Share

Bab 2

Author: RHS
last update Last Updated: 2025-09-12 17:29:27

Udara pagi rumah besar itu selalu dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang bekerja sempurna, melainkan karena tatapan dingin orang-orang di dalamnya. Rahayu—yang kini terjebak di tubuh Radit—baru saja menyelesaikan mandi tergesa. Kemeja lusuh milik Radit terasa kontras sekali dengan interior megah rumah bergaya kolonial modern itu. Langkahnya ragu saat menuruni tangga spiral yang berlapis marmer.

Di bawah, meja makan panjang sudah penuh dengan hidangan sarapan: roti artisan, buah segar, omelet yang ditata rapi, bahkan teh impor dalam teko porselen. Para pelayan berdiri di sisi ruangan, menunggu instruksi. Di ujung meja, duduk sosok berwibawa dengan rambut setengah memutih: Darmawan Prameswari, ayah Velia, sedang membuka koran pagi. Di sampingnya ada Laras Prameswari, elegan dengan blus putih, yang hanya melirik sekilas pada Radit dengan tatapan yang lebih menusuk daripada pisau dapur.

Velia duduk tak jauh dari sana, menyuapi Arka dengan sabar. Sementara itu, Nadia, adik Velia, memainkan ponselnya sambil mendengus kecil ketika menyadari kehadiran Radit.

“Tumben bangun pagi,” komentar Nadia, sinis. “Biasanya jam segini kamu masih mendengkur kayak singa malas.”

Rahayu menahan napas. Ia tahu, yang dimaksud “kamu” adalah Radit, bukan dirinya. Lidahnya gatal ingin menjelaskan bahwa ia bukan pria itu, tapi siapa yang bakal percaya? Ia hanya bisa menunduk dan berjalan ke kursi di sisi Velia.

Pak Darmawan melipat koran, suaranya datar namun penuh tekanan. “Kau sudah cukup lama tinggal di rumah ini, Radit. Sampai kapan kau akan jadi beban? Hidup dari keringat keluarga orang lain tanpa rasa malu?”

Jantung Rahayu mencelos. Ia menunduk lebih dalam, merasakan setiap kata itu seperti cambuk. Ingin rasanya ia berkata: Saya bukan Radit, saya hanya seorang wanita malang yang diberi kesempatan kedua. Tapi kenyataan tak bisa ia ubah: tubuh ini adalah tubuh Radit, dan semua dosa melekat padanya.

Velia berhenti menyuapi Arka, lalu berkata pelan namun tajam. “Ayah, percuma menegurnya. Radit tidak pernah merasa bersalah.”

Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada tatapan siapa pun. Tapi anehnya, ada dorongan dalam hati Rahayu untuk menjawab, bukan membela diri, melainkan untuk memperbaiki keadaan.

“Aku… akan berusaha berubah,” ucapnya lirih.

Semua kepala di meja makan menoleh. Nadia langsung tertawa pendek. “Dengar itu? Sudah berapa kali kamu bilang begitu? Perubahanmu cuma bertahan sehari, besoknya balik lagi jadi sampah!”

Arka, yang polos, justru menatap ayahnya dengan mata bulatnya. Tangannya menggenggam sendok kecil, lalu berucap pelan, “Ayah… jangan jahat lagi ya?”

Rahayu nyaris tak kuasa menahan air mata. Ia membalas tatapan anak kecil itu dengan senyum getir. “Iya, Nak. Ayah janji. Karena kalau orang dewasa nggak bisa berubah, bagaimana anak-anak bisa percaya dunia ini bisa jadi tempat yang baik?”

Suasana hening sesaat. Velia mengerutkan kening, tatapannya ragu, seakan tak percaya kalimat seperti itu keluar dari mulut Radit.

Bu Laras menaruh cangkir teh dengan sedikit dentuman, lalu berujar dingin. “Jangan banyak janji manis. Kami sudah terlalu sering mendengar kebohonganmu.”

Rahayu mengangguk. Ia tahu, ucapan itu bukan sekadar sindiran, tapi kenyataan pahit yang ditinggalkan Radit. Namun dalam hati, ia bertekad: Aku akan buktikan. Aku tidak akan mengulang kesalahan pria ini.

Saat sarapan berlanjut, komentar sinis dan tatapan meremehkan terus menghujam. Tapi setiap kali Arka tersenyum polos padanya, Rahayu menemukan kekuatan baru untuk bertahan. Ia sadar, langkahnya baru dimulai, dan jalan penebusan ini akan panjang.

