Share

Bab 3

Author: RHS
last update Last Updated: 2025-09-12 17:48:10

Malam turun dengan cepat di rumah besar keluarga Prameswari. Dari jendela kamar, cahaya kota terlihat berkilau, kontras dengan hati Rahayu yang penuh gelisah. Ia mencoba berbaring, tapi tubuh Radit masih menyimpan kegelisahan lain: kebiasaan buruk, luka lama, dan beban dosa.

Ia menatap ponsel usang yang tergeletak di meja. Baterainya nyaris habis, tapi ada satu nomor yang mengusik benaknya sejak pagi: Bu Siti, ibu Radit. Entah dorongan dari mana, jari-jarinya menekan tombol panggil.

Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara parau menjawab.

“Halo?”

Suara itu begitu akrab, hangat sekaligus lelah. Rahayu terdiam beberapa detik, tenggorokannya tercekat. Ini bukan ibuku, tapi aku bisa merasakan luka yang sama.

“Ibu…” suara Rahayu bergetar.

Di seberang, Bu Siti menghela napas panjang. “Radit? Tumben kamu telepon. Ada apa lagi? Mau minta uang?”

Rahayu menutup mata, merasakan tusukan rasa bersalah. Dulu, Radit memang sering menghubungi ibunya hanya untuk meminta uang, bahkan ketika ayahnya sakit.

“Bukan, Bu. Aku… aku cuma ingin tanya kabar. Bagaimana kondisi Ayah?”

Hening sesaat. Suara Bu Siti kemudian terdengar lirih. “Ayahmu masih sakit-sakitan. Obatnya mahal, tapi kami berusaha. Reno kerja apa saja, bahkan angkut barang di pasar, supaya bisa beli obat. Rani juga masih semangat belajar meski kadang tidak bisa bayar buku.”

Rahayu menggigit bibirnya. Hatinya seperti dihimpit batu besar. Radit benar-benar telah menelantarkan mereka.

“Ibu…” ia berkata lirih, menahan emosi. “Aku janji, mulai sekarang aku akan berusaha bantu. Aku akan kerja, apa saja. Aku tidak mau lagi jadi beban.”

Bu Siti terdiam, lalu tertawa pahit. “Radit, Ibu sudah dengar kalimat itu terlalu sering. Tapi kalau benar kamu mau berubah, buktikan. Kata-kata tidak akan menyembuhkan Ayahmu, tidak akan membayar uang sekolah Rani.”

Kalimat itu menusuk, tapi justru membakar tekad Rahayu. “Baik, Bu. Aku akan buktikan. Kali ini, aku benar-benar akan berubah.”

Sebelum sambungan berakhir, Bu Siti sempat berbisik lirih, hampir tak terdengar. “Andai saja kamu bisa sungguh jadi anak yang Ibu kenal dulu… bukan monster yang menghancurkan keluarga.”

Klik. Sambungan terputus.

Rahayu menatap layar ponsel yang gelap, dadanya sesak. Aku bukan Radit, Bu. Tapi mulai sekarang, biarkan aku yang menebus semua dosanya.

---

Keesokan paginya, sebelum matahari benar-benar meninggi, Rahayu sudah bangun. Kali ini ia tidak ingin terlambat atau dipandang malas. Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut kusut Radit, dan mengenakan kemeja seadanya. Wajah di cermin tampak asing, tapi tekad di balik mata itu kini berbeda.

Di ruang tamu, Pak Darmawan sudah duduk dengan jas rapi, bersiap ke kantor. Velia menemani Arka yang sedang menyusun balok mainan. Begitu melihat Radit, semua mata seolah langsung menilai.

“Apa lagi yang mau kau lakukan hari ini?” tanya Pak Darmawan tanpa basa-basi, suaranya dalam dan penuh wibawa.

Rahayu menelan ludah, lalu maju setapak. “Pak, saya ingin bekerja. Kalau Bapak berkenan, izinkan saya membantu di perusahaan. Apa pun pekerjaannya. Saya tidak minta gaji besar. Saya hanya ingin bukti kalau saya bisa berubah.”

