Share

Tricky Situation
Tricky Situation
Penulis: Anindastink

1. First Meet

Awal tahun 2019

"Happy new year!!!"

Dini hari, pukul 00:00 WITA. Di Pantai Kuta Bali. Happy new year, All.

Puluhan petasan melesat, meletup di langit, berteman teriakan puluhan orang yang menghabiskan ritual pergantian tahun.

Botol-botol terangkat dan berbenturan. Teriakkan kegembiraan memekak telinga. Separuh menggunakan momen berciuman sebagai pergantian tahun dan mungkin ... pelipur segala harapan. Sisanya mengabadikan momen lewat ponsel dan kamera. Terlihat mengasyikkan, membuatku ikut senang walau hanya melihat kebahagiaan orang lain.

Aku mengangkat gelas wineku tinggi-tinggi dan memekik saat Andreas tiba-tiba merebutnya.

"Ndreee!" rengekku. Pengganggu.

"Udah, lo bau-bau mabuk," katanya.

Astaga.

"Udah gue bilang nggak usah pakai acara minum-minum segala. Mabuk sendiri, kan dia," ejek Marsi, sahabatku yang lain. Yang sialnya kalau bicara suka begitu banget.

Aku berdecak. Lagipula, siapa yang bilang aku mabuk? Aku hanya pusing, tapi tidak cukup kehilangan kesadaran.

"Gue nggak mabuk. Kalian lebay," kataku merengek.

"May-May, gitu bilang nggak mabuk." Suara Wendi. Juga masih sahabatku.

Aku cemberut.

Ngomong-ngokonf Kami berempat teman satu kantor. Yang sangat sengaja menghabiskan waktu tahun baru di Bali.

Tapi bukannya have fun, rasanya aku justru kenal omel habis-habisan.

Melupakan kekesalan pada mereka, aku merapat pada Andreas sekaligus mnyandarkan kepala pada bahunya. Posisi kami berdiri, membuatku hanya mencapai bahunya. Dan nyaman.

"Kan, dia KO beneran," respons Wendi.

Bodo amat.

"May, lo tidur?" Andreas menggoyangkan bahunya seakan mencoba menarik kesadaranku, aku merespons dengan menggeleng.

"Ndre, balik yuk, Maya juga udah KO."

"Gue setuju sama Marsi."

"Sebentar. Nyet, bangun, kita balik, nih."

"Ndre ciuman sama gue, yuk? Pengin," beoku random. Aku menatapnya saksama.

"Kan, mabuk beneran nih anak," tempat Andreas.

"Please, Ndreeee."

"Duh, duh, May jangan sinting ya."

Aku menggeram saat bau khas tangan Wendi menepuk pipiku.

"Gue ogah ciuman sama cewek yang nggak cinta gue."

Aku cemberut pada Andreas setelah menangkis tangan Wendi. "Kan ciuman nggak harus pake cinta kali, ih ngaku aja lo malu, kan?" tuduhku.

Gini-gini Andreas kan anak alim.

"Iya-iya terserah lo. Dah, balik yuk."

"Balik-balik," teriak Marsi.

Aku menggeleng tegas. Masih mau di sini kenapa di suruh balik coba. Dan ngomong-ngomong, kenapa Andreas bisa terbelah jadi tiga ya? Duh, kepalaku jadi sakit.

"Duh, lo mabuk ini, May," katanya.

Aku tertawa, kepalaku makin pening, dan rasanya ingin memejamkan mata, tapi enggan. Menolak dikendalikan mabuk, aku terus menggelengkan kepala ini.

"Eh eh eh. Bentar, jangan tidur, kita balik ke penginapan, May," pekik Marsi yang kurasa penangkap tubuhku yang hampir terjatuh.

"Enghh ... gue masih mau di sini, Bego."

"Lo yang bego." Suara Andreas terdengar.

"Ndre, gendong dia gih."

"Aish. Nyusahin kan."

Sejurus yang aku rasa, tubuh ini melayang, saat membuka mata, wajah Andreas ada di depanku. Ah, dia ternyata menggendongku. Aku nyaris mencapai bibirnya saat Andreas memilih berpaling.

"Jangan bertingkah, May. Berat, nih. Mar, tutupin mulut dia."

"Duh, nggak ada yang bisa buat nutup mulut nakal dia. Dah buruan jalan ke penginapan."

Aku tertawa. "Siapa suruh gendong gue," kataku pada Andreas, segera mengeratkan lenganku pada lehernya. Kenapa pria sebaik ini mau sahabatan sama aku, ya? Lucunya, dia masih mau seperhatian ini padaku. Andreas, cewek beruntung seperti apa yang akan sama lo?

"Ndre," panggilku.

"Hem."

"Kalau lo punya pacar, dan dia tahu lo gendong gue kayak gini, dia marah nggak?"

"Sinting beneran tuh anak." Suara Wendi menembus pendengaranku. Bodoh amat.

Lagipula pertanyaanku bukan asal-asalan, aku serius. Siapa yang bisa meramal jika tiba-tiba ada perempuan datang kemari lantas menjambak rambutku, lantas mengaku sebagai pacar Andreas? Aku baru saja mengatur rambut ini, tidak mau jadi bahan jambakan orang lain.

"Nggak, gue jomlo."

Aku tertawa  dan saat tahu sudah sampai depan penginapan aku melompat turun.

"May!" teriak ketiganya.

Aku melambai pada mereka sambil cengengesan, ini masih punya kesadaran kok meski sedikit.

"Gue naik duluan. Kamar kalian di bawah kan," kataku.

"Astaga, May. Lo mabuk, gue mau antar lo sampai kamar," kata Wendi.

Aku menggeleng. "No no no no, My Boo," kataku sambil menggerakkan jari telunjuk ke kiri dan ke kanan sebagai penolakan.

