LOGINSelepas makan malam bersama, aku dan Marco mengobrol di sebuah paviliun yang berada di pinggir danau.
Kami ditemani teh tradisional dari pegunungan. "Sebenarnya... Siapa wanita yang akan aku nikahi ini?" Pertanyaan Marco terdengar satir di telingaku. Aku tersenyum tipis. "Hanya wanita yang direndahkan, dan dicampakkan oleh keluargamu," candaku. Marco tertawa lepas sambil memejamkan sebelah matanya. "Keluargaku sudah lama mati," timpal Marco, setelah menghentikan tawanya. Wajahnya berubah serius. "Julian adalah keluarga terakhirku. Tapi, dia sekarang telah tiada. Bahkan ia belum menikah," tutur Marco, dalam nadanya tersirat penyesalan yang begitu mendalam. Aku menggenggam tangan Marco, lalu mengelusnya pelan. Berharap gerakan kecil ini mampu sedikit mereda luka yang dirasakan Marco. "Jika Kaisar menyetujui pernikahan kita, ayo kita segera menikah," kataku, menatap lurus permukaan danau yang berkilau akibat terkena sinar rembulan. "Aku sudah menyiapkan mahar untukmu. Tapi, sepertinya seluruh harta yang aku miliki tak akan cukup," beber Marco, tertawa kecil. "Karena aku putri seorang Duke?" cetusku, memastikan asumsiku. Marco memandangiku lekat. "Bukan...." jawabnya cepat. "Karena kamu... Sangat cantik," imbuhnya, mencium punggung tanganku. Aku buru-buru menarik tanganku. Tingkah Marco sangat aneh. Kenapa dia bersikap manis? Dengan gugup aku membalas, "Ya-ya! Ya aku tahu kalau aku memang cantik!" Aku menundukkan kepalaku saat merasakan wajahku memanas. "Hanya pria bodoh yang menyia-nyiakanmu," imbuh Marco, meraih jemariku. Aku mendongak, pandangan kami pun saling bertemu. Marco... Kenapa aku baru sadar kalau kamu jauh lebih tampan dari Lukas? Hm... Kalau diperhatikan, hidung Marco yang mancung, mirip sekali dengan Tuan Julian. Aku mengalihkan pandanganku sembari mengerjabkan mata berkali-kali. Aku tidak boleh terlena! Ingat! Hubungan kami hanya transaksi. Saat kecanggunggan menerpa, seorang pria mendatangi kami. Ia adalah orang kepercayaan ayahku. Pria itu dengan riang gembira memberitahuku bahwa Kaisar merestui pernikahanku. Bahkan Kaisar ingin pernikahanku segera diselenggarakan di Kerajaan Eldoria. Kaisar akan membuat pesta meriah untukku. Setelah menyampaikan kabar baik itu, orang kepercayaan Ayahku pamit undur diri. "Haruskah kita mengundang Lukas?" tanya Marco di tengah rasa senangku. "Emangnya dia penting?" Marco tertawa kecil, "Sama sekali tidak penting. Tapi dia adalah Duke of Elysium," katanya. "Haruskah aku berbicara dengan Kaisar mengenai rencana kita?" lontarku, mengusulkan. "Menurutku, Yang Mulia Kaisar tidak perlu tahu," sahut Marco. "Jangan melibatkan orang lain secara terang-terangan." Aku mengangguk mengerti. Lebih sedikit yang tahu, semakin baik. Cukup aku, Marco, dan Ibuku. Marco kembali memperjelas status keluarganya yang selama ini ditutupi dari publik. "Alasan kematian Julian sangat penting bagiku," kata Marco. "Aku pasti akan mengungkap kematian Tuan Julian, dan membersihkan nama Tuan Julian yang tercoreng," tandasku, sudah berjanji. Marco menyentuh daguku, memaksaku melihatnya. "Terima kasih, Gisela. Aku akan berusaha membuatmu bahagia dalam pernikahan kita." *** Besoknya, di pagi hari, aku menemui Kaisar yang sedang menikmati waktunya di lapangan memanah. Aku memberi hormat sebelum mengajak beliau mengobrol santai. Dengan senang hati Kaisar menerima ajakanku. Kami berdua duduk bersama di taman kecil. Tanpa basa-basi, Kaisar langsung mengungkapkan kecurigaannya terhadap Kadipaten Elysium yang akhir-akhir ini memproduksi senjata dalam skala besar. Beliau secara tak resmi memerintahku untuk mengawasai gerak-gerik Duke of Elysium. "Paman, sebenarnya... Aku