LOGINKesepakatan di antara kami berdua terjalin dengan bersedianya aku menjadi istri Marco.
Sebelum kami menikah, Marco ingin menemui Lukas, dan ibunya untuk memberitahu mereka tentang hubungan kami. Marco juga berencana untuk meminta restu pada keluargaku. "Keluargaku sangat miskin, dan tinggal di desa terpencil," ungkapku. "Tuan yakin, mau bertemu mereka?" tanyaku sambil mengelus kedua pundak Marco. "Ya, aku tetap akan menemui kedua orang tuamu," tegas Marco, terlihat serius. Kenapa aku jadi terharu? Pernikahan kami memang nyata, tapi... Atas dasar kepentingan masing-masing. Bukan cinta. *** Waktu berlalu, pesta pernikahan Lukas dan Clara berakhir tepat pukul dua belas malam. Para tamu undangan juga sudah meninggalkan istana Keluarga Klaus. Sesuai dengan niatan Marco, lelaki itu meminta ibunya, Nyonya Emilia, dan Lukas untuk bertemu di ruang tamu. Begitu melihatku, Lukas mendengus kesal, sedangkan Nyonya Emilia memandangku sinis. Mereka berdua, sepertinya sangat membenciku. "Marco, ada apa? Kenapa kamu meminta kami berkumpul di sini?" tanya Nyonya Emilia, nada suaranya terdengar lembut, dan wajahnya tersenyum ramah. Tapi ekspresinya berubah tajam saat beralih padaku, seakan ia ingin mengulitiku. "Apa yang dilakukan wanita miskin ini? Kenapa kamu membawanya, dan membiarkannya duduk di sampingmu?" Suara Nyonya Emilia mulai meninggi. "Aku dan Gisela, kami berdua akan menikah," ucap Marco, tanpa basa-basi, langsung ke inti. "Apa? Kamu... Marco! Kamu hanya bercanda, 'kan!" seru Nyonya Emilia, tak percaya. "Marco, kamu ingin menikahi bekasku?" kekeh Lukas. "Kamu ini, bodoh atau gila?" cemoohnya. Aku sudah menduga, respons mereka akan seperti itu. Tidak mengejutkan. "Anakku, Marco... Apakah tidak ada wanita lain?" tanya Nyonya Emilia, mencoba merayu Marco. "Marco... Ada banyak putri bangsawan yang menginginkanmu. Dan kamu malah memilih wanita tidak jelas," ketus Lukas. Lukas berbicara pada Marco, tapi ia menghinaku sambil melirikku tajam. Dengan santai Marco membalas, "Aku hanya memberitahu kalian, bukan meminta pendapat atau restu kalian." Wah... Aku tercengang. Marco bersikap sangat dingin pada keluarganya. Sepertinya Nyonya Emilia memang benar-benar ibu tiri Marco, dan Lukas... Dia anak haram. "Pikirkan baik-baik, Marco," pinta Lukas, lebih terdengar seperti sebuah perintah. "Sebenarnya, apa yang kamu lihat dari wanita miskin ini?" tanya Nyonya Emilia, terlihat kesal dan putus asa. "Ibu, jangan mempersulitku," timpal Marco, malas. Di tengah suasana yang memanas, Lukas tertawa keras. Mungkin dia menertawakan keputusan Marco. "Setelah dibuang olehku, kamu malah menggoda adikku?" Lukas menyindirku. "Kamu pasti sangat terobsesi menjadi menantu di Keluarga Klaus," imbuhnya, menuduhku. Saat aku hendak menyanggal ocehan pedas Lukas, Marco menepuk punggung tanganku, sebagai isyarat supaya aku tetap diam. "Yang Mulia, jangan keterlaluan berbicara tentang calon istriku," lontar Marco, membelaku. Aku terkejut, Marco tampak menahan amarah, sampai telinganya memerah. Tunggu, dia... Marah karena aku ditindas? "Aku berhak menikahi wanita manapun, tanpa perlu izin darimu," tambah Marco, menunjukkan bahwa ia juga memiliki kuasa. Atmosfer dalam ruangan terasa semakin panas dan tegang. Rasanya, aku ingin segera pergi dari sini. Marco dan Lukas, keduanya kini saling melempar tatapan seakan ingin membunuh satu sama lain. Sampai akhirnya helaan napas panjang Lukas, sedikit mencairkan suasana. "Entah apa tujuanmu," kata Lukas. "Jika kamu ingin menikahi Gisela." Lukas menjeda kalimatnya, sebelum lanjut, "Ya, lakukan saja." Lukas berdiri dengan angkuh, lalu beranjak dari tempatnya, tanpa mengatakan