Sania berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Gaun santai berwarna biru tua yang dia temukan tergantung di lemari, tampak terlalu elegan untuk sekadar menghadiri makan malam. Tapi, setelah ragu beberapa saat, dia tetap memakainya. Mungkin pakaian itu memang sudah disiapkan untuknya. Wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan pelembap bibir yang dia oleskan terburu-buru. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun dengan warna hijab yang senada.
Pukul tujuh tepat, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. “Masuk,” ucap Sania. Evana masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa. “Ruang makan ada di lantai bawah, Tuan Haikal sudah menunggu. Mari saya antar," ucap Evana datar. Sania mengangguk dan mengikuti wanita itu menuruni tangga yang lebar. Langkahnya terasa berat, seperti hendak menghadiri wawancara kerja, bukan hanya sekadar makan malam. Tapi, memang begitulah segala hal di rumah ini, terasa seperti ujian bahkan untuk sekedar bernapas. Ruang makan berada di lantai dasar rumah, menghadap ke taman belakang yang diterangi cahaya lampu gantung. Meja panjang dari kayu jati yang dilapisi kaca di penuhi hidangan yang tampak sempurna. Di ujung meja, Haikal duduk sendirian, membaca sesuatu di tabletnya. Saat Sania masuk, dia hanya melirik sekilas. “Duduklah!” ucapnya singkat. Sania menuruti tanpa banyak bertanya. Posisinya duduk agak jauh dari Haikal karena ya, sejujurnya, dia tidak tahu seberapa dekat seharusnya duduk dengan seorang calon suami, yang lebih tepatnya suami kontraknya. Beberapa detik hanya diisi oleh suara alat makan dan denting gelas. Sania meraih sendok sup, mencicipi sedikit, lalu segera meneguk air putih ketika tenggorokannya terasa kering. “Kamu tidak alergi makanan laut, kan?” tanya Haikal tiba-tiba, tanpa menatapnya. Sania menggeleng. “Tidak, semua makanan bisa saya makan,” jawab Sania. Meskipun dia juga jarang makan seafood, tapi dia tidak memiliki alergi. “Bagus. Karena katering pernikahan sudah memilihkan menu seafood untuk meja utama, namun meskipun begitu tetap ada hidangan lain untuk yang tidak berkenan makan seafood,” sambung Haikal menjelaskan. Sania mengangguk menanggapinya. “Baik,” jawab Sania singkat. Hening kembali melingkupi ruangan ketika Haikal tidak lagi bicara. Lampu gantung di atas mereka memancarkan cahaya hangat keemasan. Suasana seharusnya romantis, tapi nyatanya lebih mirip rapat yang canggung dan serius. Haikal pun meletakkan tabletnya, akhirnya menatap langsung ke arah Sania. "Aku tahu situasi ini tidak mudah untukmu,” ucapnya pelan namun tegas. “Tapi aku menghargai komitmenmu. Dan selama kamu menepati tugasmu dalam kesepakatan, aku juga akan menepati tugasku.” Sania menatapnya sejenak. Mata pria itu memang tajam, tapi di baliknya ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan kelembutan, tapi semacam kehati-hatian yang dingin. “Ayah saya satu-satunya alasan saya berada di sini. Dan saya akan berusaha menjalaninya dengan baik demi Beliau,” ucap Sania pelan, hampir seperti berjanji pada dirinya sendiri. Haikal mengangguk. “Itu cukup.” Makan malam berlanjut dalam diam, tapi ketegangan mulai mereda. Sesekali, Sania mencuri pandang ke arah pria itu. Meski wajahnya tak pernah benar-benar tersenyum, tapi caranya memotong makanan, cara dia mengatur waktu makan dengan rapi, semua menunjukkan bahwa hidup Haikal adalah tentang kendali. Sania, sebaliknya, merasa seperti benang yang baru saja ditarik dari gulungan, belum tahu ujungnya ke mana. Tapi malam itu, di balik segala kerumitan yang mereka hadapi, dia sadar bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Dan dalam beberapa hari ke depan, dunia akan menyebutnya sebagai istri Haikal Mahendra. Setelah makan malam selesai, Haikal langsung berdiri tanpa berkata apa-apa dan meninggalkan ruangan. Suara alas sepatunya yang berbenturan dengan lantai menggema di ruangan yang sepi. Sania hanya bisa menatap punggung pria itu sampai menghilang di balik lengkung tangga. Evana masuk tak lama kemudian, membawa map kecil dan mengangguk sopan. “Saya antar kembali ke kamar, Nona Sania,” ucap Evana kini terdengar lebih lembut. Sania mengangguk pelan, lalu mengikuti Evana dengan langkah lesu. Setelah pintu kamar tertutup, keheningan langsung kembali menyergapnya. Dia melepas jilbab dan gaun biru