Share

Bab 4 - Siapa Erland?

Erina Falistia, dia wanita 26 tahun yang memiliki hidup tidak ada bagus-bagusnya.

Ibunya meninggal dunia besertaan Ayahnya menikah lagi saat dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dan selanjutnya dia memiliki seorang adik tiri dengan yang ternyata sudah ada sebelum ibunya meninggal, ya benar begitulah ayahnya memang selingkuh.

Cukup menyebalkan menjadi Erina, ibu tirinya bersikap seperti layaknya ibu tiri dalam dongeng, jahat dan tidak berperi kemanusiaan.

Rasanya Erina hanya ingin pergi dari rumah.

Sampai kuliah Erina bisa pergi, tapi dia tetap merasa tertekan dengan mama tirinya, karena

sesekali memejamkan mata, tapi dia berusaha mati-matian untuk tetap membukanya.

Meski tampan orang di sampingnya teramat misterius, jadi Erina merasa agak … Takut?

Iya takut, auranya itu loh juga mencekam.

Namanya Erland.

Aneh, Erina masih berfikir orang ini aneh karena tiba-tiba sksd dengannya, dan sekarang duduknya jadi berada di sampingnya.

Tapi beruntung Erina tidak berada tidak di dekat jendela, kalau tidak pasti rasanya mati kutu, Erina seperti di himpit tidak bisa bergerak, dan kalau ada apa-apa jadi tidak bisa gercep kabur.

“Pacarnya ya neng?”

Eh, Erina tersentak di tepat dari posisinya yang tanpa sadar melirik pria tampan di samping nya itu. Maklum ketampanan pria di sampingnya cukup membuat mata tau di mana letak posisi yang bening-bening.

Ya mata Erina beralih menjadi menatap dua pasangan yang sudah lanjut usia _duduk berhadapan dengannya_.

“Cocok, cantik ganteng. Semoga bisa langgeng sampe tua kayak nenek kekek kni ya.” Wanita tua itu berbicara lagi sebelum Erina berhasil menjawabnya.

Erina menggaruk pelipisnya dan tertawa di paksakan, “Haha. Bu -bukan pacar nek.”

“Oh buka ya, jadi suami. Kalo gitu semoga cepet dapet momongan ya neng ya," lanjut nenek itu riang

Glekk ...

Erina meneguk salivanya susah payah. Bagaimana ini. Erina merasa bingung harus menjawab apa. Momongan apanya, bahkan sekarang Erina sudah hamil kan.

“Pasti kalo jadi, nanti anaknya cakep, bapaknya aja ganteng gitu,”

“Iya nek.”

Ups, Erina tersadar dan segera memejamkan mata merutuki mulutnya yang reflek mengiyakan. Bukan maksud menyetujui dan makin membuat salah faham loh ha, tapi itu dia karena teringat kalau pria di sampingnya memang benar tampan.

Karena sudah terlanjur begitu, Erina pun tidak bisa berbuat apa-apa, bodo amat salah faham. Toh setelah mereka turun di kota tujuan, mereka tidak akan bertemu lagi kan.

Erina tersenyum saja pada nenek kakek itu yang di umurnya yang mungkin sudah menginjak 70 an masih terlihat romantis. Dan banyak mengobrol ringan, dari yang Richa curi dengar sih katanya dua orang tua itu akan mengunjungi anaknya yang tinggal di ibu kota.

Merasa percakapan sudah selesai, Erina pun menghela nafas lagi, merilekskan tubuhnya. Lagi-lagi matanya melirik pria sampingnya yang memejamkan mata dengan tangan bersidekap itu.

Erina lagi-lagi mengamati parasnya. Hidungnya lancip kulitnya juga bersih, alisnya tebal berbentuk rapi, ck ck ck, heran rasanya kok ada orang se tampan ini, mirip seperti artist.

Eh, jangan-jangan memang artist ya, cuma sedang menyamar agar tidak ketahuan.

Mata Erina memicing, dan dia sedikit mendekatkan wajah mencoba mengamati lebih dekat. Itu pun dia sambil mengingat-ingat kira-kira artist siapa yang wajahnya begini.

"Kenapa?" Tapi mata tajam itu tiba-tiba terbuka dan membalas melirik Erina.

Sontak saja Erina tersentak dan rerflek memundurkan wajah cepat.

