Kesepakatan pun terjalin dengan bersedianya Gisela menjadi istri Marco. Namun, sebelum mereka menikah, Marco ingin menemui Lukas dan Nyonya Emilia untuk memberitahu kabar ini. Tak hanya itu, Marco juga berencana untuk meminta restu pada keluarga mempelai wanita.
Setelah berakhirnya pesta pernikahan Lukas dan Clara, ketika semua tamu undangan meninggalkan istana utama Keluarga Klaus, tepat di jam 10 malam, Marco meminta Nyonya Emilia dan Lukas untuk menemuinya di ruang pertemuan istana. Melihat kehadiran Gisela, Lukas mendengus kesal, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Gisela, wanita yang telah ia campakkan. “Ada apa, Marco? Kenapa meminta kami berkumpul di sini?” tanya Nyonya Emilia, beralih melirik Gisela. “Lantas, kenapa kamu bersama wanita ini?” ketusnya, tak senang pada sosok Gisela. “Baiklah, berhubung aku tidak pandai basa-basi. Langsung saja. Aku dan Gisela, kami akan menikah,” tegas Marco. Pernyataan lantang Marco mengejutkan mereka berdua. Terlebih Lukas yang langsung mencemooh Marco dengan mengatakan bahwa Marco gila, dan bodoh. “Anakku, Marco... Tidak ada wanita lain, kah? Kenapa kamu ingin menikahi wanita dari kalangan bawah seperti Gisela?” cerca Nyonya Emilia, memandang nyalang ke arah Marco. “Kakakmu saja tak sudih bersama wanita ini,” imbuhnya berganti menatap sinis ke arah Gisela. Dengan santai Lukas membalas, “Aku hanya memberitahu kalian, bukan meminta pendapat ataupun restu kalian.“ Gisela terkejut mendengar pernyataan lantang Marco. Gisela sama sekali tak menyangka jika Marco berani bertingkah tak sopan pada ibu dan kakaknya. Gisela mengira bahwa hubungan mereka sebenarnya tak seakur yang mereka tunjukkan di depan publik. “Marco... Coba pikirkan secara matang. Kamu adalah seorang bangsawan dari Keluarga Klaus.” Nyonya Emilia memelankan suaranya. “Banyak putri bangsawan yang menginginkanmu. Mereka tak hanya cantik, juga memiliki keluarga yang luar biasa,” bujuknya. “Ck, aku tidak menginginkan mereka,” balas Marco, singkat. “Hey... Gisela!” panggil Lukas, dengan suara cukup tinggi. “Setelah dibuang olehku, kamu memilih untuk menggoda adikku? Kamu pasti sangat terobsesi untuk menjadi menantu di Keluarga Klaus.” Lukas tak segan untuk menghina dan mencibir Gisela. Saat Gisela hendak menyangkal ocehan dan tuduhan pedas Lukas, Marco lebih dulu menyahuti, “Yang Mulia Duke... Anda tahu persis, siapa yang terobsesi menyandang nama Klaus, dan menjadi bagian dari Keluarga Klaus yang terhormat.” Marco tampak menahan amarah, sampai telinganya memerah. Hubungan persaudaraan mereka jelas buruk. Tapi, kenapa? “A-ah... Kalian jangan berdebat,” sela Nyonya Emilia, mererai. Wanita itu sempat mengelus punggung Lukas sebelum lanjut berbicara, “Anakku, Lukas. Apabila Marco ingin menikahi Gisela, biarkan saja....” “Dengarkan perkataan Ibu, Yang Mulia,” sahut Marco, nada bicaranya seakan mengejek Lukas. Lukas memejamkan matanya sejenak. Ia menghirup napas, lalu mengeluarkannya perlahan. “Aku tidak ingin melanjutkan obrolan busuk ini. Jika kamu berniat menikahi wanita rendahan ini-”Lukas menunjuk ke arah Gisela. “Ya, lakukan saja,” pungkasnya berdiri dengan angkuh. Ketika Lukas berjalan menjauh, “Selamat menikmati malam pertama bersama wanita yang kamu cintai... Jangan sampai kamu membayangkan wajah mantan kekasihmu,” ujar Marco, menarik sudut bibirnya ke atas, menunjukkan bahwa ia tengah meledek Lukas. Lukas memilih untuk menghiraukan ocehan Marco. Ia lanjut melangkahkan kakinya pergi. “Huuhh... Sulit dipercaya.” Nyonya Emilia ikut berlalu pergi dengan meninggalkan ekspresi cemberut. Di saat Gisela berusaha mencerna situasi, Marco menyentuh dagu Gisela, menuntun agar pandangan keduanya saling bertemu. “Aku... Sedikit mengantuk,” ucap Gisela, lirih. Entah mengapa, kedua mata Gisela terasa begitu berat. Mungkin efek dari wine yang sempat ia cicipi tadi. “Gisela, pipimu memerah. Ayo kita tidur bersama,” ajak Marco, menampilkan raut wajah khawatir. Seketika rasa kantuk Gisela menghilang. “Tidak mau! Aku tidak mau tidur bersamamu!” tolaknya, panik. “Antar aku pulang,” pintanya, cepat. “Pulang ke mana?” Dan Marco masih sempat menggoda Gisela. “Mulai sekarang kamu tinggal di rumah pribadiku,” tandasnya. Tentu saja Gisela tidak bersedia tinggal di kediaman Marco tanpa sebuah ikatan resmi, seperti pernikahan. Apalagi Gisela agak takut pada Marco yang kelakuannya sering susah ditebak. “Jangan berpikir aneh-aneh. Aku