로그인
Suara rem mendecit. Dunia seakan berhenti. Tubuh Rahayu terhempas ke aspal, darah mengalir dari pelipisnya. Di sekelilingnya hanya ada jeritan orang-orang, dan cahaya lampu kendaraan yang memudar di mata yang kian berat.
“Apakah ini akhir hidupku?” batinnya lirih. Rahayu, wanita tangguh yang sepanjang hidupnya berjuang untuk keluarganya, tak pernah menyangka akan mati begitu cepat dalam kecelakaan tragis. Ia baru saja keluar dari kantor, lelah tapi masih bersemangat menatap masa depan. Namun takdir berkata lain. Gelap. Hening. Saat membuka mata kembali, ia tersentak. Tubuhnya terasa asing. Ruangan di sekelilingnya bau alkohol, asap rokok, dan botol minuman berserakan. Cermin di dinding memantulkan wajah lelaki dengan mata cekung, rambut berantakan, dan tatapan bengis. “Siapa ini…?” gumamnya. Ingatan asing membanjiri kepalanya. Seolah ada pintu terbuka, menelanjangi kehidupan pemuda bernama Radit. Ia adalah pria miskin yang hidup penuh kebencian, pernah memperkosa seorang wanita kaya bernama Velia Anindya Prameswari, lalu memaksanya menikah. Dari pernikahan dingin itu lahirlah seorang anak, Arkana. Radit menggunakan harta Velia untuk berfoya-foya, menelantarkan ayah, ibu, dan adik-adiknya. Ia menjadi aib di mata keluarga istrinya. Rahayu ternganga, memegang kepala yang terasa mau pecah. “Astaga… aku masuk ke tubuh pria keji ini? Tuhan… kenapa harus dia?” --- Pintu kamar berderit. Seorang wanita masuk dengan wajah dingin. Tatapannya tajam menusuk, seolah tak peduli lagi pada keberadaan lelaki itu. Dialah Velia. Wajahnya cantik, elegan, tapi sorot matanya penuh luka. “Akhirnya kau sadar juga,” ucap Velia dingin, menurunkan tas dari lengannya. “Aku hampir berharap kau mati di jalan tadi, Radit.” Rahayu tercekat. Ia ingin menjelaskan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Velia melanjutkan dengan sinis, “Kalau kau masih punya sedikit otak, berhentilah membuat malu keluargaku. Jangan lupa, anak kita butuh nama baik.” Dari balik rok Velia, seorang bocah kecil berlari keluar. Rambutnya hitam, pipinya tembam, matanya bening penuh kepolosan. Dialah Arkana, atau Arka. Bocah itu menatap dengan ragu, lalu menyebut pelan, “Ayah…” Hati Rahayu mencelos. Anak itu tampak takut sekaligus merindukan sosok ayah, meski bayangan Radit selama ini tak lebih dari mimpi buruk. Rahayu berjongkok, mencoba tersenyum. “Arka… kau tumbuh besar sekali.” Arka mengedip, lalu menunduk. “Ayah nggak marah lagi, kan? Kalau Ayah marah… Arka janji nggak nakal lagi.” Kalimat itu menancap tajam di hati Rahayu. Ia tahu, bocah ini tumbuh dalam ketakutan akibat ayah biologisnya. Velia mendengus. “Jangan berpura-pura jadi ayah baik. Kalau benar kau berubah, buktikan dengan tindakan, bukan kata-kata.” Rahayu menatap Velia dengan sungguh-sungguh, lalu berkata pelan, “Setiap kesalahan memang meninggalkan luka. Tapi bukankah masa depan masih bisa kita tulis ulang?” Velia terdiam sejenak, tatapannya goyah, sebelum kembali menajam. “Kata-kata manis tak akan memperbaiki apa pun, Radit.” Velia masih berdiri tegak di depan pintu kamar. Wajahnya terlihat kaku, tetapi jika diperhatikan lebih dalam, ada kilatan getir di balik matanya. Rahayu, yang kini terjebak di tubuh Radit, bisa merasakan betapa dalam luka yang pernah ditorehkan oleh