sepatah kata. *** Usai pertemuan yang menegangkan, Marco memintaku tidur di rumahnya. Dia tidak menerima penolakan, mau tak mau aku menurut. Lagi pula, aku sangat mengantuk. Mungkin efek dari anggur merah yang aku tegak tadi. "Besok, kita pergi menemui orang tuamu," kata Marco, mencubit pelan pipiku. Aku mengangguk patuh. *** Keesokan harinya. Aku terbangun dari tidurku karena merasakan sesak di dadaku, seperti ada sesuatu yang menindihku. Benar saja, begitu aku membuka kedua mataku, aku mendapati Marco yang menidurkan kepalanya di atas dadaku. Pantas saja! Aku meraba tubuhku yang ternyata te lan jang di balik selimut. Seketika itu, aku yang panik, langsung mendorong kepala Marco dengan kasar. Tindakanku sukses membangunkan Marco. Dengan mata sayu, dan ekspresi yang tampak lesu, Marco menatapku. "Tuan Marco... Apa yang kita lakukan!" pekikku, panik. Aku mendorong Marco cukup keras, hingga lelaki itu terpaksa menjauh dariku. Aku mengeratkan selimut, takut Marco melihat kulitku. "Kenapa kamu tidur di atasku? Cepat jawab!" desakku, tidak sabaran. Marco menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangannya. Ia telihat malas dan sesekali menguap. "Tuan Marco...." rengekku, memukul-mukul kasur. Marco tersenyum lebar. Dia, jauh lebih tampan ketika senyum. "Aku tidak bisa tidur tadi malam. Jadi datang ke sini," jelas Marco, santai, seolah kelakuannya adalah hal normal. Aku mengerutkan dahi. "Kalau begitu, di mana gaun tidurku?" Aku menuntut jawaban Marco. Sambil tertawa kecil, Marco menjawab, "Soal gaun tidurmu, aku tak sengaja merusaknya." Enteng sekali dia bicara, bahkan ia terlihat tak merasa bersalah. "Ja-jadi... Ka-kamu sudah melihat....” Saking gugupnya, aku sampai tak mampu menyelesaikan kalimatku. Perasaan kesal bercampur malu tak bisa aku hindari. "Aku menyukai apa yang aku lihat, dan aku nikmatinya," ringis Marco, sengaja menggodaku. "Dasar Jenderal mesum!" Aku berteriak, melempar beberapa bantal kecil ke arah Marco sebagai luapan kekesalan. Tanpa ragu, aku turun dari ranjang dalam kondisi te lan jang bulat. Sudahlah! Aku tidak peduli, toh... Marco juga sudah melihat kulitku. Yang terpenting, sekarang aku bisa memukuli Marco dengan membabi buta. Tapi... Kenapa Marco pasrah saat aku menampar pipinya berkali-kali? Bahkan ia seperti menikmatinya. Huuh... Bikin aku kelelahan. Akhirnya aku berhenti menghajar Marco. Baru saja aku hendak merosotkan diri, Marco lebih dulu menarikku, lalu memelukku dari belakang. "Kamu tidak lupa, 'kan? Hari ini akan pergi ke mana?" Marco berbisik tepat di telingaku, bahkan ia sempat menjilat leherku. "Memangnya Tuan tahu, di mana orang tuaku tinggal?" Giliran aku yang menggodanya. "Di mana?" balas Marco dengan suara lirih, nyaris tak terdengar. Kedua bola mataku bergulir. "Nanti juga tahu," kataku. "Sekarang... Siapkan gaun dan perhiasan untuk aku kenakan." "Baiklah...." Marco melepasku. Ia keluar kamar, dan membiarkanku bersiap diri. Di balik tampang dinginnya, ternyata Marco memiliki sisi lembut. *** Beberapa jam berlalu, setelah semua siap, kami berdua berangkat menuju kota di mana orang tuaku tinggal. Tanah kelahiranku. Aku bukan rakyat Elysium. Aku lahir dan dibesarkan di Kadipaten Liba, wilayah terluas yang dimiliki Kerajaan Eldoria. Jarak tempuh dari Kadipaten Elysium menuju Kerajaan Eldoria membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam. Kami juga harus menyebrangi samudra. Untungnya, Marco tak berkomentar saat aku baru memberitahunya. Sebenarnya kami tak hanya pergi berdua. Marco membawa banyak anak buah. Dia juga yang menyewa kapal. "Tuan Marco, beritahu aku, bagaimana caramu memandang Kerajaan Eldoria. Apakah