mengaku sebagai orang biasa pada keluarga calon suamiku," ungkapku, sambil menuang teh ke cangkir Kaisar. "Sekarang mereka sudah tahu siapa kamu sebenarnya?" tanyanya, seperti penasaran. Aku tersenyum tipis. "Hanya calon suamiku yang tahu," kataku. "Sebenarnya, aku ingin keluarga suamiku, masih menganggapku sebagai orang biasa," beberku, melirik Kaisar. "Lady Gisela, kamu terlalu aneh untukku," keluh Kaisar, sebelum menyeruput teh dariku. "Paman... Bukankah akan lebih baik jika mereka tidak mengetahui siapa aku sebenanrya??" Aku menggenggm lengan Kaisar, sambil menggoyang-goyangkan. "Paman... Dengan identitasku yang tersembunyi, aku bisa memata-matai Duke of Elysium yang baru," tuturku, berusaha meyakinkan. Karena Kaisar tak kunjung merespons, aku mulai menggunakan jurus andalanku, yakni merajuk. Dengan bibir manyun, aku melepas genggamanku pada lengan Kaisar. "Keluarga bangsawan tidak akan berhati-hati," imbuhku, pura-pura kesal. Kaisar berdecap, "Lady Gisela, kamu adalah satu-satunya kelemahanku." Jika Kaisar sudah berkata demikian, itu artinya, beliau menuruti permintaaku. Aku sangat senang. "Aku janji! Aku akan membantu paman menyelidiki kejanggalan di Elysium...." Dengan mata berbinar-binar, aku menatap Kaisar. Kaisar tertawa kecil, lalu mengelus kepalaku. "Yang Mulia...." Ratu memanggil suaminya. Aku memberi hormat pada Ratu, dan beliau membalas dengan menyentuh pipiku. "Maaf, ya, aku mengganggu kalian. Sekarang waktunya Yang Mulia menghadiri pengadilan," tutur Ratu, suaranya dari dulu memang lemah lembut. Tidak seperti ibuku yang... Ya sudahlah. *** Setelah bertemu Kaisar, aku kembali ke istana Rysh. Aku heran melihat ayahku dan Marco yang tengah bermain croquet di halaman belakang rumah. "Ayah...." panggilku sambil berjalan mendekati dua lelaki beda generasi itu. "Oh... Putriku, mari ikut bermain," ajak Ayahku. Aku menolak dengan tegas. "Ayah... Kakak tidak datang ke pernikahanku nanti?" tanyaku. "Entahlah... Aku sudah mengirim surat kepada kakakmu. Ia sangat sibuk mengurus Kadipaten Liba," jelas Ayahku acuh tak acuh. Padahal kakakku belum resmi menggantikan posisi ayahku, tapi ayah selalu melimpahkan pekerjaannya pada kakakku. Huh... Bikin bete. Dengan kesal, aku menarik Marco agar mengikutiku. Meskipun Marco seperti enggan meninggalkan calon mertuanya. "Bersenang-senanglah!" seru Ayahku, melambaikan tangan lalu kembali bermain. Setelah berada di tempat sepi, aku baru melepas genggamanku pada Marco. Marco menarik daguku, kepalanya menunduk, seakan hendak menempelkan bibirnya ke bibirku. Aku otomatis memejamkan mataku. Tapi ternyata Marco hanya ingin menggodaku saja. Aku yang salah tingkah, memukul pundaknya pelan. "Berharap ciuman dariku?" godanya, menoel hidungku. "Mana mungkin!" sanggahku, cemberut. Aku mengalihkan rasa gugupku dengan bertanya mengenai militer Kadipaten Elysium yang gencar memproduksi senjata dan perlengkapan perang. Sebelah alis Marco terangkat. "Bukankah Kaisar yang memerintahkan kami untuk melakukan itu?" Kedua mataku terbelalak. Kini aku bingung, siapa yang berbohong. "Sejujurnya, aku... Lebih percaya Yang Mulia Kaisar, ketimbang Lukas," cetus Marco setelah beberapa detik terdiam. "Hm... Mencurigakan. Sepertinya Lukas merencanakan sesuatu," timpalku, menerka-nerka. "Aku harus menyelidiki hal ini. Alasan, kenapa Lukas gencar menaikan kekuatan Angkatan Laut," lontar Marco, menyentuh dagunya, seakan tengah berpikir kronis. Marco adalah seorang Perwira Angkatan Darat, dengan pangkat Kolonel. Dia pasti bisa menyelidiki ini dengan mudah. Sedangkan aku harus fokus pada misteri kematian Tuan Julian. "Tuan Marco, kita harus bergerak secara