tua itu dengan hati-hati, menggantinya dengan piyama sederhana. Rambutnya dia biarkan tergerai dan sedikit berantakan saat akan tidur. Sania duduk di tepi tempat tidur, menatap koper kecil yang masih terbuka di sudut ruangan. Beberapa pakaian sudah tersusun di lemari, tapi sebagian besar tetap di sana. Mungkin karena dalam hatinya, dia masih belum yakin akan tinggal di sini untuk waktu yang lama. Sania kemudian memandang ke luar jendela. Lampu taman berkelap-kelip dan angin malam menggoyangkan dedaunan. Semuanya terlihat tenang terlalu tenang, seakan rumah ini menyimpan terlalu banyak rahasia. Sania mengambil ponselnya dan membuka galeri. Sebuah foto lawas muncul, dirinya dan sang ayah, duduk di bangku taman dengan tertawa lebar. Wajah ayahnya selalu Sania rindukan, begitu juga dengan ibunya. Sania mengusap layar ponselnya perlahan, lalu mengembuskan napas berat. Baru beberapa jam dia tinggal di rumah mewah itu, namun dia merasa lebih nyaman berada di rumahnya yang sederhana. “Aku di sini karena kamu, Yah. Jangan sakit terlalu lama, ya. Aku nggak tahu seberapa lama bisa bertahan di dunia yang terasa bukan milikku ini,” gumam Sania. Air matanya tak sadar sudah mengalir membasahi pipinya. Sania tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang akan membuat dirinya lemah. Dia pun beranjak menuju meja rias lalu menyisir rambutnya perlahan. Dia benar-benar mengusap air matanya hingga kering dan memandang sejenak dirinya sendiri melalui cermin yang ada di hadapannya. Setelahnya, dia kembali membaringkan diri di atas ranjang empuk yang begitu mewah tapi anehnya, tetap tidak membuatnya merasa nyaman. Dia menatap langit-langit kamar yang tinggi, mendengarkan bunyi samar detik jam dinding. Satu jam ... dua jam berlalu, dia memejamkan matanya kemudian membukanya lagi. Berbalik ke kanan, lalu ke kiri, tapi tak kunjung terlelap. Tempat ini terlalu hening. Terlalu sempurna, seakan-akan setiap detailnya dibentuk untuk memamerkan kekuasaan dan kejauhan dari realita yang biasa dijalani. Sania bangkit, lalu duduk bersandar di sandaran ranjang. Dia meraih ponsel, menyalakannya, lalu mematikan kembali. Tidak tahu harus membuka apa, tidak ada pesan baru, tidak ada yang bisa dihubungi dan tidak ada tempat untuk pulang. Lambat laun, dia menarik lututnya, memeluknya erat sambil bersandar di kepala ranjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang kini tertutup tirai tebal. "Apa aku benar-benar kuat untuk menjalani semua ini?" Di luar sana, dunia mungkin melihat dirinya sebagai calon istri seorang konglomerat. Tapi, di balik dinding kaca mewah dan furnitur mahal, Sania hanyalah gadis muda yang sedang belajar bertahan dari keputusan terbesarnya. Dan malam itu pun berlalu, tanpa tidur, hanya ditemani detak jantung yang gelisah dan pikiran yang terus berbisik bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Namun tepat saat dia memejamkan mata, mencoba berdamai dengan malam, suara pelan terdengar dari balik dinding kamarnya. Bukan detik jam, bukan juga suara angin. Tapi sesuatu, seperti denting halus logam tua, teratur dan pendek. Sania membuka mata lebar-lebar. Dia menajamkan pendengaran, tak lama denting itu muncul lagi, sekali, dua kali. Napasnya tercekat. Dia menoleh ke kanan, ke dinding kamar yang berbatasan langsung dengan lorong. Entah dari mana datangnya suara itu, tapi yang pasti semakin membuat dia kesulitan untuk tidur. Tok … tok … tok. Lalu hening kembali. Sania menunggu, tapi suara itu tak muncul lagi. "Dari mana datangnya suara itu? Tapi, semoga tidak lagi terdengar," batinnya.Pagi itu, rumah besar milik Haikal Mahendra ramai dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian rapi. Beberapa membawa koper besar, hanger berisi gaun, dan peralatan make-up profesional. Sania berdiri mematung di depan cermin, mengenakan kemeja putih longgar dan celana kain sederhana. Wajahnya terlihat segar, tapi matanya sembab sebab dia susah tidur semalaman. Tok ... Tok ... Tok ... Evana masuk ke kamar Sania setelah mengetuk pintu. “Pagi, Nona Sania. Tim dari bridal sudah datang. Kita akan mulai dengan fitting gaun pernikahan, lalu lanjut sesi foto di lantai dua dan outdoor setelah makan siang,” jelas Evana mengenai rangkaian kegiatan hari ini. Sania mengangguk pelan. “Baik, terima kasih, Bu,” sahut Sania. “Maaf, kamu bisa memanggilku Evana saja, Nona Sania,” ucap Evana dengan lembut. Sania mengangguk mengerti. Sania berjalan mengikuti Evana dan saat melewati lorong dekat kamar, Evana sempat berkata santai. “Jam tua di ruang kerja Tuan Haikal memang suka berdentang tengah ma
