“Empat puluh delapan juta?” bisiknya lirih, nyaris tak percaya saat membaca laporan itu. Dia berdiri terpaku di depan lobby rumah sakit. Bahkan tangannya sampai gemetar memegang struk pembayaran.
Empat puluh delapan juta untuk biaya cuci darah, rawat inap, dan obat-obatan. Uang dari mana? Sementara di dompetnya hanya tersisa uang dua ratus ribu. Di rekening? Bahkan lebih miris. Gadis itu bernama Sania Maheswari, berusia 21 tahun, seorang mahasiswi jurusan desain grafis di Universitas Tritunggal. Di umur yang baru menginjak dewasa, pundaknya sudah menanggung beban yang seolah lebih berat dark pada usianya. Meskipun kedua orang tuanya masih lengkap, namun ayahnya kini terbaring lemah dengan kondisi gagal ginjal kronis yang membuatnya harus berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, apa lagi ibunya juga hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Jadi, harapan satu-satunya hanyalah dirinya. Dia mendongak, berusaha menahan tangisnya. Saat itu, baru menyadari bahwa seseorang berdiri tak jauh dari tempatnya. Seorang pria, berdasi hitam, mengenakan setelan jas hitam yang tampak basah sebagian karena gerimis. Dia tinggi, tegap dan wajahnya terlihat tidak asing. Pria itu menatapnya sekilas. Tatapannya dingin seperti es, tapi juga tajam seperti orang yang sudah terbiasa mengendalikan banyak hal dalam hidupnya. Sania buru-buru menyeka air mata di pipinya dan sedikit membungkuk. “Maaf Pak, saya ... saya menghalangi jalan, ya?” ucap Sania sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. Pria itu tidak menjawab. Hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap layar ponsel di tangannya. Tapi, beberapa detik kemudian, dia bersuara pelan, “Jika saya tidak salah, kamu mahasiswa Tritunggal, jurusan desain grafis?” Sania terkejut. “Iya. Tapi, maaf... Bapak siapa, ya?” tanya Sania dengan ragu-ragu. Pria itu memasukkan ponselnya ke dalam saku jas. “Saya ingat wajah kamu. Dua minggu lalu kamu presentasi dalam kompetisi desain logo CSR Mahendra Group.” Mata Sania melebar, seketika dia menyadari siapa pria yang tengah berdiri di depannya saat ini. “Anda ... Bapak Haikal Mahendra? CEO....” Sania tidak melanjutkan kalimatnya ketika pria itu sudah mengangguk singkat. Wajahnya tetap tenang dan nyaris tanpa ekspresi seperti sebuah patung. Haikal Alvaro Mahendra, laki-laki berusia dua puluh delapan tahun, namun sudah menyandang predikat sebagai CEO termuda Mahendra Group. Konglomerasi besar yang menguasai banyak lini bisnis di negeri ini. Media menggambarkannya sebagai pria dingin, kejam dan ambisius, sekaligus jenius yang tak terkalahkan. Foto-fotonya kerap muncul di majalah bisnis dengan headline “pria emas generasi baru.” Namun, di balik ketampanan yang nyaris sempurna, ada jarak yang tak bisa ditembus siapa pun. Haikal dikenal tak pernah melibatkan hati. Setiap langkahnya penuh kalkulasi. Dan hari ini, entah kenapa, Sania menjadi bagian dari perhitungannya. Sania ingin menghilang seketika, andai dia bisa. Dia sadar betapa buruk penampilannya saat ini, rambut kusut, wajah sembab, pakaian sedikit basah oleh hujan. Berbeda jauh dari momen ketika dia tampil rapi saat presentasi dua minggu lalu. Haikal menyipitkan mata, seperti membaca pikiran gadis di depannya. “Kamu menang saat itu. Sayangnya divisi CSR memutuskan tidak jadi melanjutkan proyeknya.” Sania menunduk. “Saya tahu, tidak apa-apa, Pak. Memang belum rezeki saya. Terima kasih karena sudah mengingatnya.” Sania merasa sedikit tersanjung. Keheningan kembali hadir. Hanya suara hujan yang terdengar semakin deras. Sania menggenggam map tagihannya lebih erat, lalu membungkuk sekali lagi dan bersiap pergi. Namun, langkahnya tertahan saat suara berat Haikal kembali terdengar. “Kamu membutuhkan uang, bukan?” tanya Haikal tiba-tiba. Sania berhenti, tenggorokannya tercekat. “Maaf?” gumamnya pelan. Haikal menatap lurus. “Saya tidak asal menebak. Terlihat dari ekspresi wajahmu saat membaca struk dan dari sorot matamu yang berkaca-kaca. Meskipun begitu kamu tidak menangis histeris, artinya kamu orang