Share

Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit
Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit
Author: RHS

Bab 1

Author: RHS
last update Last Updated: 2025-09-12 16:59:03

Suara rem mendecit. Dunia seakan berhenti. Tubuh Rahayu terhempas ke aspal, darah mengalir dari pelipisnya. Di sekelilingnya hanya ada jeritan orang-orang, dan cahaya lampu kendaraan yang memudar di mata yang kian berat.

“Apakah ini akhir hidupku?” batinnya lirih.

Rahayu, wanita tangguh yang sepanjang hidupnya berjuang untuk keluarganya, tak pernah menyangka akan mati begitu cepat dalam kecelakaan tragis. Ia baru saja keluar dari kantor, lelah tapi masih bersemangat menatap masa depan. Namun takdir berkata lain.

Gelap. Hening.

Saat membuka mata kembali, ia tersentak. Tubuhnya terasa asing. Ruangan di sekelilingnya bau alkohol, asap rokok, dan botol minuman berserakan. Cermin di dinding memantulkan wajah lelaki dengan mata cekung, rambut berantakan, dan tatapan bengis.

“Siapa ini…?” gumamnya.

Ingatan asing membanjiri kepalanya. Seolah ada pintu terbuka, menelanjangi kehidupan pemuda bernama Radit. Ia adalah pria miskin yang hidup penuh kebencian, pernah memperkosa seorang wanita kaya bernama Velia Anindya Prameswari, lalu memaksanya menikah. Dari pernikahan dingin itu lahirlah seorang anak, Arkana.

Radit menggunakan harta Velia untuk berfoya-foya, menelantarkan ayah, ibu, dan adik-adiknya. Ia menjadi aib di mata keluarga istrinya.

Rahayu ternganga, memegang kepala yang terasa mau pecah. “Astaga… aku masuk ke tubuh pria keji ini? Tuhan… kenapa harus dia?”

---

Pintu kamar berderit. Seorang wanita masuk dengan wajah dingin. Tatapannya tajam menusuk, seolah tak peduli lagi pada keberadaan lelaki itu. Dialah Velia. Wajahnya cantik, elegan, tapi sorot matanya penuh luka.

“Akhirnya kau sadar juga,” ucap Velia dingin, menurunkan tas dari lengannya. “Aku hampir berharap kau mati di jalan tadi, Radit.”

Rahayu tercekat. Ia ingin menjelaskan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Velia melanjutkan dengan sinis, “Kalau kau masih punya sedikit otak, berhentilah membuat malu keluargaku. Jangan lupa, anak kita butuh nama baik.”

Dari balik rok Velia, seorang bocah kecil berlari keluar. Rambutnya hitam, pipinya tembam, matanya bening penuh kepolosan. Dialah Arkana, atau Arka. Bocah itu menatap dengan ragu, lalu menyebut pelan, “Ayah…”

Hati Rahayu mencelos. Anak itu tampak takut sekaligus merindukan sosok ayah, meski bayangan Radit selama ini tak lebih dari mimpi buruk.

Rahayu berjongkok, mencoba tersenyum. “Arka… kau tumbuh besar sekali.”

Arka mengedip, lalu menunduk. “Ayah nggak marah lagi, kan? Kalau Ayah marah… Arka janji nggak nakal lagi.”

Kalimat itu menancap tajam di hati Rahayu. Ia tahu, bocah ini tumbuh dalam ketakutan akibat ayah biologisnya.

Velia mendengus. “Jangan berpura-pura jadi ayah baik. Kalau benar kau berubah, buktikan dengan tindakan, bukan kata-kata.”

Rahayu menatap Velia dengan sungguh-sungguh, lalu berkata pelan, “Setiap kesalahan memang meninggalkan luka. Tapi bukankah masa depan masih bisa kita tulis ulang?”

Velia terdiam sejenak, tatapannya goyah, sebelum kembali menajam. “Kata-kata manis tak akan memperbaiki apa pun, Radit.”

