Se connecterSirene samar di kejauhan, langit malam yang basah oleh sisa hujan, dan suara mesin mobil yang meraung di jalan tol sepi — itulah pembuka malam panjang bagi Tim Bayangan. Misi kali ini bukan sekadar pengawalan, tapi perlindungan terhadap keluarga penting: keluarga Mahendra, salah satu saksi kunci dalam kasus penyelundupan senjata lintas negara.Di dalam mobil hitam tanpa tanda, Radit duduk di kursi depan bersama Bima, memantau radar kecil di layar portabel.“Target bergerak menuju hotel. Tim dua, siaga di titik barat. Jangan ada kesalahan,” suara Radit tenang tapi tegas.“Siap, Kapten,” jawab Faris dari radio, suaranya serak menahan adrenalin.Sementara itu, Dewi duduk di kursi belakang bersama keluarga Mahendra.Ayahnya, Bagas Mahendra, seorang pengusaha, menatap keluar jendela dengan mata lelah. Di sebelahnya duduk istrinya, Rania, yang terus menggenggam tangan anak perempuannya, Laras, gadis 23 tahun dengan wajah lembut namun tegas.Anak laki-laki mereka, Dino, yang berumur 17 tahun
Matahari pagi menembus celah tirai ruang latihan kecil di halaman belakang rumah keluarga Prameswari. Udara terasa segar, dengan aroma embun bercampur tanah lembap.Di tengah halaman, Radit berdiri tegak — meski sedikit kaku — mengenakan kaus hitam dan celana training. Di sekelilingnya, tim Bayangan sudah berkumpul dengan wajah semangat seperti anak-anak yang siap main bola.“Pagi ini bukan cuma latihan, tapi pembuktian,” kata Bima dengan gaya pelatih militer.Rian langsung menyahut, “Pembuktian kalau bos kita masih jago atau udah karatan nih?”Semua tertawa, termasuk Radit yang memutar bola mata. “Rian, nanti aku yang karatin kamu kalau masih banyak bacot.”Surya Adiwangsa — senior mereka dan juga orang yang selama ini mengawasi latihan taktis — berdiri tak jauh, mengawasi dengan tangan terlipat.“Fokus semua,” katanya. “Latihan hari ini tujuannya bukan kekuatan fisik, tapi mental dan refleks. Radit, kamu yang pimpin.”Radit mengangguk mantap. “Baik, Surya.”Ia menarik napas panjang,
Pagi itu, halaman belakang rumah Radit terasa hidup lagi.Udara segar menyapa, aroma rumput basah bercampur dengan kopi hangat yang baru diseduh. Burung-burung di dahan mangga belakang rumah seolah ikut bersenandung menyambut hari yang baru — hari pertama Radit kembali beraktivitas setelah berminggu-minggu pemulihan.Velia berdiri di beranda sambil melipat tangan di dada, memperhatikan suaminya yang tengah berusaha berjalan sendiri tanpa bantuan tongkat. “Pelan, Dit. Jangan maksa,” katanya lembut tapi tegas.Radit menoleh dan tersenyum. “Aku cuma mau ngetes sejauh mana lututku kuat. Lagian, aku udah bosen banget rebahan terus.”Velia memutar bola mata. “Kalimat klasik pasien keras kepala.”“Kalimat klasik istri cerewet,” balas Radit cepat.Velia mendengus, tapi senyum tak bisa disembunyikan. Ia mendekat, memegangi siku suaminya, membantunya melangkah ke kursi taman.“Cerewet tapi yang nyuapin kamu tiap hari, loh,” ujar Velia setengah menggoda.Radit tertawa kecil sambil duduk. “Iya de
Udara sore itu terasa lembut, seperti ingin ikut merayakan kepulangan Radit. Matahari mulai condong ke barat, menembus sela-sela tirai rumah keluarga Velia yang kini terasa jauh lebih hidup dibanding minggu-minggu terakhir. Setelah sekian lama di rumah sakit, akhirnya Radit bisa pulang. Tubuhnya memang belum sekuat dulu, tapi senyum di wajahnya sudah kembali—senyum yang paling dirindukan semua orang.Velia berdiri di teras, memegang tangan Rama kecil yang kini sudah berusia tujuh bulan. Bayi itu menatap ke arah pintu gerbang dengan mata bulat dan pipi tembamnya yang menggemaskan, seolah tahu bahwa orang yang paling ia rindukan akhirnya akan pulang.Mobil berhenti. Darmawan dan Laras keluar lebih dulu, lalu disusul Bima dan Rian yang membantu Radit turun pelan-pelan. Di kursi roda, Radit tersenyum canggung, menatap halaman rumah yang begitu dirindukannya.“Welcome home, Kapten,” canda Rian, menepuk bahu Radit pelan.Radit tertawa kecil. “Akhirnya bisa lihat rumah, bukan langit-langit r
Suasana ruang perawatan itu terasa hening. Hanya suara pelan mesin detak jantung yang memecah sunyi, berdetak dalam ritme yang lambat tapi teratur. Lampu di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke wajah Radit yang masih pucat. Tubuhnya terbaring lemah, sebagian tertutup perban, sebagian lagi diinfus dan tersambung ke alat pemantau.Velia duduk di kursi di sisi ranjang, rambutnya berantakan karena kurang tidur. Matanya sembab, tapi di balik kelelahan itu, ada senyum kecil setiap kali menatap wajah Radit. “Kamu pasti bisa, Dit…,” bisiknya pelan, suaranya serak namun penuh keyakinan.Pintu kamar terbuka perlahan. Bima masuk dengan langkah hati-hati, diikuti Dewi dan Rian. Faris muncul terakhir, menunduk sedikit. Mereka semua mengenakan pakaian santai, tapi dari wajah masing-masing masih tersisa sisa kecemasan.“Gimana?” tanya Dewi pelan, menatap layar monitor.“Masih stabil,” jawab Velia tanpa menoleh, masih menatap suaminya. “Dokter bilang… bisa butuh waktu beberapa hari sampai dia s
Sirine ambulans meraung menembus malam. Lampu merah biru memantul di wajah-wajah tegang para anggota Tim Bayangan. Bima memeluk tubuh Radit yang berlumur darah di kursi belakang, tangannya gemetar menahan tekanan di luka tembakan yang masih mengucur. Faris duduk di depan, kepalanya tertunduk, mulutnya tak henti bergetar meminta maaf.“Cepat, Rian! Cepat!” teriak Bima, suaranya pecah di antara dentuman sirine.“Aku udah ngebut sejauh ini, Bim!” balas Rian dari balik kemudi. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Jalan malam itu seperti tak berujung, dan setiap detik terasa seperti penantian menuju akhir.Dewi duduk di samping Radit, tangannya berlumur darah. Ia menekan luka di dada kiri Radit dengan kain kasa darurat. Napas Radit tersengal. Tubuhnya dingin.“Dia kehilangan banyak darah!” seru Dewi dengan suara bergetar. “Bima, tolong angkat bahunya sedikit, jangan biarkan dia tersedak darah!”Bima mengangguk, suaranya tercekat. “Radit, tahan sedikit lagi. Kita hampir sampai…”Tapi Radit







