Pagi itu, rumah besar milik Haikal Mahendra ramai dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian rapi. Beberapa membawa koper besar, hanger berisi gaun, dan peralatan make-up profesional. Sania berdiri mematung di depan cermin, mengenakan kemeja putih longgar dan celana kain sederhana. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya sembab sebab dia susah tidur semalaman.
Tok ... Tok ... Tok ... Evana masuk ke kamar Sania setelah mengetuk pintu. “Pagi, Nona Sania. Tim dari bridal sudah datang. Kita akan mulai dengan fitting gaun pernikahan, lalu lanjut sesi foto di lantai dua dan outdoor setelah makan siang,” jelas Evana mengenai rangkaian kegiatan hari ini. Sania mengangguk pelan. “Baik, terima kasih, Bu,” sahut Sania. “Maaf, kamu bisa memanggilku Evana saja, Nona Sania,” ucap Evana dengan lembut. Sania mengangguk mengerti. Sania berjalan mengikuti Evana dan saat melewati lorong dekat kamar, Evana sempat berkata santai. “Jam tua di ruang kerja Tuan Haikal memang suka berdentang tengah malam. Hal itu sudah biasa dan kamu pasti mendengarnya semalam.” "Iya, aku memang mendengarnya," sahut Sania. Tapi, Sania tidak yakin karena yang dia dengar malam tadi, terdengar seperti lebih dari sekadar suara jam. Sania dibawa ke sebuah ruangan yang tampak seperti walk in closet pribadi berisi beberapa potong gaun yang tergantung rapi di gantungan. Desainer langsung menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Mbak Sania! Kita sudah siapkan beberapa pilihan dari desainer utama. Karena ini pernikahan semi-formal, kami siapkan gaun yang elegan tapi tetap lembut,” ucap desainer itu dengan ramah. Sania mengangguk, mencoba tersenyum. Dia diarahkan untuk mencoba mengenakan gaun pertama, sebuah gaun putih gading dengan detail renda di bahu, dia tak bisa menahan perasaan asing yang muncul dari pantulan di cermin. “Aku seperti sedang menyamar jadi orang lain,” pikirnya. “Bagian pinggang akan kami sempitkan sedikit. Lalu, bagian lengan mungkin perlu tambahan tulle agar lebih anggun,” kata desainer itu. Sania mengangguk, lalu berdiri di atas podium kecil, menatap dirinya sendiri di cermin. Meski sudah melihat gaun ini sebelumnya, rasa canggungnya belum benar-benar hilang. Di balik gaun yang tampak sempurna itu, ada gadis yang merasa seperti sedang menyamar jadi tuan putri kerajaan. Tak lama kemudian, stylist menyodorkan gaun kedua, gaun warna putih bersih lembut, dihiasi mutiara kecil yang tersebar lembut di bagian dada hingga lengan. Saat Sania mengenakannya, seluruh ruangan mendadak senyap. “Luar biasa,” ucap stylist sambil menahan napas. “Gaun ini seperti dibuat untuk Mbak Sania. Potongannya jatuh pas di tubuh Mbak Sania. Elegan, tapi tetap sederhana,” pujinya saat melihat Sania. Sania hanya menatap bayangannya sendiri. Gaun itu indah, tapi bukan miliknya, bukan dari cintanya. Kemudian datanglah gaun ketiga, yang paling sederhana di antara ketiganya. Berwarna cokelat muda, model minimalis tanpa terlalu banyak detail, dengan pita satin di pinggang dan lengan panjang yang jatuh lembut ke pergelangan tangan. Sania menyentuh bagian dadanya sendiri perlahan saat memakainya. “Aku, suka ini,” ucapnya dengan suara nyaris berbisik. Stylist mengangguk. “Gaun ini memang paling mencerminkan pribadi Mbak Sania. Lembut, tidak mencolok, tapi anggun.” Sania memandangi dirinya lebih lama kali ini. Untuk sesaat, dia membayangkan ayahnya duduk di barisan depan, ibunya menangis bahagia dan dirinya berjalan ke pelaminan karena cinta, bukan karena kontrak. Tapi bayangan itu segera lenyap. “Kalau harus memilih satu, mana yang akan Mbak Sania pilih?” tanya stylist. Sania tersenyum tipis, tapi matanya berkaca-kaca. “Ambil semuanya bisa? Yang kedua dan terakhir untuk foto, yang pertama untuk hari pernikahan. Semua yang ada di ruangan tampak lega. Setelah memilih gaun, Sania diarahkan ke kursi rias oleh tim make-up artist yang sudah bersiap di sudut ruangan. Lampu studio dipasang dengan posisi sempurna. Cermin besar di hadapannya dikelilingi bohlam bulat-bulat seperti yang biasa terlihat di belakang panggung mode. “Make-up hari ini akan soft glam ya, Mbak Sania,” ucap make-up artist sambil tersenyum. “Biar cocok dengan tema semi-formal dan tetap mencerminkan karakter lembut Mbak Sania.” Sania hanya mengangguk, pasrah. Sejujurnya, dia tidak tahu bagaimana rupa dirinya ketika didandani