Share

Tidak Mendapat Petunjuk

“Mas Farus?” Benar-benar tidak aku percaya. Ternyata bukan suamiku. Dia, kenapa seperti itu? Bunuh diri?

“Apa kau ... jangan ditutup!”

Nomor tidak dikenal menghubungiku. Suara itu, sangat aku kenal. Dia memanggil nama suamiku, lalu menutupnya? Benar-benar aku mengenalnya. Tapi, siapa? Berkata, ingin bunuh diri?

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus membongkar semuanya. Jujur, semakin berjalannya waktu hatiku semakin sesak. Mas Farus ... apakah kau memang menduakan aku? Apakah dokter magang itu adalah wanita simpananmu? Dari pada aku bertanya-tanya dan semakin gila. Aku akan nekat menghubunginya.

“Mas, aku harap kau menerimanya.”

Dengan cemas, aku masih menunggu suamiku mengangkat ponsel ini. Tapi, nada sibuk yang aku dengar. Apakah di sana tidak ada sinyal? Ah, dia pasti sangat sibuk dan ini tengah malam. Tentu saja dia tidak akan pernah mengangkatnya.

Sepanjang malam aku resah. Kedua mata ini sama sekali tidak bisa tertutup. Semakin aku berusaha terlelap, hatiku rasanya berdetak hebat lebih dari biasanya.

“Ibu, sarapan sudah siap,” ucap Mbok Sri membuyarkan lamunanku. Jelas-jelas aku tidak tertidur semalaman. Tanpa aku sadar, hari sudah pagi.

“Iya, Mbok. Aku akan segera turun,” balasku. Aku harus mencari informasi itu. Semuanya harus aku dapatkan hari ini juga, bagaimana pun caranya.

Dengan cepat aku menuju kamar mandi, menyalakan air shower. Air ini sangat segar sekali. Kepalaku yang terasa penat, kembali menghilang. Bergegas aku memakai blazer hitam, lalu celana kain. Aku akan melanjutkan untuk mencari bukti. Aku akan kembali ke rumah sakit itu dan menanyakan semuanya. Mungkin, melakukannya sendirian saja tanpa Melisa akan lebih baik.

“Bunda, kenapa matanya merah?” tanya Ema. Dia menatapku dengan serius. Aku tidak boleh terlihat cemas.

“Biasa, Kak. Pekerjaan Bunda, kan, banyak. Mengurusi masalah orang. Jadi Bunda lembur tadi malam,” balasku sambil mengambil sendok dan mulai melahap nasi goreng buatan Mbok Sri.

“Hmm, Bunda sudah dihubungi Ayah? Bagaimana kabar Ayah? Sudah dua hari Ana coba hubungi kok tidak bisa. Emang Ayah ke mana sih?”

Aku mendadak menghentikan gerakan. Alasan apalagi yang harus aku berikan untuk menenangkan mereka? Sementara, aku sendiri tidak tahu harus berkata apa.

“Bapak mungkin sibuk, Non. Setahu Mbok sih, kalau dokter di desa itu menjadi sukarelawan. Jadi, mengatasi penyakit yang macem-macem. Tidak ada sinyal juga. Maklum saja, Non.”

Mbok Sri menyelamatkanku. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Untung saja kembar menerima dan diam.

“Kalian jangan terlambat. Hati-hati di jalan dan jadilah anak baik.”

Mereka bergantian memelukku lalu pergi menuju mobil penjemput. Hatiku benar-benar lega. Semoga saja mereka tidak memikirkan hal ini.

“Bu, maafkan saya,” ucap Mbok mendadak. Aku spontan memandangnya. Wajahnya terlihat sendu sambil menatapku. Aku merasa Mbok mengetahui perasaanku. Saat itu dia melihat aku menemukan foto itu.

“Sejak kejadian kemarin, saya terus memikirkan Ibu. Bapak tidak mungkin berbuat seperti itu, Bu. Saya yakin itu.”

Aku sedikit reda. Perkataan Mbok membuatku seperti tersiram air segar. Aku tersenyum, dan menganggukkan kepala.

“Aku pergi dulu ya, Mbok. Jaga rumah dengan baik. Mungkin aku lembur. Nanti katakan itu pada kembar ya, Mbok.”

“Hati-hati, Bu.”

Ya Tuhan, kumohon berikan aku kenyataan manis. Kalau aku sampai menemukan rahasia besar, lalu bagaimana dengan pernikahan selama dua belas tahun ini? Aku harus mempertebal prinsipku bahwa suamiku adalah yang terbaik. Dia sangat menyayangiku. Dia tidak mungkin akan melakukan itu.

Sepanjang perjalanan, aku berusaha menenangkan pikiran. Selama ini pernikahanku berjalan sempurna. Tidak ada cacat sama sekali. Sangat bahagia. Hingga detik ini, aku harus seperti ini.