Velia masih berdiri tegak di depan pintu kamar. Wajahnya terlihat kaku, tetapi jika diperhatikan lebih dalam, ada kilatan getir di balik matanya. Rahayu, yang kini terjebak di tubuh Radit, bisa merasakan betapa dalam luka yang pernah ditorehkan oleh sosok ini pada wanita itu.

“Kalau kau menganggap hidup ini bisa diulang hanya dengan kata-kata, kau salah besar,” ujar Velia, suaranya bergetar namun penuh kontrol. “Kepercayaan itu rapuh. Sekali pecah, tidak akan kembali seperti semula.”

Rahayu menunduk, menggenggam jemari Arka yang mungil. Bocah itu masih menatapnya penuh keraguan. “Aku tahu… tapi kalau tidak dicoba untuk diperbaiki, kita hanya akan hidup dalam pecahan kaca itu, terluka setiap saat,” balasnya lirih.

Arka mengedip, seolah tak sepenuhnya mengerti, tetapi ia merasakan kelembutan pada nada suara ayahnya yang berbeda dari biasanya. Bocah itu kemudian berbisik pelan, “Ayah… jangan pergi lagi, ya?”

Kalimat itu menusuk jantung Rahayu. Ia mengangguk pelan. “Ayah di sini, Nak. Dan Ayah akan tetap di sini.”

Velia menutup matanya sejenak, lalu mendengus keras untuk menutupi kegoyahan hatinya. “Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati. Kau sudah terlalu sering menghancurkan harapan.”

Rahayu menatapnya dengan dalam. “Velia… aku tahu aku telah merusak begitu banyak. Tapi setiap orang punya kesempatan kedua. Bukan untuk mengulang kesalahan, melainkan untuk menebusnya.”

Velia memalingkan wajah. Kata-kata itu menampar sisi rapuh di hatinya, sisi yang diam-diam selalu ingin percaya ada perubahan. Tapi luka lama masih terlalu nyata.

---

Arka tiba-tiba meraih tangan Velia. “Bunda, jangan marah terus sama Ayah… Arka capek lihat Bunda sedih.”

Velia menunduk menatap anaknya. Senyum getir muncul di bibirnya, lalu ia mengusap kepala bocah itu. “Sayang… Bunda hanya ingin kau tumbuh tanpa harus menanggung aib.”

Rahayu ikut menatap Arka, lalu menatap Velia. “Anak kita berhak melihat ayah dan ibunya berusaha, meski gagal berkali-kali. Bukankah kekuatan sejati ada pada upaya, bukan pada hasil?”

Velia menahan napas. Kata-kata itu terlalu asing keluar dari mulut Radit, pria yang selama ini hanya tahu mabuk, berfoya-foya, dan melukai.

“Cukup,” ucap Velia tegas, meski suaranya melemah. “Aku tidak tahu permainan apa yang sedang kau rencanakan. Tapi jangan pikir aku akan mudah percaya.”

Rahayu menatapnya serius. “Aku tidak meminta percaya sekarang. Biarkan waktu yang menjawab.”

---

Malam semakin larut. Velia akhirnya meninggalkan kamar dengan Arka di gendongannya. Sebelum pergi, ia menoleh sebentar, menatap Radit—atau tepatnya sosok Rahayu yang kini ada di tubuh itu. “Kalau kau benar-benar berubah, buktikan. Jangan hanya dengan kata-kata manis.”

Pintu tertutup. Rahayu terduduk di ranjang, menatap langit-langit kamar yang pengap.

Tubuh ini penuh dosa… tapi aku tidak boleh lari. Jika Tuhan menempatkanku di sini, pasti ada alasan.

Di luar, suara tawa Arka samar terdengar ketika Velia menemaninya. Rahayu mengepalkan tangan. “Aku akan menebus semua yang telah kau hancurkan, Radit. Demi Velia, demi Arka, dan demi keluargamu yang kau tinggalkan.”

Pagi datang dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela besar. Rahayu terbangun, kepalanya masih berat menanggung ingatan yang bukan miliknya. Tubuh Radit terasa lelah, penuh sisa alkohol dan gaya hidup yang merusak.

Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hangat tercium samar. Rahayu melangkah pelan, mencoba menata ekspresi. Velia duduk dengan anggun di kursi makan, mengenakan blus putih sederhana. Di sampingnya, Arka berusaha mengoleskan selai di roti dengan tangan mungilnya.

“Arka, jangan berantakan,” tegur Velia lembut.

Bocah itu menunduk, lalu menoleh ketika melihat ayahnya muncul. Ada kilatan ragu di matanya, namun juga harapan kecil. “Ayah… duduk sini, makan bareng?”

Rahayu terdiam sejenak. Radit yang dulu pasti akan mengabaikan atau malah mengomel. Tapi Rahayu tersenyum tipis dan duduk. “Tentu, Nak. Ayah kangen makan sama kamu.”

Arka tersenyum lebar, giginya yang ompong tampak lucu. Ia menyodorkan sepotong roti berlumur selai. “Ini buat Ayah. Arka yang bikin.”

Rahayu menerima roti itu dengan hati bergetar. “Makanan yang dibuat dengan kasih sayang selalu terasa lebih enak.” Ia menatap Velia sekilas, lalu menambahkan, “Begitu juga dengan keluarga. Kalau dijaga dengan tulus, apa pun pahitnya bisa jadi manis.”

Velia menegang. Ucapan itu menohok, seperti sesuatu yang tak pernah ia dengar dari Radit sebelumnya.

“Jangan mengira aku akan luluh hanya karena kau bisa bicara manis,” ucap Velia dingin. Namun tatapan matanya tak bisa menutupi kebingungan.

Rahayu menunduk hormat. “Aku tidak berharap kau luluh. Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku ingin berubah.”

Arka mengangkat kepala, matanya berbinar. “Bunda, Ayah baik sekarang. Boleh kan Ayah ikut antar aku ke taman nanti?”

Velia menoleh ke anaknya, lalu kembali menatap Radit dengan tatapan tajam. “Kau pikir aku akan membiarkanmu? Semua orang tahu kau hanya akan membuat malu.”

“Velia,” Rahayu menghela napas, suaranya tenang. “Kesalahan terbesar dalam hidup bukanlah jatuh… tapi menolak untuk bangkit lagi.”

Hening sejenak. Arka menatap kedua orang tuanya dengan polos, tidak mengerti betapa dalam luka yang sedang berbicara di antara mereka.

---

Selesai sarapan, Velia berdiri. “Aku ada urusan di kantor keluarga. Jangan coba-coba keluar dan mempermalukan nama kami lagi.” Ia menatap Rahayu dengan sorot penuh peringatan.

Rahayu mengangguk. “Baik. Tapi izinkan aku menjaga Arka. Setidaknya biarkan aku belajar menjadi ayah yang seharusnya.”

Velia terdiam. Kalimat itu terdengar jujur, berbeda dengan Radit yang dulu selalu mencari alasan untuk lari. Setelah menimbang, ia akhirnya menyerahkan Arka. “Baik. Tapi kalau terjadi sesuatu, satu kesalahan saja… jangan pernah harap aku akan mengampuni.”

Arka melonjak gembira. “Yeay! Ayah temenin Arka main!”

Velia melangkah pergi, meninggalkan keheningan yang sarat ketegangan. Rahayu menggendong Arka, merasakan kehangatan tubuh kecil itu. Ada getar halus di dadanya. Mungkin inilah alasan aku dipaksa hidup lagi: untuk memberi anak ini seorang ayah yang pantas.

“Arka,” bisiknya, “mulai hari ini Ayah janji akan selalu ada untukmu.”

Bocah itu tertawa, memeluk lehernya erat-erat. “Ayah beda sekarang. Arka suka Ayah yang ini.”

Air mata Rahayu hampir jatuh, tapi ia tahan. Dalam hatinya ia bersumpah, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.

