Share

Bab 2 - Di Gugurkan

Setelah bersitegang cukup hebat, akhirnya Erina kembali ke kosnya, mama papanya benar-benar sangat marah, belum lagi keluarga Bima yang juga datang mencacinya habis-habisan.

Intinya tadi Erina sudah seperti anak ayam yang terjebak di antara para manusia yang mempelotronya, tanpa ada satu pun yang menolong, sekalipun itu Bima pacarnya.

Iya, Erina sadar, kalau di posisi Bima yang pacarnya ketahuan hamil di saat hari h pernikahan itu teramat menyakitkan. Tapi Erina juga tidak bersalah, Bima yang tidak mau mendengarkan penjelasan Erina sedikit pun.

Huft, yang awalnya Erina menangis sedikit karena merasa sakit hati juga sakit fisik, lama-lama dia sampai tidak keluar air mata lagi, dia pasrah menerima hinaan juga sakit fisik sebab mama tirinya juga mama Bima sempat main fisik.

Mengatai jalang lah, perek, dan banyak lagi jauh lebih pedas.

Sakit hati dan fisik sudah tidak terbendung. Bersyukur setelahnya Erina di usir dari rumah itu. Dengan status pernikahan di batalkan.

Ya, batal!

Erina juga tidak memohon-mohon agar pernikahan tetap lanjut, sejujurnya Erina di sini masih tidak merasa bersalah, makanya sepulang dari rumah orang tuanya Erina pergi ke rumah sakit untuk mengecekkan.

Dan sudah jelas, jawabannya memang benar seperti yang keluarganya katakan, kalau dia benar hamil! Hamil yang entah anak siapa itu.

Erina merasa bingung, dia kalut memikirkan bagaiamana dia bisa hamil di saat dia tak merasa behubungan dengan siapapun. Dia bahkan berfikir ada orang iseng yang sengaja memasukkan sperma tanpa melalui hubungan seksual.

Ah, Erina benar-benar bingung!

"Shh .."

Erina mendesah pelan, dengan posisi mata tertuju pada jalanan samping yang menembus kaca jendela bus.

Dia pulang dari rumah sakit, karena tidak memiliki kendaraan pribadi dia jadi harus memakai kendaraan umum.

Sesekali Erina memegang perutnya yang masih datar itu, kata dokter kehamilannya menyentuh usia 6 minggu.

“Menyebalkan!” gumamnya, rasanya Erina ingin menangis, tapi dia benar-benar menahan sekiat tenaga. Menurutnya percuma juga menangis, tangisan tidak akan bisa menyelesaikan masalah.

Yang pasti Erina tidak mau menangisi Bima, bodo amat batal nikah. Menjalin hubungan 1 tahun juga Erina tak merasa ada hal spesial, alasannya menikah juga cuma karena di paksa keluarganya dan keluarga Bima. Dan sekarang Erina sendiri yang di tendang.

“Mbak,”

Erina yang sedikit melamun langsung menoleh mendengar suara itu serta tepukan di bahunya.

“I -iya?” Dia bertanya dengan bingung.

“Ini mbak,” Anak gadis dengan segaram SMP dan berkaca mata itu memberikan sapu tangan pada Erina.

“Eh,” Erina kebingungan, dia tidak menangis kok tidak, buat apa saputangan.

Setelah itu gadis SMA itu maju ke depan, meminta bus berhenti dan turun di pinggir jalan.

Erina yang plonga-plongi sendiri hanya menatapi bocah itu yang sudah menghilang sambil melihat saputangan.

‘EG’ Ada ini sial bordiran di sudut saputangan. Erina tidak mengerti, tapi dia tetap menyimpannya.

Karena dia sekarang tidak menangis, tidak.

Tidak menangis kan!

Mata Erina memanas lagi,

Meski begitu Erina yakin tidak akan menangis kok!

Tapi …

“Hiks,” Erina bohong karena kenyataannya dia tetap menangis. Saputangan tadi terpaksa dia kelurkan lagi untuk mengusap air matanya.

Tangisan Erina tidak kencang, hanya semua isakan kecil sesekali yang terdengar. Mungkin beberapa penumpang bus lain tidak akan menyadarinya.

Hanya saja pria yang duduk di paling ujung belakang sadar itu, dia sama sekali tak melepas pandangan dari Erina sejak awal hingga sekarang.

Tangan pria itu juga terkepal di tempat.

___

Setelah beberapa saat perjalan pulang dengan bus, Erina pun tiba di kos nya, kos murah yang menang berada di area pekarangan ibu kos yang suka julid.

Erina tidak tahan tinggal di sini kalau tidak ingat karena kos di sini murah dan dekat dari kantor.