hanya ingin menjaga keselamatanmu.” Marco memberi pengertian. “Lukas adalah seorang Duke. Semua orang mematuhi perintahnya. Bukan hal yang sulit baginya untuk melenyapkanmu.” Setelah merenungi perkataan Marco yang masuk akal, Gisela akhirnya mau tinggal di rumah Marco. Untuk saat ini, Gisela memang membutuhkan sosok seperti Marco yang memiliki kuasa. “Besok, kita pergi menemui orang tuamu. Aku harus mendapatkan restu mereka,” kata Marco, mencubit pelan pipi Gisela. Tanpa sadar, Gisela tersenyum tipis. “Kedua orang tuaku sangat sulit dibujuk. Aku tidak yakin kamu bisa mendapat restu dari mereka. Meskipun kamu seorang bangsawan kaya raya....” *** Keesokan harinya, Gisela terbangun dari tidurnya karena merasakan sesak di dada. Begitu Gisela membuka kedua matanya, rambut seseorang terlebih dahulu menyambut penglihatannya yang masih kabur. “Marco?” panggil Gisela, bersuara lirih, hampir tak terdengar. Tak mendapat respons dari Marco, Gisela menepuk pelan pipi Marco yang menempel pada dadanya. Gisela tak habis pikir, bisa-bisanya lelaki itu terlelap di atas tubuhnya. Gisela meraba tubuhnya yang ternyata te lan jang di balik selimut. Seketika itu, Gisela yang panik, langsung mendorong kepala Marco dengan kasar. Tindakannya sukses membangunkan Marco. Dengan mata sayu, dan ekspresi yang tampak lesu, Marco memandangi Gisela. “Tuan berat! Bisa menjauh dariku?” protes Gisela, menahan kedua pundak Marco. Perlahan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Marco menjauhkan dirinya dari tubuh Gisela. Pipi Gisela terasa panas saat matanya tak sengaja memandang tubuh elok Marco yang berotot. Marco mengenakan kemeja longgar miliknya dengan santai. Ia menatap Gisela sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangan. “Tuan... Apa yang kamu lakukan?” tanya Gisela, mengeratkan selimut. “Maaf, aku tidak bisa tidur tadi malam, jadi aku datang ke sini. Tenang saja, aku tidak melakukan hal buruk padamu,” jelas Marco. “Lalu, ke mana gaun tidurku!” sungut Gisela, mengerutkan dahi, menuntut jawaban Marco. Sambil tertawa kecil, Marco menjawab, “Soal gaun tidurmu, maaf... Aku tak sengaja merusaknya.” Enteng sekali dia bicara, bahkan ia terlihat tak merasa bersalah. “Kamu sudah melihat....” Saking gugupnya, Gisela sampai tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Perasaan kesal bercampur malu tak bisa ia hindari. Bukankah kelakuan Marco bisa di kategorikan sebagai pelecehan? “Gisela... Aku menyukai apa yang aku lihat, dan aku nikmati darimu,” kata Marco, tersenyum lebar. “Dasar mesum!” Gisela berteriak, setelah itu, ia melempar beberapa bantal kecil ke arah Marco sebagai luapan kekesalan. Tanpa ragu, Gisela turun dari ranjang dalam kondisi te lan jang bulat. Gisela tidak peduli, toh ... Marco juga sudah melihat kulitnya. Yang terpenting, sekarang Gisela bisa memukuli Marco dengan membabi buta. Marco pasrah saat Gisela menampar pipinya berkali-kali, bahkan ia seperti menikmatinya. Gisela yang kelelahan, akhirnya berhenti menghajar Marco. Baru saja Gisela akan merosotkan tubuhnya, Marco lebih dulu menarik, lalu memeluk Gisela dari belakang. “Pergilah mandi. Hari ini kita pergi ke rumah orang tuamu,” bisik Marco, tepat di telinga Gisela. “Memangnya kamu tahu, di mana orang tuaku tinggal?” cibir Gisela, sambil berusaha melepaskan pelukan Marco. Namun aksinya gagal. Justru pelukan Marco makin mengerat. “Di mana orang tuamu tinggal?” tanya Marco. Gisela memutar bola matanya, lalu menjawab, “Nanti juga tahu.” Ia berhenti sejenak untuk meraup banyak oksigen, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Sekarang... Siapkan gaun dan perhiasan untuk aku kenakan.” Marco melepas Gisela, setelah menyanggupi permintaan sang calon istri. Marco mempersilakan Gisela bersiap diri. Sedangkan dirinya keluar dari kamar. Beberapa jam berlalu, setelah semua siap, mereka berdua berangkat menuju kota di mana orang tua Gisela tinggal. Gisela memberitahu Marco jika ibunya tinggal di salah satu istana yang berada di Kerajaan Eldoria. Dan... Yap! Marco langsung menyimpulkan bahwa ibu Gisela bekerja menjadi pelayan kerajaan. Jarak tempuh dari Kadipaten Elysium menuju Kerajaan Eldoria tidak lah pendek. Mereka memerlukan sekitar 10 jam untuk sampai di sana. Mereka juga harus menyeberangi samudra. Untungnya Marco tak memprotes Gisela, karena tak memberitahu sejak awal. Malahan Marco dengan sigap meminjam kapal dari rekannya yang bekerja di angkatan