sosok ini pada wanita itu. “Kalau kau menganggap hidup ini bisa diulang hanya dengan kata-kata, kau salah besar,” ujar Velia, suaranya bergetar namun penuh kontrol. “Kepercayaan itu rapuh. Sekali pecah, tidak akan kembali seperti semula.” Rahayu menunduk, menggenggam jemari Arka yang mungil. Bocah itu masih menatapnya penuh keraguan. “Aku tahu… tapi kalau tidak dicoba untuk diperbaiki, kita hanya akan hidup dalam pecahan kaca itu, terluka setiap saat,” balasnya lirih. Arka mengedip, seolah tak sepenuhnya mengerti, tetapi ia merasakan kelembutan pada nada suara ayahnya yang berbeda dari biasanya. Bocah itu kemudian berbisik pelan, “Ayah… jangan pergi lagi, ya?” Kalimat itu menusuk jantung Rahayu. Ia mengangguk pelan. “Ayah di sini, Nak. Dan Ayah akan tetap di sini.” Velia menutup matanya sejenak, lalu mendengus keras untuk menutupi kegoyahan hatinya. “Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati. Kau sudah terlalu sering menghancurkan harapan.” Rahayu menatapnya dengan dalam. “Velia… aku tahu aku telah merusak begitu banyak. Tapi setiap orang punya kesempatan kedua. Bukan untuk mengulang kesalahan, melainkan untuk menebusnya.” Velia memalingkan wajah. Kata-kata itu menampar sisi rapuh di hatinya, sisi yang diam-diam selalu ingin percaya ada perubahan. Tapi luka lama masih terlalu nyata. --- Arka tiba-tiba meraih tangan Velia. “Bunda, jangan marah terus sama Ayah… Arka capek lihat Bunda sedih.” Velia menunduk menatap anaknya. Senyum getir muncul di bibirnya, lalu ia mengusap kepala bocah itu. “Sayang… Bunda hanya ingin kau tumbuh tanpa harus menanggung aib.” Rahayu ikut menatap Arka, lalu menatap Velia. “Anak kita berhak melihat ayah dan ibunya berusaha, meski gagal berkali-kali. Bukankah kekuatan sejati ada pada upaya, bukan pada hasil?” Velia menahan napas. Kata-kata itu terlalu asing keluar dari mulut Radit, pria yang selama ini hanya tahu mabuk, berfoya-foya, dan melukai. “Cukup,” ucap Velia tegas, meski suaranya melemah. “Aku tidak tahu permainan apa yang sedang kau rencanakan. Tapi jangan pikir aku akan mudah percaya.” Rahayu menatapnya serius. “Aku tidak meminta percaya sekarang. Biarkan waktu yang menjawab.” --- Malam semakin larut. Velia akhirnya meninggalkan kamar dengan Arka di gendongannya. Sebelum pergi, ia menoleh sebentar, menatap Radit—atau tepatnya sosok Rahayu yang kini ada di tubuh itu. “Kalau kau benar-benar berubah, buktikan. Jangan hanya dengan kata-kata manis.” Pintu tertutup. Rahayu terduduk di ranjang, menatap langit-langit kamar yang pengap. Tubuh ini penuh dosa… tapi aku tidak boleh lari. Jika Tuhan menempatkanku di sini, pasti ada alasan. Di luar, suara tawa Arka samar terdengar ketika Velia menemaninya. Rahayu mengepalkan tangan. “Aku akan menebus semua yang telah kau hancurkan, Radit. Demi Velia, demi Arka, dan demi keluargamu yang kau tinggalkan.” Pagi datang dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela besar. Rahayu terbangun, kepalanya masih berat menanggung ingatan yang bukan miliknya. Tubuh Radit terasa lelah, penuh sisa alkohol dan gaya hidup yang merusak. Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hangat tercium samar. Rahayu melangkah pelan, mencoba menata ekspresi. Velia duduk dengan anggun di kursi makan, mengenakan blus putih sederhana. Di sampingnya, Arka berusaha mengoleskan selai di roti dengan tangan mungilnya. “Arka, jangan berantakan,” tegur Velia lembut. Bocah itu menunduk, lalu menoleh ketika melihat ayahnya muncul. Ada kilatan ragu di matanya, namun juga harapan kecil. “Ayah… duduk sini, makan bareng?” Rahayu terdiam sejenak. Radit yang dulu pasti akan mengabaikan atau malah mengomel. Tapi Rahayu tersenyum tipis dan duduk. “Tentu, Nak. Ayah kangen makan sama kamu.” Arka tersenyum lebar, giginya yang ompong tampak lucu. Ia menyodorkan sepotong roti berlumur selai. “Ini buat Ayah. Arka yang bikin.” Rahayu menerima roti itu dengan hati bergetar. “Makanan yang dibuat dengan kasih sayang selalu terasa lebih enak.” Ia menatap Velia sekilas, lalu menambahkan, “Begitu juga dengan keluarga. Kalau dijaga dengan tulus, apa pun pahitnya bisa jadi manis.” Velia menegang. Ucapan itu menohok, seperti sesuatu yang tak pernah ia dengar dari Radit sebelumnya. “Jangan mengira aku akan luluh hanya karena kau bisa bicara manis,” ucap Velia dingin. Namun tatapan matanya tak bisa menutupi kebingungan. Rahayu menunduk hormat. “Aku tidak berharap kau luluh. Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku ingin berubah.” Arka mengangkat kepala, matanya berbinar. “Bunda, Ayah baik sekarang. Boleh kan Ayah ikut antar aku ke taman nanti?” Velia menoleh ke anaknya, lalu kembali menatap Radit dengan tatapan tajam. “Kau pikir aku akan membiarkanmu? Semua orang tahu kau hanya akan membuat malu.” “Velia,” Rahayu menghela napas, suaranya tenang. “Kesalahan terbesar dalam hidup bukanlah jatuh… tapi menolak untuk bangkit lagi.” Hening sejenak. Arka menatap kedua orang tuanya dengan polos, tidak mengerti betapa dalam luka yang sedang berbicara di antara mereka. --- Selesai sarapan, Velia berdiri. “Aku ada urusan di kantor keluarga. Jangan coba-coba keluar dan mempermalukan nama kami lagi.” Ia menatap Rahayu dengan sorot penuh peringatan. Rahayu mengangguk. “Baik. Tapi izinkan aku menjaga Arka. Setidaknya biarkan aku belajar menjadi ayah yang seharusnya.” Velia terdiam. Kalimat itu terdengar jujur, berbeda dengan Radit yang dulu selalu mencari alasan untuk lari. Setelah menimbang, ia akhirnya menyerahkan Arka. “Baik. Tapi kalau terjadi sesuatu, satu kesalahan saja… jangan pernah harap aku akan mengampuni.” Arka melonjak gembira. “Yeay! Ayah temenin Arka main!” Velia melangkah pergi, meninggalkan keheningan yang sarat ketegangan. Rahayu menggendong Arka, merasakan kehangatan tubuh kecil itu. Ada getar halus di dadanya. Mungkin inilah alasan aku dipaksa hidup lagi: untuk memberi anak ini seorang ayah yang pantas. “Arka,” bisiknya, “mulai hari ini Ayah janji akan selalu ada untukmu.” Bocah itu tertawa, memeluk lehernya erat-erat. “Ayah beda sekarang. Arka suka Ayah yang ini.” Air mata Rahayu hampir jatuh, tapi ia tahan. Dalam hatinya ia bersumpah, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini. Arka berlari kecil di halaman belakang, tawa renyahnya menggema di udara pagi yang cerah. Rahayu duduk di bangku kayu, matanya mengikuti setiap langkah anak itu. Ada perasaan asing di dadanya: rasa damai yang tak pernah ia kenal dalam hidup lamanya sebagai Rahayu, apalagi dalam warisan dosa Radit. “Lihat, Ayah!” seru Arka sambil menunjukkan