yang bisa mengendalikan diri,” terang Haikal. Sania berusaha tersenyum sopan. “Benar, Pak, dan saya akan mencari cara untuk mendapatkan uang yang saya butuh kan, bagaimanapun itu,” sahut Sania. “Saya bisa membantu.” ucap Haikal tiba-tiba, menawarkan bantuan untuk Sania. “Maaf, Pak, tapi saya tidak mau menerima belas kasihan,” sahut Sania langsung menolaknya. Haikal mengangkat satu alisnya. “Siapa bilang aku akan memberimu uang tanpa syarat?” Sania menatap pria itu penuh waspada. “Apa maksudnya?” Haikal menyilangkan tangannya. “Menikah denganku," jawab Haikal dengan ekspresi datar. Jantung Sania nyaris melompat keluar. “Apa?! Apa saya tidak salah dengar?” “Pernikahan kontrak hanya tiga belas bulan. Kamu tinggal bersamaku, berpura-pura jadi istri di depan publik dan keluargaku. Setelah itu, kita akan bercerai. Aku akan membayarmu cukup banyak hingga ayahmu bisa berobat dengan layak,” ucap Haikal. Sania terpaku. Tawaran itu terasa seperti cuplikan drama. “Kenapa saya?” tanyanya, nyaris berbisik. Haikal menatapnya tajam, tapi bukan dengan amarah. Justru sangat tenang. “Mungkin hanya kebetulan dan saya rasa, kamu cukup pintar untuk tidak bertanya hal bodoh. Kamu butuh uang dan aku butuh istri sebelum tanggal ulang tahunku bulan depan agar aku bisa mendapat hak waris perusahaan. Wanita lain terlalu banyak drama. Aku butuh seseorang yang tidak akan berharap lebih.” Sania memeluk map di dadanya. Tawaran itu terdengar gila dan tidak masuk akal. Tapi, juga terlalu nyata untuk diabaikan. “Hidup saya bukan drama, Pak. Saya tidak terbiasa dengan permainan seperti ini.” Haikal merogoh saku jas, mengeluarkan kartu namanya dan menyerahkannya pada Sania. “Kamu punya waktu 24 jam untuk berpikir. Kamu bisa menelepon jika setuju dan datanglah ke alamat ini. Kontraknya akan siap.” Sania menatap kartu itu dengan tangan gemetar. “Dan satu hal lagi,” kata Haikal sambil berbalik. Sania mendongak. Haikal menatap lurus ke arah mata gadis itu, untuk pertama kalinya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dingin, sebuah kehampaan yang entah kenapa terasa sangat akrab. “Aku tidak percaya cinta. Jadi, kamu jangan pernah berharap aku akan mencintaimu!” Lalu, pria itu melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum mahal dan kebisuan panjang yang menggantung di udara. Sementara Sania berdiri diam, menatap kartu nama itu, selembar kertas kecil yang mungkin akan mengubah seluruh hidupnya. Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari saku tasnya, matanya masih menatap nama di kartu itu seolah sedang menggenggam dua pilihan, harga diri atau ayahnya yang sekarat. “Apa aku benar-benar harus menjual diriku demi Ayah?” bisiknya nyaris tak terdengar. Di saat pikirannya melayang jauh, tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk, Sania melihatnya cepat dan menjawabnya. “Halo?” Terdengar suara di seberang sana panik. “Sania! Kamu di mana? Cepatlah ke ruangan! Ayahmu ... Ayahmu tiba-tiba kejang!”Pagi itu, rumah besar milik Haikal Mahendra ramai dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian rapi. Beberapa membawa koper besar, hanger berisi gaun, dan peralatan make-up profesional. Sania berdiri mematung di depan cermin, mengenakan kemeja putih longgar dan celana kain sederhana. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya sembab sebab dia susah tidur semalaman. Tok ... Tok ... Tok ... Evana masuk ke kamar Sania setelah mengetuk pintu. “Pagi, Nona Sania. Tim dari bridal sudah datang. Kita akan mulai dengan fitting gaun pernikahan, lalu lanjut sesi foto di lantai dua dan outdoor setelah makan siang,” jelas Evana mengenai rangkaian kegiatan hari ini. Sania mengangguk pelan. “Baik, terima kasih, Bu,” sahut Sania. “Maaf, kamu bisa memanggilku Evana saja, Nona Sania,” ucap Evana dengan lembut. Sania mengangguk mengerti. Sania berjalan mengikuti Evana dan saat melewati lorong dekat kamar, Evana sempat berkata santai. “Jam tua di ruang kerja Tuan Haikal memang suka berdentang tengah ma