seperti ini. Wajahnya pelan-pelan diubah, alis dirapikan, bulu mata dilentikkan dan pipinya diberi warna merah muda yang halus. Sementara itu, hatinya terus menggumam, Apakah semua ini benar-benar untukku? Ketika sedang merapikan hijabnya, seorang kru dari tim foto masuk dengan membawa kamera. “Sebentar lagi kita mulai untuk sesi foto indoor ya. Tuan Haikal sudah menunggu di lantai dua,” ucapnya sambil tersenyum. Sania refleks menoleh. “Dia ikut prewedding juga?” pertanyaan konyol yang keluar dari mulut mungil Sania. “Ya, tentu,” jawab kru itu ringan. “Sesi couple untuk dokumentasi pribadi.” Sania menarik napas. Dia kira hanya akan difoto sendiri. Tapi tentu saja berdua, ini pernikahan meskipun hanya di atas kertas. Setelah semua siap, Sania mengenakan gaun kedua yang sudah disesuaikan tadi. Dia melangkah pelan ke lantai dua yang sudah diubah menjadi studio kecil berkonsep klasik dengan background kain abu-abu lembut, lampu studio besar dan sebuah kursi klasik di tengah ruangan. Haikal sudah duduk di sana, mengenakan kemeja putih dengan jas putih dan dasi hitam. Saat menoleh dan melihat Sania, ekspresinya tetap tenang, tapi matanya menatap sedikit lebih lama. “Kamu, cocok memakai gaun itu,” katanya singkat. “Terima kasih,” jawab Sania. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Fotografer mengarahkan mereka ke posisi awal. Di sesi pertama, mereka diminta berdiri berdampingan, namun tangan tidak saling menyentuh, hanya menatap ke arah kamera. Sania merasa seperti boneka yang diarahkan untuk terlihat bahagia. Lalu pose berikutnya lebih dekat. Haikal berdiri di sampingnya, tangannya menyentuh lengan Sania dan Sania diminta sedikit bersandar. Saat itu, Sania bisa mencium samar aroma parfum maskulin dari pria di sampingnya, dingin, bersih dan sedikit asing. “Pandangan ke satu sama lain, ya. Jangan terlalu tegang,” kata fotografer sambil tertawa kecil. Sania menatap mata Haikal. Pria itu tetap tenang, seperti biasa. Tapi untuk sesaat, tatapan mereka bertemu dan ada jeda di mana tak satu pun dari mereka bicara. Klik. “Bagus sekali!” seru fotografer. “Ekspresinya sangat natural.” Sania menunduk cepat, sedikit merasa malu. Setelah sesi indoor selesai, mereka beristirahat sebentar untuk makan siang. Sania duduk sendirian di ruang tengah, menyendok sup perlahan, sementara tim menyiapkan lokasi outdoor di taman belakang. Evana menghampiri sambil membawa map kecil. “Jadwal sore ini hanya sesi santai di taman. Tema rustic. Nona Sania akan mengenakan gaun yang sudah disiapkan dan Tuan Haikal berganti dengan setelan cokelat muda.” Evana menjelaskan pada Sania. Tema kedua memang sudah khusus dan untuk gaun sudah di pilihkan sebelumnya. Sania mengangguk. Dia masih merasa asing mendengar dirinya dipanggil dengan nama depan disertai “Nona”, seperti tokoh dalam novel. Sebelum kembali ke ruang rias, Haikal sempat lewat dan menghentikan langkahnya sejenak di hadapan Sania. “Kamu kelihatan lelah.” Sania tersenyum kecil. “Biasa saja.” Haikal menatapnya, lalu berkata pelan, “Kalau kamu butuh waktu untuk istirahat sebentar, bilang saja. Aku tidak memaksa semuanya selesai hari ini.” Sania terdiam. Itu pertama kalinya Haikal terdengar sedikit manusiawi. Tapi, dia tetap mengangguk saja dan berkata, “Saya baik-baik saja.” Sania menatap punggung Haikal yang mulai menjauh. Untuk pertama kalinya, pria itu tidak terdengar seperti majikan, tapi lebih seperti seseorang yang bisa peduli. Sania membatin, "Apa dia memiliki sisi lain...?" Kemudian dengan cepat Sania menghilangkan pemikiran itu, namun dalam hatinya, Sania masih bertanya-tanya."Pagi itu, rumah besar milik Haikal Mahendra ramai dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian rapi. Beberapa membawa koper besar, hanger berisi gaun, dan peralatan make-up profesional. Sania berdiri mematung di depan cermin, mengenakan kemeja putih longgar dan celana kain sederhana. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya sembab sebab dia susah tidur semalaman. Tok ... Tok ... Tok ... Evana masuk ke kamar Sania setelah mengetuk pintu. “Pagi, Nona Sania. Tim dari bridal sudah datang. Kita akan mulai dengan fitting gaun pernikahan, lalu lanjut sesi foto di lantai dua dan outdoor setelah makan siang,” jelas Evana mengenai rangkaian kegiatan hari ini. Sania mengangguk pelan. “Baik, terima kasih, Bu,” sahut Sania. “Maaf, kamu bisa memanggilku Evana saja, Nona Sania,” ucap Evana dengan lembut. Sania mengangguk mengerti. Sania berjalan mengikuti Evana dan saat melewati lorong dekat kamar, Evana sempat berkata santai. “Jam tua di ruang kerja Tuan Haikal memang suka berdentang tengah ma
