แชร์

Bab 94

ผู้เขียน: RHS
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-12-10 22:13:40

Dewi menatap Laras yang duduk di ujung sofa dengan pipi merah muda, sisa kecanggungan dari momen hampir cium beberapa menit lalu masih mengambang di udara. AC dingin, tapi ruangan terasa hangat—atau mungkin itu hanya karena jarak mereka yang makin lama makin dekat.

“Kamu masih deg-degan?” tanya Dewi pelan, senyumnya nakal.

Laras memainkan rambutnya. “Enggak.”

“Yakin?”

“Enggak…” Laras akhirnya mengaku, wajahnya makin merah.

Dewi tertawa kecil dan mendekat, menahan diri agar tidak terlihat terlalu menggoda, meski seluruh tubuhnya jelas ingin memeluk Laras saat itu juga. “Aku juga,” bisiknya.

Laras akhirnya menatap mata Dewi. Ada kejujuran di sana—dan sesuatu yang dulu selalu dia sembunyikan.

Dewi hendak menyentuh pipinya ketika—

BRUK!

Suara keras dari pintu membuat mereka berdua tersentak.

“WOY! DI DALAM ADA ORANG PACARAN YA??!”

Rian berteriak begitu pintu terbuka sedikit.

“Rian…” suara Faris muncul di belakangnya, terdengar lelah. “Kita itu tamu. Bisa pakai otak dikit nggak?”

“Kepencet
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 96

    Pagi itu, ruang briefing bawah tanah di markas RHS Intel terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu putih di langit-langit menyinari meja oval hitam yang melingkar, tempat Radit dan seluruh anggota Tim Bayangan duduk dengan sikap lebih serius daripada beberapa minggu terakhir. Liburan di tepi danau sudah berakhir—dan kini, mereka kembali ke dunia yang menuntut ketepatan, keberanian, dan keputusan-keputusan dingin.Pak Wira masuk sambil membawa dua map tebal dan satu flash drive. Tubuhnya tegap, wajahnya seperti biasa tanpa ekspresi, namun dari sorot matanya terlihat jelas: sesuatu besar sedang menunggu.“Selamat pagi,” ucapnya datar.“Pagi, Pak,” jawab semua hampir serempak.Pak Wira menaruh map ke meja dan menatap mereka satu per satu—Radit, Faris, Rian, Surya, Bima, Dewi, dan Aldi—sebuah tim yang dulunya hanya sekumpulan orang buangan, kini menjadi salah satu unit paling efektif yang dimiliki negara.“Aku harap kalian sudah menyimpan energi dari liburan kemarin,” katanya sambil m

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 95

    Suasana villa tepi danau itu masih dipenuhi cahaya pagi yang lembut ketika Radit membuka pintu balkon, menghirup udara segar yang menusuk hidung dengan aroma tanah lembap. Di belakangnya, suara kecil menguap panjang—Rama, dengan piyama biru dan rambut acak-acakan seperti kapas terkena angin. Anak itu menyeret boneka dinosaurus hijau kesayangannya sambil memandangi ayahnya dengan mata bulat yang masih setengah tertutup.“Ayah… dingin…” gumamnya cadel, memegangi lutut Radit.Radit tersenyum, menunduk, lalu menggendong Rama yang langsung menyandarkan kepala di bahunya. “Ini namanya pagi, Nak. Pagi itu memang dingin. Tapi papa suka.”“Diding…” Rama mengangguk, seolah memahami sesuatu yang sangat filosofis.Velia baru keluar dari kamar mandi, rambut masih setengah basah, memandang keduanya dengan wajah lembut. “Rama bangun cepat banget hari ini.”“Dia nyariin Velia,” jawab Radit. “Aku cuma bonus.”Rama mengangkat kepala, menunjuk ibunya. “Bunda….” katanya pelan.Velia menghampiri, mencium