hati-hati," lontarku, mengingat. Bagaimana pun juga, Lukas kini telah menjadi Duke of Elysium. Kekuatan dan kekuasaan yang ia miliki mampu melenyapkan seseorang dalam sekejap mata. "Tuan Marco, mari kita bekerja sama dengan baik, dan saling melindungi." Bersambung...Sembari memasang ekspresi gelisah, Nyonya Emilia Mondar-mandir tak tentu arah di hadapan Clara. Kelakuannya membuat Clara bingung sekaligus bertanya-tanya. "Ibu... Berhentilah bergerak," pinta Clara, yang lama-lama pusing mengikuti ke mana arah ibu mertuanya melangkah. Dengan gusar, Nyonya Emilia duduk di sofa yang berada di seberang Clara. "Ibu kenapa? Semenjak pulang dari rumah sakit, ibu terlihat tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi pada Gisela? Apakah lukanya sangat parah? Kenapa dia tak kunjung pulang?" cecar Clara, mengeluarkan semua pertanyaan yang selama ini ia tahan. "Apakah Lukas tidak memberitahumu soal keadaan Gisela?" Bukannya menjawab, Nyonya Emilia justru balik bertanya. Clara mengerucutkan bibirnya. "Lukas sudah memberitahuku. Tapi... Kenapa Ibu terlihat tidak tenang? Bahkan Ibu kehilangan nafsu makan Ibu... Apakah Ibu mengkhawatirkan Gisela?" Dengan cepat Nyonya Emilia menyangkal jika dirinya mengkhawatirkan Gisela. Ia justru senang karena orang yang pa
Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya. Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Gisela meringis, napasnya tercekat. "Aku.... Masih hidup?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian. Dari sudut pandang terbatas, Gisela bisa melihat seseorang du
3 tahun lalu. Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa. Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana. Wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban. Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah. "Lekas selamatkan Tuan Marco!" perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan. Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati pria muda itu. Dengan perlahan, Gisela membuka seragam yang dikenakan Marco, lalu mulai mengobati luka yang terpajang di tubuh s
"Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?" ledek Nela. "Itu karena... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu," bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu. "Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?" Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar. "Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco," timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu raksasa saat kedua mataku melihat M
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku. Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman. Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi. Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta. Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku. Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat. Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku. "Ibu, serahkan tamu undangku, kepadaku," pinta Clara, bersuara lembut.
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. "Ibu... Tidak melihat Angelia, ya?" tanyaku, sekali lagi. "Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi," jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam. Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah? "Jadi, Ibu telah menegurnya? Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu," timpalku, bersyukur. "Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu," tegas Nyonya Emilia, masih jijik denganku. Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini. "Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu." Nyonya Emilia mengancamku. "Ibu... Aku tidak akan pe