Suasana mendadak hening. Velia menoleh, raut wajahnya mencampur heran dan sinis. Nadia, yang baru turun dari tangga, langsung mendengus. “Astaga, ini lagi. Mau bikin masalah di perusahaan keluarga juga, biar semua orang tahu kita punya menantu yang memalukan?”

Pak Darmawan menghela napas berat. “Radit, perusahaan ini bukan tempat untuk main-main. Reputasi kami terlalu mahal untuk kau rusak. Kalau kau ingin berubah, cari kerja di luar. Buktikan dengan keringatmu sendiri, bukan numpang nama keluarga ini.”

Rahayu menunduk, menerima kata-kata itu dengan lapang dada. “Baik, Pak. Saya akan cari kerja sendiri. Karena orang yang ingin berubah harus rela mulai dari nol.”

Velia melirik sekilas. Ada keraguan kecil dalam matanya, tapi segera ia balikkan kepala, pura-pura tidak peduli.

Arka tiba-tiba berlari kecil mendekati Rahayu, menarik ujung kemejanya. “Ayah… jangan pergi lama-lama. Arka mau Ayah pulang main.”

Rahayu berjongkok, mengusap kepala kecil itu. “Iya, Nak. Ayah janji pulang cepat. Dan kali ini Ayah nggak akan lari lagi dari tanggung jawab.”

Arka tersenyum polos, lalu kembali ke balok mainannya. Senyum itu menjadi kekuatan baru dalam hati Rahayu.

Ia berdiri, mengangkat wajah, menatap seluruh keluarga yang masih meragukannya. “Aku tahu kalian tidak percaya. Tapi aku akan buktikan. Aku tidak akan lagi jadi Radit yang dulu.”

Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar rumah. Matahari pagi menyambutnya, seolah membuka jalan panjang penuh duri di depan. Jalan penebusan telah resmi dimulai.

Rahayu melangkah di trotoar yang masih basah oleh embun pagi, tas kerja tergantung di bahu. Setiap langkah terasa berat, bukan karena jarak, tapi karena beban tanggung jawab yang kini menempel pada tubuh Radit. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati. Matahari pagi menembus sela gedung-gedung tinggi, seolah memberi semangat baru.

“Ini baru permulaan,” gumamnya, matanya menatap papan nama perusahaan pertama yang akan ia datangi. “Aku harus mulai dari sini, dari nol.”

Rahayu memasuki gedung bergaya minimalis itu. Lobby besar dan bersih memberi kesan profesional. Ia menahan rasa cemas, menyesuaikan postur tubuh Radit—lurus, percaya diri, tapi tidak sombong. Ia mendekati meja resepsionis.

“Selamat pagi, saya ingin menyerahkan lamaran kerja,” kata Rahayu dengan suara sedikit serak.

Pramuniaga itu menatapnya sebentar, lalu mengarahkan ke sebuah ruangan kecil. “Silakan tunggu di sana, HRD akan memanggilmu.”

Rahayu duduk di kursi tunggu, membuka berkas lamaran yang sudah disiapkan semalam. Ijazah S1, pengalaman magang, dan beberapa sertifikat pendukung. Ia tahu, meskipun ia punya latar belakang bagus, reputasi Radit di dunia luar bisa jadi membebani.

“Semua orang punya masa lalu,” Rahayu berbisik pada diri sendiri. “Tapi masa depan bisa kau tulis sendiri.”

Tidak lama, seorang wanita muda membuka pintu. “Radit? Silakan masuk, saya HRD-nya, Siska.”

Rahayu mengangguk, bangkit, dan melangkah ke dalam ruangan. Ia tersenyum sopan, berusaha menutupi kegugupannya.

“Radit ya? Aku sudah lihat CV-mu,” kata Siska sambil menyodorkan kursi. “Jujur, aku cukup terkejut. Tidak sering kami menerima pelamar dengan pengalaman minim, tapi ijazah dan motivasi kamu menarik.”

Rahayu menghela napas lega, tapi tetap menundukkan kepala. “Terima kasih, Bu. Saya tahu banyak hal yang harus saya buktikan. Saya siap belajar dan bekerja keras.”

