LOGINKedua mata violet berkedip-kedip lucu, wajah penasaran dengan bibir ranum yang terbuka. Dia masih tak percaya. “Woah~Paris! Paris!” jerit Valyria takjub.
Valyria baru sampai di Paris. Seharusnya mereka menuju Amsterdam hari ini namun Tarra meminta untuk menenangkan diri di Paris terlebih dahulu, jadi disini mereka sekarang menghantarkan Tarra ke kediaman kerabatnya yang ada di Paris. Kemudian siangnya, Valyria bersama tantenya Tarra itu akan menuju ke Amsterdam. “Untung saja ini liburan semester, jadi tante bisa membawa kalian berdua," ujar sang tante sambil menggendong anaknya, Bobby yang tampak masih mengantuk itu. “Iya Tante, Tarra titip Valyria ya. Good luck, Valyria.” Gadis yang mengenakan jilbab cokelat muda itu tersenyum sekenanya, dia masih tampak lesu dengan dukanya. Valyria memeluk dirinya itu. Ia tersenyum melihat Valyria yang tersenyum sumringah. "Aku berangkat dulu ya Tarra!” Valyria berseru, baru kali ini dia tersenyum amat manis bahkan bersemangat pula. Valyria memaklumi, jika tingkah Tarra masih berduka. “Setelah ini apakah kita bisa kembali menemui Tarra. Tante?” tanya Valyria tak canggung lagi dengan ibu satu anak itu, karena Tante Tasya sendiri begitu baik dan ramah. “Iya dong Val. Besok atau lusa kita ke Paris lagi menjemput Tarra, nah... Chaterine titip Tarra ya?”Ujar tante Tasya kepada wanita paruh baya itu. Tak berlama-lama, tante Tasya memberhentikan Taxi seraya menerima telepon. Mereka akan menuju bandara saat ini pula, Valyria yang tampak memasukkan lukisannya kedalam bagasi taxi kemudian menawarkan diri untuk menggendong Bobby karena Valyria melihat tante Tasya tampak repot dengan teleponnya itu. “Bobby, digendong dengan kak Valyria saja ya.” Valyria berucap sambil merentangkan kedua tangannya, dengan suka hati menyambut Bobby. “Ah tolong ya Val.” Tannte Tasya berucap sambil memberikan Bobby yang tertidur itu kepada Valyria. Bagi Valyria, gadis manis dengan sifat baik hati yang tersembunyi. Jika sudah percaya dengan seseorang dia akan dengan senang hati membantu, biarpun sebenarnya Valyria masih memikirkan keadaan sahabatnya Tarra yang masih terpukul dengan kepergian ibunya. Bobby yang ada didekapan Valyria sempat bergerak tak nyaman. “Mama?” Valyria saat ini duduk di bangku ruang tunggu karenaTante Tasya sedang memeriksa bawaan mereka di bandara ini. Tampak paham, Valyria yang masih menggendong Bobby mulai tersenyum lembut. “Mamamu pergi ke sana sebenar, memeriksa barang. Bobby tidur lagi saja ya?” bujuk Valyria. Awalnya takut kalau Bobby sampai menangis mencari ibunya tapi ternyata Bobby mengangguk kecil dan tidur kembali dalam dekapan Valyria. Hal itu membuat Valyria terkekeh kecil. Menunggu tante Tasya, tampaknya sudah beberapa belas menit berlalu. Valyria menatap lalu lalang orang dari bandara Charles de Gaulle. Mereka datang dan pergi dengan tujuan penerbangan masing-masing, kesibukan itu menjadi pemandangan menarik untuk Valyria. “Kunci dan buku yang menarik, Nona!” “Huh?!” Valyria langsung menoleh, dia melihat seorang pria muda yang duduk disebelahnya. Dia tampak sedang membaca koran. Mengenakan kacamata hitam dengan balutan jas yang tampak mahal itu, Oh dari penampilannya saja Valyria sudah tahu orang ini cukup ‘berada’ baginya. "Execuse me, Pardon?” tanya Valyria. pasalnya dia mengerti dengan ucapan pria muda ini. Valyria pun tampak was-was karena buku dan kunci itu masih berada dalam tas