Share

Bab 4. Nindya

Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nindya. Betapa dia sangat bersyukur waktu itu. Bersyukur karena bisa tinggal bareng lagi dengan Ibu dan mendapatkan pekerjaan pula. Setidaknya dia tidak menganggur setelah tidak lagi bekerja dii pabrik konveksi. Ibu menempati rumah Mess berukuran tipe 36 di sekitar pabrik. Sudah cukup lama Ibu bekerja di Pabrik itu. Pabrik pengolahan susu dan produk turunannya yang sangat terkenal di wilayah Cianjur. Nisa ingat, Ibu sudah bekerja di pabrik itu ketika dirinya baru lulus SMP. Saat itu pabrik masih berupa industri rumahan biasa berskala kecil. Waktu itu pula dengan tekad sekuat baja, Ibu memutuskan untuk bekerja di tempat itu. Terpisah dari Nindya dan Nina.

Tumbuh dalam keluarga broken home dengan kondisi ekonomi pas pasan membuat Nindya harus prihatin sejak kecil. Sedari kecil pula, Nindya sudah sering menyaksikan betapa kuat dan tegarnya sosok wanita yang melahirkannya. Ibu yang harus berjuang sendiri mencari nafkah, Ibu yang sering mendapatkan perlakuan kasar dari Bapak, Ibu yang harus mati-matian menguatkan diri demi anak-anaknya. Ibu yang harus bekerja keras sekuat tenaga demi bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anaknya.

Ibu dan Bapak sudah pisah sejak Nindya kelas enam SD. Meski tak ada bukti otentik berupa surat cerai, Nindya menyaksikan sendiri insiden ketika Bapak angkat kaki dari rumah dan mengemasi barang-barangnya lengkap dengan melontarkan makian dan sumpah serapah yang ditujukannya pada Ibu. Dan insiden itu seolah menjadi bukti bahwa pada saat itu pernikahan Bapak dan Ibu telah berakhir. Saat itu suasana genting dan padat sekali. Beberapa tetangga dan pak RT turut menjadi saksi. Mereka selama ini menyaksikan bagaimana perlakuan kasar Bapak pada Ibu. Jarak antar rumah yang saling berdekatan, membuat mereka sering melihat penyiksaan yang dialami Ibu mulai dari dipukuli hingga babak belur, dilempar dengan asbak, dihina dengan kasar, dijadikan sasaran kekesalan setiap kali kalah judi hingga sederetan perlakuan kasar lainnya. Dan hari itu adalah puncaknya. Ibu yang sudah dalam kondisi berdarah-darah melaporkan perbuatan Bapak pada Pak RT. Nindya ingat, saat itu dengan ditemani beberapa tetangga, Ibu mendatangi rumah Pak RT. Ibu menceritakan semuanya. Ibu sudah tidak tahan lagi. Ibu mau Bapak segera ditahan polisi. Bukankah kekerasan dalam rumah tangga bisa dilaporkan polisi dan termasuk kategori tindak pidana? Ibu mengetahui hal itu dari Bu Westi, majikan Ibu yang pada suatu hari dibuat terkejut dengan kondisi wajah Ibu yang biru lebam akibat ditonjok Bapak. Dan itu bukan hal yang pertama yang dilihat Bu Westi.

Sampai di rumah Pak RT, Ibu menceritakan semuanya. Kebetulan di rumah Pak RT sedang ada keponakannya yang juga merupakan anggota polisi. Kesempatan itu makin tidak disia-siakan oleh Ibu. Ibu yang sudah sangat sakit hati melaporkan kejadian yang dialaminya pada anggota polisi tersebut. Ibu mau Bapak segera ditangkap dan ditahan.

Keinginan Ibu terwujud. Dengan diantarkan oleh Pak RT dan anggota polisi, Ibu kembali ke rumah. Bapak yang melihat kedatangan Ibu yang dikawal pak RT dan anggota polisi sangat terkejut. Dengan wajah ketakutan, Bapak diinterogasi. Bapak memohon-mohon pada Ibu agar tidak ditangkap polisi. Bapak bersujud dan meminta maaf, berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Ibu tetap bersikeras. Desakan dari para tetangga membuat Ibu makin tidak gentar dengan keputusannya. Ibu mau Bapak segera angkat kaki dan pergi dari rumah.

Dengan wajah lesu, Bapak membereskan barang-barangnya dan keluar dari rumah dengan diiringi oleh anggota polisi, Sang Keponakan Pak RT.