laut. Tak lupa, Marco juga membawa banyak anak buah untuk menjaga mereka selama perjalanan. Marco merupakan saudara Tuan Duke. Marco juga berada di urutan kedua sebagai ahli waris Tahta Duke setelah Tuan Julian meninggal. Tak hayal jika keselamatannya menjadi yang paling utama. “Gisela, apakah kamu bukan penduduk asli Elysium?” Pertanyaan Marco memecah keheningan mereka yang sedang duduk manis di kabin kapal. Gisela mengangguk. “Aku pikir kamu sudah tahu.” “Aku tidak terlalu memperhatikanmu. Aku....” Marco menggaruk tengkuk lehernya sesaat, sebelum lanjut berbicara, “Aku terlalu sibuk mengurus wilayah yang berkonflik.” Dalam posisi sedekat ini, Gisela baru menyadari bahwa Marco dan Lukas sangat berbeda. Tak hanya wajah keduanya yang tak mirip, pilihan karier mereka juga tak sama. Lukas memang pernah sekolah militer, dan bertugas selama 5 tahun di angkatan udara, namun Lukas tak pernah mau menjadi tentara. Sebelum Lukas bergelar Duke, ia adalah seorang pebisnis andal. Sedangkan Marco... “Tuan, beritahu aku, bagaimana caramu memandang Kerajaan Eldoria. Apakah kamu membenci kekaisaran?” Entah mengapa, tiba-tiba terbesit dalam otak Gisela untuk menanyakan perihal pandangan Marco terhadap monarki. “Untuk apa aku membenci sesuatu yang membuatku terpukau?” Bersambung...Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya.Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Ia meringis, napasnya tercekat.“Aku.... Masih hidup?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian.Dari sudut pandang terbatas, Gisel
~~3 tahun kemudian,Hari ini Marco pulang karena mendengar kabar mengenai kematian Yang Mulia Duke, kakak pertamanya yang kerap dipanggil Tuan Julian. Betapa hancur Marco saat ia tak diberi kesempatan untuk melihat jasad sang kakak, orang yang begitu ia cintai dan hormati.Nyonya Emilia sebenarnya takut pada Marco yang terlihat seperti monster. Namun beliau tetap berusaha untuk menenangkan Marco.“Kakakmu harus segera dimakamkan, sebelum mengalami pembusukan. Maka dari itu, pihak istana menguburkan kakakmu sebelum kamu datang,” terang Nyonya Emilia, mengelus pundak Marco. “Aku sungguh menyesal karena tidak bisa menahan mereka.”Marco menyingkirkan jemari berkerut Nyonya Emilia yang sedari tadi bertengger manis di bahunya, seakan menunjukkan jika dirinya risih disentuh oleh wanita itu.“Berhentilah bersedih,” ucap Lukas, tegas. “Semua yang hidup pasti akan mengalami kematian. Bersikaplah layaknya seo
~~3 tahun lalu ...Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa.Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana, wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban.Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah.“Lekas selamatkan Tuan Marco!” perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan.Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati p
“Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?,” ledek Nela. “Itu karena ... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu,” bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu.“Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?”Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar.“Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco,” timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik.
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku.Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman.Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi.Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta.Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku.Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat.Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku.“Ibu ... Serahkan tamu undangku, kepadaku,” pinta Clara, bersuara lembut. Den
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.“Ibu ... Tidak melihat Angelia, ya?” tanyaku, sekali lagi.“Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya di sini lagi,” jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam.Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah?“Jadi, Ibu telah menegurnya? Huh ... Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu,” timpalku, bersyukur.“Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu,” tegas Nyonya Emilia, lagi-lagi merendahkanku.Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini.“Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu.” Rupanya Nyonya Emilia mengancamku.“Ibu ...