selempang yang dikenakannya saat ini. Jika itu maksudnya, Valyria sudah mulai curiga dengan pria tak dikenal ini. Alih-alih menjawab, pria muda itu malah beranjak berdiri dengan memasang senyum manisnya. “Ugh, bagiku itu mengerikkan.” Valyria membatin seraya mengeryitkan sebelah alisnya. Dia nampak heran sekaligus ketakutan. “Val! Ayo kita berangkat sekarang!” Valyria mendengar Tante Tasya yang memanggil mereka saat itu juga. Valyria pun buru-buru beranjak pergi sambil menggendong Bobby dalam dekapannya. Sungguh, Valyria merasa sangat risih dengan pria asing itu. Amsterdam, kota di Belanda. Mungkin ini bukan pertama kalinya Valyria kemari, Valyria ini memiliki ibu yang berasal dari negeri tulip ini. Dulu, pernah sewaktu kecil berkunjung dikampung halaman sang ibu di Den Haag tapi Amsterdam juga bukan hal baru untuknya. Valyria tahu, hanya tak begitu mengingat wilayah ini. Sudah bertahun-tahun lamanya tak kemari, pasti merasa sedikit lupa bukan? “Val. Mau menginap di rumah Tante atau menginap di hotel?” Valyria merasa tak enakan, ia merasa merepotkan tante Tasya. “Hm,Valyria pesan hotel saja nanti tante.” Tante Tasya ingin memaksa gadis manis ini untuk bersamanya. Tapi tampaknya Valyria juga menikmati kota. ini. “Kalau ada apa-apa jangan sungkan menghubungi Tante ya?” celetuk ibu dengan anak satu itu. Valyria mengulum senyuman, jiwanya menyukai kebebasan. Dia tak akan keberatan mengekplorasi Amsterdam sendirian. “Dear kak Darly ... maaf Val gunakan sebagian uangnya sedikit.” Valyria bergumam dalam batinnya. Ada rasa penyesalan, tapi biarlah. Sang kakak tak akan keberatan tampaknya. Valyria berpikir seperti itu. Tahu acara formalnya orang elit bukan? Iya, yang tak hanya berasal dari kalangan bangsawan tapi juga orang-orang penting dalam acara pelelangan lukisan ini. Valyria menjadi gugup, bahkan sudah sejam lebih dia hanya kebingungan didalam kamar hotel yang dipesannya ini. Sebagai seorang wanita muda, mengenakan gaun adalah keharusan sementara satu-satunya gaun yang Valyria bawa hanya gaun mendiam ibunya yang berwarna hijau tua itu. “Engh." Valyria berdiri dengan gugup, menatap setiap orang yang berlalu lalang dengan gaun-gaun indahnya. Surai hitam panjangnya dibiarkan tergerai,wajah manis yang mengenakan riasan tipis dan gaun hijau tua yang begitu pas pada tubuhnya. Acara malam ini sudah setengah berjalan, mulai dari pembukaan dan serangkaian acara lainnya. Valyria yang tak begitu paham, dia hanya berdiri diujung ruangan sambil mengamati setiap orang yang hadir. Oh, tante Tasya kemana? Wanita itu tampak sibuk menyapa tamu yang berdatangan, atau sekedar mengarahkan orang-orang penting itu. Valyria memaklumi. “Pasti tante Tasya cukup sibuk.” Valyria berucap sendiri sambil juga memperhatikan wanita bergaun merah itu. Kegugupan seorang Valyria semakin meningkat saat beberapa wanita mengamati lukisannya yang tengah dipajang. Valyria tahu, lukisannya beruntung untuk berjejer bersama karya ternama lainnya. Mungkin jauh dari kata sempurna, indera pendengar Valyria mulai menangkap bisik-bisik beberapa wanita itu. Valyria menatap melalui tempatnya berdiri mulai memasang raut wajah murung, kedua tangannya turut dikepal. “Ternyata ... memang tak layak ya?” Valyria hanya bergumam pelan. Sampai pandangannya ditundukkan menatap karpet merah tempatnya berpijak. Sampai kemudian ... “Besar juga nyali kalian mengomentari Lukisan cantik ini!" “Oh