Aku mengernyitkan dahi. “Kamu terpukau dengan kerajaan yang telah merebut kemerdekaan kerajaanmu?” Tentu aku heran, dan tercengang.
“Ketika Kerajaan Eldoria menyerang Kerajaan Elysium yang dipimpin ayahku, aku berusia 5 tahun. Jadi, aku tidak merasakan dampak dari perang.” Marco tersenyum tipis, ia lanjut berbicara, “Aku bermain di dalam istana bersama pelayan.” Ia terkekeh sambil memainkan cincin yang ada di jari manisku. “Lantas, kenapa kamu bisa terpukau?” tanyaku mengalihkan pendanganku ke arah lain. Aku tak kuat dengan pesona Marco, lelaki berusia 25 tahun ini sangat menawan. “Kakak pertamaku, Julian. Yang waktu itu bergelar putra mahkota ikut berperang,” tutur Marco. “Setelah peperangan berakhir, kakak pertamaku menceritakan tentang kehebatan kekuatan militer Kerajaan Eldoria,” jelasnya. Aku mengangguk mengerti. Dengan kata lain, Marco sangat percaya dengan apa yang diceritakan Tuan Julian. “Sebagai penduduk asli Eldoria, aku merasa bangga. Yang Mulia Kaisar sangat hebat!” ujarku. Karena perjalanan masih panjang, aku yang bosan, memutuskan keluar untuk memandang keindahan lautan. Marco mengikutiku, ia benar-benar tak membiarkanku sendirian. *** Waktu berlalu, keesokan harinya, kapal yang kami tumpangi sampai di dermaga Eldoria. Kedatangan kami disambut baik oleh beberapa tentara angkatan laut yang langsung mengawal kami. Aku agak terkejut mengetahui bahwa Marco cukup terkenal dan sangat dihormati oleh tentara kerajaan. Aku tersadar dari lamunan ketika Marco menggandeng tanganku, dan mengajakku agar segera masuk ke dalam mobil. “Mobil ini ....” gumamku. “Mobil yang disiapkan rekanku,” sahut Marco mendengarku. “Ah ....” Aku mangguk-mangguk. Sebelum melajukan mobil, aku dan sopir saling memandang satu sama lain cukup lama. “Antar kami ke Istana Rhys,” pintaku. Sopir itu mengangguk patuh. “Istana Rhys? Kedua orang tuamu tinggal di sana?” tanya Marco tertarik. “Iya. Mereka tinggal di sana,” jawabku sekenanya. Aku bersyukur saat Marco tak lanjut bertanya. Kami pun terhanyut dalam kesunyian yang menenangkan. Akhirnya, hampir 30 menit perjalanan, mobil yang kami kendarai masuk ke dalam halaman Istana Rhys, setelah petugas membuka pintu gerbang. Baru saja aku turun dari mobil, aku langsung disambut meriah oleh para pelayan. Mereka mengerubungiku seperti semut yang memperebutkan gula. “Nona kami pulang!” “Senangnya!” “Ya ampun ... Nona sudah dewasa! Cantik sekali!” “Nona ... Nona sudah bisa mandi sendiri, ‘kan? Aku mengkhawatirkanmu ....” Aku memutar kedua bola mataku malas ketika mendengar ocehan mereka yang saling bersautan. Berisik sekali. Mereka seketika membisu saat Marco keluar dari dalam mobil. “Ibu dan ayahku ada di rumah?” tanyaku pada salah satu pelayan. “Iya!” Aku tersenyum senang, dan meminta pelayan untuk memberitahu kedua orang tuaku, bahwa aku ... Putri kesayangan mereka telah kembali. Aku menggandeng lengan kekar Marco, mengajak Marco masuk ke dalam istana. Marco tak mengatakan sepatah kata pun. Mungkin otaknya tengah berpikir mengenai siapa aku sebenarnya. Aku dan Marco duduk di ruang tamu utama istana. Tak berselang lama, kedua orang tuaku muncul, aku langsung memberi hormat, lalu memeluk keduanya secara bergantian. Ibuku mengelus kepalaku, menyalurkan kerinduannya terhadapku. Kami duduk bersama dengan Marco yang masih terdiam. Aku tertawa kecil melihat wajah tampannya yang tegang. Dia pasti sangat terkejut dengan pemandang manis yang aku dan kedua orang tuaku tunjukkan. “Siapa pria yang kamu bawa? Temanmu? Atau ... Kekasihmu?” tanya ibuku sedikit meninggikan suaranya. Aku memperkenalkan Marco sebagai calon suamiku. Respons kedua orang tuaku sesuai dengan dugaanku, mereka amat terkejut, terutama ibuku yang melempar tatapan membunuh ke arahku. “Menikah! Kau akan menikah dengan pria yang tidak kami kenal?!” sungut ibuku. “Ibu ... Jangan emosi dulu,” tegurku. “Tuan