Share

Bab 6

Aku duduk di kursi penumpang taxi online yang kupesan. Duduk termangu memandangi jalanan yang padat. Kesibukan kota, kendaraan berlalu-lalang, pedadang kaki lima berjajar menjajakan dagangannya. Pemandangan perkotaan yang melelahkan.

Entah takdir sedang mempermainkanku atau aku saja yang terlalu berlebihan. Kupejamkan mata berharap semua ini hanya mimpi, namun kudapati aku masih berada di ruang yang sama bersama kisah hidup dan ratapanku. Taxi online ku berhenti di sebuah salon kecantikan langgananku. Kulangkahkan kakiku dan berjalan gontai tak bersemangat. Dengan malas aku memesan beberapa treatment dan segera masuk ke dalam ruangan yang ditujukan oleh petugasnya.

Kulepaskan seluruh kain yang membalut seluruh tubuhku dan kuganti dengan lilitan kain yang membungkus sebagian tubuhku dan kemudian kukenakan kimono dan segera membaringkan bobot tubuh keatas matrass yang telah disediakan. Tak berapa lama tangan lembut mulai memijatku dan membuatku sedikit rileks. Beberapa benda kental dan dingin dioleskan di punggungku membuatku semakin nyaman hingga tertidur. Sejenak segala pilu hatiku menghambar walau lukanya masih menganga.

Setelah menyelesaikan semua treatment yang aku pesan aku segera bersiap untuk pergi dari tempat ini menuju mall tak jauh dari sini. Setelah kupasang niqabku dan kupastikan rapih dan presisi segera kutenteng tas berjalan kekasir dan pergi menuju mall untuk membeli beberapa keperluan.

Sesampainya di mall tersebut, yang pertama kudatangi ada toko buku. Rasanya aku butuh sesuatu yang lebih bermanfaat saat mengisi hari-hari kosongku saat Ahmad harus bersama Zia. Kupilih beberapa buku tentang kehidupan wanita-wanita muslimah yang berpengaruh didunia. Beberapa buku resep masakan kulihat ada satu buku yang penulisnya adalah temanku. Sambil membantu teman melariskan bukunya, sembari aku menambah isi kepala agar lebih berkualitas.

Saat berjalan di satu lorong buku, tiba-tiba langkahku mengarah pada satu buku tentang parenting. Entah apa yang mendorongku, namun tangan ini mendadak menyentuh buku itu, mengangkatnya dari rak dan memasukkannya kedalam keranjang belanja. Entahlah, aku merasa sedih setiap kali berusaha mempelajari parenting membuat aku menyadari kemungkinan aku bukan wanita sempurna. Namun kini ada Zia bukan? Zia lah yang akan mewujudkan impianku untuk menjadi ibu dari anak-anak Ahmad.

Setelah membayar aku mampir ke grocery shop dilantai paling bawah untuk membeli beberapa vitamin, buah-buahan, dan coklat. Mendadak air liurku membanjir melihat deretan coklat yang tersusun rapi. Walau tak biasanya aku suka coklat, tapi kali ini aku benar-benar menginginkannya. Mungkin ini karena aku terlalu lelah jiwa raga beberapa hari terakhir, sehingga tubuh membutuhkan asupan lebih.

Setelah mendapat semua yang aku inginkan aku berniat kembali pulang kerumah. Namun teringat Zia dan Ahmad sedang ke resto membuat aku jadi ingin menyusul sekalian makan siang karena perut ini sudah sangat lapar. Namun lagi-lagi aku merasa aneh pada diri sendiri yang mendadak nyaris meneteskan air liurku melihat banner menu sebuah kedai yang menampilkan gambar es alpukat kocok dengan siraman coklat dan satu scop eskrim vanila. Ingin rasanya memolak nafsu ini namun kakiku malah melangkah ke dalam kedai itu.

"Mba, saya mau pesan yang sama persis seperti yang itu." Tunjukku pada banner tadi.

"Baik, ada lagi?" Tanya pramusaji itu.

"Enggak itu aja." Jawabku kemudian membayar pesananku dan duduk di kedai itu.

Tak kusangka akupun sedang tersenyum membayangkan es alpukat kocokku, hinga tak kusadari ada yang tengah duduk dihadapanku dengan tatapan heran. Untungnya cadarku membuat senyumku tak nampak dari luar, kalau tidak pasti aku sudah dikira gila.