Nona, kami hanya mengomentari. Lagipula dari penampilanmu itu kami tahu hanya dari kalangan orang biasa.” “Tahu apa nona ini soal seni?” “Bahkan tak seperti bangsawan yang harus diundang kemari, Haha." “Setidaknya, Pelukis itu mampu menghasilkan sebuah karya dari tangannya. Kalian pun belum tentu dapat melakukannya. Tch, apakah manusia sudah kehilangan empatinya terhadap sesama.” Wajah Valyria langsung menanggah, dia mendengar suara seorang wanita yang sudi membelanya itu. Valyria langsung berlari-lari kecil, didapatkannya seorang wanita cantik dengan menggenakan gaun putih panjang. Valyria tahu wanita itu tengah dalam keadaan hamil, namun pancaran kecantikannya benar-benar indah. Disaat semua mungkin berpendapat berbeda, wanita berhati lembut itu membela lukisannya. Valyria berjalan mendekati wanita itu. “Nona!" jerit Valyria memanggilnya. “Terima kasih, pembelaan anda atas lukisan saya yang tak seberapa ini.”Kedua mata violet berkedip-kedip lucu, wajah penasaran dengan bibir ranum yang terbuka. Dia masih tak percaya. “Woah~Paris! Paris!” jerit Valyria takjub.Valyria baru sampai di Paris. Seharusnya mereka menuju Amsterdam hari ini namun Tarra meminta untuk menenangkan diri di Paris terlebih dahulu, jadi disini mereka sekarang menghantarkan Tarra ke kediaman kerabatnya yang ada di Paris. Kemudian siangnya, Valyria bersama tantenya Tarra itu akan menuju ke Amsterdam. “Untung saja ini liburan semester, jadi tante bisa membawa kalian berdua," ujar sang tante sambil menggendong anaknya, Bobby yang tampak masih mengantuk itu.“Iya Tante, Tarra titip Valyria ya. Good luck, Valyria.”Gadis yang mengenakan jilbab cokelat muda itu tersenyum sekenanya, dia masih tampak lesu dengan dukanya. Valyria memeluk dirinya itu. Ia tersenyum melihat Valyria yang tersenyum sumringah."Aku berangkat dulu ya Tarra!” Valyria berseru, baru kali ini dia tersenyum amat manis bahkan bersemangat pula. Valyria memakl
Sebenarnya, ini pertama kalinya Valyria bertemu keluarga besar Tarra. Selama ini jika Valyria berkunjung ke rumah Tarra, dia hanya bertemu ayah dan ibunya. Maka dari itu Valyria menjadi canggung .“N-namaku Valyria Soga Kinaru, tante Tasya,” ucap Valyria yang menuruni tangga dari lantai dua kamar Tarra. ''Namamu cantik begitu juga orangnya, apa kamu Bule Nak?'' tanya Tante.Valyria hanya terkekeh nanar. Wajahnya ini sering disangka ‘bule’ oleh orang kebanyakan. Apalagi kedua iris mata violetnya. “Tidak juga, Ibu memang orang Indonesia kalau Ayah, kata kakakku Ayah berasal dari Belanda, Valyria juga tak terlalu tahu soal itu.'' Valyria menjawab sebisanya dengan senyum nanar itu.“Oh pantas aja, sama dong, Bobby juga campuran Belanda, Ayo sapa Kak Valyria Bobby,'' suruh Tante pada Bocah itu.Bocah itu malu-malu menatap Valyria. “H-halo. Namaku Bobby balu ti-tiga tahun.” “Oh iya, Tarra sempat mengatakan padaku soal temannya yang jenius dalam seni. Apakah itu kamu Valyria? Mengingat, Ta
