“Sayang ... Sabarlah ....” Ayahku mengelus paha Ibuku, berusaha menenangkan Ibuku. “Cinta bisa datang kapan pun, tak memandang siapa, dan di mana. Sama seperti cinta kita,” terang Ayahku dengan nada rendah.
Ibuku menundukkan kepalanya sejenak, lalu memandangku nanar. “Aku sangat takut anakku kesepian karena menikahi tentara,” ungkap Ibuku. “Tentara, selalu berada di garis depan ketika perang,” gumamnya masih bisa aku dengar. Aku memahami kekhawatiran ibuku. “Aku berencana untuk menikahkanmu dengan saudagar kaya. Menjauhkanmu dari kejamnya hierarki ini,” tutur Ibuku. Aku tersenyum. “Ibu ... Bagaimana mungkin aku bisa lari dari sistem? Aku lahir sebagai keponakan Kaisar. Sejak kecil, teman bermainku bukan orang biasa, melainkan putra mahkota,” tukasku. “Aku tidak ingin berpolitik, karena kerajaan melarang wanita ikut berpolitik. Aku hanya sekedar mempelajarinya saja.” Aku melihat Ibuku menautkan jemarinya, menandakan jika beliau cemas. Sedangkan Ayahku tampak bangga padaku. Sepertinya, sifatku turunan dari Ayahku. “Sama saja,” kata Ibuku cemberut. “Ibu ... Izinkan aku menikah,” pintaku. “Ya, mana mungkin aku tak mengizinkanmu?” sahut Ibuku merengut. “Sekarang aku tanya, keinginanmu apa yang tidak aku turuti?” sungut Ibuku kesal bercampur sedih. Aku menggelengkan kepalaku cepat. “Tidak ada ... Ibu selalu menurutiku,” balasku senang. Aku beralih kepada Ayahku, tak perlu meminta izin pun, aku tahu, Ayahku pasti merestui pernikahanku dengan Marco. “Ayah ... Tolong yakinkan kakak ipar Ayah,” mohonku merengek seperti anak kecil. “Kaisar sangat keras kepala, sama persis seperti ibumu,” seloroh Ayahku menggoda Ibuku. Kini, giliran Ayahku yang dipukul menggunakan bulu angsa. Bahkan Ayahku sampai minta ampun dan minta tolong padaku. Tapi Ibuku tak behenti, justru mengancamku, jika aku berani membantu Ayah, maka aku juga akan kena pukul. Aku lebih memilih kabur, daripada menyelamatkan Ayahku dari amukan mawar berduri. *** Selepas makan malam bersama, aku dan Marco mengobrol di paviliun yang berada di pinggir danau. Kami tak sendirian, melainkan ditemani teh hangat. “Sebenarnya ... Siapa wanita yang akan aku nikahi ini?” tanya Marco memandangku penuh cinta? Iya ... Begitu yang aku rasakan. Mungkin aku salah mendeskripsikan ekspresi Marco. “Hanya wanita yang direndahkan, dan dicampakkan oleh keluargamu,” jawabku enteng. Marco tertawa lepas sambil memejamkan sebelah matanya. “Keluargaku sudah lama tiada,” ucap Marco. Aku mengernyitkan dahi. Sebelum aku mengeluarkan pertanyaan lanjutan kepada Marco, seorang pria berbadan besar datang menghampiri kami. Beliau merupakan ajudan Ayahku, orang paling dipercaya Ayahku. “Ada apa?” Pria itu dengan riang gembira memberitahuku bahwa Kaisar setuju dengan pernikahanku bersama Marco. Bahkan Kaisar ingin, pernikahanku segera diselenggarakan di Kerajaan Eldoria. Kaisar akan membuat pesta meriah untukku. “Haruskah kita mengundang Lukas?” tanya Marco di tengah rasa senangku. “Eh? Emangnya dia penting?” jawabku. "Tidak terlalu penting bagiku," timpal Marco. Aku menggeleng heran. Aku mengizinkan ajudan ayahku yang berpamitan pergi. "Kita undang ibumu saja," cetusku. "Emilia bukan ibuku, maksudku, Emilia bukan ibu kandungku," tandas Marco. Aku tersentak, tak percaya dengan apa yang baru saja dilontarkan Marco. Tampangku mengisyaratkan Marco supaya meluruskan ucapannya yang mungkin keliru. Namun, Marco justru memperjelas status keluarganya yang selama ini ditutupi dari publik. Aku hanya bisa tercengang sembari berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir indah Marco. Sesuatu yang menyesakkan terasa di dada, dan air mataku mulai keluar perlahan. "Alasan kematian Julian sangat penting bagiku," kata Marco. Aku mengelus punggung tangan Marco. Berharap bisa memberikannya sedikit energi positif. "Aku tahu kalau Tuan Julian sakit, tapi aku sendiri tak tahu, apa penyakit yang dideritanya. Aku ... Akan mencari tahu untukmu." Ini janjiku pada Marco. Aku berkata jujur, Lukas tak memberitahuku apa penyebab meninggalnya putra pertama Keluarga Klaus yang kala itu bergelar Duke of Elysium. Aku yakin, sejak awal Lukas memang mau mencampakkanku, maka dari itu, ia tak mungkin memberitahuku mengenai hal, atau sesuatu yang menjadi ancamannya kelak. Sial! Memikirkannya saja membuatku jengkel. Lihat saja nanti, tak akan aku biarkan Lukas hidup dengan damai. *** Keesokan harinya, aku sengaja menemui Kaisar yang sedang menikmati waktunya di lapangan memanah. Aku memberi hormat sebelum mengajak beliau mengobrol santai. Kaisar langsung mengungkapkan kecurigaannya terhadap Kadipaten Elysium yang akhir-akhir ini memproduksi senjata dalam skala besar. Beliau secara tak resmi memerintahku untuk mengawasai gerak-gerik Duke of Elysium. Aku pun jadi tahu, alasan Kaisar merestui pernikahanku dengan Marco yang notabene adik Lukas. Tentunya, Kaisar sebagai pamanku, mendoakanku dan ingin aku hidup bahagia bersama pria pilihanku, Marco. Obrolan kami terhenti ketika istri Kaisar, Sang Ratu, mengajak Kaisar pergi karena sudah waktunya Kaisar menghadiri pengadilan Eldoria. Ratu sempat pengelus kepalaku sebelum beranjak pergi. Menerima sikap baik dari mereka berdua, aku baru sadar jika mereka menyayangiku. Aku kembali ke istana di mana aku tinggal. Aku heran melihat ayahku tengah bermain croquet di halaman belakang rumah. "Ayah ...." panggilku sambil berjalan mendekati dua lelaki beda generasi itu. "Oh ... Putriku, mari ikut bermain," ajak Ayahku. Aku menolak dengan tegas. "Ayah ... Kakak tidak datang ke pernikahanku nanti?" tanyaku. "Entahlah ... Aku sudah mengirim surat kepada kakakmu. Ia sangat sibuk mengurus Kadipaten Liba," jelas Ayahku acuh tak acuh. Aku yang tak puas mendengar jawaban Ayahku, aku pun menarik Marco, memaksa Marco ikut denganku, meskipun ia tak ingin meninggalkan calon mertuanya begitu saja. "Bersenang-senanglah!" Bukannya kesal, Ayahku justru terlihat gembira. Setelah berada di tempat sepi, aku baru melepas genggamanku pada Marco. Marco menarik daguku, kepalanya menunduk, seakan hendak menempelkan bibirnya ke bibirku. Aku otomatis memejamkan mataku. Tapi ternyata Marco hanya ingin menggodaku saja. Aku yang salah tingkah, memukul pundaknya pelan. Marco terkekeh, "Berharap ciuman dariku?" "Mana mungkin!" sanggahku cemberut. Aku mengalihkan rasa gugupku dengan bertanya mengenai militer Kadipaten Elysium yang gencar memproduksi senjata dan perlengkapan perang. "Sebenarnya, apa yang kalian lakukan? Kenapa Kaisar tak mengetahui hal tersebut secara langsung?" Sebelah alis Marco terangkat. "Bukankah Kaisar yang memerintahkan kami untuk melakukan itu?" Kedua mataku terbelalak. Kini aku bingung, siapa yang berbohong. "Aku ... Lebih percaya Kaisar, ketimbang Lukas," cetus Marco setelah beberapa detik terdiam. "Sepertinya Lukas merencanakan sesuatu," urainya. Aku juga meyakini hal tersebut. Maka dari itu, sekali lagi aku mempertegas, apakah Marco berencana untuk melengserkan Lukas dari gelar Duke, atau tidak. "Secara garis keturunan, Lukas sama sekali tak berhak menyandang gelar Duke