Luka-luka yang dialami Ibu cukup parah. Dahinya robek akibat lemparan gelas dan harus dijahit. Tulang bahunya juga cedera akibat tendangan. Ibu harus mendapat penanganan medis pasca kejadian itu. Setelah kondisi Ibu membaik, Ibu memutuskan untuk pindah kontrakan, tujuannya agar Bapak tidak bisa lagi menemukan mereka. Kata orang-orang Bapak sudah dipenjara. Bapak sudah tidak permah muncul lagi di rumah. Ibu, Nindya, Nina dan Yanto bisa hidup dengan tenang. Tak ada lagi kekerasan fisik maupun verbal dari Bapak.

Suatu hari Ibu pulang dengan wajah lesu. Ibu mengatakan kalau Bu Westi, majikannya akan pindah ke Luar Negeri. Dan itu berarti, Ibu tidak akan dipekerjakan lagi. Padahal Ibu sudah merasa betah bekerja di rumah Bu Westi. Dan Minggu depan adalah hari terakhir Ibu bekerja. Raut wajah Ibu seolah menggambarkan kebingungan yang teramat sangat. Bagaimana nanti untuk bayar kontrakan? untuk biaya hidup sehari-hari. Mau tidak mau Ibu harus secepatnya mencari pekerjaan lagi. Dan jika sudah mendapatkan pekerjaan, apakah gaji yang diperoleh nanti akan sama seperti ketika bekerja di rumah Bu Westi?

Sudah kurang lebih lima tahun, Ibu bekerja di rumah Bu Westi. Dari pagi hingga sore. Setiap hari Ibu berjalan kaki dari gang belakang RT 10 menuju jalan masuk ke komplek perumahan yang ditempati Bu Westi. Menurut cerita Ibu, Bu Westi orangnya royal dan tidak pelit. Rata-rata para pekerja di rumahnya mendapatkan gaji yang jauh lebih besar dibandingkan bekerja ditempat lain. Bu Westi yang bersuamikan seorang pria Canada berencana untuk mengikuti suaminya yang akan kembali bertugas di sana. Raut wajah Ibu masih nampak sedih. Bahkan Ibu sampai tidak enak makan waktu itu. Tapi alhamdulillah, kesedihan Ibu tidak berlangsung lama. Tiga hari setelah mendapatkan uang pesangon, Ibu mendapatkan tawaran untuk bekerja di pabrik susu milik teman akrab dari sepupu Bu Westi.

Bu Westi sendiri yang menyampaikan kabar itu. Kalau pabrik itu sedang membutuhkan banyak karyawan. Hanya saja letaknya jauh, di daerah Cianjur. Pemiliknya adalah seorang wanita keturunan Tionghoa bernama Mariana Lie. Pabrik itu baru buka, gajinya cukup lumayan. Dan masing-masing karyawan akan disediakan tempat tinggal berupa Mess. Tanpa berpikir panjang, Ibu langsung setuju. Ibu berpikir daripada di sini masih mengontrak, tak apalah tinggal sementara sambil bekerja di Cianjur. Selain itu, alasan lain yang menguatkan Ibu adalah keinginannya untuk bisa lepas dari ancaman Bapak. Ibu takut sekeluarnya Bapak dari penjara nanti, Bapak akan kembali datang dan membuat onar. Kembali ke rumah dan memukuli Ibu jika habis mabuk atau kalah judi. Ibu yang sudah lelah dengan perilaku Bapak, akhirnya menganggap rencana itu adalah ide terbaik. Dan Nindya yang waktu itu sudah lulus SMP serta Nina yang baru saja lulus SD setuju mengikuti saran Ibu untuk tinggal bersama Mbah Wedok di Wonogiri. Sementara Yanto yang masih kecil akan ikut Ibu ke cianjur. Pemilik Pabrik juga tidak keberatan jika salah satu karyawannya ada yang membawa anak. Lagipula Yanto sudah kelas satu SD waktu itu. Dia bisa melanjutkan sekolah di sana.

Nindya teringat lagi masa-masa itu. Masa-masa di mana dirinya dan Nina harus terpisah dengan Ibu dan Yanto. Berat rasanya. Meski Mbah Wedok memperlakukan Nindya dan Nina dengan baik, tetap saja rasa kangen akan Ibu membuat hari-harinya terasa hampa, tidak ada selera makan dan cenderung menutup diri dari pergaulan.. Lewat surat dan telepon, Ibu mengatakan kalau ibu sangat bersyukur dengan pekerjaan barunya. Ibu mendapatkan mess untuk ditempati. Gaji yang diperolehnya juga lumayan. Setiap bulan Ibu bisa mengirimkan uang untuk biaya sekolah Nindya dan Nina di Kampung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status