“Ya Tuhan, aku tak sanggup semua ini benar-benar menjijikkan," ujar Valyria sambil menghela napas. Setelah itu Valyria berjalan melalui koridor gedung universitasnya. Dia berjalan dengan tenang dengan raut wajah yang tenang pula, biarpun kepalanya terasa pening akibat kurang tidur. Sepasang mata Violet Valyria melihat Tarra yang berlari dengan secarik kertas yang dibawanya.Gadis berjilbab merah muda itu tersenyum sumringan. “Ini lihat! Pelelangan lukisan. Kau ratunya urusan ini, ayo ikut.” Tarra berucap dengan antusias sembari memperlihatkan secarik kertas berisi brosur pelelangan lukisan. “A-Amsterdam? Kau Gila Tarra, ini jauh sekali dan aku tak punya ongkos untuk ke sana,” ucap Valyria dengan kedua matanya melotot, nyaris melongo tak percaya.“Ah sudahlah, masalah itu urusanku karena kebetulan acara ini Tante Tasya salah satu staff penyelenggara, ini kesempatan baik untukmu Valyria, " ucap Tarra senyum dengan ceria, dia menggegam tangan sahabatnya itu. Tarra teman terbaik yang Val
Tok...tok...tokSuara ketukan pintu terdengar nyaris keseluruh rumah kontrakan sederhananya ini. “Engh, siapa?” sayup-sayup Gadis itu melenguh, meregangkan tubuhnya. Mengucek-ucek matanya yang masih kantuk, ketika sadar hari sudah malam. Tampak dari jendela yang lupa ditutupnya itu.“Hoam~ aku ketiduran ya? tadi rasanya masih sore.” Gadis itu bermonolog sendiri. Melirik jam dinding bututnya yang menunjukkan pukul delapan malam. Dia mengaku masih lelah.Tok … tok … Kembali suara ketukan itu terdengar, dengan langkah gontai. Dia pun berjalan untuk membukakan pintu. Didapatkan, seorang pria mengenakan setelan jas rapi tampak sudah berumur namun memiliki postur tubuh yang tegap. “Apakah Anda Nona Valyria Soga Kinaru?” Gadis itu, Valyria mengangguk. “Benar, Siapa Anda?” “Saya dari lembaga Asuransi, memberikan beberapa santunan asuransi kematian dari Tuan Kinaru, dan juga ... Tuan Kinaru pernah menitipkan kunci ini untuk diberikan kepada Nona.” Pria it
Kabar mengenai kematian kakak laki-lakinya itu baru ia terima pagi ini, tepat pada pukul tujuh pagi. Dari sebuah ponsel genggam yang dipegangnya, dia hanya bisa bergetar dengan kedua mata membelalak namun air mata dari pelupuk matanya hampir jatuh. Mengairi, wajah manis yang sembab. Namanya Valyria Soga Kinaru, baru berusia dua puluhtahun. Kini setelah jadisebatang kara kemudian harus kehilangan sosok penyokong kehidupan utamanya, Sang Kakak. “Baik, saya akan kesana. Saya akan membawa kakak saya untuk segera dimakamkan serta mengambil barang-barangnya.” Valyria berucapsembarimengakhiritelepon. Keduamatavioletnyajadikosongmenatapkehampaan. Tubuhnya langsung lemas, berpegang pada nakas meja yang ada disampingnya. Terisaklah dia dengan seluruh kepedihannya. Mengutuk takdir yang kejam, setelah kedua orang tua yang meninggal saat dia masih begitu kecil. Kini kakak laki-lakinya, yang tercinta. Tulang punggung keluarga, penyanggah hidup sebagai satu-satunya keluarga y
“Tuan, terimakasih atas makanannya!” “Hm~ tentu saja, nanti akan yang banyak dan tersenyumlah.” Pria muda itu baru membagikan roti-roti hangat yang baru ia beli, berdiri ditengah kerumunan tawa dan canda anak-anak yang terlantar disebuah wilayah kumuh pada ujung kota pusat disebuah negara kerajaan yang megah. Nasib yang tak berpihak kepada anak-anak kumuh itu membuatnya menghibur anak-anak ini.“Ayo, aku punya sebuah permainan kalau kalian bisa menjawab kuis ini, aku akan memberi ini secara Cuma-Cuma,” ucap Pemuda itu mengeluarkan sekantung permen dari saku mantelnya. “Wah permen!” sorak anak-anak yang menginginkan permen yang dipegang Pria itu. Pria Bangsawan Muda itu. Ia tersenyum suka cita dan memulai permainannya. “Kalau begitu jika kalian memiliki tiga belas apel jika aku minta tiga apel dari kalian. Kira-kira kalian masih memiliki berapa apel ya?” tanya Pria itu. “Tiga puluh, Tuan,” jawab asal seorang anak, dikala sem