"Hm?"

"Bu -bukan apa-apa kok." Erina menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

Hanya saja jawaban Erina sepertinya tidaka membuat Erland puas, sampai pria itu masih dalam diam menatap.

Erina cemas sendiri, berusaha mengabaikan tapi tidak bisa. "Ah-ah, Itu -itu ada nyamuk tadi."

Erland masih menatap. Sampai Erina kesal sendiri.

"Serius tadi ada nyamuk, saya nggak bohong!" Erina sepertinya tidak sadar kalau alasannya sama sekali tidak etis.

Tapi ternyata pria itu mengangguk. "Iya."

Akhirnya Erina menghela nafas lega, bersyukur pria ini percaya.

Beberapa saat setelahnya, ingin sekali Erina menanyakan apa Erland ini artist atau bukannya. Tapi pria itu sudah memejamkan matanya lagi.

Kalau di amati sepertinya benar Erland ini belasteran, karena logat bahasa indonesianya tidak se fasih itu. Ada sedikit aneh, sedikit sekali, tapi kadang juga tidak terlihat juga.

“Huft, sebelum pergi, kayaknya gue harus tanya artist atau bukan. Lumayan kan kalo artist terkenal bisa minta tanda tangan terus di jual," gumam Erina asal, tapi juga sungguh-sungguh. Sekarang yang dia butuhkan itu uang, karena dia tidak membawa barang-barang berharga, hanya sisa tabungan sedikit dari hasil ngirit rela makan telur ceplok atau mie instans saja.

Erina pun memutuskan untuk diam lagi, tapi dia malah mendengar suara ribut-ribut dari arah gerbong belakang.

Ternyata suaranya dari seorang ibu-ibu yang tadi duduk di samping bersebrangan dengan Erina, wanita paruh baya itu sambil berjalan kembali ke tempat duduk.

"Ada apa mbak?" tanya wanita paruh baya lain.

"Ada cowok telanjang di kamar mandi."

Erina mencuri dengar percakapan di antara dua orang itu, tapi dia tetap tenang

"Eh, kok bisa?"

"Nggak tau tuh, udah telanjang aja, dia sih nggak inget apa-apa, kayaknya kena gendam."

"Wah bahaya kalau begitu."

Erina masih setia menyimak, menurutnya agak ngeri juga kalau ada pelaku kejahatan yang berani melucuti pakaian. Erina jadi takut.

Tidak lama semua mata menoleh lagi ke arah belakang, ternyata ada seseorang yang akan lewat.

Erina yang penasaran ikut menoleh.

"Eh," Erina ingat, pria itu, pria bertubuh gempal saat wajahnya ada memar dan sedikit darah itu memakai daster ibu-ibu. Dia yang tadi menyeggolnya.

Pria itu menatap Erina tidak suka sambil berjalan sampai dia tiba di samping Erina pun, padahal Erina juga hanya menatap seperti yang lain, tapi hanya gadis itu yang di tatap.

Erina meneguk salivanya susah payah, dia agak ngeri karena di tatap begitu dan spontan saja ia sedikit menggeser posisi duduk hingga lengan dan punggung nya menempel pada tubuh samping Erland.

"Kenapa?" Sebisa mungkin Erina memberanikan diri bertanya. Kenapa Erina hari ini di penuhi orang-orang aneh sih, padhal pria berdaster itu kan yang tadi menabrak, dan sekarang Erina seolah menjadi penjahatnya. Bukan karenanya juga pria itu terkena gendam sampai telanjang, itu pasti karma karena sudah menjahati gadis baik hati macam Erina, iya kan.

Tapi tatapan pria itu makin sinis saja dan sudah berhenti sepenuhnya di samping Erina.

Grepp ...

Eh,

Erina terkejut dan langsung menoleh ke arah samping _agak ke belakang_, dia menatap Erland dengan mata melotot.

Pria itu sekarang dengan lancangnya melingkarkan serta merangkul lengannya.

"Ke -kenapa?" Erina sampai tergagu tanpa sadar.

Erland tidak mengatakan apapun, dia hanya mengangkat dua sudut bibirnya hanya dalam waktu satu detik.

Saking singkatnya di mata Erina, pria ini jadi terlihat menyeramkan.

"Udah." Lalu setelah beberapa saat pria itu pun menarik tangannya lagi dari Erina.