Yah untuk ukuran pekerja kantor harusnya Erina bisa mendapat tempat dan lokasi lebih strategis dengan gaji yang dia terima, sayangnya dia tidak bisa begitu karena sebagian besar gajinya dia berikan pada ayah dan mama tirinya. Alasannya katanya anak harus berbakti, apalagi bertahun-tahun mereka yang merawat Erina.

“Heh perek!”

Baru juga menginjakkan kaki di pekarangan, dia langsung mendengar ucapan itu dari gerombolan teman-teman kos nya. Bukan teman sih, karena Erina tidak pernah merasa memilikinya, dia di kucilkan, alasannya hanya karena Erina lebih cantik.

Erina berniat langsung pergi, tapi ..

“Lo jual diri kan ke germo, makanya hamil!”

Deg …

Jantung Erina berdegup mendengar itu, dia langsung menghentikan langkah dan menoleh.

Ada tiga wanita yang duduk di teras depan salah satu kamar kos sana.

“Haha nggak heran itu tete lo gede, sering di remes om-om ternyata. Haha.”

Tangan Erina terkepal kuat, matanya masih sembab habis menangis, dan sekarang dia sudah terpancing.

“Makanya kalo maen pas jualan itu pake pengaman, ke bobolan kan jadinya, haha.” Salah satu dari ketiganya berbicara lagi yang langsung di sambut tawa mereka kompak.

Erina sakit hati, dia tapi dia malah kehilangan kata-katanya untuk sekedar membalas.

“Erina!” Panggilan itu terdengar di sisi lain.

Bu Endah, wanita yang mungkin berusia 40 an dengan penampilan menor ala ondel-ondel itu berjalan menghampiri Erina.

“Kamu jual diri di mana Erina?” tanya Bu Entah langsung, tanpa memikirkan Erina yang baru saja tiba dengan keadaan gang bisa di bilang tidak baik-baik saja.

“Bayarannya segede apa sih sampe mau-maunya jual.” Bu Endah masuh berlanjut dengan senyuman miring.

Erina menggenggam sapu tangan itu erat, menahan diri. “Bu, jaga omongan ibu!” desisnya melanjutkan.

“Apanya? Nggak terima? Kan fakta, mama kamu sendiri yang telefon dan kasih tau kalau kamu gagal nikah karena hamil orang nggak jelas asal usulnya.” Bu endah menerangkan itu.

Dan Erina hanya bisa terdiam lagi, jadi mama tirinya yang sengaja memberitahu. Erina tertawa getir di dalam hati, tidak heran kalau semua orang jadi menghinanya, mama tirinya benar-benar totalitas ingin menghancurkannya.

“Kamu bener-bener malu-maluin kos-kosan ini ya, bisa-bisa orang luar ngira tempat ini biasa di masukin pelanggan kamu tanpa sepengetahuan ku. Apa emang iya?”

“Iya bu, si perek itu pulangnya malem-malem, kadang nggak pulang. Di anter om-om sampe ke kamar lagi!”

Erina melotot, dia hampir kelepasakn menghampiri Salli, wanita yang duduk di teras dan menghinanya tadi. Semu yang di ucapakan Salli itu fitnah, dia tidak pernah melakukan tuduhan Salli.

Dengan keadaan yang sudah campur aduk, Erina buru-buru berlalu pergi dari sana, dan masuk ke dalam kamar kosnya.

Brakk …

”Hiks,”

Erina terduduk di depan pintu, dia masih bisa mendengar suara tawa orang-orang di luar.

Dia menangis dengan pelan takut di dengar, padahal tadi dia sudah berjanji tidak akan menangis.

Tangan Erina cepat-cepat merogoh ke dalam tas slempangnya, dia langsung merobek kertas hasil check up kandungan tadi hinggan tak berbentuk.

Hamil! Gara-gara kehamilannya, hidupnya yang sudah pait makin menjadi-jadi saja paitnya.

Dan ini anak siapa? Anak siapa?

Argghhh …

Erina memeremat perut datarnya itu beberapa kali.

Apa … Apa dia gugurkan saja? Apa harusnya dia gugurkan? Karena percuma anak ini tidak jelas asal usulnya, dan malah dirinya yang akan menderita sendiri.

Tapi ingatannya tiba-tiba tertuju pada mimpi yang tadi siang dia alami. Mimpi anak kecil yang terus memanggilnya mommy-mommy.

“Hiks!” Tapi Erina tidak bisa menanggung beban ini.

Erina menangis terisak cukup lama, lebih lama dari saat di bus.

Hanya saja, lagi-lagi Erina tidak tau kalau kegiatan menangisnya sekarang tengah di amati seseorang dari layar ipad tersebut. Di mana arah sorotannya dari lubang ventilasi udara, ya memang kameranya di letakkan di lubang.

Mata tajam itu terlihat tidak menyukai Erina yang menangis.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status