"San, udah lama disini?" tanya orang itu..

"Eh iya nggak juga." jawabku tak yakin karena sepertinya aku baru saja melamun.

"Ahmad mana?" Tanyanya lagi.

"Aku sendirian, Ahmad lagi sama istri keduanya?"

"Hah? Ahmad kawin lagi? kok kamu bolehin sih? Kenapa nggak dikasih ke aku aja nih kasian bujang lapuk." selorohnya bercanda dan berharap.

"Ya udah sih, sono buru cari calon. Cepet nikah!" Ucapku menanggapi selorohannya.

Namanya Ferdi, Dia teman dekat Ahmad sejak aku dan Ahmad masih awal kenal. beberapa tahun lalu Ferdi harus pindah ke luar pulau untuk urusan pekerjaan dan baru kembali satu tahun terakhir. Ya, dialah pemilik kedai alpukat kocok ini. Beberapa menit menunggu alpukat kocokku datang. Alpukat kocok ini dikemas dengan gelas mika yang di segel, sehingga fleksibel bisa dibawa pulang atau diminum ditempat.

"Buka dari kapan,Fer?" Tanyaku sembari mencoblos segel dengan sedotan yang lumayan besar.

"Yah, adalah tiga bulanan." Jawabnya santai

"Aku lagi mau bikin cabang nih? Lokasinya di gedung sebelah apartememu tuh. kamu ada nggak yang bisa dimintain tolong ngurusin?" Tanya Ferdi dengan serius

"Wah, kalo soal bisnis kamu tuh ya. Paling pemberani, pantang menyerah, dan berani spekulasi tinggi." Pujiku pada Ferdi.

"Malah memuji-muji tar kepalaku gede loh, jadi gimana km bisa bantu cariin orang ga?" Balas Ferdi.

"Ah Fer, tau sendiri kan aku anak rumahan sekarang, udah nggak pernah kemana-mana paling cuman ngemall." Gerutuku.

"Yaaahh payah, kuper banget sih." Sahut Ferdi tiba-tiba.

"Yee sialan, ini nih.. ini.. yang bikin kamu gak laku laku.. mulutnya tuh gak ada rem nya." balasku kesal.

"Hahahaha.. yah dia ngambek." timpal Ferdi

"Eh tapi tar aku ngobrol deh sama Ahmad. Jangan dilepas keorang lain dulu." Ucapku dengan semangat, seketika berpikir Ahmad akan mengijinkan aku bekerja diluar lagi.

"Iya deh, tapi jangan lama-lama, keburu basi. Hahahaha." balas Ferdi

"Oke aku cabut deh." Tambah Ferdi

"Aku juga deh." balasku sambil segera memesan taksi online.

Aku berniat pergi ke restoran akhirnya karena sedang menggebu-gebu untuk memberi tahu Ahmad tentang informasi dari Ferdi. Walaupun aku tau hubungan Ahmad dan Ferdi bisa dibilang saling dukung dan saling tikam. Mungkin kini Ahmad sedang unggul karena akhirnya bisnis restoran miliknya sedang diatas angin. Tak tanggung-tanggung hingga bisa buka cabang baru. Namun sebelumnya bukan tak ada peluh dan rintangan, aku sangat tahu karena aku yang membersamainya selama ini.

Ahmad memulai bisnisnya dari nol, menjajakan produk nasi mandi dan nasi briyani miliknya, menawarkan untuk katering rumahan maupun kantor. Walaupun dari keluarga berada namun kesuksesan Ahmad adalah murni dari kegigihannya. Ketika Awal merintis restoran, Ahmad menyewa sebuah ruko yang bagian atasnya kami tinggali dan bagian bawahnya digunakan untuk tempat makan.

Kami bertahan satu tahun karena Alhamdulillah pesanan katering untuk kantor-kantor membludak akhirnya kamipun bisa membeli apartemen dengan dua kamar yang letaknya hanya duapuluh menit menggunakan mobil. Itu adalah masa-masa sekitar dua tahun awal pernikahan kami.

Kini aku berada di dalam taxi online menuju restoran Ahmad sambil menyedot es alpukat kocokku yang sudah nyaris tandas. Rasa bahagia mendadak menyelimuti hati yang tengah gundah. Mungkin aku harus sering-sering me time seperti ini agar tetap waras menghadapi peliknya berbagi ruang dalam rumah tangga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status