mobil-mobilan kecil. “Ini mobil balap. Arka mau jadi pembalap hebat!” Rahayu tertawa kecil. “Kalau kau mau jadi hebat, jangan pernah takut jatuh. Karena orang yang paling hebat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang selalu bangkit setelah jatuh.” Arka mengangguk polos, meski jelas belum sepenuhnya mengerti. Namun ia menirukan ucapan itu dengan bangga. “Jatuh nggak apa-apa… asal bangkit lagi!” Rahayu tersenyum, merasakan betapa murni hati seorang anak. Ia menepuk kepala bocah itu lembut. Anak ini pantas tumbuh dengan cinta, bukan dengan ketakutan. --- Saat asyik bermain, pintu pagar terbuka. Seorang wanita berpenampilan rapi masuk, wajahnya tak asing bagi ingatan Radit yang kini melekat di benak Rahayu. Itu adalah Nadia, adik Velia, masih kuliah, penuh kebencian pada Radit. Begitu melihat Rahayu, wajah Nadia langsung mengeras. “Apa lagi yang kau lakukan di sini, Radit? Jangan bilang kau berani mendekati Arka dengan tangan kotormu!” Arka spontan berlari ke belakang Rahayu, bersembunyi sambil menggenggam bajunya. “Ayah nggak nakal, Kak Nad. Ayah main sama Arka.” Nadia melotot. “Bodoh! Jangan panggil dia Ayah. Dia cuma bajingan yang memperkosa kakakku!” Kata-kata itu menampar keras, bukan pada Rahayu—melainkan pada harga dirinya yang kini terjebak di tubuh Radit. Ia menunduk sejenak, menahan perih. “Nadia,” ucapnya tenang. “Aku tahu aku telah melakukan banyak hal hina. Tapi aku ingin memperbaikinya. Untuk Velia, untuk Arka, dan bahkan untuk kalian yang membenciku.” Nadia mendengus keras. “Jangan pura-pura suci! Orang macam kau nggak akan pernah berubah.” Rahayu menatapnya dalam. “Orang boleh meremehkan, membenci, bahkan mengutukku. Tapi aku percaya, kerja keras dan ketulusan suatu hari akan membuktikan siapa aku sebenarnya.” Arka menatap Nadia dengan polos. “Kak Nad, Ayah sekarang baik. Arka suka Ayah yang ini.” Nadia tercekat. Ia ingin membantah, tetapi melihat wajah polos keponakannya membuat lidahnya kelu. Dengan kesal, ia akhirnya berbalik menuju pintu. “Aku akan awasi kau, Radit. Sekali saja kau sakiti mereka lagi, aku sendiri yang akan mengusirmu!” --- Rahayu menatap punggung Nadia yang menjauh, lalu menunduk menatap Arka yang masih menggenggam bajunya erat. “Arka,” ucapnya lembut, “kadang orang marah bukan karena benci, tapi karena mereka takut orang yang mereka sayangi disakiti.” Arka mendongak, wajah mungilnya bingung. “Berarti Kak Nad sayang sama Bunda dan Arka?” Rahayu tersenyum tipis. “Iya, Sayang. Karena itu Ayah harus buktikan kalau Ayah juga bisa menjaga kalian.” --- Senja tiba. Velia pulang dengan wajah lelah. Ia terkejut melihat Arka tertidur di pangkuan Radit di sofa ruang tamu. Pemandangan itu terasa janggal, asing, tapi… indah. Rahayu mengusap lembut rambut Arka, lalu menoleh pada Velia yang berdiri kaku. “Aku tak bisa mengubah masa lalu. Tapi biarkan aku berjuang di masa kini, agar kau dan Arka punya alasan untuk tersenyum lagi.” Velia membeku. Hatinya bergemuruh, namun ia buru-buru memalingkan wajah. “Jangan berpikir satu hari berbeda bisa menghapus tahun-tahun penuh kebusukanmu.” Rahayu mengangguk. “Aku tahu. Karena itulah aku akan melakukannya setiap hari, sampai suatu saat… kau percaya.” Hening. Velia menggenggam tasnya erat-erat, lalu melangkah naik ke