Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

Share

Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-06 00:56:04

Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada.

"Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.

Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing.

"Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka punya makanan lezat di sana," ucap Murphy sambil menjilat bibirnya yang kering akibat haus dan kelaparan. Perutnya yang keroncongan seolah menuntut untuk segera diisi.

Sarah dan Laila merasakan hal yang sama. Ini adalah pertama kalinya mereka menghadapi situasi seperti ini, dan semua bekal yang mereka bawa saat melarikan diri dari rumah sudah habis. Kehadiran mereka di desa ini menjadi harapan terakhir untuk mendapatkan perlindungan dan makanan.

"Baiklah. Ayo menuju desa itu. Sudah lama sekali aku tidak pergi ke sana; terakhir kali bersama ayahku saat kecil," ucap Kael, yang berjalan di depan diikuti oleh yang lainnya. Langkahnya mantap, menunjukkan kepercayaan diri yang kuat, tetapi mata tajamnya terus memantau sekitar.

Setelah berjalan waspada selama setengah jam, mereka akhirnya mencapai gerbang sebuah desa yang terlihat sepi dan suram. Suasana desa yang kelam membuat Kael mengerutkan alisnya lebih dalam.

"Kenapa sunyi sekali desa ini? Sepertinya ditinggalkan..." ucap Murphy, yang memandang sekeliling desa yang dikelilingi oleh kebun subur dan asap di beberapa rumah. Asap itu seolah menjadi tanda bahwa masih ada kehidupan, tetapi kesunyian yang mendominasi membuat mereka merasa tidak nyaman.

"Mungkin sudah malam, dan mereka semua berkumpul di rumah. Lagipula ini adalah desa di pinggir hutan, tidak ada banyak hiburan seperti di kota..." sambung Kael dengan curiga, meskipun dia merasakan bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi di sekitar desa.

"Kael, ada sesuatu di sana... Apakah itu makhluk dari hutan purba?" ucap Sarah, yang sejak tadi terdiam namun penuh kewaspadaan. Dia tidak bisa menggunakan mata sihirnya secara terus-menerus, jadi dia harus lebih berhati-hati dan menjaga energinya.

Kael dan Murphy mulai melihat ke arah yang ditunjukkan Sarah, sementara Laila, yang juga merasakan sesuatu, memusatkan telinganya ke arah yang berbeda. Mereka berempat berdiri dalam keheningan, menunggu tanda bahaya yang mungkin tersembunyi.

Kael melihat dengan ekspresi tegang kepada makhluk ghoul yang aneh. "Itu adalah ghoul! Kenapa makhluk itu berada di pinggir hutan purba? Seharusnya mereka berada di kedalaman hutan. Dia juga terlihat berbeda dari ghoul yang aku kenal..."

"Itu benar-benar aneh. Apakah mungkin karena berevolusi? Sekarang kami tahu kenapa suasana desa ini terasa aneh. Makhluk ini adalah penyebabnya..." sambung Murphy, dengan ekspresi tegang, karena mereka belum pernah berhadapan dengan makhluk dari kedalaman hutan purba sebelumnya.

"Apa yang terjadi, Laila? Apakah kamu menemukan sesuatu?!" ucap Sarah, yang mengejutkan Kael dan Murphy. Laila terlihat menggerakkan lengan Sarah sambil menunjukkan ke arah gedung bobrok.

Laila berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, membuat Sarah yang memahaminya mengangguk mengerti, dengan matanya mulai berpendar warna ungu saat melihat ke arah gedung bobrok tersebut.

"Itu memang seperti yang kamu katakan, Laila. Ada aura tersembunyi di bawah tanah. Mungkin warga desa ini bersembunyi dari makhluk ghoul aneh itu?" ucap Sarah, yang membuat Kael dan Murphy juga mengerti.

"Kita harus menemui warga desa dan jangan sampai mengagetkan ghoul itu, karena makhluk ghoul terkenal sulit dibunuh. Ayo perlahan, kita akan mencari tahu kepada kepala desa bagaimana makhluk ghoul itu bisa muncul di sini..." ucap Kael, sambil memimpin mereka berjalan dengan langkah hati-hati.

Sementara itu, makhluk ghoul yang setinggi lebih dari dua meter masih berkeliling seolah mencari mangsanya. Cakar-cakarnya berkilau seperti baja, terus menggores rumah di sekitarnya. Mata merahnya seolah merasakan sesuatu dan melihat ke arah gerbang desa tempat kelompok Kael pertama kali muncul.

"Ini benar-benar tempat yang bagus untuk bersembunyi. Mereka tampaknya sangat ahli dalam bersembunyi, bukan?" ucap Murphy, melihat ke arah sumur yang tersembunyi di dalam gudang bobrok.

"Mereka tinggal di pinggir hutan purba. Jika mereka tidak memiliki kemampuan khusus, apakah kamu yakin desa ini bisa bertahan sampai sekarang? Ayo masuk perlahan, aku akan masuk duluan..." balas Kael, yang melihat ada tangga, tetapi dia melompat ke bawah tanpa menggunakannya.