Arka berlari kecil di halaman belakang, tawa renyahnya menggema di udara pagi yang cerah. Rahayu duduk di bangku kayu, matanya mengikuti setiap langkah anak itu. Ada perasaan asing di dadanya: rasa damai yang tak pernah ia kenal dalam hidup lamanya sebagai Rahayu, apalagi dalam warisan dosa Radit.

“Lihat, Ayah!” seru Arka sambil menunjukkan mobil-mobilan kecil. “Ini mobil balap. Arka mau jadi pembalap hebat!”

Rahayu tertawa kecil. “Kalau kau mau jadi hebat, jangan pernah takut jatuh. Karena orang yang paling hebat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang selalu bangkit setelah jatuh.”

Arka mengangguk polos, meski jelas belum sepenuhnya mengerti. Namun ia menirukan ucapan itu dengan bangga. “Jatuh nggak apa-apa… asal bangkit lagi!”

Rahayu tersenyum, merasakan betapa murni hati seorang anak. Ia menepuk kepala bocah itu lembut. Anak ini pantas tumbuh dengan cinta, bukan dengan ketakutan.

---

Saat asyik bermain, pintu pagar terbuka. Seorang wanita berpenampilan rapi masuk, wajahnya tak asing bagi ingatan Radit yang kini melekat di benak Rahayu. Itu adalah Nadia, adik Velia, masih kuliah, penuh kebencian pada Radit.

Begitu melihat Rahayu, wajah Nadia langsung mengeras. “Apa lagi yang kau lakukan di sini, Radit? Jangan bilang kau berani mendekati Arka dengan tangan kotormu!”

Arka spontan berlari ke belakang Rahayu, bersembunyi sambil menggenggam bajunya. “Ayah nggak nakal, Kak Nad. Ayah main sama Arka.”

Nadia melotot. “Bodoh! Jangan panggil dia Ayah. Dia cuma bajingan yang memperkosa kakakku!”

Kata-kata itu menampar keras, bukan pada Rahayu—melainkan pada harga dirinya yang kini terjebak di tubuh Radit. Ia menunduk sejenak, menahan perih.

“Nadia,” ucapnya tenang. “Aku tahu aku telah melakukan banyak hal hina. Tapi aku ingin memperbaikinya. Untuk Velia, untuk Arka, dan bahkan untuk kalian yang membenciku.”

Nadia mendengus keras. “Jangan pura-pura suci! Orang macam kau nggak akan pernah berubah.”

Rahayu menatapnya dalam. “Orang boleh meremehkan, membenci, bahkan mengutukku. Tapi aku percaya, kerja keras dan ketulusan suatu hari akan membuktikan siapa aku sebenarnya.”

Arka menatap Nadia dengan polos. “Kak Nad, Ayah sekarang baik. Arka suka Ayah yang ini.”

Nadia tercekat. Ia ingin membantah, tetapi melihat wajah polos keponakannya membuat lidahnya kelu. Dengan kesal, ia akhirnya berbalik menuju pintu. “Aku akan awasi kau, Radit. Sekali saja kau sakiti mereka lagi, aku sendiri yang akan mengusirmu!”

---

Rahayu menatap punggung Nadia yang menjauh, lalu menunduk menatap Arka yang masih menggenggam bajunya erat.

“Arka,” ucapnya lembut, “kadang orang marah bukan karena benci, tapi karena mereka takut orang yang mereka sayangi disakiti.”

Arka mendongak, wajah mungilnya bingung. “Berarti Kak Nad sayang sama Bunda dan Arka?”

Rahayu tersenyum tipis. “Iya, Sayang. Karena itu Ayah harus buktikan kalau Ayah juga bisa menjaga kalian.”

---

Senja tiba. Velia pulang dengan wajah lelah. Ia terkejut melihat Arka tertidur di pangkuan Radit di sofa ruang tamu. Pemandangan itu terasa janggal, asing, tapi… indah.

Rahayu mengusap lembut rambut Arka, lalu menoleh pada Velia yang berdiri kaku. “Aku tak bisa mengubah masa lalu. Tapi biarkan aku berjuang di masa kini, agar kau dan Arka punya alasan untuk tersenyum lagi.”

