Elaine dan Lindsay masih berpelukan erat seolah-olah tengah melepas kerinduan setelah terpisah jarak dan waktu sekian dekade. Sementara itu dari tempat duduknya, Jane menatap mereka tak berkedip. Dalam hati Jane tidak bisa dipungkiri, terselip rasa cemburu melihat keakraban mereka. Mendadak Jane merasa kerdil di hadapan gadis itu. Sosoknya terlihat begitu anggun dan berkelas. Jane yakin, Lindsay pasti berasal dari keluarga yang status sosialnya sama dengan keluarga Caldwell.
"Hush, kau ini kemana-mana selalu mengaku cucu menantuku. Memangnya cucuku yang mana yang kau jadikan suami?" tegur Ny. Elaine halus. Ia tidak mau Jane menjadi salah paham mendengar kata-kata Lindsay.
"Lho, itu kan janji Aaron padaku dulu. Jangan bilang kalau Nenek lupa," rajuk Lindsay, memasang wajah cemberut.
Elaine tertawa, lalu menoleh ke arah Jane.
"Jangan anggap serius kata-kata gadis kecil ini, Jane. Dia hanya bercanda. Percayalah padaku, tidak ada hubungan serius di antara
Kening Aaron berkerut mendengar nama yang disebutkan oleh Jane. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apakah pendengarannya tidak salah? Barusan Jane menyebut nama Lindsay, kan? "Lindsay? Maksudmu Lindsay Williams?" Aaron balik bertanya, untuk meyakinkan dirinya. "Memangnya ada berapa Lindsay dalam hidupmu?" Jane balik bertanya, jelas tersirat kecurigaan dalam nada suaranya. "Oh, God. Please, Jane. Lindsay itu hanya bocah ingusan, tidak perlu curiga begitu, Sayang," jelas Aaron merasa lucu. "Bocah ingusan?" tanya Jane sambil mengingat-ingat penampilan Lindsay tadi sore. "Apakah pemilik cup ukuran 38, lingkar pinggang 65, dan lingkar panggul 110 bisa dikategorikan 'bocah kecil'?" tanya Jane lagi. Sebagai seorang desainer genius, cukup dengan melihat saja Jane sudah bisa memprediksi ukuran tubuh seseorang, sekalipun ia tidak mengukurnya secara langsung. Aaron menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung dengan deskripsi Lindsay yang
Mendengar suara seruan tertahan dari Jane, orang-orang mulai berkumpul mendekatinya. Rasa penasaran menyelimuti pikiran mereka. "Apa yang terjadi sampai tunangan Aaron Caldwell berteriak di tengah-tengah pesta?" Mereka yang berdatangan tidak bisa menahan rasa kagetnya ketika melihat Jane tengah berdiri sambil memegangi gaunnya yang robek hingga ke pangkal paha. Sementara itu, di depan Jane, seorang gadis berambut blonde berdiri dengan sikap cuek. Potongan dari sobekan gaun Jane tampak masih membelit hak stilettonya yang tinggi. Jane tahu pasti gadis itu sengaja menginjak gaunnya karena ia sudah melihat dari dekat gaun Jane terbuat dari bahan brokat yang bisa robek jika ditarik kuat. Apa lagi jika ada bagiannya yang bolong, ditambah lapisan sutra di bagian dalam, hanya satu sentakan saja sudah cukup membuat kain itu robek panjang. Jane ingin marah, ia emosi sekali saat itu. Tangannya mengepal hingga memperlihatkan buku-buku jari yang memutih. Mulutnya te
Hujan rintik mewarnai pagi hari Aaron dan Jane yang sedang menikmati sarapan bersama. Meski semalam baru saja mengadakan pesta pertunanganan, tapi mereka berdua sepakat untuk tetap berkerja hari ini. Jane tengah sibuk menyiapkan rancangan untuk koleksi musim dingin yang rencananya akan ditampilkan di New York Fashion Week pada bulan September nanti. Sementara Aaron sibuk dengan rencana pembukaan cabang baru di Australia. Dering ponsel Aaron tiba-tiba mengusik suasana, di layarnya tertera nama Joshua, sang manager HRD. "Ya, halo Josh. Ada apa?" "Bos, apakah perusahaan kita ada masalah apa dengan Kevin Williams?" tanya Joshua langsung tanpa basa-basi. "Masalah?" Aaron balik bertanya. "Setahuku tidak ada. Memangnya kenapa?" "Dini hari tadi, tiba-tiba saja putrinya menelepon saya, meminta kita mengatur posisi strategis untuknya, jika tidak ia akan meminta ayahnya menarik semua saham mereka dari The Caldwell Company." "Gila! Dia mau j
"Kau sudah gila, Lindsay! Kapan aku pernah berjanji akan menikahimu?" tanya Aaron meradang. "Kau bohong!" teriak Lindsay. "Jelas-jelas hari itu kau katakan akan menikahiku, di depan nenek, di depan paman, saat pesta ulang tahunku," sahut Lindsay mulai terisak. "Saat pesta ulang tahunmu?" Aaron balik bertanya, sambil memutar ulang semua memori yang ia punya. Namun, tidak satupun berkas di memorinya yang menyimpan kenangan seperti yang Lindsay katakan. "Sepertinya kau bermimpi, Gadis Kecil. Aku tidak pernah menjanjikan apa pun padamu," tegas Aaron, lalu menutup teleponnya. "Kau jahaaaat!" pekik Lindsay. Ia terduduk berurai air mata, tidak terima Aaron dengan mudahnya melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Sebuah janji yang bagi Lindsay adalah harapan untuk masa depannya. Sejak mendengar janji Aaron itulah Lindsay merasa optimis kembali untuk hidup setelah sempat depresi dan ingin bunuh diri. Akan tetapi, bagaimana mungkin Aaron bisa melupakanny
