Sania melangkakan kakinya cepat, berlari menuju ke ruang rawat ayahnya. Napasnya memburu, dunia terasa kabur oleh air mata dan suara detak jantungnya sendiri.
Lorong rumah sakit yang bercat putih pucat tampak seperti tak berujung. Hujan juga masih menari di balik kaca jendela, seolah ingin ikut menyaksikan kekacauan yang terjadi. Pintu ruang rawat ayahnya sudah terbuka saat dia tiba di sana. Dua perawat dan satu dokter tengah berusaha menahan tubuh sang ayah yang kejang hebat. Selang infus ikut bergoyang, monitor berdetak cepat dan sangat nyaring. Ibu Sania berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan, tubuhnya gemetar dan tangannya menutup mulut seolah menahan jerit. “Bu...!” Sania berbisik lemah, lalu mendekap ibunya erat. Tubuh sang ibu terasa dingin, seperti kehilangan harapan. "Dok... tolong selamatkan Ayah saya!" ucap Sania parau. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong tunggu di luar sebentar!" ucap salah satu perawat. Sania mengangguk meski hatinya ingin menerobos masuk. Dia dan ibunya akhirnya keluar, berdiri di balik kaca kecil bulat yang terdapat di pintu. Mereka hanya bisa menatap dengan pasrah, berharap keajaiban terjadi. Sania terus merapalkan doa-doa untuk kebaikan ayahnya. Bahkan pandangan matanya tak beralih dari sang ayah. Hingga, setengah jam kemudian, dokter keluar dengan ekspresi serius. “Kami berhasil menstabilkan kondisi pasien untuk saat ini. Tapi, ginjalnya sudah sangat lemah. Jika tidak segera dilakukan tindakan lanjutan, kemungkinan kejang akan berulang dan bisa berakibat fatal,” ucap Dokter memberitahu Sania dan ibunya. Sania memegang tangan ibunya erat-erat. Wanita itu hanya mengangguk pelan, matanya sudah bengkak karena menangis terlalu lama. “Kita harus mencari jalan lain untuk menyembuhkan ayahmu, Sania,” bisik ibunya. "Dia tidak bisa menunggu lebih lama." sambungnya. Sania mengangguk pelan. Dia tahu itu dan di dalam hatinya, hanya ada satu nama yang kini terngiang di kepalanya, Haikal Mahendra. Langit Jakarta masih terlihat gelap hingga sore hari. Hujan tak kunjung reda dan udara terasa semakin dingin seolah menekan Sania. Di sudut ruang tunggu rumah sakit, dia duduk memeluk lutut, dengan tubuh berselimut jaket lusuh. Ibunya tertidur di kursi sebelah, dengan wajah yang masih sembab. Sania tidak tega melihat ibunya yang terlihat sangat lelah. Sania menatap layar ponselnya. Jari jemarinya gemetar saat membuka dompet kecil dan mengeluarkan kartu nama yang baru saja dia terima tadi, tulisan elegan di atasnya membuat jantungnya berdebar lebih keras daripada sebelumnya. “Haikal A. Mahendra” CEO Mahendra Group Kontak pribadi: 08xxxxx Alamat kantor: Jl. Gatot Subroto No. Xx "Apa aku benar-benar harus melakukan ini?" bisik Sania dalam hati. Dia memejamkan mata, mengingat tatapan Haikal yang dingin namun tak main-main. Mengingat kata-katanya, “Aku tidak percaya cinta. Jadi, jangan pernah berharap aku akan mencintaimu.” Sania menahan napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia mengusap air mata terakhir yang sempat tumpah, lalu akhirnya perlahan memencet tombol hijau di ponselnya. Bunyi nada sambung terdengar berkali-kali membuat jantung Sania berdetak seperti genderang perang. Sampai akhirnya suara berat dari telepon mulai terdengar. “Halo?” Suara yang terdengar datar dan tenang, namun tanpa basa-basi. Sania menelan ludah. “Sa-saya ... Sania Maheswari,” ucap Sania sedikit gugup. Diam dan hening sebelum akhirnya Sania mengatakan, “saya yang di rumah sakit tadi. Yang Bapak tawari pernikahan itu.” Haikal tak langsung menjawab. Seolah menunggu Sania mengatakan sendiri tujuannya. “Saya ... saya setuju,” ucapnya lirih. “Saya akan menikah dengan Anda.” Masih hening beberapa detik. “Baiklah, saya tidak menyangka jika kamu akan setuju dalam waktu singkat,” ujar Haikal akhirnya. “Datanglah besok pukul sembilan pagi ke kantor saya. Kita akan tandatangani kontraknya. Pastikan kamu datang tepat waktu!” Tuuttt ... Sambungan terputus. Sania menatap layar ponselnya lama. Tidak ada kalimat manis, tidak ada kata-kata simpati, hanya kesepakatan dingin. Tapi, hal itu satu-satunya harapan