Maaf telat. Terima kasih atas hadiah koin dan gem. Jangan lupa like dan Komentar.
Aqeela selesai sarapan. Gadis muda itu bersiap untuk ke kampus. Dia sudah harus mempersiapkan diri untuk seminar.“Om, aku pergi dulu.” Aqeela tersenyum pada Bramasta yang duduk di ruang tengah. Pria itu sengaja menunggu sang istri.“Aku akan mengatarkan kamu,” tegas Bramasta beranjak dari sofa.“Tidak usah, Om. Aku bisa pergi sendiri dengan motor,” ucap Aqeela.“Atau kamu mau mengendarai mobil sendiri.” Bramasta menatap Aqeela.“Tidak. Motor lebih cepat dan mudah. Dahh!” Aqeela melambaikan tangan pada Bramasta. Dia berlari menuju garasi mobil. Menngambil helm dan mengenakannya. Motor hitam telah siap digunakan.“Aqeela.” Bramasta mengacak rambutnya. Gadis kecil itu benar-benar suka bergerak cepat tanpa menunggu aba-aba.“Aku benar-benar sulit mengimbangi kamu, Aqeela.” Bramasta melihat Aqeela yang sudah mengendarai mobil meninggalkan halaman rumah mewahnya. Gadis muda yang baru beranjak dewasa itu benar-benar menyukai kebebasan karena semasa kecil dia dikurung di rumah dan bahkan ter
Pagi hari Bramasta dan Aqeela sudah berkemas. Keduanya bersiap untuk pulang ke rumah. Pria itu tidak memberitahu keluarganya karena dia tidak suka banyak orang.“Silakan, Tuan.” Nave memberi jalan untuk Bramasta yang menggandeng Aqeela.“Hati-hati,” ucap Bramasta masuk ke dalam mobil.“Ya.” Aqeela duduk di barisan kedua bersama Bramasta.Mobil melaju dengan kecepatan standar mengantarkan Bramasta dan Aqeela. Berhenti di depan pintu utama rumah mewah. “Eeh!” Aqeela terkejut karena tiba-tiba Bramasta langsung menggendongnya.“Aku sudah sembuh,” ucap Aqeela melingkarkan tangan di leher Bramasta.“Aku tahu.” Bramasta membawa Aqeela ke kamarnya. Dia melepaskan sang istri di atas kasur.“Om, kenapa ke kamar Om?” tanya Aqeela.“Karena aku mau merawat kamu. Mulai malam ini kita akan tidur sekamar,” jawab Bramasta.“Tidak mau,” tegas Aqeela meletakkan kedua tangan di depan dadanya.“Apa yang kamu pikirkan?” Bramasta tersenyum.“Tidak ada.” Aqeela mau turun dari kasur dan kembali ke kamar. “Ka
Profesor Febrino pergi mengunjungi Aqeela. Pria itu datang sendirian. Dia membawa parcel buah dengan bunga mawar biru.“Apa ini kamar Aqeela?” tanya Febrino pada dua pria yang berjaga di depan pintu.“Benar, tetapi Anda tidak bisa masuk karena Nyonya sedang tidur,” jawab penjaga menghalangi Febrino.“Nyonya?” Febrino benar-benar bingung dengan sebutan Nyonya untuk Aqeela karena itu memiliki arti yang tidak mudah.“Kapan dia akan bangun?” tanya Febrino.“Mungkin sore karena Nyonya baru saja tidur,” jawab penjaga.“Kenapa mereka menyebutnya Nyonya? Apa aku salah kamar?” Febrino bertanya di dalam hatinya.“Apa ini Nyonya kalian?” Febrino memperlihatkan foto Aqeela di layar ponselnya.“Benar,” ucap penjaga.“Mmm.” Febrino mengangguk.“Titip ini saja. Aku tidak bisa menunggu. Semoga dia lekas sembuh.” Febrino memberikan parcel pada pengawal.“Baik, Pak.” Pengawal menerima oleh-oleh yang dibawakan professor Febrino.“Pria itu adalah dosen Nyonya.” Nave memperhatikan dari sofa yang ada di din