Pelayan-pelayan mulai mengangkat piring kosong dari meja makan. Aroma kopi dan roti panggang masih tersisa di udara, tapi suasana hati di ruangan itu sudah dingin sejak awal. Rahayu—yang semua orang lihat sebagai Radit—tetap duduk dengan tangan terkepal di atas paha, menahan diri agar tak bereaksi berlebihan.

Velia menyeka mulut Arka, lalu menggendong anak kecil itu tanpa menoleh pada Rahayu. Langkahnya tenang, tapi setiap gerakan menunjukkan jarak yang seolah tak bisa ditembus.

“Vel…” Rahayu memberanikan diri memanggil.

Velia berhenti, namun tak berbalik. Suaranya datar, bahkan lebih dingin dari pendingin ruangan yang menyala. “Kalau ingin bicara, jangan di depan Arka.”

Arka menoleh ke arah Rahayu, wajah mungilnya menampilkan kekecewaan kecil. “Ayah nggak ikut main?”

Rahayu tersenyum tipis, meski hatinya terasa remuk. “Nanti, Nak. Ayah janji.”

Velia membawa Arka pergi, meninggalkan Rahayu sendirian di meja makan bersama Bu Laras dan Nadia. Pak Darmawan sudah kembali menenggelamkan diri dalam koran, seolah masalah keluarga ini hanya perkara kecil yang tak layak mengganggu konsentrasinya.

Nadia, yang sejak tadi belum puas, menyandarkan dagu pada telapak tangannya. “Tahu nggak, setiap kali aku lihat wajahmu, aku cuma bisa mikir: kenapa Kak Velia harus ketiban sial? Dari semua pria baik di luar sana, malah dapat… kamu.”

“Nadia,” tegur Bu Laras, tapi nadanya tak sungguh-sungguh. Justru ada nada lega terselip, karena putri bungsunya berani mengatakan apa yang ia sendiri tahan di dalam hati.

Rahayu menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, dalam tubuh Radit, kata-kata balasan bisa menjadi bumerang. Jadi ia memilih menunduk. “Aku mengerti. Aku sudah membuat banyak kesalahan. Tapi… kalau diberi kesempatan, aku ingin memperbaiki semuanya.”

Nadia mendecak, tertawa pendek. “Kesempatan? Kamu pikir ini sinetron? Hidup orang lain bukan mainan yang bisa kamu ulang seenaknya.”

“Ada orang yang hanya butuh satu kesempatan untuk berubah,” balas Rahayu pelan, kali ini berani menatap Nadia. “Dan kalau aku sia-siakan, Arka akan belajar bahwa ayahnya memang sampah. Aku nggak mau itu terjadi.”

Sekilas, ada keheningan. Nadia tak menduga balasan seperti itu keluar dari mulut Radit. Ia menelan ludah, namun cepat-cepat menutupi dengan tawa sinis lagi. “Huh, lihat saja nanti. Aku nggak percaya.”

Bu Laras berdiri, anggun, lalu menatap Rahayu penuh ketidakpercayaan. “Aku akan mengawasi. Kalau kau sekali saja kembali ke kebiasaan lama, aku sendiri yang akan menendangmu keluar dari rumah ini.”

Rahayu menunduk dalam-dalam. “Aku mengerti, Bu.”

---

Beberapa jam kemudian, halaman belakang rumah mewah itu terasa sunyi. Rahayu melangkah keluar, mencari udara segar. Ia berdiri di taman luas dengan kolam kecil di tengah, memandangi pantulan dirinya di air jernih. Wajah Radit terlihat jelas: suram, letih, penuh masa lalu yang kotor.

Tiba-tiba suara kecil menyapanya. “Ayah…”

Arka berlari kecil dengan langkah terhuyung. Di tangannya ada bola kecil berwarna merah. Velia menyusul di belakang, namun anak itu lebih dulu mencapai Rahayu. Tanpa ragu, Arka menyodorkan bola itu ke ayahnya.

“Main sama Arka, ya?”

Rahayu berjongkok, menatap wajah mungil yang penuh harap itu. Ada sesuatu yang bergetar dalam hatinya. Anak ini sama sekali tak bersalah. Dia hanya korban dari kebodohan masa lalu Radit.

Dengan senyum tulus, ia menerima bola itu. “Tentu, Nak. Ayah akan main. Karena anak kecil berhak punya kenangan bahagia, bukan luka.”

