Share

Bab 3. Dimensi Lain

Penulis: Love Qita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 11:58:41

Sania kembali ke rumah sakit, membawa satu keputusan besar yang terasa lebih berat dari pada koper kecil di tangannya. Lorong rumah sakit itu tampak lebih sepi dibanding kemarin, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang justru semakin bertambah. Dia melangkah perlahan ke ruang rawat ayahnya, berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang terpikirkan di kepalanya mengenai kabar besar yang akan dia sampaikan.

Dengan ragu dia menggenggam handle pintu lalu membukanya. Ibunya terlihat tengah duduk di samping tempat tidur sang ayah, mengusap tangan kurus yang terbaring lemah di sana. Ayah Sania tampak lebih tenang hari ini, meskipun wajahnya masih pucat.

“Ibu... Ayah,” panggil Sania pelan.

Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu dari mana? Apa kamu sudah makan, Nak? Dan untuk apa membawa koper kemari?” tanya Bu Salma memperhatikan putrinya dengan bingung.

Sania mengangguk, meski kenyataannya perutnya masih kosong. Dia mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, menggenggam tangan ayahnya yang dingin.

“Ayah, Ibu ...,” ucap Sania pelan, jantungnya berdetak lebih cepat. “Sania akan menikah dan hari ini Sania akan pergi ke rumah mereka untuk persiapan pernikahan,” jawab Sania.

Ibunya langsung menatapnya penuh keterkejutan. Ayahnya pun membuka mata perlahan, menoleh ke arahnya dengan dahi mengernyit.

“Menikah?” suara ibunya hampir tak terdengar. “Dengan siapa, Sayang?” tanya Ibunya bingung.

Selama ini Beliau tidak pernah mendengar jika Sania memiliki rencana menikah bahkan tidak pernah tau jika dia sudah memiliki kekasih.

Sania menelan ludah. “Namanya Haikal Mahendra. Kami saling kenal melalui pekerjaan,” jawabnya hati-hati. “Pernikahannya akan dilangsungkan dalam beberapa hari ke depan,” sambungnya.

“Kamu yakin, San? Ini mendadak sekali. Apa kamu benar-benar siap? Dan ayahmu juga masih belum keluar dari sini,” tanya sang ibu dengan mata yang mulai basah.

Sania tersenyum kecil, meski jiwanya terasa bergetar. “Aku sudah mempertimbangkannya, Bu. Ini keputusan yang sudah aku ambil dengan sadar," jawab Sania.

Ayahnya mencoba berbicara, suaranya terdengar parau. “Kamu mencintainya?”

Sania terdiam, tenggorokannya tercekat. “Yang penting dia baik, Yah. Dia mau membantu pengobatan Ayah dan dia mau menjagaku. Aku akan baik-baik saja.”

Ibunya menggenggam tangannya. “Kalau begitu, kami akan mendukungmu. Selama keputusanmu bukan karena paksaan,” ucap Bu Salma menyetujui keputusan Sania.

Sania mengangguk cepat, menunduk dan menyembunyikan air matanya supaya tidak terlihat. Pernikahan ini bukan paksaan, tapi juga bukan kebebasan. Semua ini adalah pilihan, pilihan paling pahit yang harus dia telan sendiri.

“Ayah ….” Sania menoleh ke pria yang dulu selalu menjadi pelindungnya. “Nanti saat hari pernikahan, Ayah, mau jadi wali nikahku, kan?” tanya Sania lembut.

Ayahnya tersenyum lemah, tapi tulus. “Kapan pun kamu butuh, Ayah akan ada di sana," jawab Ayahnya, meskipun dengan kondisi yang belum memungkinkan, tapi demi sang putri, Beliau akan mengusahakannya.

Sania menggigit bibir bawahnya, menahan sesak. Dia menunduk dan mencium punggung tangan ayahnya.

“Terima kasih, Yah, Bu. Aku janji, aku akan baik-baik saja.”

Mereka saling terdiam, membiarkan air mata turun perlahan tanpa suara. Hari ini, Sania akhirnya menyampaikan kabar tentang pernikahan yang tak biasa, tanpa mengucapkan satu pun tentang kata “kontrak” ataupun “kesepakatan”. Hanya janji bahwa dia akan baik-baik saja. Dan bagi orang tua Sania, itu sudah cukup.

*

Sania berdiri mematung di dalam kamar luas bernuansa krem dan coklat tua. Jendela besar dengan tirai yang tebal dan semua furniture di dalam ruangan itu tampak mahal. Tapi, semua kemewahan itu justru membuat Sania merasa lebih asing dari sebelumnya.

“Ini kamarmu untuk sementara,” ucap Evana singkat saat mengantarnya ke rumah pribadi Haikal yang berada di kawasan perumahan elit.

Rumah itu lebih menyerupai vila modern tiga lantai dengan halaman belakang yang luas dan kolam renang. Sejak menandatangani kontrak pagi tadi, hidup Sania seakan berpindah dimensi. Belum genap 24 jam, tapi dia sudah tidak lagi berada di dunianya yang sebelumnya.