Anggara mengendarai mobil menuju rumah sakit. Pria itu bahkan membatalkan pertemuan demi melihat sang putri yang dirawat. Vio dan Kiara pun ikut pergi ke rumah sakit.“Aqeela.” Vio dan Kiara berlari masuk ke kamar perawatan. Dua wanita itu langsung memeluk Aqeela.“Hah!” Bramasta terkejut. Pria itu dengan cepat menghindar agar tidak bersentuan dengan Vio dan Kiara. “Vio. Kiara.” Aqeela benar-benar senang dengan kedatangan Kiara dan Vio. Mereka bertiga berpelukan dan tersenyum bersama. “Ehem.” Vio melihat Bramasta yang sudah duduk di sofa. Pria itu menjauh dari teman-teman istrinya.“Bagaimana kabar kamu?” tanya Vio dan Kiara.“Apa yang terjadi?” tanya Kiara dan Vio lagi.“Tidak apa,” jawab Aqeela.“Apa kamu benar-benar diculik?” tanya Vio.“Tidak. Aku hanya mengalami kecelakaan kecil saja,” jawab Aqeela.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku juga akan segera pulang,” lanjut Aqeela.“Syukurlah.” Vio dan Kiara kembali memeluk Aqeela.“Aqeela bagaimana rasanya Tuan Bramasta,” bisik V
Ponsel Aqeela berdering. Panggilan dari dosen Febrino. Gadis itu segera menggeserkan icon hijau.“Halo, Prof.” Aqeela menerima panggilan. “Aqeela, kenapa kamu tidak datang ke kampus? Persiapan sudah beres. Apa kamu tidak ingin melihatanya dan mungkin menambahkan sesuatu?” tanya Prof Febrino. “Maaf, Prof. Aku kurang sehat. Besok atau lusa, aku akan pergi ke kampus,” ucap Aqeela.“Kamu sakit apa?” tanya Prof Febrino khawatir.“Tangan aku tergores saja dan sedikit deman,” jawab Aqeela. “Prof tidak usah khawatir. Aku akan segera sembuh,” ucap Aqeela. “Kamu dirawat di mana?” tanya Prof Febrino.“Hah? Apa?” Aqeela melihat pada Bramasta. Dia meminta izin kepada sang suami.“Ada apa?” tanya Bramasta. “Dosenku ingin menjengukku,” jawab Aqeela.“Apa boleh?” tanya gadis itu dengan manja. “Ya.” Bramasta mengangguk. Pria itu tidak berani mengecewakan Aqeela. Dia sudah berjanji untuk menuruti semua permintaan istrinya kecuali perceraian. “Terima kasih, Om.” Aqeela segera mengirim alamat dan n
Bramasta pindah ke sofa. Dia membuka computer. Beni telah kembali dengan banyak pekerjaan. Nave pun melaporkan hasil penyelidikan tentang penusukan dan penculikan.“Bos.” Nave berdiri di depan Bramasta.“Berbicara pelan-pelan,” ucap Bramasta melihat pada Aqeela.“Jangan sampai membangunkan istriku,” tegas pria itu dengan suara yang juga pelan.“Mm.” Nave dan Beni saling pandang. Mereka tidak pernah melihat Bramasta berbicara seperti berbisik saja. Sang raja seakan takut membuat istrinya tidak nyaman. Apalagi terbangun dari tidur.“Nave dulu.” Bramasta menggerakkan jari telunjuknya agar Nave mendekat dan berbicara pelan.“Penusukan memang rencana Alina. Penculikan dilakukan oleh Elena,” bisik Nave.“Apa? Ah!” Bramasta menutup mulutnya. Dia benar-benar tidak ingin membuat Aqeela terbangun.“Kenapa Elena menculik Aqeela? Para penculik terlihat jelas tidak ingin menyakiti Aqeela. Padahal kita tahu benar bahwa wanita itu sangat kejam.” Bramasta menatap Nave.“Kami belum mengetahui motifnya