Arka tertawa kecil, melempar bola dengan tangan mungilnya. Rahayu menangkapnya, lalu melempar balik perlahan. Tawa polos Arka memenuhi taman, membuat Velia yang berdiri di kejauhan terdiam. Wajahnya sulit dibaca—antara marah, heran, dan bingung.

Velia akhirnya mendekat, suaranya dingin. “Jangan buat Arka berharap banyak. Aku nggak mau dia terluka lagi.”

Rahayu menatap Velia dalam-dalam, bola masih di tangannya. “Justru karena itu aku harus berubah, Vel. Karena anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Kalau aku gagal jadi ayah, Arka bisa tumbuh tanpa percaya pada keluarga.”

Velia tercekat sesaat, namun segera mengeraskan wajahnya. “Kata-kata manis tak berarti apa-apa bagiku.”

Rahayu mengangguk, lalu berjongkok lagi di depan Arka. “Dengar, Nak. Kalau ayah salah lagi, kamu boleh marah. Karena orang yang benar-benar ingin berubah, nggak akan lari dari tanggung jawabnya.”

Arka hanya tersenyum polos, lalu kembali melempar bola. Namun di mata Velia, ada secercah keraguan—apakah ini benar Radit yang sama seperti dulu?

---

Malam itu, kamar Radit tetap terasa asing bagi Rahayu. Dinding-dindingnya kosong, hanya ada beberapa pakaian berantakan dan sisa botol minuman yang dulu jadi kebiasaan Radit. Rahayu duduk di tepi ranjang, memejamkan mata, lalu berbisik pada dirinya sendiri:

Kesempatan kedua ini bukan hadiah, tapi ujian. Aku harus buktikan, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Karena kalau aku menyerah, aku bukan hanya menghancurkan diriku sendiri, tapi juga Arka, Velia, dan keluarga ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 72

    Tiga bulan berlalu sejak malam api dan peluru itu.Kini, halaman panti asuhan “Pelita Hati” dipenuhi warna-warna baru — bukan lagi abu-abu kehancuran, tapi hijau muda dari taman kecil yang Radit bangun bersama anak-anak.Bangunan lama yang dulu reyot kini berdiri kokoh dengan cat putih dan jendela-jendela besar yang menghadap ke langit.Di atas gerbang terpasang papan kayu bertuliskan sederhana:“Rumah Harapan” – Dibangun oleh RHS Foundation.---Pagi itu, Radit berdiri di tengah halaman, mengenakan kemeja putih dan celana krem, tangannya memegang daftar nama anak-anak yang baru masuk.Di sebelahnya, Velia menggendong bayi kecil mereka — Rama — yang baru berusia dua bulan, wajahnya tenang di pelukan ibunya.Anak-anak berlarian di sekeliling, tertawa, memanggil nama “Om Radit” sambil membawa bola, kertas gambar, dan beberapa buku baru yang mereka dapat pagi itu.“Om Radit! Lihat, aku bisa baca huruf ‘R’ sekarang!” teriak seorang anak laki-laki berumur enam tahun.Radit menoleh, terseny

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 71

    Langit malam di pinggiran kota Bekasi tampak pekat tanpa bintang. Gerimis tipis menetes di atap kontainer tua yang berdiri berjejer di lahan industri yang sudah lama ditutup. Di balik kabut asap dari pabrik terbengkalai itu, sejumlah kendaraan hitam berhenti tanpa suara.Tim Bayangan keluar satu per satu.Radit berjalan paling depan, wajahnya tertutup topeng taktis hitam dengan emblem kecil RHS di pundaknya. Mata tajamnya menelusuri area gelap itu.“Semua unit, laporan posisi,” bisiknya melalui alat komunikasi di telinga.“Rian dan Faris di titik barat, visual aktif,” jawab suara tenang Rian, diiringi dengung drone yang mengintai dari atas.“Bima dan Surya siap di selatan, ledakan pengalih tinggal tunggu perintah,”“Dewi standby di kendaraan medis, akses ke jalur aman sudah disiapkan.”Radit menarik napas panjang. “Baik. Kita ambil alih anak-anak itu malam ini. Tidak ada korban dari pihak kita, tidak ada celah. Jalankan.”---Tiga jam sebelumnya, mereka mendapat laporan dari kontak la