“Silakan beristirahat, saya permisi keluar,” ucap Evana datar sebelum menutup pintu kamar. Wanita itu tampak terlalu sempurna, rambut tertata rapi dan cantik, jas pas badan dan suaranya yang tenang.

Saat pintu tertutup, Sania menghembuskan napas panjang. Napas yang sejak tadi terasa tersangkut di tenggorokannya.

Sania pun membuka koper kecilnya dan mengeluarkan beberapa potong pakaian yang dia bawa. Tidak ada yang istimewa, hanya kaos panjang polos, celana longgar dan satu cardigan lusuh. Semuanya terasa bertolak belakang di tengah ruangan yang penuh furnitur mewah.

Dia pun duduk di tepi ranjang, menekan kasur empuk dengan ujung jarinya. “Kasur selembut ini, pasti bikin malas bangun. Mungkin ini cara mereka mengurungku dengan manis,” katanya pelan.

Tok ... tok ... tok

Sania tersentak dari lamunannya saat mendengar pintu diketuk dari luar. “Masuk!” sahutnya cepat, namun pelan.

Haikal muncul di ambang pintu. Masih mengenakan setelan jas rapi, lengkap dengan aura 'bos galak'. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Mata gelap dan tajam seperti baru keluar dari pertemuan penting.

“Evana sudah memberikanmu jadwal minggu ini?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Sania bangkit dan mengangguk. “Sudah, sebagian. Tapi, saya belum sempat mempelajari semuanya,” jawab Sania.

“Pelajari malam ini, kita akan mulai besok pagi dengan jadwal padat!” ucap Haikal tegas.

Haikal melangkah masuk beberapa langkah. Tidak terlalu dekat , hanya berdiri di tengah ruangan, seolah sedang mengamati makhluk aneh yang ada di depannya saat ini.

“Pernikahan akan diadakan di Hotel Raffles, tujuh hari lagi. Tidak banyak tamu, hanya keluarga besar dan media. Semuanya simbolik, tapi kesan ‘pernikahan romantis’ harus sempurna,” sambungnya memberitahu Sania.

Sania menunduk pelan. “Saya mengerti,” jawabnya, lalu menambahkan dalam hati, “Cinta palsu, tapi menuntut pernikahan romantis.”

Haikal mengamati wajah gadis itu beberapa detik. Tidak ada air mata, tapi dia tahu jika rasa lelah dan tekanan itu nyata ada padanya.

“Kamu boleh tetap menggunakan nama aslimu, Sania. Tidak perlu mengganti identitas,” ucapnya kemudian. “Tapi ingat satu hal, Sania, jangan pernah mengacaukan kesepakatan karena ini perjanjian bisnis!”

Sania mengangguk. “Saya tidak akan mengacaukan apa pun,” ucapnya yakin.

“Baik,” sahut Haikal. “Besok pagi pukul sembilan, fitting gaun. Aku akan ikut sekalian untuk foto prewedding. Kita harus tampil meyakinkan.”

Sania nyaris ingin bertanya, kenapa pria seperti Haikal melakukan ini semua. Tapi dia tahu, tidak akan ada jawaban yang memuaskan. Atau mungkin, dia bahkan takkan menjawab sama sekali.

Haikal berbalik badan akan pergi dari kamar yang menjadi milik Sania untuk sementara. Tapi sebelum keluar, dia menambahkan, “Makan malam jam tujuh. Evana akan memberitahu lokasi ruang makan.”

Setelah mengatakan itu, Haikal keluar dan pintu tertutup kembali. Sedangkan, Sania masih berdiri mematung di tempat yang sama. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena tatapan Haikal yang menusuk, tapi karena fakta bahwa dalam beberapa hari, dia akan berdiri di pelaminan, bukan dengan pria yang dia cintai, bukan dengan impian masa kecilnya, tapi dengan pria yang nyaris tidak dia kenal.

Perlahan, Sania duduk kembali di ranjang. Tangannya meraih jadwal yang tadi diselipkan Evana ke dalam map kecil. Matanya menelusuri daftar kegiatan yang terlihat seperti kartu ujian nasional.

“Semua ini gila …,” gumamnya lirih setelah membaca keseluruhan jadwal, mulai dari fitting baju, pre-wedding, konferensi pers, gladi bersih dan lainnya.

Sania pun menatap langit-langit kamar. “Oke, Sania. Tarik napas, rileks, dan bersiaplah menjadi aktris dadakan dalam sinetron pernikahan kontrak.”