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 94

    Dewi menatap Laras yang duduk di ujung sofa dengan pipi merah muda, sisa kecanggungan dari momen hampir cium beberapa menit lalu masih mengambang di udara. AC dingin, tapi ruangan terasa hangat—atau mungkin itu hanya karena jarak mereka yang makin lama makin dekat.“Kamu masih deg-degan?” tanya Dewi pelan, senyumnya nakal.Laras memainkan rambutnya. “Enggak.”“Yakin?”“Enggak…” Laras akhirnya mengaku, wajahnya makin merah.Dewi tertawa kecil dan mendekat, menahan diri agar tidak terlihat terlalu menggoda, meski seluruh tubuhnya jelas ingin memeluk Laras saat itu juga. “Aku juga,” bisiknya.Laras akhirnya menatap mata Dewi. Ada kejujuran di sana—dan sesuatu yang dulu selalu dia sembunyikan.Dewi hendak menyentuh pipinya ketika—BRUK!Suara keras dari pintu membuat mereka berdua tersentak.“WOY! DI DALAM ADA ORANG PACARAN YA??!”Rian berteriak begitu pintu terbuka sedikit.“Rian…” suara Faris muncul di belakangnya, terdengar lelah. “Kita itu tamu. Bisa pakai otak dikit nggak?”“Kepencet

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 93

    Angin sore menyapu halaman markas RHS ketika Dewi berdiri sendirian di dekat balkon terbuka, kedua tangannya saling menggenggam gelisah di depan perut. Senja menyisakan warna jingga yang menggores langit, seolah ikut menertawakan betapa kacau pikirannya hari ini. Padahal Dewi biasanya tidak pernah goyah. Dalam misi pengawalan, ia adalah perempuan dingin yang selalu siap menaruh tubuhnya sebagai tameng tanpa berkedip. Tapi urusan perasaan? Itu medan perang yang sama sekali lain.Sudah hampir dua minggu sejak Dewi dan Laras saling membuka isi hati mereka—meski samar, meski tidak ada kata resmi, meski semuanya masih terjebak di antara “kita ini apa?” dan “aku belum siap bilang, tapi aku ingin dekat sama kamu.” Dan sejak hari itu, perasaan Dewi berubah menjadi sesuatu yang mirip ledakan kecil: manis, tapi menyiksa; hangat, tapi tak pernah tuntas.“Kenapa kau berdiri di sini sendiri? Lagi nunggu alien turun?” suara Rian menyentak keheningan, diikuti tawa pelan yang jelas-jelas menggoda.De

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 92

    Suara angin sore menyapu lembut halaman rumah keluarga Velia—rumah yang kini menjadi tempat Radit, Velia, Arka, dan Rama membangun kehidupan mereka. Langit jingga menggantung rendah, memantulkan warna keemasan ke dinding rumah yang hangat dan rapi. Radit duduk di teras bersama Velia; keduanya menikmati waktu tenang setelah perjalanan panjang dari rumah orang tua Radit.Rama tertidur di pangkuan Velia, sementara Arka masih mengutak-atik mobil-mobilan di depan mereka. Namun Radit lebih banyak memperhatikan istrinya—tatapan yang tak bisa ia sembunyikan lagi setelah segala perubahan besar yang ia alami. Velia tampak lebih cantik dari biasanya, mungkin karena ketenangan hari itu, atau mungkin karena senyum lembut yang tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya.“Kenapa lihat aku terus?” Velia bertanya tanpa menoleh, suaranya rendah, manja, dan penuh kehangatan rumah.Radit tidak menjawab. Ia memindahkan pandangan ke mata istrinya, lalu perlahan menggeser tubuh mendekat. “Soalnya… kamu bik

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 91

    Pagi itu suasana rumah Radit terasa damai. Matahari menembus sela-sela tirai ruang keluarga, memberi cahaya hangat pada lantai kayu yang baru dipel. Velia sedang memasukkan beberapa makanan ke dalam tas besar—buah, cemilan kesukaan ibunya Radit, dan beberapa lauk yang biasa ia masak khusus untuk keluarga mertua. Arka duduk di sofa sambil menggoyang-goyangkan kakinya, sementara Rama sibuk memainkan mobil-mobilan dan sesekali menabrakkannya ke kaki Radit yang duduk di karpet.“Pa… maen…” Rama berkata dengan cadel, menunjuk mobil merah kecil.Radit tertawa kecil, “Nanti, Nak. Kita mau berangkat dulu. Main di rumah Uti, ya?”“Utiii!” Rama berseru, semangat.Arka menyahut, “Aku mau ke rumah Kekek juga! Mau liat burung! Kemarin ada yang baru.”Radit mengusap kepala keduanya satu per satu. “Iya, kita ke sana. Kekek pasti seneng banget kalian mau datang lagi.”Velia menghampiri mereka dengan tas yang sudah tertutup rapat. “Semua sudah siap. Kamu tinggal angkat Arka dan Rama.”Radit berdiri sa

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status