“Ra, are you ok?” Tanya Mas Gala.“Iya.”Mas Gala berdehem dan tertawa kecil.“Lara khawatir, ya?” Tanyanya. “Kamu tenang aja ya, Ra. Itu semua Mas rasakan sebelum kenal sama kamu, sebelum mencintai kamu. Sekarang semuanya udah berubah, kamu beda, Ra, kamu bisa mengubah cara pandang Mas terhadap dunia. Mas jadi paham sekarang, kalau Mas butuh wanita dan wanita itu kamu.” Jelas Mas Gala dengan panjang lebar.Lara teridam, tak mampu mendeskripsikan kegembiraan yang dirasakan setelah mendengar ucapan itu melalui kata-kata. Air matanya tak kuasa untuk jatuh, haru menyelimuti dadanya. Hanya suara sesenggukan yang terdengar oleh Mas Gala.“Lara nangis?” Tanya Mas Gala, “Kok nangis, sayang. Ada kata-kata Mas yang nyakitin kamu, ya, Ra?” Lanjutnya.“Enggak, Mas.” Jawab Lara, “Lara nangis karena terlalu bahagia punya kamu.” Lanjutnya.“Syukurlah.” Ucap Mas Gala. Meski Lara tak melihat, dia tetap melengkungkan senyuman.“Mas Gala, makasih, ya.” Ujar Lara.“No, Ra. Mas belum pantas menerima ucap
“Jangan lupa makan malam, ya, sayang.” Ketik Lara, lalu dia mengimkan pesan itu kepada Mas Gala.Malam itu, selepas mengerjakan semua tugasnya, baik tugas perkulihan maupun tugas pekerjaan, seperti biasa Lara ingin melepaskan penatnya dengan bercengkrama bersama Mas Gala. Sekarang tak ada lagi canggung ataupun sungkan jika Lara menghubunginya terlebih dahulu, karena hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah. Namun, malam itu sedikit berbeda, Lara tak pernah mendapatkan balasan lebih dari setengah jam dan sekarang dia harus mendapati bahwa pesan yang dikirimnya dua jam lalu tak mendapat jawaban.Perasaan khawatir mulai menyelmuti hatinya, meski malam sudah cukup larut, Lara tak berminat untuk tidur, matanya masih menyala dan kepalanya di penuhi tanya. Lara terus-terusan coba menghubungi Mas Gala, menggunakan semua akun media sosialnya. Namun jawabannya nihil, semuanya tak mendapatkan jawaban. Mungkin saja jika rumah mereka tak berjarak begitu jauh, Lara pasti akan menemui p
Meski komunikasinya dengan Mas Gala semakin berkurang, Lara tak mengkhawatirkan apapun. Tentang kesetiaan itu, ia yakin Mas Gala bisa untuk dipercayai. Asalkan, menurut prinsipnya sibuk adalah hal yang wajar tetapi tidak sempat mengabari dalam waktu dua puluh empat jam adalah kemustahilan. Jadi sesingkat apapun pesan yang dibalaskan oleh Mas Gala ke ponselnya dalam satu, itu sudah lebih dari cukup untuknya.“Wah, udah mau jadi relawan. Berarti Lara udah semester enam, ya, semoga tahun depan udah jadi sarjana, ya. semoga besok hasil test-nya bagus dan Lara bisa lulus.”“Lara jaga kesehatan selalu, ya!”“Maaf mas baru sempat balas.”“Mas sayang Lara!”Deretan pesan beruntun itu masuk ke ponsel Lara pada pukul tiga dini hari, saat Lara terlelap dalam balutan selimutnya di kasur. Ia baru membacanya esok pagi dan itu seakan menjadi amunisi untuk menambah semangatnya mengikuti tes kesehatan. Lara semakin percaya diri bahwa dia akan lulus, terlebih dia tak sedang merasakan gejala-gejal
Melihat Bentara juga ada diantara mahasiswa yang tak dibagikan laporan hasil tesnya, Aria tidak berkomentar apa-apa, dia diam saja. Wajahnya tiba-tiba memucat. Nampaknya kali ini dia benar-benar panik. Mereka berlima melangkah memasuki ruangan kepala lab dengan membawa kekhawatiran yang sama; khawatir jika batal untuk mengikuti program relawan. Ruangan itu tak luas, di dalamnya sedang duduk seorang lelaki yang terlihat masih segar meski uban sudah hampir rata menyebar di kepalanya. Dia segera memasang maskernya saat menyadari kehadiran kelima mahasiswa itu. Dia tidak mungkin mempersilakan mereka untuk duduk karena kursi di ruangan itu hanya dua dan yang satunya sudah dia tempati untuk duduk.“Kalian tenang dulu, ya.” Ujarnya seolah menyadari arti dari kegusaran yang terpancar di mata kami berlima.Bagaimana aku bisa tenang? Batin Lara berkecamuk, keringat dingin mulai terasa membuat jemarinya licin. Dia melirik ke arah Aria, wajah temannya itu semakin pucat saja. Kemudian dia member