Sania berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Gaun santai berwarna biru tua yang dia temukan tergantung di lemari, tampak terlalu elegan untuk sekadar menghadiri makan malam. Tapi, setelah ragu beberapa saat, dia tetap memakainya. Mungkin pakaian itu memang sudah disiapkan untuknya. Wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan pelembap bibir yang dia oleskan terburu-buru. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun dengan warna hijab yang senada. Pukul tujuh tepat, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. “Masuk,” ucap Sania. Evana masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa. “Ruang makan ada di lantai bawah, Tuan Haikal sudah menunggu. Mari saya antar," ucap Evana datar. Sania mengangguk dan mengikuti wanita itu menuruni tangga yang lebar. Langkahnya terasa berat, seperti hendak menghadiri wawancara kerja, bukan hanya sekadar makan malam. Tapi, memang begitulah segala hal di rumah ini, terasa seperti ujian bahkan untuk sekedar bernapas. Ruang makan berada d
Sania kembali ke rumah sakit, membawa satu keputusan besar yang terasa lebih berat dari pada koper kecil di tangannya. Lorong rumah sakit itu tampak lebih sepi dibanding kemarin, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang justru semakin bertambah. Dia melangkah perlahan ke ruang rawat ayahnya, berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang terpikirkan di kepalanya mengenai kabar besar yang akan dia sampaikan. Dengan ragu dia menggenggam handle pintu lalu membukanya. Ibunya terlihat tengah duduk di samping tempat tidur sang ayah, mengusap tangan kurus yang terbaring lemah di sana. Ayah Sania tampak lebih tenang hari ini, meskipun wajahnya masih pucat. “Ibu... Ayah,” panggil Sania pelan. Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu dari mana? Apa kamu sudah makan, Nak? Dan untuk apa membawa koper kemari?” tanya Bu Salma memperhatikan putrinya dengan bingung. Sania mengangguk, meski kenyataannya perutnya masih kosong. Dia mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, menggengg
Sania melangkakan kakinya cepat, berlari menuju ke ruang rawat ayahnya. Napasnya memburu, dunia terasa kabur oleh air mata dan suara detak jantungnya sendiri. Lorong rumah sakit yang bercat putih pucat tampak seperti tak berujung. Hujan juga masih menari di balik kaca jendela, seolah ingin ikut menyaksikan kekacauan yang terjadi. Pintu ruang rawat ayahnya sudah terbuka saat dia tiba di sana. Dua perawat dan satu dokter tengah berusaha menahan tubuh sang ayah yang kejang hebat. Selang infus ikut bergoyang, monitor berdetak cepat dan sangat nyaring. Ibu Sania berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan, tubuhnya gemetar dan tangannya menutup mulut seolah menahan jerit. “Bu...!” Sania berbisik lemah, lalu mendekap ibunya erat. Tubuh sang ibu terasa dingin, seperti kehilangan harapan. "Dok... tolong selamatkan Ayah saya!" ucap Sania parau. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong tunggu di luar sebentar!" ucap salah satu perawat. Sania mengangguk meski hatinya ingin mene
“Empat puluh delapan juta?” bisiknya lirih, nyaris tak percaya saat membaca laporan itu. Dia berdiri terpaku di depan lobby rumah sakit. Bahkan tangannya sampai gemetar memegang struk pembayaran. Empat puluh delapan juta untuk biaya cuci darah, rawat inap, dan obat-obatan. Uang dari mana? Sementara di dompetnya hanya tersisa uang dua ratus ribu. Di rekening? Bahkan lebih miris. Gadis itu bernama Sania Maheswari, berusia 21 tahun, seorang mahasiswi jurusan desain grafis di Universitas Tritunggal. Di umur yang baru menginjak dewasa, pundaknya sudah menanggung beban yang seolah lebih berat dark pada usianya. Meskipun kedua orang tuanya masih lengkap, namun ayahnya kini terbaring lemah dengan kondisi gagal ginjal kronis yang membuatnya harus berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, apa lagi ibunya juga hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Jadi, harapan satu-satunya hanyalah dirinya. Dia mendongak, berusaha menahan tangisnya. Saat itu, baru menyadari bahwa ses