untuk menyelamatkan ayahnya. Sania meremas kartu nama itu erat-erat, lalu menoleh ke ibunya yang masih tertidur. “Ayah akan sembuh, Bu. Aku janji,” bisiknya lirih, setengah kepada ibunya, setengah kepada dirinya sendiri. Keesokan harinya, Sania pergi ke gedung Mahendra Group sesuai dengan janjinya kemarin. Gedung yang menjulang tinggi seperti istana kaca, Sania berdiri dengan gugup di depan pintu masuk utama dengan balutan kemeja putih dan rok hitam, serta jilbab berwarna senada yang dia pinjam dari Rania, temannya. Seketika rasa kecil menyergapnya. Orang-orang berlalu-lalang dengan jas mahal dan parfum kelas atas. Sementara dia, hanya gadis biasa dari keluarga sederhana yang hendak menikah dengan seorang CEO ternama dalam pernikahan yang bahkan bukan pernikahan sungguhan. Saat dia masuk ke lobi, seorang pegawai keamanan langsung menghampirinya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan. “Saya, Sania Maheswari, Pak. Ada janji dengan Pak Haikal Mahendra,” jawab Sania. Petugas itu menatapnya sekali, lalu memanggil seseorang melalui interkom. Tak lama kemudian, seorang wanita elegan dengan blazer hitam datang menghampiri Sania. Dia, Evana, sekretaris pribadi Haikal. “Silakan ikut saya. Pak Haikal sudah menunggu!” ucapnya datar, tanpa senyum. Sania mengangguk kecil dan mengikuti wanita itu melewati lorong kantor yang berdesain mewah. Saat pintu lift terbuka di lantai tertinggi, napas Sania tercekat. Di sanalah, Haikal, berdiri di balik meja kaca besar dengan pemandangan kota Jakarta yang membentang di belakangnya. Setelan jas abu gelap, rambut disisir rapi dan ekspresi datar seperti patung. “Duduklah!” perintahnya. Tanpa basa-basi, Dia mendorong kertas kontrak yang telah di susun rapi ke arah Sania. “Itu kontraknya. Silahkan kamu baca baik-baik! Tidak ada cinta, tidak boleh mencampuri urusan pribadi, tidak ada hubungan fisik, kecuali keperluan publikasi, dan tidak ada hak waris. Hanya pernikahan administratif. Kamu akan tinggal di rumah saya, ikut dalam acara publik sebagai istri saya, dan setelah tiga belas bulan, kita akan bercerai. Kamu akan mendapatkan imbalan sejumlah uang yang dibayarkan setiap bulan serta biaya pengobatan ayahmu yang sepenuhnya sudah ditanggung.” Sania menatapnya. “Kenapa kau begitu yakin aku akan setuju dengan semua ini?” Haikal menatap balik, datar. “Karena kamu tipe perempuan yang tahu kapan harus berjuang dan kapan harus menyerah.” Sania meraih pulpen, menandatangani kontrak. Dan saat tinta itu menempel di atas kertas, dia tahu, hidupnya baru saja berubah mungkin untuk selamanya. Haikal mengambil kembali kertas itu, menandatanganinya juga tanpa ekspresi. Kemudian dia berdiri dan menatap Sania. “Selamat datang di dunia yang tidak percaya pada cinta!” Haikal terlihat menghubungi seseorang melalui telepon kantor. “Siapkan rencana pernikahan dalam tujuh hari ke depan. Pastikan semua media tahu bahwa saya akan menikah!" Sania hanya bisa menatap kosong ke depan. Tujuh hari lagi, Sania akan berdiri di pelaminan, bukan karena cinta, tapi karena pilihan yang mematahkan hatinya sendiri. Tujuh hari lagi? Apa dia gila? Batin Sania.Pagi itu, rumah besar milik Haikal Mahendra ramai dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian rapi. Beberapa membawa koper besar, hanger berisi gaun, dan peralatan make-up profesional. Sania berdiri mematung di depan cermin, mengenakan kemeja putih longgar dan celana kain sederhana. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya sembab sebab dia susah tidur semalaman. Tok ... Tok ... Tok ... Evana masuk ke kamar Sania setelah mengetuk pintu. “Pagi, Nona Sania. Tim dari bridal sudah datang. Kita akan mulai dengan fitting gaun pernikahan, lalu lanjut sesi foto di lantai dua dan outdoor setelah makan siang,” jelas Evana mengenai rangkaian kegiatan hari ini. Sania mengangguk pelan. “Baik, terima kasih, Bu,” sahut Sania. “Maaf, kamu bisa memanggilku Evana saja, Nona Sania,” ucap Evana dengan lembut. Sania mengangguk mengerti. Sania berjalan mengikuti Evana dan saat melewati lorong dekat kamar, Evana sempat berkata santai. “Jam tua di ruang kerja Tuan Haikal memang suka berdentang tengah ma
