Aku menatap Ema dengan tajam. Dia memergoki aku. Dengan menarik napas panjang, Ema masih saja terdiam. Wajahnya pucat. "Kau ...," ucapnya sekali lagi dengan menarik napas. "Maya--""Katakan semuanya," balasku membuat dia menghentikan ucapan. "Kau mencari suamiku saat itu," lanjutku sambil menariknya keluar restaurant. Melepaskan cengkeramanku dengan sangat kasar di parkiran."Maya, aku tidak mau mencampuri urusan kalian. Aku tidak bisa mengatakan apa pun, dan merusak hubungan kalian. Itu sebabnya aku memilih diam.""Merusak?" tanyaku sambil mengangkat kedua tangan. Tidak aku percaya dia memberikan alasan sangat bodoh."Kau menghubungiku dan mengatakan Mas Farus tidak bekerja di sana. Kau sudah tahu semuanya, dan ini sangat membuatku terkejut. Sekarang katakan kepadaku. Kenapa kau menghubungiku?" lanjutku masih pelan. Namun, Ema masih tidak menjawab. Wajahnya semakin pucat. Berkali-kali dia mengusap wajahnya yang berkeringat."Katakan!" bentakku membuatnya terperanjat."Ok! Aku sengaja
Pedih rasanya. Hatiku seperti tertusuk. Pikiranku sangat kacau. Apa yang sudah dilakukan suamiku? Dia memiliki dua wanita lain?“Mas, apakah kau kurang puas denganku? Hingga kau melakukan ini?” batinku bertanya sambil menatap alamat yang tertera di layar ponselku. Sebuah alamat yang sangat aku hafal.“Ini alamat Ibu Mariyati. Apakah wanita tadi anaknya? Ah, kepalaku sangat pening,” gumamku sambil menjambak rambutku sendiri. Rasanya mau pecah.“Aku akan menuju alamat ini. Tapi, hari sudah memasuki tengah malam. Lebih baik aku pulang.”Aku menarik napas panjang sebelum menyalakan mesin mobil. Kali ini aku akan mengendarai mobil dengan sangat hati-hati. Aku tidak mau hal buruk menghampiriku. Diri ini harus kuat menghadapi semuanya. Seperti sebuah pohon beringin yang kokoh. Tahan dengan angin kencang yang akan membuat semua batang terlepas dari tubuh pohon itu. Aku harus bisa mempertahankan semuanya.Dengan perasaan tak menentu, aku mencoba mengendarai mobil ini dengan baik. Hingga setela
“Apa-apa’an ini? Melisa hamil?” batinku. Jemariku rasanya kaku. Hatiku bergetar saat membaca pesan itu.“Maya! Kenapa kau--!” Suara mas Farus dengan keras mengejutkanku. Spontan aku semakin terkejut saat dia merebut ponselnya. “Jangan suka memeriksa barang pribadiku. Itu tidak sopan, Maya!” bentaknya keras. Dia mematikan ponselnya, memasukkan kembali ke dalam tasnya.“Mas, aku istrimu. Biasanya kau membiarkan aku membuka ponselmu. Kenapa kau sekarang marah?” tanyaku sambil mengikutinya di balkon kamar. Dia memegang kepalanya. Terlihat sangat panik. “Mas! Apa ada yang kau sembunyikan?” Aku menarik lengannya dan membuat dia menghentikan tubuh yang sebelumnya bergerak tidak jelas.“Aku hanya banyak pikiran, Maya. Banyak sekali masalah di kantor yang tidak bisa aku jelaskan. Dan kau--,” ucapnya sambil menunjukku tegas dengan jemarinya. “Datang dengan tidak jelas. Berani kepadaku. Sebagai istri, kau seharusnya bisa bersikap baik. Atau ... kau memang memiliki laki-laki lain,” lanjutnya memb
Teriakan itu membuatnya terperanjat. Kedua mataku tak bisa menahan air mata ini. Sakit ... sakit rasanya. Kini aku tahu kenapa Melisa dan wanita itu saling berpandangan tajam. Ternyata, mereka sudah saling mengenal dan pastinya bermusuhan. Entah siapa ranjang kedua atau ketiga.“Maya, kau ...,” ucapnya terhenti sambil memegang pundakku.“Lepaskan!” Sekuat tenaga aku melepaskan cengkeramannya. “Kau pengkhianat, Mas. Jadi, dengan siapa kau selama ini? Dengan mereka?" “Maya aku ... ya, aku bisa menjelaskan,” ucapnya sambil memegang kepala.“Aku adalah istri ketiga. Sahabatmu itu, istri keduanya. Dia memiliki tiga ranjang. Kau berhasil membongkarnya, Maya. Hmm, dua bulan akhirnya semua terselesaikan seperti rencanaku,” balas wanita itu dengan tersenyum."Maria, jadi kau sengaja melakukannya? Kau berjanji untuk bungkam. Kau, tidak aku percaya!” Tamparan keras Mas Farus layangkan kepada wanita itu yang bernama Maria.“Aku selama ini yang membantumu untuk mendapatkan kedudukan itu. Bukan Me
