Setelah merasakan suaminya benar-benar terlelap di belakangnya, perlahan Arienne bangkit dari tidurnya.Duduk bersandar di kepala tempat tidur, wanita itu menutupi tubuh polosnya dengan selimut dan menatap Gabriel yang sangat terlelap seperti bayi. Raut pria itu tenang dan mulutnya sedikit terbuka.Tangan lentiknya mengusap-usap rambut tebal pria itu yang berwarna hitam selama beberapa saat. Pelan, ia menunduk dan mengecup kening suaminya penuh perasaan. Kedua matanya berair, ketika mengingat beberapa waktu lagi ia harus akan melepaskan lelaki ini untuk selamanya.Arienne sangat ingin mempertahankan Gabriel di sisinya, tapi ia sangat tahu prioritas pria itu dalam hidupnya. Theodore Gabriel Hamilton adalah seorang pengusaha yang sangat ambisius. Yang ada di benaknya adalah untuk membesarkan usaha keluarganya. Menjadi semakin besar, dan semakin berkuasa. Saat ini, kesempatan itu tengah datang apalagi dengan runtuhnya kerajaan Dalton, membuat peluang itu terbuka semakin lebar.Seringnya
"Tidak ada lagi yang tertinggal?"Kepala hitam Gabriel menggeleng pelan. Terlihat pria itu sudah siap dengan koper besarnya dan menatap isterinya dalam diam. Pikirannya kalut saat ini.Tersenyum, Arienne merapihkan syal yang meliliti leher suaminya yang jenjang. "Jangan lupa jaga makanmu di sana. Cuaca sangat dingin. Aku tidak mau kamu sakit selama bekerja di sana. Ya, Gabe?"Lagi, kepala Gabriel hanya mengangguk. Pandangannya turun. Entah kenapa, tapi ia tidak sanggup untuk menatap isterinya yang saat ini sedang berdiri di depannya.Tidak menyadari kekalutan suaminya, kedua tangan mungil Arienne mengusap sepanjang lengan suaminya dan akhirnya menggenggam kedua tangan besar suaminya erat. Ia menimang-nimangnya sebentar dan mengusapnya pelan. Ketika akhirnya melepasnya, tiba-tiba tangan Gabriel mencekal pergelangannya.Mata hijau Arienne membesar dan pandangannya bertanya. "Gabe...?"Masih belum mampu berkata-kata, Gabriel hanya memandang isterinya. Kedua bola matanya yang gelap berger
Selama dua minggu lebih perjalanannya ke luar negeri, adalah siksaan bagi Gabriel. Pria itu dengan sangat angkuh berusaha menepiskan rasa rindunya pada isterinya sendiri, yang malah membuatnya uring-uringan selama ia berada di kamar hotel.Ia masih dapat menyisihkan perasaannya di siang hari, ketika kesibukannya menghadiri banyak konferensi bisnis dan juga pertemuan dengan beberapa pengusaha yang cukup menyita waktunya seharian penuh. Tapi beda ceritanya dengan saat ia sudah kembali ke kamar hotelnya yang besar, luas tapi sepi. Beberapa kali pria itu merasa mengalami halusinasi ketika ia melihat ke arah tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan. Ia seolah dapat melihat sosok isterinya yang polos, tampak terbaring seksi dengan senyuman di wajahnya.Pemandangan yang semakin lama semakin menyiksanya ini, seringkali membuat tubuh Gabriel merasakan panas dan gemetar tanpa diinginkannya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia pun terpaksa melakukan kegiatan yang selama hidupnya sama
Tidak sampai setengah jam kemudian, tampak pintu ruangan Gwendolyn terbuka dan Gabriel keluar dari sana. Ricard yang melihatnya hanya sekilas menangkap kalau wanita itu sedang berdiri membelakangi pintu dan bahunya terlihat tertunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan ia tampak menangis.Menoleh pada atasannya, pria tampan itu bertanya pelan. "Apa yang terjadi padanya, Tuan Hamilton? Anda memukulnya?"Merapihkan kerah jasnya, Gabriel mendengus kasar dan menyerahkan berkas-berkas yang tadi sempat ditinggalkan asistennya di ruangan. "Kau kira aku pria yang rendah dan akan melakukan itu pada seorang wanita lemah, Ricard? Dia menangis hanya karena ketakutan kehilangan hartanya kalau Gregorio sampai menceraikan dirinya nanti. Dan dia sudah menandatangani berkas-berkas ini."Mengerjapkan kedua matanya, Ricard menerima berkas itu. "Bagaimana cara Anda-""Aku akan menceritakannya nanti. Untuk saat ini aku ingin segera kembali ke Jerman, Ricard. Semua urusan kita sudah beres kan?""