Sania berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Gaun santai berwarna biru tua yang dia temukan tergantung di lemari, tampak terlalu elegan untuk sekadar menghadiri makan malam. Tapi, setelah ragu beberapa saat, dia tetap memakainya. Mungkin pakaian itu memang sudah disiapkan untuknya. Wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan pelembap bibir yang dia oleskan terburu-buru. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun dengan warna hijab yang senada. Pukul tujuh tepat, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. “Masuk,” ucap Sania. Evana masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa. “Ruang makan ada di lantai bawah, Tuan Haikal sudah menunggu. Mari saya antar," ucap Evana datar. Sania mengangguk dan mengikuti wanita itu menuruni tangga yang lebar. Langkahnya terasa berat, seperti hendak menghadiri wawancara kerja, bukan hanya sekadar makan malam. Tapi, memang begitulah segala hal di rumah ini, terasa seperti ujian bahkan untuk sekedar bernapas. Ruang makan berada d
Sania kembali ke rumah sakit, membawa satu keputusan besar yang terasa lebih berat dari pada koper kecil di tangannya. Lorong rumah sakit itu tampak lebih sepi dibanding kemarin, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang justru semakin bertambah. Dia melangkah perlahan ke ruang rawat ayahnya, berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang terpikirkan di kepalanya mengenai kabar besar yang akan dia sampaikan. Dengan ragu dia menggenggam handle pintu lalu membukanya. Ibunya terlihat tengah duduk di samping tempat tidur sang ayah, mengusap tangan kurus yang terbaring lemah di sana. Ayah Sania tampak lebih tenang hari ini, meskipun wajahnya masih pucat. “Ibu... Ayah,” panggil Sania pelan. Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu dari mana? Apa kamu sudah makan, Nak? Dan untuk apa membawa koper kemari?” tanya Bu Salma memperhatikan putrinya dengan bingung. Sania mengangguk, meski kenyataannya perutnya masih kosong. Dia mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, menggengg
Sania melangkakan kakinya cepat, berlari menuju ke ruang rawat ayahnya. Napasnya memburu, dunia terasa kabur oleh air mata dan suara detak jantungnya sendiri. Lorong rumah sakit yang bercat putih pucat tampak seperti tak berujung. Hujan juga masih menari di balik kaca jendela, seolah ingin ikut menyaksikan kekacauan yang terjadi. Pintu ruang rawat ayahnya sudah terbuka saat dia tiba di sana. Dua perawat dan satu dokter tengah berusaha menahan tubuh sang ayah yang kejang hebat. Selang infus ikut bergoyang, monitor berdetak cepat dan sangat nyaring. Ibu Sania berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan, tubuhnya gemetar dan tangannya menutup mulut seolah menahan jerit. “Bu...!” Sania berbisik lemah, lalu mendekap ibunya erat. Tubuh sang ibu terasa dingin, seperti kehilangan harapan. "Dok... tolong selamatkan Ayah saya!" ucap Sania parau. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong tunggu di luar sebentar!" ucap salah satu perawat. Sania mengangguk meski hatinya ingin mene
“Empat puluh delapan juta?” bisiknya lirih, nyaris tak percaya saat membaca laporan itu. Dia berdiri terpaku di depan lobby rumah sakit. Bahkan tangannya sampai gemetar memegang struk pembayaran. Empat puluh delapan juta untuk biaya cuci darah, rawat inap, dan obat-obatan. Uang dari mana? Sementara di dompetnya hanya tersisa uang dua ratus ribu. Di rekening? Bahkan lebih miris. Gadis itu bernama Sania Maheswari, berusia 21 tahun, seorang mahasiswi jurusan desain grafis di Universitas Tritunggal. Di umur yang baru menginjak dewasa, pundaknya sudah menanggung beban yang seolah lebih berat dark pada usianya. Meskipun kedua orang tuanya masih lengkap, namun ayahnya kini terbaring lemah dengan kondisi gagal ginjal kronis yang membuatnya harus berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, apa lagi ibunya juga hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Jadi, harapan satu-satunya hanyalah dirinya. Dia mendongak, berusaha menahan tangisnya. Saat itu, baru menyadari bahwa ses