Percakapan berjalan hangat, tapi pada saat Siska menanyakan pengalaman kerja nyata, Rahayu merasa sedikit terpojok. Ia mengambil napas dalam-dalam dan menjawab jujur.

“Saya memang belum punya pengalaman kerja penuh, Bu, tapi saya cepat belajar. Dan saya percaya, tindakan nyata lebih kuat dari kata-kata. Saya bisa buktikan kalau saya mampu.”

Siska tersenyum tipis. “Baiklah. Kami akan mempertimbangkan. Tapi jangan kecewakan kami.”

Rahayu mengangguk penuh tekad. “Tidak akan, Bu.”

Keluar dari gedung itu, Rahayu merasa sedikit lega, tapi juga sadar perjalanan baru saja dimulai. Ia melangkah ke perusahaan berikutnya, menyerahkan lamaran, menghadapi penolakan, dan mendengar komentar sinis dari beberapa staf yang menilai wajah Radit.

Di satu perusahaan, seorang HRD pria menatapnya dingin.

“Radit? Maaf, kami mencari orang dengan pengalaman minimal tiga tahun. Kamu jelas belum cukup,” ujarnya sambil menyerahkan kembali berkas lamaran.

Rahayu menelan ludah, tapi senyum tipis tetap tersungging di wajahnya. “Baik, Pak. Terima kasih atas waktunya.”

Setiap penolakan terasa seperti tusukan kecil, tapi ia terus berjalan. Ia tidak ingin mundur. Di jalan, ia menatap gedung-gedung tinggi dan mengingat janji pada dirinya sendiri: “Aku tidak akan lagi jadi Radit yang dulu.”

Ia mencoba beberapa strategi baru: mempercantik berkas lamaran, menulis surat motivasi yang lebih personal, menekankan kemampuan S1-nya, dan bahkan belajar cara menghadapi wawancara. Setiap kali gagal, ia menuliskan catatan di ponsel—apa yang bisa diperbaiki, apa yang bisa dibuktikan.

Siang hari, Rahayu tiba di sebuah perusahaan teknologi menengah. Ia menyerahkan lamaran dengan sikap tenang dan penuh percaya diri. HRD wanita menatapnya lama, seolah membaca sesuatu lebih dari sekadar CV.

“Radit, kamu cukup berani datang sendiri. Kami suka orang yang tidak takut menantang diri sendiri,” katanya sambil tersenyum. “Bisa ceritakan sedikit tentang dirimu?”

Rahayu menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah, menatap mata HRD itu. “Saya memang baru memulai, Bu. Tapi saya punya tekad. Saya mau belajar, bekerja keras, dan membuktikan diri. Saya tahu tanggung jawab tidak bisa dihindari, dan saya siap menanggung konsekuensinya.”

HRD itu tampak tersentuh, lalu menuliskan sesuatu di berkasnya. “Baik. Kami akan memanggilmu lagi untuk wawancara lanjutan. Tapi ingat, kerja keras dan konsistensi adalah kunci.”

Rahayu mengangguk, langkahnya terasa lebih ringan. Ia tahu ini awal kecil, tapi penting. Setiap langkah membawa perubahan.

Hari mulai sore, dan matahari beranjak turun. Rahayu menatap langit jingga, merasakan angin sepoi-sepoi. Di tengah lelah dan rasa putus asa, ia menemukan satu kekuatan baru: anak kecil yang menunggunya di rumah, keluarga yang harus ia buktikan, dan tekadnya sendiri.

Ia menutup hari dengan satu tekad baru: “Orang boleh meremehkanmu, tapi kerja kerasmu tak akan pernah mengkhianatimu.”

Rahayu kembali ke rumah dengan hati campur aduk—lelah tapi puas. Ia tahu, proses ini belum selesai. Masih banyak perusahaan yang harus ia datangi, banyak penolakan yang harus diterima, dan banyak sikap sinis yang harus dihadapi. Tapi setiap langkah membuatnya semakin dekat dengan tujuan: menjadi pria yang bertanggung jawab, ayah yang baik, dan penebus masa lalu.

