Beberapa hari sudah aku menemani Zia dirumah almarhum ayahnya, kadang kami bercanda kadang pula kami menangis mengenang ayah mertua. Seringkali kakak-kakak Zia datang dengan suami mereka untuk saling menguatkan satu sama lain. Terkadang aku dan Zia hanya berdua saja berbincang berusaha mengalihkan kesedihan agar tak berlarut-larut.Seperti saat ini, kami sedang mengobrol santai sambil minum teh ditemani kue bolu buatan kak Bilqis."Sayang, kuliah kamu gimana?" Tanyaku"Ya ini aku tinggal selesaikan dinas yang terakhir ini, tugas akhirku juga sudah selesai." Jawabnya santai sambil menyomot bolu lembut buatan sang kakak."Oh, terus rencanamu kedepannya gimana?" Tanyaku lagi."Entahlah kak, awalnya aku ingin kembali kerumah ini menemani ayah dan bekerja di klinik bersalin dekat sini saja. Tapi Ayah..." Kalimatnya terpotong dan terdengar isakan tangisnya lagi."Maaf sayang, aku nggak bermaksud membuat kamu sedih lagi." Ucapku tak enakan."Nggak apa-apa kok kak, aku mungkin..." Ucapannya ya
"Ahhh.. akhirnya sampai juga.. huft capek juga ternyata." Ucap Zia sembari merebahkan diri di atas kasur hotel yang telah ia pesan melalui aplikasi beberapa hari lalu.Hembusan angin yang hangat terasa ketika jendela kamar itu dibuka. "Baru juga sampai udah capek, katanya mau honeymoon?" Goda Ahmad yang sedang meneguk sekaleng soda di balkon kamar hotel mereka. "Hehehehe, iya juga ya. Baru sampai. Hehehehe." Ucap Zia sambil terkekeh."Cengengesan aja kamu, hayo ngebayangin apa?" Ahmad masuk ke kamar dan melempar tubuhnya ke atas kasur.Wiiiiiing... Tubuh Zia terpental dan jatuh lagi ke atas kasur."Astaghfirullah, kak Ahmaaaad... Ngeselin banget sih. Aku sampe terbang." Omel Zia masih dalam mode bahagia."Terbang apanya, orang cuma loncat dikit doang." Ucap Ahmad santai yang malah membuat Zia terpingkal-pingkal."Dasar selera humor rendah, apa coba yang lucu?" Tanya Ahmad pura-pura heran.Zia tiba-tiba bergerak cepat dan seketika sudah berada di
"Iya nggak apa-apa kak, jadi gimana apa mas Ferdi menyanggupi?" Tanya Zia sekali lagi."Baiklah, Mad. Temani aku mempersiapkan diri. Aku siap menikahi Raisa malam ini juga. Tapi sekali lagi aku minta kejelasan juga Raisa menerima aku yang jarak umurnya cukup jauh?" Ferdi meminta kejelasan."Baik aku tanyakan dulu. Sekalian ajak Raisa kesini, untuk nadhor." Ucap Zia kemudian membawa Raisa duduk semeja dengan suaminya dan juga Ferdi.Perbincangan singkatpun dilakukan demi memantapkan hati menjalani biduk rumah tangga kedepannya. Walaupun terkesan tergesa-gesa namun mereka berusaha tidak mengurangi kesakralan komitmen ini."Maaf sebelumnya, Namaku Ferdiansyah Abdullah. Aku saat ini sedang merintis bisnis kecil-kecilan, belum berpenghasilan besar. Namun insyaAllah aku akan berkomitmen untuk menafkahi keluargaku kelak dengan layak. Berusaha membimbing Istri dan anakku dengan pendidikan agama yang baik, dan senan tiasa memberikan kasih sayang. Aku berniat melamarmu Raisa, karena cerita yang
Aku dan Raisa mulai dengan pergi ke butik untuk membeli baju pengantin, kami pilih yang sederhana agar tidak terlalu mencolok mengingat acara ini dilaksanakan di ruang inap rumah sakit. Mas Ferdi sudah meminta pihak rumah sakit memindahkan Ayah Raisa ke ruang VIP dan bersedia menanggung seluruh biaya berobat ayah Raisa. Setelah membeli gaun, kami ke mini market untuk membeli beberapa alat make-up seadaanya untuk merias Raisa, sekedar agar terlihat lebih cerah, mengingat ia terlalu banyak menangis. Itupun karena Raisa menolak aku ajak ke salon. Setelah menyelesaikan semua persiapan kami melaksanakan sholat magrib berjamaah di ruang rawat, kemudian Raisa mulai merias diri, memantaskan penampilan sembari memandang bayangan dirinya di depan cermin."Cantik, Cha." Ucapku jujur."MasyaAllah, makasih banyak Zia. Kamu benar-benar dikirim Allah untuk jadi ibu periku hari ini." Raisa memelukku terharu."Yuk sholat lagi, tuh udah adzan isya'. Kamu belum kentut kan? Udah dandan begi