"Tapi, apakah aku bisa menjadi seperti yang Pak Haikal inginkan?" gumam Sania.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tiga Belas Bulan Bersama   Bab 5. Fitting

    Pagi itu, rumah besar milik Haikal Mahendra ramai dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian rapi. Beberapa membawa koper besar, hanger berisi gaun, dan peralatan make-up profesional. Sania berdiri mematung di depan cermin, mengenakan kemeja putih longgar dan celana kain sederhana. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya sembab sebab dia susah tidur semalaman. Tok ... Tok ... Tok ... Evana masuk ke kamar Sania setelah mengetuk pintu. “Pagi, Nona Sania. Tim dari bridal sudah datang. Kita akan mulai dengan fitting gaun pernikahan, lalu lanjut sesi foto di lantai dua dan outdoor setelah makan siang,” jelas Evana mengenai rangkaian kegiatan hari ini. Sania mengangguk pelan. “Baik, terima kasih, Bu,” sahut Sania. “Maaf, kamu bisa memanggilku Evana saja, Nona Sania,” ucap Evana dengan lembut. Sania mengangguk mengerti. Sania berjalan mengikuti Evana dan saat melewati lorong dekat kamar, Evana sempat berkata santai. “Jam tua di ruang kerja Tuan Haikal memang suka berdentang tengah ma

  • Tiga Belas Bulan Bersama   Bab 4. Malam Panjang

    Sania berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Gaun santai berwarna biru tua yang dia temukan tergantung di lemari, tampak terlalu elegan untuk sekadar menghadiri makan malam. Tapi, setelah ragu beberapa saat, dia tetap memakainya. Mungkin pakaian itu memang sudah disiapkan untuknya. Wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan pelembap bibir yang dia oleskan terburu-buru. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun dengan warna hijab yang senada. Pukul tujuh tepat, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. “Masuk,” ucap Sania. Evana masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa. “Ruang makan ada di lantai bawah, Tuan Haikal sudah menunggu. Mari saya antar," ucap Evana datar. Sania mengangguk dan mengikuti wanita itu menuruni tangga yang lebar. Langkahnya terasa berat, seperti hendak menghadiri wawancara kerja, bukan hanya sekadar makan malam. Tapi, memang begitulah segala hal di rumah ini, terasa seperti ujian bahkan untuk sekedar bernapas. Ruang makan berada d

  • Tiga Belas Bulan Bersama   Bab 3. Dimensi Lain

    Sania kembali ke rumah sakit, membawa satu keputusan besar yang terasa lebih berat dari pada koper kecil di tangannya. Lorong rumah sakit itu tampak lebih sepi dibanding kemarin, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang justru semakin bertambah. Dia melangkah perlahan ke ruang rawat ayahnya, berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang terpikirkan di kepalanya mengenai kabar besar yang akan dia sampaikan. Dengan ragu dia menggenggam handle pintu lalu membukanya. Ibunya terlihat tengah duduk di samping tempat tidur sang ayah, mengusap tangan kurus yang terbaring lemah di sana. Ayah Sania tampak lebih tenang hari ini, meskipun wajahnya masih pucat. “Ibu... Ayah,” panggil Sania pelan. Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu dari mana? Apa kamu sudah makan, Nak? Dan untuk apa membawa koper kemari?” tanya Bu Salma memperhatikan putrinya dengan bingung. Sania mengangguk, meski kenyataannya perutnya masih kosong. Dia mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, menggengg

  • Tiga Belas Bulan Bersama   Bab 2. Kesepakatan

    Sania melangkakan kakinya cepat, berlari menuju ke ruang rawat ayahnya. Napasnya memburu, dunia terasa kabur oleh air mata dan suara detak jantungnya sendiri. Lorong rumah sakit yang bercat putih pucat tampak seperti tak berujung. Hujan juga masih menari di balik kaca jendela, seolah ingin ikut menyaksikan kekacauan yang terjadi. Pintu ruang rawat ayahnya sudah terbuka saat dia tiba di sana. Dua perawat dan satu dokter tengah berusaha menahan tubuh sang ayah yang kejang hebat. Selang infus ikut bergoyang, monitor berdetak cepat dan sangat nyaring. Ibu Sania berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan, tubuhnya gemetar dan tangannya menutup mulut seolah menahan jerit. “Bu...!” Sania berbisik lemah, lalu mendekap ibunya erat. Tubuh sang ibu terasa dingin, seperti kehilangan harapan. "Dok... tolong selamatkan Ayah saya!" ucap Sania parau. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong tunggu di luar sebentar!" ucap salah satu perawat. Sania mengangguk meski hatinya ingin mene

  • Tiga Belas Bulan Bersama   Bab 1. Pertemuan Tak Disangka

    “Empat puluh delapan juta?” bisiknya lirih, nyaris tak percaya saat membaca laporan itu. Dia berdiri terpaku di depan lobby rumah sakit. Bahkan tangannya sampai gemetar memegang struk pembayaran. Empat puluh delapan juta untuk biaya cuci darah, rawat inap, dan obat-obatan. Uang dari mana? Sementara di dompetnya hanya tersisa uang dua ratus ribu. Di rekening? Bahkan lebih miris. Gadis itu bernama Sania Maheswari, berusia 21 tahun, seorang mahasiswi jurusan desain grafis di Universitas Tritunggal. Di umur yang baru menginjak dewasa, pundaknya sudah menanggung beban yang seolah lebih berat dark pada usianya. Meskipun kedua orang tuanya masih lengkap, namun ayahnya kini terbaring lemah dengan kondisi gagal ginjal kronis yang membuatnya harus berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, apa lagi ibunya juga hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Jadi, harapan satu-satunya hanyalah dirinya. Dia mendongak, berusaha menahan tangisnya. Saat itu, baru menyadari bahwa ses

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status