Marco bukan pria biasa. Beliau merupakan Kolonel Kadipaten Elysium, anak terakhir Keluarga Klaus, adik Duke of Elysium!” cerocosku menggebu. “Huh?? Orang Elysium? Adik Duke of Elysium?” dengus Ibuku menyentuh keningnya, menunjukkan ketidaksukaannya. “Aduh ... Kepalaku pusing,” keluhnya memandang suaminya, Ayahku. “Pernikahan antara bangsawan Eldoria dengan bangsawan Elysium belum pernah terjadi. Jika sampai terjadi, akan sangat menarik.” Ayahku berkomentar. Benar, aku bukan seorang gadis yang asal-usulnya tidak jelas, tak seperti yang dikatakan ibu Lukas. Aku berasal dari keluarga bangsawan terkenal di Eldoria. Ayahku, Xandrian Anne George adalah Duke of Liba, sedangkan ibuku, Lady Magarete Huan George merupakan Duchess of Liba. Aku sengaja tidak memberitahu Lukas tentang identitas asliku, maksudku ... Aku akan memberitahunya ketika ia datang ke sini untuk melamarku. Namun apa yang terjadi sekarang? Bukannya datang bersama Lukas, aku justru membawa adiknya. Marco yang sedari diam, kini mulai berbicara. Dengan sangat sopan, ia secara pribadi memperkenalkan dirinya sendiri. Dan to the point, memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku sempat kagum melihat bagaimana Marco merayu, dan meyakinkan kedua orang tuaku. Marco berjanji tak akan membuatku kecewa, bersedih, ataupun menangis. Marco bahkan tak sungkan menyatakan rasa cintanya padaku. “Nak Marco, niatmu sudah baik. Namun ... Putriku baru berusia 23 tahun. Masih banyak hal yang belum ia ketahui,” tutur Ibuku melunak. “Saya akan mengajarinya banyak hal,” timpal Marco. Kedua orang tuaku saling memandang satu sama lain. Kemudian ayahku berkata, “Pernikahan kalian bisa mempererat ikatan politik antara Kerajaan Eldoria, Kadipaten Liba, dan tentunya Kadipaten Elysium. Tapi ... Aku harus membicarakan ini kepada Kaisar telebih dahulu.” Seperti biasa, Ayahku selalu bijak. “Jika diizinkan, saya akan meyakinkan Kaisar, Yang Mulia,” ucap Marco menawarkan diri. “Untuk saat ini, biar aku yang menemui Kaisar,” tandas Ayahku. “Baik, Yang Mulia,” balas Marco sopan. Ibuku mengakhiri obrolan dengan meminta Marco beristirahat. “Perjalanan jauh pasti melelahkan. Pelayan telah menyiapkan kamar untuku, Nak,” tutur Ibuku lembut. Aku heran, bisa-bisanya ibuku menebar senyuman kepada Marco, padahal mereka baru bertemu. “Saya akan pergi beristirahat,” pamit Marco sebelum mengikuti pelayan yang menuntunnya menuju kamar. Setelah kepergian Marco, senyum di wajah Ibuku menghilang, berubah menjadi ekspresi marah. Ibuku memerintahkan pelayan untuk membawakan alat yang sering ia gunakan untuk memukulku. “Selama 3 tahun kamu tidak pulang, dan hanya mengirim surat. Begitu pulang, malah minta menikah! Katakan! Apakah kamu sedang hamil?!” bentak Ibuku mengayunkan bulu angsa kecil ke kepalaku, dan memukul-mukul kepalaku menggunakan benda ringan tersebut. Tentu aku tak merasakan sakit sedikipun. “Ibu ... Aku tidak hamil, kok!” sangkalku berkata jujur. Ibuku menghembuskan napas kasar. Beliau menghentikan aksinya, lalu kembali duduk di sofa dengan anggun. Sedangkan ayahku berusaha menenangkan istrinya yang tantrum. “Katakan, apa yang kamu lakukan selama 3 tahun ini? Dan ... Apakah kamu benar-benar mengikuti Dokter Kerajaan bekerja?” cecar Ibuku tak menghilangkan tatapan sengit untukku. Awalnya, aku datang ke Elysium untuk membantu Dokter Kerajaan mengobati pasien, sekaligus belajar, karena aku memang salah satu murid Dokter tersebut. Namun, aku justru bertemu dengan Lukas, dan jatuh hati padanya. Aku pun mengubur mimpiku menjadi Dokter, dan fokus membantu Lukas mencapai cita-citanya. Aku meninggalkan sekolah kedokteranku, demi beralih ke sekolah politik, dan sejarah, tanpa sepengetahuan keluargaku. “Jangan diam! Atau aku akan memukulmu lagi!” murka Ibuku mulai mengancam. “Aku ... Belajar politik, Bu ....” jawabku lirih. Baiklah ... Aku takut mengecewakan