Keesokan harinya, dengan tidak sabar Arienne mematut dirinya di depan kaca besar lemarinya. Beberapa kali ia mengganti bajunya, karena merasa tidak ada yang pas untuk menyambut suaminya nanti.Ketika akhirnya ia memilih satu pakaian yang dirasa menggambarkan hatinya saat ini, wanita itu berputar-putar di depan kacanya dan pipinya terlihat memerah. Ia sudah memulas wajahnya dengan make-up tipis, dan menggerai rambut pirangnya yang cukup panjang.Wanita itu tersenyum lebar dan mengelus perutnya yang rata. Mengambil amplop putih dari tas tangannya, Arienne menyimpan benda itu di laci lemarinya. Ia memutuskan akan mengatakan hal ini pada suaminya, saat mereka benar-benar sudah dalam keadaaan santai. Ia tidak mau membebani Gabriel dulu, sebelum merasa yakin 100% dengan hubungan mereka berdua.Memandang kembali kamar tidurnya, matanya bersibobrok pada koper besarnya yang terletak di pojokan ruangan. Beberapa hari lalu, ia telah selesai merapihkan pakaiannya dan siap untuk membawanya pergi s
"ANNEEE!?"Kedua mata hitam Gabriel membelalak terbuka. Dan dengan segera, pria itu segera menoleh ke sampingnya. Melihat tempat di sebelahnya kosong, lelaki itu kembali memalingkan mukanya dan tangan kirinya menutupi mukanya. Masih telentang, perlahan Gabriel mengusap wajahnya dan juga rambutnya. Keringat tampak membasahi tubuh berototnya yang saat ini terlihat polos.Menyender di kepala tempat tidurnya, kembali kepala pria itu menoleh ke sebelahnya dan menghela nafas berat. Sama seperti beberapa hari lalu, tempat di sampingnya kosong dan dingin. Terlihat tidak ada seorang pun yang tampak pernah tidur di sana.Perlahan, pria itu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Di dalam sana, ia membersihkan dirinya sambil melamun dan sejenak, membiarkan air yang cukup panas menerpa kepalanya yang saat ini terasa sangat berat. Tangan kanan pria itu terlihat mer*mas kencang d*danya yang kembali terasa sakit.Beberapa menit kemudian, pria itu keluar dari kamar mandi dan mulai berpakaia
= Di suatu tempat. Nun jauh di atas sana ="Dia akan datang?""Ya.""Sudah ke berapa kalinya?""Hum... Entahlah. Aku tidak menghitungnya. Yang jelas, sudah lebih dari 600 tahun ini.""Enam ratus tahun!? Kau yakin?""Aku bahkan sudah bosan mengurusnya. Entah kapan ini akan berakhir."Terdengar kekehan pelan seorang wanita. "Mungkin kita harus memberitahu Tuan Michael.""Mungkin. Karena sepertinya ini adalah kesempatan terakhir bagi jiwa tersesat itu. Karena kalau tidak, jiwanya akan langsung menghilang begitu saja.""Kasihan sekali.""Ya. Sangat jarang kasus seperti ini terjadi.""Ah. Dia datang."Tampak di depan mereka berdua, sebuah bola yang melayang-layang dengan ringannya memasuki gerbang yang menjulang megah di depan mereka. Bola yang berwarna emas itu bersinar dengan cemerlangnya. Sinarnya makin lama makin membutakan, membuat keduanya tidak bisa melihat apapun sebelum akhirnya rasa silau itu perlahan menghilang.Sebagai gantinya, di depan mereka telah berdiri sosok seorang pria
Situasi hari itu sangat suram. Cuaca yang mendung sejak pagi sama sekali tidak berubah, sampai akhirnya hari pun berganti malam. Hujan yang turun dari langit semakin menderas, mengancam terjadinya bencana banjir di beberapa lokasi. Suara petir yang menggelegar di angkasa dan membelah kegelapan pun, tampak meredam jeritan seseorang yang saat ini sedang berjuang untuk nyawanya."Oh! Oh, Steve...! Aku tidak kuat lagi!?"Jeritan isterinya membuat Stephen meneteskan air matanya. Setelah tadi pagi kehilangan kakaknya, pria itu harus menghadapi cobaan kalau isterinya pun akan bertaruh nyawa di hari yang sama. Lelaki itu berusaha menyisihkan rasa dukanya dan memberikan kekuatan pada isterinya melalui ciuman yang beberapa kali ia berikan pada wanita yang tengah berjuang itu. "Sedikit lagi, sayang... Sedikit lagi...""Nyonya Hamilton! Berikan dorongan terbaik Anda, Nyonya! Kepala anak Anda sudah mulai terlihat!""Kamu dengar itu, sayang? Berikan dorongan terbaikmu, Sharon! Anak itu sebentar lag