Velia membeku. Hatinya bergemuruh, namun ia buru-buru memalingkan wajah. “Jangan berpikir satu hari berbeda bisa menghapus tahun-tahun penuh kebusukanmu.”

Rahayu mengangguk. “Aku tahu. Karena itulah aku akan melakukannya setiap hari, sampai suatu saat… kau percaya.”

Hening.

Velia menggenggam tasnya erat-erat, lalu melangkah naik ke kamar. Namun di balik ketegasannya, ada secercah keraguan yang mulai tumbuh: Benarkah dia… berubah?

Rahayu menunduk, mengecup kening Arka yang tertidur pulas. Dalam hati ia berbisik, “Tuhan, beri aku kekuatan untuk menebus semua dosa tubuh ini. Aku tidak tahu kenapa aku ditempatkan di sini, tapi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak masuk ke tubuh Radit, Rahayu merasa dirinya punya tujuan baru: menjadi ayah bagi Arka, suami bagi Velia, dan manusia yang pantas ditebus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 72

    Tiga bulan berlalu sejak malam api dan peluru itu.Kini, halaman panti asuhan “Pelita Hati” dipenuhi warna-warna baru — bukan lagi abu-abu kehancuran, tapi hijau muda dari taman kecil yang Radit bangun bersama anak-anak.Bangunan lama yang dulu reyot kini berdiri kokoh dengan cat putih dan jendela-jendela besar yang menghadap ke langit.Di atas gerbang terpasang papan kayu bertuliskan sederhana:“Rumah Harapan” – Dibangun oleh RHS Foundation.---Pagi itu, Radit berdiri di tengah halaman, mengenakan kemeja putih dan celana krem, tangannya memegang daftar nama anak-anak yang baru masuk.Di sebelahnya, Velia menggendong bayi kecil mereka — Rama — yang baru berusia dua bulan, wajahnya tenang di pelukan ibunya.Anak-anak berlarian di sekeliling, tertawa, memanggil nama “Om Radit” sambil membawa bola, kertas gambar, dan beberapa buku baru yang mereka dapat pagi itu.“Om Radit! Lihat, aku bisa baca huruf ‘R’ sekarang!” teriak seorang anak laki-laki berumur enam tahun.Radit menoleh, terseny

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 71

    Langit malam di pinggiran kota Bekasi tampak pekat tanpa bintang. Gerimis tipis menetes di atap kontainer tua yang berdiri berjejer di lahan industri yang sudah lama ditutup. Di balik kabut asap dari pabrik terbengkalai itu, sejumlah kendaraan hitam berhenti tanpa suara.Tim Bayangan keluar satu per satu.Radit berjalan paling depan, wajahnya tertutup topeng taktis hitam dengan emblem kecil RHS di pundaknya. Mata tajamnya menelusuri area gelap itu.“Semua unit, laporan posisi,” bisiknya melalui alat komunikasi di telinga.“Rian dan Faris di titik barat, visual aktif,” jawab suara tenang Rian, diiringi dengung drone yang mengintai dari atas.“Bima dan Surya siap di selatan, ledakan pengalih tinggal tunggu perintah,”“Dewi standby di kendaraan medis, akses ke jalur aman sudah disiapkan.”Radit menarik napas panjang. “Baik. Kita ambil alih anak-anak itu malam ini. Tidak ada korban dari pihak kita, tidak ada celah. Jalankan.”---Tiga jam sebelumnya, mereka mendapat laporan dari kontak la