Di meja makan, Velia menyajikan makan malam dengan wajah datar. Rahayu menunduk sebentar sebelum mulai makan, tapi di matanya ada cahaya tekad yang berbeda dari sebelumnya. Arka menatapnya penuh harap, dan senyum polos anak itu menjadi alasan lain untuk tidak menyerah.

Malam itu, sebelum tidur, Rahayu menulis catatan kecil di buku hariannya.

“Hari ini aku gagal di beberapa tempat, tapi aku juga mulai dilirik di satu perusahaan. Jalan masih panjang, tapi aku tidak akan berhenti. Setiap penolakan adalah pelajaran, setiap langkah adalah bukti bahwa aku bisa berubah.”

Dengan kepala terbaring di bantal, ia menatap langit-langit kamar, membayangkan masa depan yang berbeda. Ia tahu, perubahan itu tidak instan. Tapi satu hal pasti: ia tidak akan kembali ke Radit yang dulu.

Mata Rahayu terpejam, tapi tekadnya tetap hidup, membara. Besok, ia akan melanjutkan pencarian pekerjaan, menghadapi dunia nyata, dan menapaki langkah demi langkah untuk menjadi sosok yang pantas bagi keluarga, terutama Velia dan Arka.

Dan di hatinya, satu kalimat motivasi menguat:

“Kesalahan masa lalu tak bisa dihapus, tapi masa depan bisa ditulis ulang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 72

    Tiga bulan berlalu sejak malam api dan peluru itu.Kini, halaman panti asuhan “Pelita Hati” dipenuhi warna-warna baru — bukan lagi abu-abu kehancuran, tapi hijau muda dari taman kecil yang Radit bangun bersama anak-anak.Bangunan lama yang dulu reyot kini berdiri kokoh dengan cat putih dan jendela-jendela besar yang menghadap ke langit.Di atas gerbang terpasang papan kayu bertuliskan sederhana:“Rumah Harapan” – Dibangun oleh RHS Foundation.---Pagi itu, Radit berdiri di tengah halaman, mengenakan kemeja putih dan celana krem, tangannya memegang daftar nama anak-anak yang baru masuk.Di sebelahnya, Velia menggendong bayi kecil mereka — Rama — yang baru berusia dua bulan, wajahnya tenang di pelukan ibunya.Anak-anak berlarian di sekeliling, tertawa, memanggil nama “Om Radit” sambil membawa bola, kertas gambar, dan beberapa buku baru yang mereka dapat pagi itu.“Om Radit! Lihat, aku bisa baca huruf ‘R’ sekarang!” teriak seorang anak laki-laki berumur enam tahun.Radit menoleh, terseny

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 71

    Langit malam di pinggiran kota Bekasi tampak pekat tanpa bintang. Gerimis tipis menetes di atap kontainer tua yang berdiri berjejer di lahan industri yang sudah lama ditutup. Di balik kabut asap dari pabrik terbengkalai itu, sejumlah kendaraan hitam berhenti tanpa suara.Tim Bayangan keluar satu per satu.Radit berjalan paling depan, wajahnya tertutup topeng taktis hitam dengan emblem kecil RHS di pundaknya. Mata tajamnya menelusuri area gelap itu.“Semua unit, laporan posisi,” bisiknya melalui alat komunikasi di telinga.“Rian dan Faris di titik barat, visual aktif,” jawab suara tenang Rian, diiringi dengung drone yang mengintai dari atas.“Bima dan Surya siap di selatan, ledakan pengalih tinggal tunggu perintah,”“Dewi standby di kendaraan medis, akses ke jalur aman sudah disiapkan.”Radit menarik napas panjang. “Baik. Kita ambil alih anak-anak itu malam ini. Tidak ada korban dari pihak kita, tidak ada celah. Jalankan.”---Tiga jam sebelumnya, mereka mendapat laporan dari kontak la