Teknik Windstep adalah hasil ciptaannya sendiri, yang memungkinkannya mengontrol tubuhnya agar mengapung sejenak di udara. Melompat ke dalam sumur yang tidak diketahui kedalamannya itu tidak menjadi kesulitan baginya.

Setelah mencapai dasar sumur yang dalamnya sekitar 50 meter, Kael mengaktifkan sihir racun dari tiga mayatnya yang memancarkan cahaya hijau kehitaman dengan sedikit keunguan, menerangi bagian dalam sumur.

Ada tiga lorong yang mengarah ke dalam ruang yang tampak sengaja dibuat untuk menyulitkan seseorang menemukannya. Saat Kael berkeliling, Sarah dan Laila juga tiba di bawah, diikuti Murphy yang datang terakhir.

"Jadi, kita harus lewat lorong mana? Apakah ini semacam teka-teki yang harus dipecahkan? Aku sudah sangat lapar; semoga mereka punya makanan di sini..." ucap Murphy, menggosok perutnya yang seolah kosong.

"Aku juga berharap begitu. Yang penting, kita harus menemukan mereka lebih dulu. Sarah? Apakah kamu menemukan sesuatu? Ke arah mana kita harus pergi?" tanya Kael, melihat Sarah yang tengah memindai ketiga lorong tersebut.

"Kedua lorong itu tidak ada jejak energi yang tertinggal. Hanya yang ini... Ada banyak aura energi yang aktif," balas Sarah, menunjukkan ke arah lorong yang tidak diharapkan oleh Kael dan yang lainnya.

Karena lorong itu sangat tidak terawat, dipenuhi dengan sarang laba-laba seolah sudah lama tidak dilalui oleh makhluk apapun. Mereka saling memandang, kagum dengan kemampuan penyembunyian warga desa.

Mereka mulai memasuki lorong yang menyelimuti mereka dengan kegelapan perlahan, sambil pemikiran masing-masing dipenuhi keraguan akan alasan makhluk yang seharusnya ada di kedalaman hutan tiba-tiba muncul di desa tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 10: Pertarungan di Desa Kecil

    Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 11: Perlawanan di Dalam Sumur

    Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 12: Bayang-Bayang di Pagi Hari

    Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d

    Last Updated : 2025-03-08
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 13: Bayang-Bayang di Jalan Raya

    Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men

    Last Updated : 2025-03-08
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 14: Pertarungan di Tepi Sungai

    Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa

    Last Updated : 2025-03-09
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 15: Rahasia di Balik Bayangan

    Pagi menyingsing dengan langit kelabu yang berat, awan tebal menggantung rendah di atas jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma samar rumput basah dan kayu bakar yang masih mengepul dari unggun semalam. Gerbong pedagang bergoyang pelan, roda kayunya berderit di atas batu kecil, sementara kuda-kuda mendengus lelet, seolah merasakan ketegangan yang menyelimuti kelompok itu. Pertarungan malam sebelumnya masih membekas—bau darah wyvern dan energi emas yang hangus terngiang di ingatan mereka, membuat setiap suara kecil dari semak di pinggir jalan terasa seperti ancaman. Kael duduk di tepi gerbong, tangannya memegang salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang ia ambil dari Pemburu Crimson yang tewas. Cahaya biru samar dari kristal itu berkedip pelan di tangannya, hangat namun asing. Matanya yang tajam menatap benda itu dengan konsentrasi penuh, keningnya berkerut saat ia mencoba menyalurkan energi sihirnya ke

    Last Updated : 2025-03-09
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 16: Persiapan di Kota Kecil

    Penginapan kecil itu berdiri sederhana di tepi jalan berbatu, dinding kayunya sudah lapuk dan berderit ditiup angin pagi. Aroma roti panggang dan kayu bakar menguar dari dapur kecil di dalam, bercampur dengan bau debu dan keringat yang masih melekat pada pakaian Kael dan kelompoknya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela yang retak, menerangi ruangan sempit tempat mereka duduk di meja kayu usang, penuh goresan dari tamu-tamu sebelumnya. Setelah malam penuh pertempuran dan ketegangan, penginapan ini terasa seperti tempat berlindung sementara, meski bayangan Pemburu Crimson masih mengintai di pikiran mereka. Kael duduk di sudut meja, tangannya memainkan salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang tak bisa ia gunakan, matanya tajam menatap kelompoknya. Sarah dan Laila, yang masih mengenakan penyamaran dari kristal—rambut cokelat tua dan merah kecokelatan—duduk berdekatan, wajah mereka pucat tapi penuh tekad. Murphy, dengan janggut kecil dan rambut pirang dar

    Last Updated : 2025-03-10

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 101 — Hutan Labirin Racun

    Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 100 — Awan Gelap di Atas Vitrum

    Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 99 — Bayangan di Kota

    Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status