Share

Mencari Tahu Semuanya

“Lalu, ke mana Mas Farus? Dia mengatakan pergi bersama Febri. Tapi, dengan terang Febri mengatakan hal sebaliknya. Oh, ada apa ini? Lalu, tadi malam itu telepon siapa?” batinku masih memandang ponselku sendiri.

“Tidak perlu mencemaskan apa pun yang belum pasti.”

Melisa menarikku kembali ke kursi sofa. Sebagai sahabat, dia pasti berusaha memendam perasaanku. Sebenarnya, aku tidak mau dia mengetahui rasa cemas ini. Tapi, seperti biasanya. Melisa sangat paham ekspresi wajahku.

“Aku tidak mau menceritakan apa pun tentang pernikahanku. Tapi, kau sahabatku. Apa yang harus aku cemaskan?”

“Bukankah kamu sendiri mengatakan kepadaku, tidak suka jika ada yang disembunyikan. Aku pun begitu. Aku tak mau ada rahasia. Ayolah, Maya! Katakan saja. Aku pasti siap membantumu.”

Tentu saja aku harus mempercayai Melisa. Dia adalah sahabatku sejak lama. Ke mana lagi aku akan meminta bantuan?

“Mas Farus tidak pernah pergi selama ini. Dia selalu saja pulang ke rumah. Sekarang, mendadak dia mendapat tugas. Parahnya, dia bilang akan pergi bersama adiknya, Febri. Tapi, Febri baru saja menghubungiku. Dia tidak bersama kakaknya. Aku ... sengaja tidak menghubunginya. Takut mengganggu."

“Kita tunggu saja Febri datang ke sini. Kau bisa menanyakannya.”

Ide Melisa benar. Aku menganggukkan kepalaku, sambil menyeruput teh hangat yang tinggal sedikit lagi akan habis. Hingga aku mendengar suara mobil memasuki halamanku. Rumahku berjarak cukup dekat dengan rumah mertuaku. Dalam sekejap Febri bisa datang ke rumah. Aku segera menemuinya.

“Febri, kamu terlihat sangat pucat. Kau sakit?” Aku menerima satu tas berisi minuman herbal buatan mertuaku sendiri saat Febri menyodorkannya. Dia menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Biasa, Mbak. Penyakitnya orang umum. Flu berat,” balasnya.

“Hmm, kau tidak bersama Mas Farus?” tanyaku pelan sambil tersenyum. Aku sangat berharap, dia memberikan jawaban yang bisa membuatku tenang.

“Emangnya Mas Farus ke mana sih, Mbak?” balasnya bertanya.

“Kemaren, Mas Farus bilang akan pergi sama--”

“Eh, Febri,” sela Melisa. Dia mendadak muncul, dan menghentikan ucapanku.

“Mbak, aku pergi dulu, ya,” ucap Febri mendadak. Bahkan, dia tidak membalas sapa’an Melisa. Padahal mereka sudah lama kenal. Aku segera menggelengkan kepala, untuk memusatkan pikiranku kembali. Ibu mertuaku punya riwayat jantung. Mungkin Febri harus segera pulang dan menjaganya.

“Febri buru-buru, ya?” Melisa menatap kesal Febri yang sudah meninggalkan rumahku. Sementara, aku masih mengurut pelipisku. Sebenarnya, ke mana Mas Farus? Nama desa tempatnya bekerja pun tidak dia katakan. Kenapa aku juga tidak bertanya saat itu? Hatiku benar-benar gundah.

“Melisa, aku harus mencari tahu. Aku tidak mau hal gila ini masuk di kepalaku. Aku akan mengambil tasku,” ucapku kemudian buru-buru mengambil tas di kamar dan memakai jaketku.

“Jadi, kamu mengira suamimu selingkuh?” tanya Melisa sambil ikut berjalan mengikutiku. “Maya!” ucapnya tegas, sembari menarik lenganku. Aku menghentikan langkah, dan kini menatapnya. “Tidak mungkin suamimu seperti itu. Mana mungkin dia dengan wanita murahan seperti itu?” lanjut Melisa berusaha meredam rasa penasaranku.

“Aku juga berharap dia tidak seperti itu, Mel. Tapi, kau dengar sendiri saat Febri tidak tahu tugas itu. Sedangkan Mas Farus, mengatakan dia akan pergi dengan Febri. Argh, aku akan mencari tahu.”

Melisa mau tidak mau mengikutiku masuk ke dalam mobil. Aku segera menuju rumah sakit tempat Mas Farus bekerja. Sudah lama sekali aku tidak pernah mengunjungi rumah sakit ini. Tanpa berpikir dan membuang waktu, aku berjalan cepat masuk ke ruangan informasi. Aku bisa saja masuk dengan bebas ke ruangannya. Tapi, aku harus menghormati privasinya dan peraturan untuk membuat janji terlebih dahulu.