Mata Erina menyipit bingung, sebelum akhirnya dia tersadar kalau memang posisinya mepet-mepet dengan Erland.

Dia pun buru-buru menarik tubuhnya agar tidak menempel lagi.

"Maaf," katanya singkat cenderung malu.

Dan Erina juga baru sadar lagi kalau pria tubuh gempal yang memakai daster tadi sudah melangkah pergi menjauh.

Erina pun menghela nafasnya berat, memang benar aneh-aneh orang yang dia temui hari ini. Sesekali dia melirik Erland yang sudah kembali memejamkan mata seolah tidak terjadi apa-apa.

_____

Beberapa jam berlalu, Erina pun makin mengantuk saja, tapi dia berusaha tetap terjaga.

Meskipun Erland tampan, tapi aura pria itu agak seram, Erina takut kalau lengah. Jadi dia tetap harus waspada, bukan hanya pada Erland tapi juga orang-orang di sekitarnya. Apalagi orang-orang di sekeliling juga pasangan nenek kakek depannya itu juga tengah tertidur. Di deretannya hanya dia seorang yang membuka mata.

Mata Erina memicing sesekali, tidak nyaman, sebab sorot cahaya mata hari yang menembus jendela mengenai tubuh dan matanya. Erland yang kepanasan penuh sama sekali tidak terusik dan masih setia memejamkan mata.

Makanya Erina pun mau tak mau berinisiatif menutup jendela agar tidak silau.

Dia bangkit dan mencondongkan tubuhnya, dia berusaha tidak menyentuh pria itu, tapi naas usahanya sia-si.

"Eh,"

Kakinya agak tidak seimbang dan membuatnya malah hampir jatuh, tersungkur pada tubuh depan Erland.

Satu tangannya berada di bahu, dan satu tangan lain sampai tidak sengaja bertumpu pada paha agak samping atas.

Jantung Erina yang shock berat karena terkena musibah itu pun makin shock lagi karena tangan itu bisa merasakan suatu benda keras di balik hoodie yang di pakai Erlan.

Glekk ...

Jujur,

Bentuknya aneh, membuat Erina overthinking.

Dia pun reflek menyibak hoodie yang di pakai Erland itu, dan ternyata benar ada benda di sana.

Deg ...

Mata Erina makin melotot tebar, tangannya gemetar dengan tubuh menegang hebat.

'Pis -pistol?'

Ya pistol. Erina bisa melihat sebuah benda yang biasanya hanya dia lihat di film atau drama korea sekarang berada di depannya dan tadi sempat dia pegang.

Dengan keadaan yang masih shock parah, Erina perlahan mengangkat wajahnya sedikit untuk melihat wajah Erland. Melupakan fakta kalau posisinya saat ini masih menempel terlalu dekat dengan pria itu.

Hng ...

Benar saja, mata pria itu saat ini sudah terbuka, sorot mata tajam melirik ke arah Erina dengan raut wajah datar sulit di artikan.

Nafas Erina tercekat.

Si -Siapa sebenarnya Erland ini?

Tangan Erland terangkat dan menyentuh pinggang Erina dan sedikit mencengkramnya, sampai Erina juga reflek ganti mencengkram bahu pria itu.

Wajah pria itu pun sedikit maju makin mendekat pada wajah Erina. Bahkan hampir menempel kalau di lanjutkan.

Jantung Erina sudah berdegup tidak karuan, otaknya terasa kosong, dia nge-blank padahal ada kata-kata warning yang seperti berteriak-teriak. Tapi dia tidak melakukan apapun untuk sekedar menyingkir. Tatapan pria itu benar-benar seperti menghipnotisnya.

Dan setelah hanya tersisa jarak beberapa senti saja, Erland mengangkat sudut bibirnya sedikit,

"Takut eh?"

DEG ...

Langsung lah, Erina auto lemas, lemas sekali sampai akhirnya tanpa sadar pandangannya mengabur, Erland saja tidak terlihat.

Dan ...

Gelap!

Erina jatuh pingsan di pelukan pria yang membawa pistol yang seharusnya Erina hindari.

Sedangkan Erland dengan santainya mengeratkan pelukan pada Erina, agar wanita itu tidak terjatuh, dan sempat-sempatnya menurunkan hoodie agar pistol di pinggang depannya itu bisa tertutupi lagi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status