“Kamu yakin, Ra?” Tanya ibunya.“Iya, Bu. Lara yakin.” Jawab Lara.“Terus gimana program relawannya?”“Cuma ditunda kok, Bu. Dua minggu lagi Lara di tes lanjutan. Kalau udah negatif bisa nyusul.”“Oh gitu.” Gumam ibunya, “Tapi kalau Lara belum sembuh gimana, ya?” Tanyanya.“Lara bakalan sembuh kok, bu. Ini aja Lara sehat.” Jawab Lara untuk menenangkan.“Enggak gitu maksud Ibu, bisa nggak tempat Lara dipindah aja, jangan di daerah pelosok gitu?”“Terus dipindah ke mana dong?”“Di sini aja, Ra. Ya, nak? Kan Lara lagi nggak sehat.”“Mungkin bisa sih, Bu. Tapi Lara maunya di pelosok. Kurang srek kalau di kota, Bu.” Tolak Lara dengan halus.“Ya sudah, tapi Lara janji harus sembuh dan jaga kesehatan di sana nanti.”“Siap, Bu.” Jawab Lara dengan nada cerita.Setelah telepon itu terputus, Lara kembali lemas. Ternyata suaranya cerianya hanya dibuat-buta saja agar ibunya tidak khawatir.Arrrgghh, dengusnya seraya menjenggut rambut. Aria seketika menoleh padanya dan melihat wajah t
Meski sangat kuat sekali dugaan bahwa dirinya jadi bahan perbincangan Aria dan Bentara dichat, tetapi Lara tidak mau buru-buru terlihat kegeeran. Lagi puladia juga tidak mau kalau sampai, Aria tahu bahwa dia sudah lancang membaca pesan di ponsel Aria. Jadi dia memilih bungkam dan tak memerotes apapun kepada Aria. Meski tiba-tiba perasaan bencinya pada Bentara kembali menguat.BRAK!!Terdengar suara dentuman dari dalam kamar mandi yang membuat Lara sektika terlonjak kaget, dia kemudian memanggil-manggil Aria untuk menanyakan apakah yang sedang dilakukan Aria di dalam sana, meski sebenarnya Lara sangat khawatir pada Aria.“Suara apa tuh, Ar!”Tak ada jawaban.“Ar kamu ngapain sih?”Maih tak ada jawaban apapun dari Aria. Lara mulai panik dan mendekat ke arah kamar mandi, lalu menggedor-gedor pintunya.Tok tok tok“Ar, buka, Ar!” Teriaknya.Tetapi semua itu hasilnya nihil, Aria tak menjawab apapun. Hal itu semakin memperkuat dugaan Lara bahwa Aria jatuh dan pingsan di dalam sana
“Ar, Aria?” Ucap Lara seraya mengusap-usap lengan Aria.Aria yang belum sepenuhnya sadar dari pingsan nampak masih linglung, ia memandang Bentara dan Lara secara bersamaan. Lalu melihat kesekeliling dan meraba-raba badannya, ia melihat ke dalam selimut dan terperanjat mendapati dirinya tak mengenakan pakaian sama sekali. Aria segera mencoba untuk duduk namun ditahan oleh Lara.“Aku kenapa sih?” Tanya Aria dengan wajah kebingungan.“Nggak tahu deh, kamu tiba-tiba pingsan di kamar mandi.” Jawab Lara.“Tapi kok nggak pakai baju sih,” Protes Aria, “Bentara nggak habis perkosa aku kan?” Lanjutnya lalu melotot ke arah Bentara.Lara tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan konyol itu, sementara Bentaralangsung protes karena tidak terima dituduh.“Enak aja, nggak nafsu ya, aku sama kamu!” Ujarnya. “Ya, gimana kamu nggak telanj*ng, orang sementara mandi pingsannya.” Jelas Bentara.“Oh gitu, ya.” Aria manggut-manggut.“Ya udah jangan pecicilan dulu, Ar.” Pinta Lara.“Si bawel kan u
Mereka berlima kembali disuruh mengantri pada ruangan laboratorium untuk mengikuti test ulang lanjutan. Kelima mahasiswa itu terlihat sehat meski mereka tak bisa menutupi ekspresi cemas diwajahnya. Terlihat sehat saja tidak cukup untuk menganggap bahwa seseorang tidak terjangkit virus ini. Virus ini unik dan mematikan, gejala tak nampak namun serangannya sangat mematikan. Seperti saat pertama kali mereka divonis positif terjangkit, mereka berlima juga terlihat sehat dan segar bugar.Mereka akan di tes secara acak, tanpa urutan nomor induk mahasiswa seperti sebelumya. Mungkin karena mereka hanya sedikit, tak seperti test sebelumnya yang diikuti ribuan mahasiswa. Siapapun yang bersedia untuk dites duluan maka dia yang akan pertama dilayani. Mengetahui itu, Aria buru-buru mendekatkan diri seraya mengangkat-angkat tangannya.“Saya mau duluan, Pak. Saya aja.” Teriaknya dengan percaya diri kepada petugas.“Eh, yakin kamu?” Bisik Lara.“Yakinlah.” Jawab Aria lalu maju untuk dites.Tak l