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 70

    Hari-hari setelah kelahiran anak pertama mereka terasa seperti babak baru dalam hidup keluarga kecil itu. Rumah terasa lebih hangat, tapi juga lebih riuh. Tangisan bayi di malam hari bercampur dengan tawa kecil Arka yang antusias melihat adiknya.Velia masih tampak lelah. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, kadang terlihat pucat, kadang matanya tampak sayu karena kurang tidur. Tapi di balik itu semua, ada cahaya lembut dalam pandangannya setiap kali menatap bayinya.Radit — atau Rahayu dalam tubuh Radit — selalu berada di sisinya. Ia mempelajari segala hal tentang perawatan pasca melahirkan: dari cara mengganti perban luka operasi, menyiapkan makanan bergizi, hingga mengatur suhu kamar agar nyaman untuk Velia dan si kecil.Setiap pagi, Radit akan bangun lebih dulu, menyiapkan air hangat, lalu dengan hati-hati membantu Velia duduk di tempat tidur. Ia selalu memastikan Velia tidak kelelahan, dan setiap kali Velia menolak bantuan, Radit hanya tersenyum lembut.“Biar aku aja,” katanya pelan

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 69

    Pesawat militer RHS Intel mendarat dengan lembut di landasan udara milik pribadi perusahaan. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Langit memerah jingga, seolah ikut menyambut kepulangan mereka.Radit melangkah keluar lebih dulu, menatap matahari yang mulai tenggelam di balik horizon. Tubuhnya lelah, tapi dadanya penuh rasa lega. Misi besar telah selesai, dunia aman untuk sementara — dan yang paling penting, dia masih hidup untuk menepati janjinya pada Velia.Bima bersuara di belakangnya sambil meregangkan badan. “Akhirnya... udara rumah juga punya bau kemenangan.”Surya menepuk bahunya. “Kita pulang dengan utuh, Dit. Itu yang paling penting.”Dewi yang masih memakai jaket medis menatap mereka sambil menahan senyum. “Aku nggak mau jadi dokter darurat lagi selama sebulan.”Rian mengangkat laptopnya. “Dan aku mau libur dari kode dan firewall minimal seminggu.”Faris menambahkan dengan nada menggoda, “Asal jangan libur dari ngopi bareng aku.”Tawa ringan mel

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 68

    Langit senja di atas markas RHS Intel berwarna oranye keemasan ketika sirene darurat berbunyi. Lampu merah di sepanjang lorong berkedip cepat, tanda bahwa perintah misi internasional baru saja turun. Semua anggota tim Bayangan—Radit, Surya, Rian, Faris, Bima, dan Dewi—bergegas menuju ruang briefing utama.Pak Wira, yang kini tetap menjadi direktur operasional, berdiri di depan layar besar menampilkan peta dunia. Suaranya tegas dan berat. “Kita mendapat panggilan langsung dari aliansi internasional. Operasi bernama Silent Hope. Sebuah kelompok separatis di wilayah Alpen Utara menahan ratusan warga sipil dan ilmuwan dari berbagai negara. Mereka menuntut akses ke sistem satelit pertahanan dunia. Jika gagal dinegosiasikan, seluruh sandera akan dieksekusi dalam 48 jam.”Ruang itu langsung senyap. Surya menatap layar, rahangnya mengeras. “Target mereka bukan uang. Mereka ingin kendali.”Radit berdiri di sisi kanan layar, menatap data intel yang terus bergulir. “Kalau mereka berhasil membuka

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 67

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Radit dan Velia, membangunkan mereka dari tidur lelap. Udara terasa segar; burung-burung bernyanyi di luar rumah. Arka sudah lebih dulu bangun, berlarian di ruang tamu sambil membawa mainan dinosaurus kesukaannya. “Papa! Mama! Cepat bangun! Hari ini kan kita mau jalan-jalan!” serunya girang, suaranya menggema ke seluruh rumah. Velia membuka mata perlahan sambil menguap. “Astaga... anak kecil ini nggak ada capeknya, ya?” Radit tertawa kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan lembut. “Namanya juga Arka. Kalau disuruh santai, bisa-bisa rumah ini kebakaran duluan.” Velia memukul pelan bahunya. “Kamu tuh, jangan ngelucu dulu. Tolong ambilkan aku air putih, cepat. Aku haus banget.” Radit segera menuruti. Ia tahu belakangan ini Velia sedang dalam masa kehamilan yang sensitif. Kadang bisa marah hanya karena salah menaruh sendok, tapi lima menit kemudian bisa menangis hanya karena melihat Arka memeluk boneka. Setelah minum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status