Dalam sekejap aku sampai di parkiran rumah sakit. Tanpa sadar aku mengendarai sangat kencang. Aku masih diam sejenak menenangkan pikiranku. Baiklah, kali ini aku harus mendapatkan petunjuk. Dengan cepat aku berjalan masuk ke dalam ruangan informasi. Tapi, seseorang menarikku dengan kuat.

“Maya!”

“Sejak kapan kamu di sini, Mel?”

“Sejak kapan aku di sini itu hal yang tidak penting. Sekarang, katakan kepadaku! Kenapa kau ke sini lagi?” tanyanya sembari menekan kedua pundakku dan memberikan tatapan tajam.

“Mel, aku hanya ingin tahu. Sudah tiga hari Mas Farus tidak bisa dihubungi. Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana?”

“Sudahlah, jangan dibahas. Kita akan pergi ke kampus. Di sana kita akan bertanya kepada semua teman suamimu. Siapa tahu, mereka mengetahuinya. Kau jangan sampai membuat keributan di rumah sakit ini. Nama baik suamimu taruhannya. Kau mau suamimu terkena gosip dan dipecat? Maya, pikirkan itu.”

Tentu saja aku tidak mau. Melisa selalu benar. Kini dia yang mengendarai mobilku. Aku menyandarkan kepalaku, dan memejamkan kedua mataku. Hingga aku terbangun, dan sudah berada di kampusku dulu. Sepertinya aku tertidur.

“Sudah bangun?” tanya Melisa sambil tertawa. “Kau mendengkur sangat keras,” lanjutnya sambil menyodorkan sebotol minuman. Aku segera menerimanya. Meneguk air dingin ini sampai habis.

“Ayo Mel. Kita akan menanyakan kepada mereka semua.”

Melisa kini tidak cerewet seperti biasanya. Dia mengikutiku ke mana pun kakiku melangkah. Semua teman Mas Farus tidak tahu keberadaannya. Aku tidak menyerah. Semua yang berhubungan dengan Mas Farus, aku mintai keterangan. Namun, semua sia-sia. Tidak ada petunjuk apa pun yang bisa aku dapatkan.

Hari demi hari, petunjuk yang aku inginkan tidak aku dapatkan. Aku masih saja bersama Melisa mendatangi semua kenalan Mas Farus. Semua mantan dosennya, sahabatnya, bahkan beberapa pasien yang aku kenal. Mereka tidak ada yang mengetahui keberadaan suamiku. Apalagi yang harus aku lakukan? Ini sudah di luar kendaliku. Kali ini aku benar-benar sangat marah. Seharusnya Mas Farus menghubungiku. Ini sudah enam hari! Dia sama sekali tidak memberi kabar!

Setelah enam hari berjalan mencari bukti bersama Melisa, aku menyerah. Tubuhku sudah tidak kuat. Mungkin jalan terbaik adalah menunggu Mas Farus untuk bertemu dan menjelaskan semuanya.

“Maya. Kita sudah berhari-hari mencari kabar. Sebaiknya kau hentikan saja. Besok, tanyakan semua kepada suamimu. Dia datang kan? Aku harap kamu tidak berbuat hal di luar kendalimu.”

“Terima kasih kau sudah membantuku, Mel. Kau adalah sahabat terbaikku.”

Aku memeluknya. Dia melambaikan tangan dan pergi menaiki taxi. Tapi ... ada satu hal yang ganjal. Kenapa Melisa tahu Mas Farus akan pergi selama tujuh hari? Aku tidak pernah ingat mengatakannya. Dari mana dia tahu?

Aku segera masuk ke dalam rumah, menepis rasa penasaranku. Mungkin saja aku memang mengatakannya tanpa sadar. Yang terpenting, aku harus memasang senyuman di depan kembar. Atau mungkin aku harus menghindari mereka saja. Hatiku masih tidak bisa aku tahan. Aku sangat kecewa dengan Mas Farus. Dia benar-benar di luar dugaanku. Apa salahku selama ini, hingga dia berbuat seperti itu? Selama enam hari dia sama sekali tidak memberiku kabar.

Malam semakin larut. Aku masih memandang luar jendela. Hingga aku terkejut. Mobil Mas Farus datang? Ini masih hari keenam. Bukankah dia mengatakan akan pergi selama tujuh hari? Hatiku sangat kesal. Kedua mata ini memejam dengan kuat, untuk menenangkan batinku yang bergejolak. Aku harus bisa menahan amarah.

Aku berjalan keluar kamar. Oh tidak, perasaan ini semakin menjadi. Aku sangat emosi. Ingin sekali meluapkannya! Tapi, aku melihat pemandangan cukup mengejutkan.

“Mas, kenapa kau terluka parah?” tanyaku segera mendekat. Aku semakin tidak percaya melihatnya. Ditambah, dia menyodorkan sesuatu berwarna pink ke hadapanku. Dengan bergetar aku menerimanya.

“Mas, apa ini undangan pernikahan?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
amanda1berlian22
gawat ini aduh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status