“Suster. Aku ingin bertemu dengan Dokter Farus.”

“Dokter Farus?” tanya suster terkejut. Aku semakin tidak mengerti. Kenapa dengan suster itu?

“Ah, Dokter Farus sedang tidak ada di tempat bukan? Hahaha. Dia kan sedang menemani dokter magang. Baiklah. Bisa kau katakan di mana desa itu?” tanyaku sekali lagi. Aku menarik napas panjang, berusaha mengatasi hatiku.

“Maafkan saya. Dokter magang tidak ada di tempat. Memang benar. Mereka sedang magang di desa. Tapi, kami sudah lama tidak mendengar tentang dokter--”

“Ah, tentu saja kalian tidak mendengarnya. Dia sedang bekerja. Maafkan kami karena mengganggu pekerjaan suster,” sela Melisa sekali lagi. Dia menghentikan ucapan suster itu, lalu menarikku pergi dari sana. Kami berjalan cepat menuju ke parkiran. Melisa menatapku tajam. Sepertinya dia sangat marah denganku.

“Maya, jangan gila, ya! Kamu nggak lupa, kan, sekarang kita ada di mana? Ini tuh, masih lingkungan rumah sakit!” teriaknya keras. Dia menjauh, lalu masuk ke dalam mobil. Aku segera mengikutinya. Kami duduk di kursi depan sambil bertatapan. Melisa masih saja marah denganku.

“Jika kamu seperti ini, Maya. Sama saja kamu menjelekkan nama baik suamimu. Kau itu seharusnya percaya saja dengan suamimu. Lagi pula, Febri juga tidak mengatakan apa pun. Begitu juga dengan suster tadi.”

Oh, Tuhan, apa yang aku lakukan? Perkataan Melisa memang benar. Untuk apa aku mencurigai suamiku. Selama ini, dia selalu saja setia denganku. Tapi, sumpah demi apa pun kali ini aku memang sedikit tidak mempercayainya. Sebenarnya, apa yang salah dengan perbuatanku? Toh, aku hanya ingin mencari kebenaran. Hanya ingin meredakan pikiranku yang semakin gila ini.

“Mel, kau memang benar. Tapi, jujur saja. Pasti dokter magang itu ada hubungan dengan suamiku. Lihatlah, sudah beberapa jam dia pergi, sama sekali dia tidak menghubungiku. Apakah aku salah dengan pemikiranku?”

“Sudah bicaranya?” Tiba-tiba raut Melisa menjadi kaku. “Aku tanya, sudah bicaranya?” lanjutnya sedikit membentak.

“Kita sebaiknya pulang saja, Mel. Kamu benar. Aku sudah bodoh melakukan ini.”

Baiklah lupakan saja. Sudah saatnya aku tidak menyakiti diriku sendiri. Aku segera melesatkan mobil ini, lumayan cukup kencang. Hatiku masih bimbang. Bagaimana jika memang suamiku melakukannya di belakangku? Ya ampun, jangan sampai seperti itu.

Membayangkannya saja sudah sangat menjijikkan. Jangan sampai pernikahan selama dua belas tahun ini gagal karena orang ketiga.

Masih saling diam, aku dan Melisa tidak saling bertegur sapa. Dia sangat kesal. Mungkin karena dia tidak mau melihatku sakit hati. Aku paham dengannya.

“Besok aku akan ke rumahmu lagi. Kau mau masih lanjut kan?” tanya Melisa pelan. Dia akhirnya menyapaku. Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala dengan pelan.

“Sekarang aku pulang dulu. Aku akan menaiki taxi di ujung jalan itu. Jangan khawatir. Sebaiknya kau mandi sana. Bau,” ucapnya lalu memelukku. Dia keluar dari mobil dan melambaikan tangan ke arahku.

Aku berusaha memasuki rumah dengan senyuman. Kembar pasti sudah pulang. Aku tidak mau terlihat cemas di depan mereka. Untung saja mereka sudah terlelap, begitu juga dengan Mbok Sri. Tanpa sadar, aku pergi cukup lama.

Sudah pukul dini hari tapi mataku belum juga terpejam. Kepalaku juga terasa pusing. Pikiranku melayang-layang entah ke mana. Aku hanya ingin membolak-balikkan tubuh berharap bisa memejamkan mata. Andai saja Mas Farus menghubungiku, pasti perasaanku akan mereda. Kenyataannya, sampai sekarang dia tidak melakukannya. Apa yang harus aku lakukan?

Lamunanku teralihkan. Aku beranjak, segera memeriksa ponselku yang kembali berdering. Mudah-mudahan Mas Farus. Tapi ...

“Apa kau ... tunggu, jangan ditutup!”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
ratulium54
bagus aku suka
goodnovel comment avatar
arkanaalman0
bagus ini penasaran
goodnovel comment avatar
aulianorma74
hmmm aku pikir ama dia sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status