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 70

    Hari-hari setelah kelahiran anak pertama mereka terasa seperti babak baru dalam hidup keluarga kecil itu. Rumah terasa lebih hangat, tapi juga lebih riuh. Tangisan bayi di malam hari bercampur dengan tawa kecil Arka yang antusias melihat adiknya.Velia masih tampak lelah. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, kadang terlihat pucat, kadang matanya tampak sayu karena kurang tidur. Tapi di balik itu semua, ada cahaya lembut dalam pandangannya setiap kali menatap bayinya.Radit — atau Rahayu dalam tubuh Radit — selalu berada di sisinya. Ia mempelajari segala hal tentang perawatan pasca melahirkan: dari cara mengganti perban luka operasi, menyiapkan makanan bergizi, hingga mengatur suhu kamar agar nyaman untuk Velia dan si kecil.Setiap pagi, Radit akan bangun lebih dulu, menyiapkan air hangat, lalu dengan hati-hati membantu Velia duduk di tempat tidur. Ia selalu memastikan Velia tidak kelelahan, dan setiap kali Velia menolak bantuan, Radit hanya tersenyum lembut.“Biar aku aja,” katanya pelan

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 69

    Pesawat militer RHS Intel mendarat dengan lembut di landasan udara milik pribadi perusahaan. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Langit memerah jingga, seolah ikut menyambut kepulangan mereka.Radit melangkah keluar lebih dulu, menatap matahari yang mulai tenggelam di balik horizon. Tubuhnya lelah, tapi dadanya penuh rasa lega. Misi besar telah selesai, dunia aman untuk sementara — dan yang paling penting, dia masih hidup untuk menepati janjinya pada Velia.Bima bersuara di belakangnya sambil meregangkan badan. “Akhirnya... udara rumah juga punya bau kemenangan.”Surya menepuk bahunya. “Kita pulang dengan utuh, Dit. Itu yang paling penting.”Dewi yang masih memakai jaket medis menatap mereka sambil menahan senyum. “Aku nggak mau jadi dokter darurat lagi selama sebulan.”Rian mengangkat laptopnya. “Dan aku mau libur dari kode dan firewall minimal seminggu.”Faris menambahkan dengan nada menggoda, “Asal jangan libur dari ngopi bareng aku.”Tawa ringan mel

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 68

    Langit senja di atas markas RHS Intel berwarna oranye keemasan ketika sirene darurat berbunyi. Lampu merah di sepanjang lorong berkedip cepat, tanda bahwa perintah misi internasional baru saja turun. Semua anggota tim Bayangan—Radit, Surya, Rian, Faris, Bima, dan Dewi—bergegas menuju ruang briefing utama.Pak Wira, yang kini tetap menjadi direktur operasional, berdiri di depan layar besar menampilkan peta dunia. Suaranya tegas dan berat. “Kita mendapat panggilan langsung dari aliansi internasional. Operasi bernama Silent Hope. Sebuah kelompok separatis di wilayah Alpen Utara menahan ratusan warga sipil dan ilmuwan dari berbagai negara. Mereka menuntut akses ke sistem satelit pertahanan dunia. Jika gagal dinegosiasikan, seluruh sandera akan dieksekusi dalam 48 jam.”Ruang itu langsung senyap. Surya menatap layar, rahangnya mengeras. “Target mereka bukan uang. Mereka ingin kendali.”Radit berdiri di sisi kanan layar, menatap data intel yang terus bergulir. “Kalau mereka berhasil membuka

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 67

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Radit dan Velia, membangunkan mereka dari tidur lelap. Udara terasa segar; burung-burung bernyanyi di luar rumah. Arka sudah lebih dulu bangun, berlarian di ruang tamu sambil membawa mainan dinosaurus kesukaannya. “Papa! Mama! Cepat bangun! Hari ini kan kita mau jalan-jalan!” serunya girang, suaranya menggema ke seluruh rumah. Velia membuka mata perlahan sambil menguap. “Astaga... anak kecil ini nggak ada capeknya, ya?” Radit tertawa kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan lembut. “Namanya juga Arka. Kalau disuruh santai, bisa-bisa rumah ini kebakaran duluan.” Velia memukul pelan bahunya. “Kamu tuh, jangan ngelucu dulu. Tolong ambilkan aku air putih, cepat. Aku haus banget.” Radit segera menuruti. Ia tahu belakangan ini Velia sedang dalam masa kehamilan yang sensitif. Kadang bisa marah hanya karena salah menaruh sendok, tapi lima menit kemudian bisa menangis hanya karena melihat Arka memeluk boneka. Setelah minum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status