kamu membenci kekaisaran?" tanyaku, memecah keheningan. Entah mengapa, aku penasaran. Bukankah itu wajar? Masa lalu Kadipaten Elysium dan Kerajaan Eldoria, sangatlah kelam. "Aku sangat mengagumi Yang Mulia Kaisar." Bersambung...Sembari memasang ekspresi gelisah, Nyonya Emilia Mondar-mandir tak tentu arah di hadapan Clara. Kelakuannya membuat Clara bingung sekaligus bertanya-tanya. "Ibu... Berhentilah bergerak," pinta Clara, yang lama-lama pusing mengikuti ke mana arah ibu mertuanya melangkah. Dengan gusar, Nyonya Emilia duduk di sofa yang berada di seberang Clara. "Ibu kenapa? Semenjak pulang dari rumah sakit, ibu terlihat tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi pada Gisela? Apakah lukanya sangat parah? Kenapa dia tak kunjung pulang?" cecar Clara, mengeluarkan semua pertanyaan yang selama ini ia tahan. "Apakah Lukas tidak memberitahumu soal keadaan Gisela?" Bukannya menjawab, Nyonya Emilia justru balik bertanya. Clara mengerucutkan bibirnya. "Lukas sudah memberitahuku. Tapi... Kenapa Ibu terlihat tidak tenang? Bahkan Ibu kehilangan nafsu makan Ibu... Apakah Ibu mengkhawatirkan Gisela?" Dengan cepat Nyonya Emilia menyangkal jika dirinya mengkhawatirkan Gisela. Ia justru senang karena orang yang pa
Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya. Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Gisela meringis, napasnya tercekat. "Aku.... Masih hidup?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian. Dari sudut pandang terbatas, Gisela bisa melihat seseorang du
3 tahun lalu. Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa. Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana. Wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban. Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah. "Lekas selamatkan Tuan Marco!" perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan. Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati pria muda itu. Dengan perlahan, Gisela membuka seragam yang dikenakan Marco, lalu mulai mengobati luka yang terpajang di tubuh s
"Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?" ledek Nela. "Itu karena... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu," bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu. "Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?" Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar. "Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco," timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu raksasa saat kedua mataku melihat M
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku. Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman. Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi. Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta. Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku. Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat. Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku. "Ibu, serahkan tamu undangku, kepadaku," pinta Clara, bersuara lembut.
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. "Ibu... Tidak melihat Angelia, ya?" tanyaku, sekali lagi. "Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi," jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam. Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah? "Jadi, Ibu telah menegurnya? Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu," timpalku, bersyukur. "Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu," tegas Nyonya Emilia, masih jijik denganku. Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini. "Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu." Nyonya Emilia mengancamku. "Ibu... Aku tidak akan pe