of Elysium. Ia lahir di luar pernikahan," terang Marco. Kenyataan yang aku ketahui dari Marco sebelumnya, ayahnya berselingkuh dengan Nyonya Emilia, saking cintanya, Nyonya Emilia dijadikan istri sah, sedangkan ibu kandung Marco dan Tuan Julian ditendang dari sejarah. Namanya benar-benar dihapus. Ayah Marco mengubah dokumen, sehingga TuanJulian, Lukas, dan Marco tercatat secara resmi sebagai saudara kandung, dengan Nyonya Emilia sebagai ibu. Ayah Marco waktu itu masih menjadi Raja, sehingga memiliki kekuasaan yang mutlak. Aku menghembuskan napas lelah. Penyesalan tiba-tiba menghampiriku. Andai aku mengetahui jika Lukas bukanlah anak sah, aku tidak mungkin membantunya melengserkan Tuan Julian. Aku sangat membenci anak yang terlahir dari wanita simpanan. "Reputasi kakakku telah hancur, bahkan sebelum beliau meninggal," kata Marco sedih. Aku menyentuh tangan Marco yang terkepal. Reputasi Tuan Julian hancur karena aku. Jadi, aku bersumpah, aku akan mengembalikan nama baik Tuan Julian. "Lukas harus lengser! Dunia tidak perlu tahu siapa dia, cukup rebut sesuatu yang bukan haknya!" Bersambung ...Kami menikah dua hari kemudian, di sebuah gereja terbesar yang berada di wilayah Kerajaan Eldoria. Aku mengenakan gaun yang luar biasa indah. Bukan sekadar gaun pengantin, tapi sebuah karya seni. Saat aku memakainya, rasanya seperti mengenakan langit bertaburan bintang.Bunga-bunga kecil berkilauan, seperti embun pagi yang memantulkan cahaya matahari, tersebar di seluruh permukaan gaunku.Potongan V-neck yang elegan menonjolkan tulang selangkangku, sementara lengan panjangku memberikan sentuhan anggun dan klasik. Rok gaunku mengembang, seakan-akan aku melayang di atas awan, ringan dan bebas. Di hari pernikahanku ini, aku bukan hanya seorang pengantin wanita, tapi seorang putri dalam dongeng, bersinar dalam gaun yang tak terlupakan. Di hadapanku, Marco berdiri dengan gagah perkasa. Tidak bisa berbohong, aku sempat terpesona olehnya yang merupakan seorang Perwira dengan pangkat Kolonel.Marco menatapku dengan penuh cinta. Aku p
“Sayang ... Sabarlah ....” Ayahku mengelus paha Ibuku, berusaha menenangkan Ibuku. “Cinta bisa datang kapan pun, tak memandang siapa, dan di mana. Sama seperti cinta kita,” terang Ayahku dengan nada rendah.Ibuku menundukkan kepalanya sejenak, lalu memandangku nanar. “Aku sangat takut anakku kesepian karena menikahi tentara,” ungkap Ibuku. “Tentara, selalu berada di garis depan ketika perang,” gumamnya masih bisa aku dengar.Aku memahami kekhawatiran ibuku.“Aku berencana untuk menikahkanmu dengan saudagar kaya. Menjauhkanmu dari kejamnya hierarki ini,” tutur Ibuku.Aku tersenyum. “Ibu ... Bagaimana mungkin aku bisa lari dari sistem? Aku lahir sebagai keponakan Kaisar. Sejak kecil, teman bermainku bukan orang biasa, melainkan putra mahkota,” tukasku. “Aku tidak ingin berpolitik, karena kerajaan melarang wanita ikut berpolitik. Aku hanya sekedar mempelajarinya saja.”Aku melihat Ibuku menautkan jemarinya, menandakan jika beliau cemas. Sedangkan Ayahku tampak bangga padaku. Sepertinya,