Sania berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Gaun santai berwarna biru tua yang dia temukan tergantung di lemari, tampak terlalu elegan untuk sekadar menghadiri makan malam. Tapi, setelah ragu beberapa saat, dia tetap memakainya. Mungkin pakaian itu memang sudah disiapkan untuknya. Wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan pelembap bibir yang dia oleskan terburu-buru. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun dengan warna hijab yang senada. Pukul tujuh tepat, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya. “Masuk,” ucap Sania. Evana masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa. “Ruang makan ada di lantai bawah, Tuan Haikal sudah menunggu. Mari saya antar," ucap Evana datar. Sania mengangguk dan mengikuti wanita itu menuruni tangga yang lebar. Langkahnya terasa berat, seperti hendak menghadiri wawancara kerja, bukan hanya sekadar makan malam. Tapi, memang begitulah segala hal di rumah ini, terasa seperti ujian bahkan untuk sekedar bernapas. Ruang makan berada d
Sania kembali ke rumah sakit, membawa satu keputusan besar yang terasa lebih berat dari pada koper kecil di tangannya. Lorong rumah sakit itu tampak lebih sepi dibanding kemarin, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang justru semakin bertambah. Dia melangkah perlahan ke ruang rawat ayahnya, berusaha menyusun kalimat demi kalimat yang terpikirkan di kepalanya mengenai kabar besar yang akan dia sampaikan. Dengan ragu dia menggenggam handle pintu lalu membukanya. Ibunya terlihat tengah duduk di samping tempat tidur sang ayah, mengusap tangan kurus yang terbaring lemah di sana. Ayah Sania tampak lebih tenang hari ini, meskipun wajahnya masih pucat. “Ibu... Ayah,” panggil Sania pelan. Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu dari mana? Apa kamu sudah makan, Nak? Dan untuk apa membawa koper kemari?” tanya Bu Salma memperhatikan putrinya dengan bingung. Sania mengangguk, meski kenyataannya perutnya masih kosong. Dia mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, menggengg
Sania melangkakan kakinya cepat, berlari menuju ke ruang rawat ayahnya. Napasnya memburu, dunia terasa kabur oleh air mata dan suara detak jantungnya sendiri. Lorong rumah sakit yang bercat putih pucat tampak seperti tak berujung. Hujan juga masih menari di balik kaca jendela, seolah ingin ikut menyaksikan kekacauan yang terjadi. Pintu ruang rawat ayahnya sudah terbuka saat dia tiba di sana. Dua perawat dan satu dokter tengah berusaha menahan tubuh sang ayah yang kejang hebat. Selang infus ikut bergoyang, monitor berdetak cepat dan sangat nyaring. Ibu Sania berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan, tubuhnya gemetar dan tangannya menutup mulut seolah menahan jerit. “Bu...!” Sania berbisik lemah, lalu mendekap ibunya erat. Tubuh sang ibu terasa dingin, seperti kehilangan harapan. "Dok... tolong selamatkan Ayah saya!" ucap Sania parau. "Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong tunggu di luar sebentar!" ucap salah satu perawat. Sania mengangguk meski hatinya ingin mene
“Empat puluh delapan juta?” bisiknya lirih, nyaris tak percaya saat membaca laporan itu. Dia berdiri terpaku di depan lobby rumah sakit. Bahkan tangannya sampai gemetar memegang struk pembayaran. Empat puluh delapan juta untuk biaya cuci darah, rawat inap, dan obat-obatan. Uang dari mana? Sementara di dompetnya hanya tersisa uang dua ratus ribu. Di rekening? Bahkan lebih miris. Gadis itu bernama Sania Maheswari, berusia 21 tahun, seorang mahasiswi jurusan desain grafis di Universitas Tritunggal. Di umur yang baru menginjak dewasa, pundaknya sudah menanggung beban yang seolah lebih berat dark pada usianya. Meskipun kedua orang tuanya masih lengkap, namun ayahnya kini terbaring lemah dengan kondisi gagal ginjal kronis yang membuatnya harus berusaha memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, apa lagi ibunya juga hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Jadi, harapan satu-satunya hanyalah dirinya. Dia mendongak, berusaha menahan tangisnya. Saat itu, baru menyadari bahwa ses