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 70

    Hari-hari setelah kelahiran anak pertama mereka terasa seperti babak baru dalam hidup keluarga kecil itu. Rumah terasa lebih hangat, tapi juga lebih riuh. Tangisan bayi di malam hari bercampur dengan tawa kecil Arka yang antusias melihat adiknya.Velia masih tampak lelah. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, kadang terlihat pucat, kadang matanya tampak sayu karena kurang tidur. Tapi di balik itu semua, ada cahaya lembut dalam pandangannya setiap kali menatap bayinya.Radit — atau Rahayu dalam tubuh Radit — selalu berada di sisinya. Ia mempelajari segala hal tentang perawatan pasca melahirkan: dari cara mengganti perban luka operasi, menyiapkan makanan bergizi, hingga mengatur suhu kamar agar nyaman untuk Velia dan si kecil.Setiap pagi, Radit akan bangun lebih dulu, menyiapkan air hangat, lalu dengan hati-hati membantu Velia duduk di tempat tidur. Ia selalu memastikan Velia tidak kelelahan, dan setiap kali Velia menolak bantuan, Radit hanya tersenyum lembut.“Biar aku aja,” katanya pelan

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 69

    Pesawat militer RHS Intel mendarat dengan lembut di landasan udara milik pribadi perusahaan. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Langit memerah jingga, seolah ikut menyambut kepulangan mereka.Radit melangkah keluar lebih dulu, menatap matahari yang mulai tenggelam di balik horizon. Tubuhnya lelah, tapi dadanya penuh rasa lega. Misi besar telah selesai, dunia aman untuk sementara — dan yang paling penting, dia masih hidup untuk menepati janjinya pada Velia.Bima bersuara di belakangnya sambil meregangkan badan. “Akhirnya... udara rumah juga punya bau kemenangan.”Surya menepuk bahunya. “Kita pulang dengan utuh, Dit. Itu yang paling penting.”Dewi yang masih memakai jaket medis menatap mereka sambil menahan senyum. “Aku nggak mau jadi dokter darurat lagi selama sebulan.”Rian mengangkat laptopnya. “Dan aku mau libur dari kode dan firewall minimal seminggu.”Faris menambahkan dengan nada menggoda, “Asal jangan libur dari ngopi bareng aku.”Tawa ringan mel

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 68

    Langit senja di atas markas RHS Intel berwarna oranye keemasan ketika sirene darurat berbunyi. Lampu merah di sepanjang lorong berkedip cepat, tanda bahwa perintah misi internasional baru saja turun. Semua anggota tim Bayangan—Radit, Surya, Rian, Faris, Bima, dan Dewi—bergegas menuju ruang briefing utama.Pak Wira, yang kini tetap menjadi direktur operasional, berdiri di depan layar besar menampilkan peta dunia. Suaranya tegas dan berat. “Kita mendapat panggilan langsung dari aliansi internasional. Operasi bernama Silent Hope. Sebuah kelompok separatis di wilayah Alpen Utara menahan ratusan warga sipil dan ilmuwan dari berbagai negara. Mereka menuntut akses ke sistem satelit pertahanan dunia. Jika gagal dinegosiasikan, seluruh sandera akan dieksekusi dalam 48 jam.”Ruang itu langsung senyap. Surya menatap layar, rahangnya mengeras. “Target mereka bukan uang. Mereka ingin kendali.”Radit berdiri di sisi kanan layar, menatap data intel yang terus bergulir. “Kalau mereka berhasil membuka

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 67

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Radit dan Velia, membangunkan mereka dari tidur lelap. Udara terasa segar; burung-burung bernyanyi di luar rumah. Arka sudah lebih dulu bangun, berlarian di ruang tamu sambil membawa mainan dinosaurus kesukaannya. “Papa! Mama! Cepat bangun! Hari ini kan kita mau jalan-jalan!” serunya girang, suaranya menggema ke seluruh rumah. Velia membuka mata perlahan sambil menguap. “Astaga... anak kecil ini nggak ada capeknya, ya?” Radit tertawa kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan lembut. “Namanya juga Arka. Kalau disuruh santai, bisa-bisa rumah ini kebakaran duluan.” Velia memukul pelan bahunya. “Kamu tuh, jangan ngelucu dulu. Tolong ambilkan aku air putih, cepat. Aku haus banget.” Radit segera menuruti. Ia tahu belakangan ini Velia sedang dalam masa kehamilan yang sensitif. Kadang bisa marah hanya karena salah menaruh sendok, tapi lima menit kemudian bisa menangis hanya karena melihat Arka memeluk boneka. Setelah minum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status