Sania berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Gaun santai berwarna biru tua yang dia temukan tergantung di lemari, tampak terlalu elegan untuk sekadar menghadiri makan malam. Tapi, setelah ragu beberapa saat, dia tetap memakainya. Mungkin pakaian itu memang sudah disiapkan untuknya. Wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan pelembap bibir yang dia oleskan terburu-buru. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun dengan warna hijab yang senada. Pukul tujuh tepat, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. “Masuk,” ucap Sania. Evana masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa. “Ruang makan ada di lantai bawah, Tuan Haikal sudah menunggu. Mari saya antar," ucap Evana datar. Sania mengangguk dan mengikuti wanita itu menuruni tangga yang lebar. Langkahnya terasa berat, seperti hendak menghadiri wawancara kerja, bukan hanya sekadar makan malam. Tapi, memang begitulah segala hal di rumah ini, terasa seperti ujian bahkan untuk sekedar bernapas. Ruang makan berada d
Sania kembali ke rumah sakit, membawa satu keputusan besar yang terasa lebih berat dari pada koper kecil di tangannya. Lorong rumah sakit itu tampak lebih sepi dibanding kemarin, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang justru semakin bertambah. Dia melangkah perlahan ke ruang rawat ayahnya, berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang terpikirkan di kepalanya mengenai kabar besar yang akan dia sampaikan. Dengan ragu dia menggenggam handle pintu lalu membukanya. Ibunya terlihat tengah duduk di samping tempat tidur sang ayah, mengusap tangan kurus yang terbaring lemah di sana. Ayah Sania tampak lebih tenang hari ini, meskipun wajahnya masih pucat. “Ibu... Ayah,” panggil Sania pelan. Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu dari mana? Apa kamu sudah makan, Nak? Dan untuk apa membawa koper kemari?” tanya Bu Salma memperhatikan putrinya dengan bingung. Sania mengangguk, meski kenyataannya perutnya masih kosong. Dia mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, menggengg
Sania melangkakan kakinya cepat, berlari menuju ke ruang rawat ayahnya. Napasnya memburu, dunia terasa kabur oleh air mata dan suara detak jantungnya sendiri. Lorong rumah sakit yang bercat putih pucat tampak seperti tak berujung. Hujan juga masih menari di balik kaca jendela, seolah ingin ikut menyaksikan kekacauan yang terjadi. Pintu ruang rawat ayahnya sudah terbuka saat dia tiba di sana. Dua perawat dan satu dokter tengah berusaha menahan tubuh sang ayah yang kejang hebat. Selang infus ikut bergoyang, monitor berdetak cepat dan sangat nyaring. Ibu Sania berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan, tubuhnya gemetar dan tangannya menutup mulut seolah menahan jerit. “Bu...!” Sania berbisik lemah, lalu mendekap ibunya erat. Tubuh sang ibu terasa dingin, seperti kehilangan harapan. "Dok... tolong selamatkan Ayah saya!" ucap Sania parau. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong tunggu di luar sebentar!" ucap salah satu perawat. Sania mengangguk meski hatinya ingin mene
“Empat puluh delapan juta?” bisiknya lirih, nyaris tak percaya saat membaca laporan itu. Dia berdiri terpaku di depan lobby rumah sakit. Bahkan tangannya sampai gemetar memegang struk pembayaran. Empat puluh delapan juta untuk biaya cuci darah, rawat inap, dan obat-obatan. Uang dari mana? Sementara di dompetnya hanya tersisa uang dua ratus ribu. Di rekening? Bahkan lebih miris. Gadis itu bernama Sania Maheswari, berusia 21 tahun, seorang mahasiswi jurusan desain grafis di Universitas Tritunggal. Di umur yang baru menginjak dewasa, pundaknya sudah menanggung beban yang seolah lebih berat dark pada usianya. Meskipun kedua orang tuanya masih lengkap, namun ayahnya kini terbaring lemah dengan kondisi gagal ginjal kronis yang membuatnya harus berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, apa lagi ibunya juga hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Jadi, harapan satu-satunya hanyalah dirinya. Dia mendongak, berusaha menahan tangisnya. Saat itu, baru menyadari bahwa ses