kamar. Namun di balik ketegasannya, ada secercah keraguan yang mulai tumbuh: Benarkah dia… berubah? Rahayu menunduk, mengecup kening Arka yang tertidur pulas. Dalam hati ia berbisik, “Tuhan, beri aku kekuatan untuk menebus semua dosa tubuh ini. Aku tidak tahu kenapa aku ditempatkan di sini, tapi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak masuk ke tubuh Radit, Rahayu merasa dirinya punya tujuan baru: menjadi ayah bagi Arka, suami bagi Velia, dan manusia yang pantas ditebus.Udara sore di markas RHS terasa berat dan tegang. Langit Ardan City mulai menggelap, hujan gerimis menetes membasahi halaman aspal hitam yang dipenuhi kendaraan taktis dan tim pengamanan. Di ruang briefing utama, Radit berdiri di depan layar besar, wajahnya serius, memandang satu per satu anggota tim Bayangan yang telah duduk berbaris rapi — Surya, Rian, Dewi, Faris, Bima, dan kini termasuk anggota baru mereka, Aldi.Di layar terpampang foto beberapa pria bertopeng dan data lokasi — sindikat perdagangan manusia yang beroperasi di pinggiran kota Ardan, menyamar sebagai panti asuhan ilegal. Mereka menculik anak-anak dari berbagai daerah untuk dijual ke luar negeri. Semua yang hadir terdiam, dada menegang mendengar detailnya.“Target utama: markas di bawah tanah. Lokasi dikamuflase jadi panti asuhan. Mereka bersenjata dan kemungkinan punya pengamanan berlapis,” ujar Radit, nada suaranya dingin tapi mantap. “Prioritas utama: selamatkan anak-anak. Jangan ada korban di pihak kita.”Faris me
Angin malam bertiup kencang di dataran tinggi Lembah Arwana, markas latihan tingkat lanjut milik RHS Intel. Dari jauh, tempat itu tampak seperti kompleks industri tua — padahal di balik dinding beton dan pagar listriknya tersembunyi pusat pelatihan paling canggih milik negara.Tiga minggu telah berlalu sejak liburan di vila danau. Kini, Tim Bayangan kembali bersatu. Namun kali ini, mereka tidak akan menjalani misi biasa. Mereka akan diuji untuk naik tingkat — bukan sekadar pasukan eksekusi, tapi menjadi unit yang mampu mengambil keputusan strategis dalam kondisi apa pun.Sirine pelatihan meraung di udara dingin. Lampu merah menyala. Suara pelatih bergaung lewat pengeras suara: “Waktu kalian dua jam. Jalur Delta-4. Fokus bukan pada kecepatan, tapi pada kerja sama dan kejujuran taktis. Kegagalan salah satu adalah kegagalan semua.”Radit berdiri di depan timnya, mengenakan rompi hitam dan headset komunikasi. Di belakangnya, Faris menyiapkan senjata peluru karet, Rian memeriksa peta elek
Sore itu langit kota Sagara Raya berubah jingga lembut. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan menjalankan misi berat dan latihan intensif, Tim Bayangan mendapat izin istimewa: tujuh hari libur penuh. Bukan hanya mereka, tapi juga keluarga inti masing-masing diundang untuk berkumpul di vila tepi danau milik pemerintah — tempat rahasia yang biasanya digunakan untuk pemulihan mental pasukan elite.Mobil hitam RHS Intel berhenti di depan vila luas yang dikelilingi pepohonan pinus dan udara segar. Dari dalam, suara tawa anak-anak terdengar, bercampur dengan gemericik air dari danau kecil di depan halaman.Radit turun pertama, masih dengan gaya khasnya: tenang, berwibawa, tapi kali ini tanpa seragam tempur. Ia hanya mengenakan kaus polos abu dan celana santai. Velia turun setelahnya sambil menggendong Rama, sementara Arka langsung berlari ke arah danau.“Pelan-pelan, Ark!” teriak Velia sambil tertawa.Arka menoleh, “Iya, Ma! Aku cuma mau lihat ikan!”Radit menatap anaknya itu, lalu m