kedua orang tuaku. “Apa kamu bilang! Kamu? Belajar politik! Hey! Kamu ini wanita! Tidak boleh berpolitik!” geram Ibuku bangkit dari duduknya, dan memukul kepalaku menggunakan bulu angsa. “Maafkan aku, Bu ... Aku janji, aku akan melanjutkan sekolah kedokteranku ....” mohonku menangis. Aku tidak berpura-pura, aku menangis sungguhan. Aku meresa bersalah karena telah membohongi kedua orang tuaku. “Huh ... Sungguh membuat kesal!” dengus Ibuku meletakkan bulu angsa di atas meja. “Lantas, apa alasanmu mau menikah dengan tentara?” tanya ibuku setelah menarik napas dalam-dalam. “Aku ... Juga tidak tahu,” jawabku lirih. Ibuku naik pitam lagi. “Apa kamu bilang! Kamu beneran mau aku pukul sampai mati?!” Bersambung ...Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya.Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Ia meringis, napasnya tercekat.“Aku.... Masih hidup?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian.Dari sudut pandang terbatas, Gisel
~~3 tahun kemudian,Hari ini Marco pulang karena mendengar kabar mengenai kematian Yang Mulia Duke, kakak pertamanya yang kerap dipanggil Tuan Julian. Betapa hancur Marco saat ia tak diberi kesempatan untuk melihat jasad sang kakak, orang yang begitu ia cintai dan hormati.Nyonya Emilia sebenarnya takut pada Marco yang terlihat seperti monster. Namun beliau tetap berusaha untuk menenangkan Marco.“Kakakmu harus segera dimakamkan, sebelum mengalami pembusukan. Maka dari itu, pihak istana menguburkan kakakmu sebelum kamu datang,” terang Nyonya Emilia, mengelus pundak Marco. “Aku sungguh menyesal karena tidak bisa menahan mereka.”Marco menyingkirkan jemari berkerut Nyonya Emilia yang sedari tadi bertengger manis di bahunya, seakan menunjukkan jika dirinya risih disentuh oleh wanita itu.“Berhentilah bersedih,” ucap Lukas, tegas. “Semua yang hidup pasti akan mengalami kematian. Bersikaplah layaknya seo
~~3 tahun lalu ...Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa.Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana, wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban.Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah.“Lekas selamatkan Tuan Marco!” perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan.Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati p
“Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?,” ledek Nela. “Itu karena ... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu,” bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu.“Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?”Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar.“Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco,” timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik.
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku.Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman.Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi.Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta.Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku.Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat.Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku.“Ibu ... Serahkan tamu undangku, kepadaku,” pinta Clara, bersuara lembut. Den
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.“Ibu ... Tidak melihat Angelia, ya?” tanyaku, sekali lagi.“Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya di sini lagi,” jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam.Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah?“Jadi, Ibu telah menegurnya? Huh ... Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu,” timpalku, bersyukur.“Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu,” tegas Nyonya Emilia, lagi-lagi merendahkanku.Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini.“Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu.” Rupanya Nyonya Emilia mengancamku.“Ibu ...