Aku mengernyitkan dahi. “Kamu terpukau dengan kerajaan yang telah merebut kemerdekaan kerajaanmu?” Tentu aku heran, dan tercengang.“Ketika Kerajaan Eldoria menyerang Kerajaan Elysium yang dipimpin ayahku, aku berusia 5 tahun. Jadi, aku tidak merasakan dampak dari perang.” Marco tersenyum tipis, ia lanjut berbicara, “Aku bermain di dalam istana bersama pelayan.” Ia terkekeh sambil memainkan cincin yang ada di jari manisku. “Lantas, kenapa kamu bisa terpukau?” tanyaku mengalihkan pendanganku ke arah lain. Aku tak kuat dengan pesona Marco, lelaki berusia 25 tahun ini sangat menawan. “Kakak pertamaku, Julian. Yang waktu itu bergelar putra mahkota ikut berperang,” tutur Marco. “Setelah peperangan berakhir, kakak pertamaku menceritakan tentang kehebatan kekuatan militer Kerajaan Eldoria,” jelasnya.Aku mengangguk mengerti. Dengan kata lain, Marco sangat percaya dengan apa yang diceritakan Tuan Julian.“Sebagai penduduk asli Eldoria, aku merasa bangga. Yang Mulia Kaisar sangat hebat!” uj
Kesepakatan telah terjalin, kami memutuskan untuk menikah. Namun, sebelum itu, kami membutuhkan restu dari keluarga kami.Selepas pesta pernikahan Lukas dan Clara, setelah semua tamu undangan pulang, lebih tepatnya pada jam 10 malam, Marco meminta Nyonya Emilia dan Lukas untuk berkumpul di ruang keluarga utama. Melihatku, Lukas mendengus kesal, menunjukkam ketidaksukaannya terhadapku."Kami akan menikah," tegas Marco. Tentu pernyataan lantang Marco mengejutkan mereka berdua. Lukas langsung mencemooh Marco dengan mengatakan bahwa Marco gila, dan bodoh. "Anakku Marco ... Tidak ada wanita lain, kah? Kenapa kamu ingin menikahi wanita dari kalangan bawah?" cecar Nyonya Emilia memandang nyalang ke arah Marco. "Kakakmu saja tak sudih bersama wanita ini," imbuhnya menatapku sinis. "Lantas?" tantang Marco. "Aku hanya memberitahu kalian, bukan meminta izin atau restu kalian," tuturnya santai. Aku terkejut, tak menyangka jika Marco berani bertingkah tak sopan pada ibu dan kakaknya. Aku jadi
"Pernikahan demi kepentingan tidak lah buruk," timpal Marco membuatku tercengang bercampur heran. Aku tergelitik. Seorang Kolonel, mengajakku menikah hanya untuk mengetahui, apa yang terjadi dengan kakak pertamanya. Padahal Marco bisa mencari tahu sendiri, tanpa bantuanku. "Tuan Marco kaku sekali, sampai menikah tanpa cinta pun tak masalah." Aku mencoba mencairkan suasana. "Cinta bisa datang kapan saja," sahut Marco. Dia pasti mengira jika candaanku barusan adalah sesuatu yang serius.Aku ingin masuk ke dalam rumahku, tapi Marco sama sekali tak membiarkanku untuk beranjak. Sebenarnya, apa yang ada di kepala Marco? Kami berdua saling diam dan hanya memandang satu sama lain cukup lama, sampai akhirnya Marco bersuara. Ia mengatakan bahwa kematian Tuan Julian tak masuk akal, ibunya dan Lukas juga tak menjelaskan apa-apa. Aku menghembuskan napas panjang, sudah terlalu lelah dengan hari ini. Aku ingin melepas penat dengan rebahan di kasurku yang mungil dan empuk. Kapan Marco mau melepa
Sambutan meriah rakyat berikan pada Lukas, Duke baru Kadipaten Elysium. Pria tampan berusia 27 tahun itu mendapatkan gelar tertinggi setelah kakaknya, Tuan Julian meninggal akibat sakit.Melihat Lukas menebar senyum, sembari melambaikan tangan kepada rakyatnya, membuatku ikut tersenyum senang.Sebagai kekasih yang menemani Lukas selama 3 tahun, aku merasa sangat bangga dengan keberhasilannya. Namun ... Kebahagiaanku sirna begitu saja saat aku melihat wanita lain berdiri di samping Lukas, dan diperkenalkan sebagai calon Duchess, pendamping Lukas, wanita yang akan dinikahi oleh kekasihku.Tanpa sadar, air mataku jatuh. Aku menyentuh dadaku yang terasa sesak. Lukas ... Tidak menganggapku? Ingin sekali aku menghampirinya, menginterupsinya. Tapi aku tak ingin menghancurkan hari istimewa Lukas. Hari yang telah lama dinanti olehnya.Aku terdiam sambil menatap lurus kekasihku yang sedang bercanda gurau bersama wanita itu, dan ibunya yang sangat membenciku ... Setelah perayaan berakhir, barul