Sesampainya dikamar hotel, aku merasa k.o rasanya badanku pegal-pegal. Kepalaku mendadak pusing dan seluruh sendi-sendiku nyeri. "Kak Ahmad, kayaknya aku masuk angin deh. Meriang aku." Ucapku agak menggigil dibalik selimut."Coba aku lihat sayang." Balas kak Ahmad sembari meletakkan punggung tangannya di keningku."Ya Allah, kamu demam, Zi." Sambungnya."Mungkin kecapean atau mau flu kalik kak, aku bawa Paracetamol kok, Kak." Ucapku dengan tenaga tersisa."Oke aku ambilkan, tapi kalo besok belum enakan kita ke dokter ya?" Negosiasi kami berakhir dengan anggukanku.Segera kutelan obatku dengan segelas air putih. Aku mencoba tidur dengan memejamkan mataku. Kak Ahmad membelai rambutku hingga tak sadar kapan aku terlelap.Aku bangun dengan perut yang terasa diaduk-aduk. Segera aku berlari ke kamar mandi dan berusaha memuntahkan sesuatu, namun yang keluar hanya cairan bening yang pahitnya bukan main. Aku menghabiskan waktu cukup lama terus menerus muntah
Ahmad pov"Oke, karena besok hari terakhir kita di bali. Dan kondisi kamu begini, jadi belanja-belanja dan honeymoonnya kita tunda kapan-kapan ya sayang." Ucapku pada Zia.Aku benar-benar dibuat terpingkal-pingkal, hingga rahangku sakit. Zia memang sangat menggemaskan, lucu, dan periang. Aku sangat mencintai istriku ini. Aku pun sangat bersyukur atas kehadiran Zia dihidupku. Ditambah lagi, kini ia juga mengandung anak kami. Entah bagaimana caranya sekarang agar aku bisa membahagiakan Zia. Ingin rasanya memberikan apapun yang ia pinta namun tentu kemampuan manusia hanya terbatas. "Tapi kamu boleh mampir ke satu tempat saja untuk belanja." Ucapku menghibur Zia yang memanyunkan bibirnya."Ih, pelit ih.. nggak suka deh. Kalau buat aku pelitnya luar biasa." Renggeknya masih tak puas."Sayang, kamu kan lagi begini kondisinya. Entar kan bisa belanja online aja." Aku memberikan solusi."Iiihh kak Ahmad. Kan aku maunya belanja di bali. Kalo belanja online aja, ngapain aku jauh-jauh sampai kesi
"Selamat ya Zi, ya udah gini aja. Ini si bumil jangan dikasih kerja berat. Udah sekarang kerjanya nemenin Shofiyyah aja. Tapi nggak boleh ngapa-ngapain ya. Nggak boleh capek." Ujar bu Maryam si kepala bidan setelah tahu kabar kehamilan Zia."Aduh saya jadi nggak enak bu. Saya kan sedang magang disini." Ucap Zia tak enakan."Kita semua ini bidan, kerjanya merawat ibu hamil. Dan kamu jadi salah satu bumil kita. Oke!" Bu Maryam masih memaksakan kehendaknya sambil tersenyum ramah."Iya, Zi dulu pas aku hamil juga sama. Bu Maryam tuh perhatian banget apa-apa pekerjaan aku nggak boleh kerjain. Sampai-sampai aku nih ngerasa, jadi pasien tapi di bayar. hehehehehehe." Ucap bidan Restu meyakinkan Zia diiringi tawa semua orang disana."Terima kasih ya semuanya, bu Maryam, terimakasih. Maaf saya merepotkan." Ujar Zia yang benar-benar merasa sungkan dan tidak enakan.Mereka kembali ke pos tugas masing-masing. Tanpa lelah menangani setiap pasien yang datang. Seperti biasanya saat adzan Dzuhur berku
"Wah bener juga ya ribet banget. Ini definisi dikasih rezeki plus cobaan dalam waktu yang bersamaan." Ferdi mencoba bercanda agar Ahmad lebih tenang."Iya, paket komplit, ketawa sambil puyeng." Balas Ahmad diiringi kekehan keduanya."Lagi ngobrolin apa Kak?" Tanya Zia pada Ahmad."Eh, enggak. Kamu udah mau pulang?" Ahmad balik bertanya. Berusaha lari dari pembicaraan barusan."Iya nih, capek. Yuk pulang." Jawab Zia."Ya udah ayo." Ajak Ahmad pada Zia. "Oh ya btw, gue duluan ya bro." Imbuh Ahmad kali ini pada Ferdi.Setelah berpamitan pada semua orang Zia dan Ahmad bergegas masuk ke dalam mobil dan kembali ke kosan Zia. "Oh, ya Zi. Boleh nggak aku balik ke kota, hampir tiga minggu aku ninggalin Cassandra." Tanya Ahmad yang baru saja ditekan oleh puluhan pesan Cassandra, juga beberapa panggilan tak terjawab yang memang sengaja ia abaikan.Zia terdiam dan hanya duduk tertunduk. Sejenak ia pikirkan apa langkah yang harus ia ambil kedepannya."Zi?" Sapa Ahmad lagi."Nanti saja kak kita ba