"Kau, akan aku pastikan bertekuk lutut denganku, Mas," ucapku masih dengan hati panas.Apakah aku harus menerima ini semua? Dia lebih memilih kedua wanita itu dibandingkan dengan diriku. Apakah aku harus sakit hati? Sementara, aku merasakannya dan dia tidak peduli dengan perasaanku."Ibu, kau baik-baik saja?" tanya Ana terus mengamatiku. Aku tahu dia pasti juga sakit hati dengan perlakuan ayahnya. "Mereka sudah menjalin hubungan selama 2 tahun dan aku tidak mengetahuinya. Sialan," batinku tidak menghiraukan Ana."Sudahlah, lebih baik kita membiarkan Ibu sejenak untuk menenangkan batinnya. Kita pun sangat kecewa dengan kejadian hari ini. Ibu, ada kami yang akan menemanimu. Kami akan selalu bersamamu." Perkataan Ema yang sangat menyentuh. Dia benar-benar seorang anak yang bisa aku andalkan. Sementara, Ana kini terdiam masih saja memejamkan kedua matanya dengan sangat kuat. Dia sedikit berbeda dengan Ema yang selalu saja mengatasi semuanya dengan tegas. Ana memiliki hati yang sangat lemb
Tidak aku sangka mas Farus membentakku seperti itu. Padahal aku tidak melakukan apa pun kepada Melisa. Wanita keparat itu tersenyum sinis menatapku. Sialan, dia sudah menjebakku seperti ini."Dia sekarang sedang mengandung. Maya, kenapa kau seperti itu? Maya, aku tahu ... aku ini salah tidak memberitahukan semuanya kepadamu. Tapi kau tidak boleh seperti itu. Di mana perasaanmu?" ucapnya dengan sangat keras sambil menunjukku dengan tegas. Sementara Melisa semakin memeluknya dan menangis, lalu memegang perutnya dan merintih kesakitan. Aku hanya bisa terdiam kaku melihat semua adegan itu. "Sudahlah, Mas. Jangan membentak dia. Aku tahu pasti dia akan sangat marah melihatku tiba-tiba datang dengan cara seperti ini," ucapnya masih saja menangis. Mas Farus menariknya lalu mengajak duduk di kursi sofa. Mengambil satu lembar tisu dan mengusap keringat Melisa. "Kenapa kalian ke sini? Mas, ini adalah rumahku. Nanti aku akan mengurus surat perceraian. Kau lebih baik pergi dari sini. Tinggal saj
Melisa terdiam kaku. Kedua matanya melebar. Tangannya pun mengepal. Dia tidak menyangka Mas Farus dengan mudah aku kendalikan. Sejenak dia masih menatapku. Aku masih saja berada di dalam dekapan suamiku.“Melisa, aku tahu kita sudah melakukan perjanjian. Tapi ... jangan lupa. Kau sudah menerima jika aku bisa berbagi. Kita sudah sepakat. Lebih baik kau pulang dulu, setelah itu aku akan menemuimu satu minggu lagi,” balas suamiku dengan mengusap wajahnya yang berkeringat. Aku tahu. Dia pasti sangat kebingungan dan panik. Memiliki 3 ranjang. Hah, kejutan macam apa ini? Aku benar-benar tidak bisa membayangkan akan menimpa diriku.“Mas, kau sudah berada di rumah Maria 6 hari. Kau sudah berada di sini setelahnya. Lalu, bagaimana denganku?” Melisa menekan dadanya yang pasti sangat sesak. Entah drama apa lagi yang akan dia lakukan."Mas, aku benar-benar--"“Kau tahu kan, aku mengalami kecelakaan saat pulang dari rumah Maria. Kau selalu mencariku, padahal aku sudah mengatakan akan membaginya da
“Maya, kau!” Mas Farus mendekatiku dan akan menamparku.“Ayah!” teriak Ema sangat keras. Dia berhasil membuat ayahnya menghentikan gerakan. Hatiku berdebar kencang. Aku memberanikan diri untuk melawannya. Padahal, selama ini aku dibilang istri penurut.“Ibu memintamu pergi,” ucapnya tegas. “Dari tadi aku mengawasimu. Kau, sama sekali tidak punya perasaan. Aku tidak menyangka kau akan seperti ini. Benar-benar kejam,” lanjutnya masih dengan pandangan tajam. Ana hanya bisa menangis di sebelahku. Mbok Sri segera memeluknya.“Apa kalian tidak mencintai Ayah? Dengarkan. Ayah melakukan ini untuk membuat kalian bahagia. Kalian selama ini hidup enak dari uang mereka. Dan Ayah yang mengusahakannya.” Mas Farus akan mendekati Ema. Anak itu segera mendorong tubuh ayahnya.“Aku sudah bilang, pergi!” Ema semakin berteriak, menunjukkan jemarinya ke pintu keluar.“Ema, aku ayahmu!” balas Mas Farus membentak sangat keras dan menampar anakku. Aku benar-benar tidak terima!“Pergilah! Jangan pernah kembal