. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Pria bernama Dirga itu mengangkat dagunya sedikit, tatapannya dingin menusuk. Wanita itu tersenyum tipis, lalu membuka tasnya, mengeluarkan berkas. “Perkenalkan. Saya Melati, pengacara pribadi Tuan Dirga Mahendra.” Suaranya lembut, namun penuh kuasa. “Kami ingin menawarkan Anda sebuah proposal yang cukup unik.” Anna mengernyit, jantungnya berdebar aneh. “Kami ingin menawarkan Anda sebuah pernikahan kontrak.” Kata-kata itu jatuh begitu saja, namun seolah mengguncang seluruh dunia Anna. Tangannya yang masih menggenggam nampan bergetar, hampir terlepas. Pandangannya beralih cepat antara Melati dan pria dingin di hadapannya. Tatapan Dirga tetap tak terbaca, namun tajam, membuat udara di sekitarnya serasa membeku. “Apakah… apakah ini lelucon?” suara Anna pecah, gemetar, campuran marah, takut, dan bingung. Tak ada jawaban. Hanya tatapan pria itu yang terus menembus, seakan ia sudah tahu bahwa dari detik ini, Anna tak akan bisa lagi berlari dari takdir yang sedang menunggu.Lampu kristal memantulkan cahaya hangat di ruang makan mewah itu, menerangi meja marmer panjang dengan hidangan tertata rapi. Namun, kehangatan itu tak mampu mencairkan ketegangan antara Dirga, Mahendra, dan Mulan. Mulan—sang Ibu Tiri, berusaha memecah hening sambil menuangkan sup ke piring Mahendra. “Kamu jarang makan malam di rumah. Papa sampai mengeluh,” ucapnya, senyumnya terasa dipaksakan. Dirga hanya mengangguk singkat, pandangannya tetap pada piring. Hening kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya. Mahendra, dengan anggur merahnya yang belum tersentuh, memecah keheningan. “Bagaimana bisnis proyek barumu, Dirga?” suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. “Lancar,” jawab Dirga singkat, suaranya tanpa emosi. Makan malam berlangsung kaku. Setiap suapan seperti beban, setiap tegukan anggur terasa getir. Hingga Dirga meletakkan sendok-garpunya, denting logam memecah keheningan. Tatapannya menusuk Mahendra dan Mulan, membawa tekad yang sulit ditawar. “Aku a
“Tuan Dirga… jika tawaran itu masih berlaku.... saya menerimanya.” Dirga terpaku. Ekspresinya berubah, dari datar menjadi sedikit terkejut. Ia mengenali suara itu. Anna. Untuk sesaat, ruangan seolah membeku. Ia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan pelan ke jendela kaca besar yang menghadap ke lanskap gedung pencakar langit. “Baik,” jawabnya, tetap datar namun dengan nada yang lebih lambat, seolah sedang mencerna keputusan itu. “Kita bertemu jam tujuh malam. Di tempat yang kemarin.” Terdengar suara Anna lagi, lebih ragu kali ini. “Maaf, Tuan, bolehkah… kita bertemu di tempat lain saja? Saya tidak enak kalau dilihat teman kerja saya…” Dirga melirik jam tangannya. Matanya kosong sejenak sebelum ia berkata, “Aravine. Restoran di pusat kota. Jam tujuh malam dan Jangan terlambat.” “Baik, Tuan. Terima kasih…” suara Anna nyaris tak terdengar sebelum sambungan terputus. Dirga menatap ponsel beberapa detik sebelum menekan nomor lain. Kali ini ia menelepon Melati. “Melati, Wan
Mentari pagi menyelinap lewat celah jendela kamar kontrakan sempit milik Anna. Lelah semalam belum juga hilang, tapi waktu tak menunggu. Anna bangkit, menyalakan kompor kecil, lalu merebus sebutir telur—sarapan satu-satunya pagi ini. Belum sempat ia duduk, ketukan tegas terdengar di pintu. Anna buru-buru membukanya. Bu Marni, pemilik kontrakan, berdiri dengan wajah lelah. "Anna, pagi. Maaf ganggu. Tapi kamu tahu, sudah waktunya bayar kontrakan. Tolong ya, minggu ini dilunasin. Banyak yang nunggak, dan saya harus adil," ucap Bu Marni, nada suaranya datar namun jelas terasa tekanan di baliknya. Anna menunduk sedikit, suaranya pelan dan penuh sopan santun. "Maaf, Bu Marni. Saya… saya baru beli obat buat Ara tiga hari lalu. Uangnya benar-benar habis. Bisa saya minta tenggat waktu sampai minggu depan?" Bu Marni menarik napas berat, lalu mengangguk singkat. "Minggu depan, ya? Kalau belum dibayar juga, saya harus kasih kontrakan ini ke orang lain yang bisa bayar tepat waktu. Saya juga bu
“Pernikahan kontrak?” Suara Anna hampir tak terdengar. “Kenapa… saya?” Dunia seakan berhenti berputar. Musik jazz yang mengalun di kafe terdengar sayup, tenggelam oleh detak jantungnya yang memburu. Napasnya sesak, jari-jarinya meremas rok pelayan yang ia kenakan. Bu Melati menyandarkan tangan di atas meja, wajahnya teduh tapi tegas. “Tuan Dirga membutuhkan seorang istri sementara untuk memenuhi tuntutan keluarga besar. Kami mencari seseorang dengan latar belakang sederhana, bersih, dan tidak terikat. Anda memenuhi semua kriteria itu. Dan tentu saja, semua ini legal, terikat hukum, serta akan sangat menguntungkan Anda.” Anna menelan ludah. “Menguntungkan?” “Benar. Biaya pengobatan Ara akan ditanggung penuh, termasuk perawatan jangka panjang. Pendidikan hingga kuliah pun dijamin. Selain itu, Anda akan menerima kompensasi besar setelah kontrak berakhir.” Nama Ara disebut, membuat dada Anna sesak. Untuk sesaat, bayangan adiknya yang tertawa dengan komik di pangkuan melintas di kepa
"Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dengan cepat?" batin seorang gadis bernama Anna, yang sudah terbiasa hidup dengan seribu beban di pundaknya. Sejak ayahnya meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dan ibunya memilih pergi bersama keluarga barunya, hanya dia yang tersisa untuk merawat Ara—adik kecil yang tubuhnya ringkih, namun semangat hidupnya selalu menyala. Hidup Anna tak lepas dari kerja keras—pagi di toko bunga, malam di kafe. Tak ada hari tanpa lelah, tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Namun di balik letih yang tak pernah habis, hatinya masih menyimpan cahaya kecil: harapan bahwa esok akan ada hari yang lebih baik untuk adiknya. --- Suara mesin infus berdetak pelan, berpadu dengan alunan lagu anak-anak dari televisi kecil di sudut ruangan. Bau antiseptik yang tajam bercampur dengan wangi sabun bayi dari selimut tipis yang menyelimuti Ara. “Kak Anna!” seru gadis kecil itu dengan suara serak, matanya berbinar begitu Anna membuka pintu. Anna tersenyum, menahan lelah