Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

Share

Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-06 00:56:04

Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada.

"Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.

Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing.

"Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka punya makanan lezat di sana," ucap Murphy sambil menjilat bibirnya yang kering akibat haus dan kelaparan. Perutnya yang keroncongan seolah menuntut untuk segera diisi.

Sarah dan Laila merasakan hal yang sama. Ini adalah pertama kalinya mereka menghadapi situasi seperti ini, dan semua bekal yang mereka bawa saat melarikan diri dari rumah sudah habis. Kehadiran mereka di desa ini menjadi harapan terakhir untuk mendapatkan perlindungan dan makanan.

"Baiklah. Ayo menuju desa itu. Sudah lama sekali aku tidak pergi ke sana; terakhir kali bersama ayahku saat kecil," ucap Kael, yang berjalan di depan diikuti oleh yang lainnya. Langkahnya mantap, menunjukkan kepercayaan diri yang kuat, tetapi mata tajamnya terus memantau sekitar.

Setelah berjalan waspada selama setengah jam, mereka akhirnya mencapai gerbang sebuah desa yang terlihat sepi dan suram. Suasana desa yang kelam membuat Kael mengerutkan alisnya lebih dalam.

"Kenapa sunyi sekali desa ini? Sepertinya ditinggalkan..." ucap Murphy, yang memandang sekeliling desa yang dikelilingi oleh kebun subur dan asap di beberapa rumah. Asap itu seolah menjadi tanda bahwa masih ada kehidupan, tetapi kesunyian yang mendominasi membuat mereka merasa tidak nyaman.

"Mungkin sudah malam, dan mereka semua berkumpul di rumah. Lagipula ini adalah desa di pinggir hutan, tidak ada banyak hiburan seperti di kota..." sambung Kael dengan curiga, meskipun dia merasakan bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi di sekitar desa.

"Kael, ada sesuatu di sana... Apakah itu makhluk dari hutan purba?" ucap Sarah, yang sejak tadi terdiam namun penuh kewaspadaan. Dia tidak bisa menggunakan mata sihirnya secara terus-menerus, jadi dia harus lebih berhati-hati dan menjaga energinya.

Kael dan Murphy mulai melihat ke arah yang ditunjukkan Sarah, sementara Laila, yang juga merasakan sesuatu, memusatkan telinganya ke arah yang berbeda. Mereka berempat berdiri dalam keheningan, menunggu tanda bahaya yang mungkin tersembunyi.

Kael melihat dengan ekspresi tegang kepada makhluk ghoul yang aneh. "Itu adalah ghoul! Kenapa makhluk itu berada di pinggir hutan purba? Seharusnya mereka berada di kedalaman hutan. Dia juga terlihat berbeda dari ghoul yang aku kenal..."

"Itu benar-benar aneh. Apakah mungkin karena berevolusi? Sekarang kami tahu kenapa suasana desa ini terasa aneh. Makhluk ini adalah penyebabnya..." sambung Murphy, dengan ekspresi tegang, karena mereka belum pernah berhadapan dengan makhluk dari kedalaman hutan purba sebelumnya.

"Apa yang terjadi, Laila? Apakah kamu menemukan sesuatu?!" ucap Sarah, yang mengejutkan Kael dan Murphy. Laila terlihat menggerakkan lengan Sarah sambil menunjukkan ke arah gedung bobrok.

Laila berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, membuat Sarah yang memahaminya mengangguk mengerti, dengan matanya mulai berpendar warna ungu saat melihat ke arah gedung bobrok tersebut.

"Itu memang seperti yang kamu katakan, Laila. Ada aura tersembunyi di bawah tanah. Mungkin warga desa ini bersembunyi dari makhluk ghoul aneh itu?" ucap Sarah, yang membuat Kael dan Murphy juga mengerti.

"Kita harus menemui warga desa dan jangan sampai mengagetkan ghoul itu, karena makhluk ghoul terkenal sulit dibunuh. Ayo perlahan, kita akan mencari tahu kepada kepala desa bagaimana makhluk ghoul itu bisa muncul di sini..." ucap Kael, sambil memimpin mereka berjalan dengan langkah hati-hati.

Sementara itu, makhluk ghoul yang setinggi lebih dari dua meter masih berkeliling seolah mencari mangsanya. Cakar-cakarnya berkilau seperti baja, terus menggores rumah di sekitarnya. Mata merahnya seolah merasakan sesuatu dan melihat ke arah gerbang desa tempat kelompok Kael pertama kali muncul.

"Ini benar-benar tempat yang bagus untuk bersembunyi. Mereka tampaknya sangat ahli dalam bersembunyi, bukan?" ucap Murphy, melihat ke arah sumur yang tersembunyi di dalam gudang bobrok.

"Mereka tinggal di pinggir hutan purba. Jika mereka tidak memiliki kemampuan khusus, apakah kamu yakin desa ini bisa bertahan sampai sekarang? Ayo masuk perlahan, aku akan masuk duluan..." balas Kael, yang melihat ada tangga, tetapi dia melompat ke bawah tanpa menggunakannya.

Teknik Windstep adalah hasil ciptaannya sendiri, yang memungkinkannya mengontrol tubuhnya agar mengapung sejenak di udara. Melompat ke dalam sumur yang tidak diketahui kedalamannya itu tidak menjadi kesulitan baginya.

Setelah mencapai dasar sumur yang dalamnya sekitar 50 meter, Kael mengaktifkan sihir racun dari tiga mayatnya yang memancarkan cahaya hijau kehitaman dengan sedikit keunguan, menerangi bagian dalam sumur.

Ada tiga lorong yang mengarah ke dalam ruang yang tampak sengaja dibuat untuk menyulitkan seseorang menemukannya. Saat Kael berkeliling, Sarah dan Laila juga tiba di bawah, diikuti Murphy yang datang terakhir.

"Jadi, kita harus lewat lorong mana? Apakah ini semacam teka-teki yang harus dipecahkan? Aku sudah sangat lapar; semoga mereka punya makanan di sini..." ucap Murphy, menggosok perutnya yang seolah kosong.

"Aku juga berharap begitu. Yang penting, kita harus menemukan mereka lebih dulu. Sarah? Apakah kamu menemukan sesuatu? Ke arah mana kita harus pergi?" tanya Kael, melihat Sarah yang tengah memindai ketiga lorong tersebut.

"Kedua lorong itu tidak ada jejak energi yang tertinggal. Hanya yang ini... Ada banyak aura energi yang aktif," balas Sarah, menunjukkan ke arah lorong yang tidak diharapkan oleh Kael dan yang lainnya.

Karena lorong itu sangat tidak terawat, dipenuhi dengan sarang laba-laba seolah sudah lama tidak dilalui oleh makhluk apapun. Mereka saling memandang, kagum dengan kemampuan penyembunyian warga desa.

Mereka mulai memasuki lorong yang menyelimuti mereka dengan kegelapan perlahan, sambil pemikiran masing-masing dipenuhi keraguan akan alasan makhluk yang seharusnya ada di kedalaman hutan tiba-tiba muncul di desa tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 158– Menuju Ke Sarang Laba-laba

    Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 157: Kabut Sunyi dan Misi yang Menunggu

    Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 156: Sarang laba-laba dan Harta Karun

    Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 155 – Gerbang Raksasa dan Harta yang Tersembunyi

    Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 154 — Bayangan di Perut Gunung

    Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 153 — Jeratan Sunyi di Perut Gunung

    Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status