Suasana markas RHS Intel pagi itu terasa berbeda. Biasanya hanya suara langkah berat tim Bayangan dan dengung mesin latihan yang terdengar, tapi kini ada satu suara baru — langkah yang masih ragu, tarikan napas yang sedikit gugup, dan tatapan yang mencoba beradaptasi di tengah lingkungan baru.Aldi berdiri tegak di depan ruang briefing, mengenakan seragam latihan hitam khas tim Bayangan. Wajahnya masih kaku, seperti menahan banyak hal di dalam dada. Ia sempat menatap Radit sekilas, lalu menunduk dalam-dalam.Radit, dengan sikap tenang dan aura kepemimpinan yang selalu membuat orang menaruh hormat, menepuk bahunya pelan.“Selamat datang di RHS Intel, Aldi,” katanya dengan suara berat tapi hangat. “Mulai sekarang, kamu bukan orang luar. Kamu bagian dari keluarga ini.”Aldi menelan ludah. “Terima kasih, Radit. Aku… akan berusaha sebaik mungkin.”Bima yang berdiri di belakang menyeringai. “Berusaha aja nggak cukup. Di sini, kalau telat satu detik aja, bisa ketiban ledakan.”Faris tertawa
Udara dingin menusuk di pagi hari ketika mobil hitam milik RHS melintas menembus gerbang besi besar bertuliskan Fasilitas Militer Negara X-07. Di dalamnya, tampak bangunan beton raksasa berdiri kokoh—dipenuhi aroma logam, pelatihan keras, dan rahasia yang tak boleh bocor ke dunia luar. Tim Bayangan berjalan berbaris memasuki area itu; langkah-langkah mereka berat, bukan karena takut, tapi karena beban di dada masing-masing.Aldi berjalan di tengah, kedua tangannya diborgol baja magnetik. Tatapannya menunduk, wajahnya dipenuhi luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dewi berjalan di sampingnya, matanya sembab, tapi rahangnya mengeras menahan emosi.“Demi Tuhan, Aldi… kenapa kamu ikut Rafael Darma?” suara Dewi serak, nyaris berbisik.Aldi tersenyum pahit. “Aku pikir… kalau aku bergabung, aku bisa melindungi kalian dari dalam. Tapi semuanya kacau. Aku gagal, Dewi.”Radit yang berjalan di depan mereka berhenti sejenak. “Kau tidak gagal,” katanya datar namun mantap. “Kau menyelamatkan kami wakt
Langit Senjaya sore itu berubah muram. Hujan turun perlahan, membasuh kaca-kaca besar Rumah Sakit Naranta, tempat di mana kehidupan dan kematian berjalan beriringan tanpa janji pasti. Di lantai tujuh, ruang perawatan intensif, seorang pria terbaring lemah dengan tubuh penuh perban dan selang infus menjalar dari tangan hingga dada. Dialah Aldi, sosok yang dulu begitu tangguh di masa kecil Dewi — abang panti yang selalu melindunginya dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut.Dewi berdiri di sisi ranjang itu, wajahnya pucat, matanya sembab, napasnya berat. Tangannya menggenggam jari Aldi yang dingin namun masih terasa denyut halus di sana.“Bang… kenapa lo harus ikut misi gila itu?” bisiknya dengan suara parau. “Harusnya gue yang kena, bukan lo.”Dari belakang, Radit berdiri diam menatap pemandangan itu. Tubuhnya sudah pulih dari luka lama, namun sorot matanya masih menyimpan bekas dari setiap misi yang nyaris merenggut nyawanya.Ia menepuk bahu Bima, lalu berbisik, “Biarkan dia. Dewi