"Uhh ... ahh ...." suara desahan terdengar saling bersahutan memenuhi ruangan. Di atas ranjang berukuran sedang, seorang gadis berambut pirang terlihat bergerak dengan lincah di atas tubuh seorang pemuda. Tubuhnya meliuk-liuk, sementara kedua tangannya bergerak aktif membelai kedua bukit kembar miliknya sendiri. Gerakan erotis itu membuat pria yang ada di bawahnya tidak bisa berhenti mengeluarkan jeritan tertahan. Pria itu bangkit, dengan ganas melahap bukit kembar yang ada di hadapannya. Sejak tadi benda yang kenyal itu terus berayun seirama liukan tubuh sang gadis, menggoda dan menantang naluri kelelakiannya. Sekarang giliran sang gadis yang mengeluarkan desahan nikmat. Kedua tangannya terulur meraih kepala sang pria sambil terus bergerak membiarkan bagian bawah tubuh mereka menyatu lebih dalam. "Oh, shit! Kau nikmat sekali, Cantik," puji pemuda itu sambil terus menggasak miliknya ke liang sempit milik sang gadis. Tubuh sang gadis mulai menegang. Liangnya mencengkr
Di salah satu puncak gedung tertinggi di kota Big Apple itu, Designer Private Party digelar. Suara musik hasil racikan DJ terkenal terdengar menghentak, menggoda para pecinta nada turut mengayunkan tubuh mengikuti irama. Aroma alkohol tercium dari setiap meja. Ruangan yang sebelumnya hanya berisi segelintir orang itu, dalam hitungan menit telah dipenuhi oleh puluhan desainer pendatang baru yang berharap bisa bertemu langsung dengan si pemilik pesta, Fulton Brylee. Mereka datang dalam balutan busana hasil karya terbaik mereka. Saling adu teknik, saling adu unik, saling adu daya tarik. Siapa yang akan menjadi pemenang? Itu adalah wewenang mutlak dari sang empu acara. Jane masuk ke ruangan bernuansa temaram itu dengan langkah anggun. Ia mengenakan cocktail dress selutut warna mid nigh blue polos, dengan rimple unik di bagian pinggang. Lehernya yang jenjang ia hias dengan kalung swarovski dengan liontin berbentuk matahari yang berkilau setiap kali tersentuh cahaya. Berpa
Malam sudah larut, bulan pun terlihat bersembunyi di balik awan. Seolah enggan untuk bertugas malam itu. Di tengah hangatnya cuaca musim semi, Aaron dan Jane bergandengan mesra dari gerbang utama menuju East Wing tempat Jane menetap hingga mereka menikah nanti. Jarak gerbang utama dan East Wing sebenarnya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, Aaron dan Jane tidak menghiraukan itu karena saat ini mereka tengah berbahagia. Mereka berhasil menggagalkan niat buruk Fulton pada Jane. Tidak hanya itu, mereka juga berhasil memaksa Fulton memberikan penilaian langsung secara gratis pada karya-karya desainer muda yang datang ke pesta itu. Aaron dan Jane bisa saksikan rona kebahagiaan dari para desainer pendatang baru itu. Tanpa harus mengorbankan diri, mereka bisa mendengarkan penilaian, saran, dan kritikan langsung dari penguasa dunia fashion sekaligus Ketua Dewan Perancang Busana Amerika. Sebuah kesempatan langka yang pastinya tidak ternilai harganya.
"Wah, rupanya benar Anda. Apa kabar, Nona Ariest?" Masih dengan senyum lebarnya sosok itu mengulurkan tangan untuk menyalami Jane. Jane bergeming, hanya menatap sosok itu tanpa berkedip berusaha mengenali rupa yang sekilas terlihat familiar. Namun, sel-sel otaknya tidak mampu memberinya gambaran lebih banyak. Sosok tampan pemilik senyum bersahabat itu tetap saja masih asing di ingatannya. Dengan tatapan bingung, akhirnya Jane menyambut uluran tangan lelaki itu. "Maaf, saya tidak bisa mengingat Anda. Apakah kita saling mengenal?" tanya Jane ragu. Manik berwarna coklat itu tak beranjak memandangi paras Jane yang terlihat bingung. Tanpa melepaskan senyumnya, ia menjawab pertanyaan Jane dengan nada ceria. "Bisa ya, bisa juga tidak. Namun, satu yang pasti kita sudah bertemu beberapa hari yang lalu di pesta pertunanganan Anda," jawab sosok itu memberikan clue. Jane kembali memutar memorinya, mencoba mengingat nama-nama yang dikenalka