"Gue antar."

Aku menahan dada Andreas saat dia melangkah ke depan.

"Dah, malam semuanyaaa. Gue naik dulu, nih, gue nggak mabuk kok," kataku berusaha meyakinkan. Meski mataku terasa begitu remang-remang.

"Yakin?" Marsi memastikan.

Aku mengangguk.

"Fine! Langsung tidur, May," peringat Andreas.

Aku mengangguk patah-patah. Kepala ini seperti di hantam palu. Rasanya butuh air dingin yang menyiram.

Aku melambai pada mereka sebelum mulai menaiki tangga.

***

Bau yang tercium bukan bau sabun yang biasa aku hirup. Aromanya memabukkan. Perpaduan lemon dan mint, wangi. Bikin nagih. Memberi rasa tenang sampai mendadak, aku punya feeling ada yang ganjil. Kenapa ada suara pria? Tunggu, apa itu Andreas? Aku cepat-cepat membuka mata, kendati kantung masih menggantung. Makin di buat asing saat mata ini mengitari kamar yang aku tempati. Wait, this is my room? Meski dalam keadaan bangun tidur, aku jelas mampu mengenali kamar sendiri. Sedangkan ini ...

"Sudah bangun?"

Aku membeku. Itu bukan suara Andreas. Aku hafal betul suara pria itu, lembut walau kadang bikin telinga sakit. Yang ini lebih bariton dan ... jantan. Meski begitu, aku berharap saat menoleh mendapatkan tubuh Andreas. Lantas semua hanya angan kosong begitu begitu melihat tubuh pria asing yang hanya mengenakan celana panjang tanpa atasan, dan tengah mengeringkan rambutnya. Aku langsung bangun, efeknya luar biasa, bikin kepalaku makin nyut-nyutan. Aduhhhh.

"Sorry, suara gue pasti bangunin tidur lo, ya?"

Aku mengerjap. Sebentar. Siapa tahu ini ... mimpi, kan? Tawa yang meletup bagai tamparan, membuatku makin tertimpa tangga keyakinan jika ini nyata.

Okay. Sekarang aku menyesal, seharusnya mengikuti permintaan tiga sahabatku jika pada akhirnya aku harus terbangun tidak tahu apa-apa begini. Masih mending tidak tahu apa-apa, ini merangkap tidur di kamar orang asing. Damn! What should I do?

"Ah, lo pasti bingung kenapa bisa di sini. Right?"

Aku meremas selimut yang menutup pahaku lalu mengangguk. Apa aku sedang berakting jadi gadis malu-mau? Oh, come on, May!

Paling tidak aku berterima kasih pada Tuhan karena pakaikanku masih lengkap.

Mengumpulkan keberanian, aku kembali menatapnya. "Em, ini ... kamar lo?"

Bagus sekali pertanyaan kamu, May. Jelas ini kamarnya. Dan anggukannya seperti meledekku. Berjaya memupuk rasa malu ini. Dia berjalan ke arah kopernya dan menarik satu kaus putih, lalu mengenakannya.

"Ini kamar gue," katanya. Terdengar santai, dia masih mau tersenyum di ujung kalimatnya.

Aku meringis. Memukul kepalaku berkali-kali. Ini pasti efek mabuk, sampai aku salah kamar. Sayangnya aku benar tidak ingat apa pun.

"Maaf, sepertinya gue ... salah kamar," cicitku.

Good. Bukannya marah, pria itu lagi-lagi tertawa. Tawanya kali ini terdengar seperti jenis tawa geli bersampur senang. "Nnggak masalah. Kamar ini nomor 212. Kamar lo?"

Aku meringis, makin kencang meremas selimut. "213." Duh, suaraku seperti terjepit pintu.

"Nah, bersebelahan. So, jangan merasa bersalah. Okay?"

Wajarnya dia marah. Hebat juga dia sama sekali tidak mempermasalahkan situasi ini. Lebih-lebih saat aku sadar sudah menguasai tempat tidurnya. Atau dia tidur di sini juga?

"Ngomong-ngomong, lo semalam, tidur ... di mana?"

Pria itu duduk di atas sofa panjang. Dari jarak sejauh ini, aku tetap bisa mendapatkan mata tajam yang justru sama sekali tidak mengintimidasi.

"Di sini," balasnya.

Shit! Shit! Shit! Aku pasti totalitas sekali mengganggu tidurnya.

"Sudah gue bilang, jangan merasa bersalah. Toh, gue biasa tidur di tempat sempit."

Aku mendesah. Jangan harap itu pelipur lara. Ucapannya justru terdengar seperti sindiran buatku.

"Seriusan ... lo nggak marah?"

Kenapa sih dia malah menggeleng? Cakep juga marah-marah, atau sejak semalam saja supaya bangunku pagi ini di atas ranjang kamarku. Ini malah terlihat santai. Apa dia biasa menangani kasus semacam ini?

"Gue justru merasa lucu, ada cewek dobrak-dobrak pintu kamar sambil teriak kamarnya nggak bisa di buka. Begitu gue buka, dia masuk sambil marah-marah dan langsung tidur nyenyak," katanya terdengar bergurau, lebih kepada terhibur.

Okay, sepertinya, bagi dia, kecerobohanku ternyata nyaris jadi tayangan komedi. Entahlah, jika berhadapan dengan orang lain, apa jadinya aku ini? seperti harapanku tadi mungkin, aku berakhir di usir.

"Ya ampun! Ya ampun! Gue malu," pekikku begitu sadar.

"Haha ... santai. Yang terpenting, sekarang ... lo sudah enakan? Gue rasa lo mabuk berat."

Aku menurunkan tangan, dan menatap serius pria itu. Lantas mengangguk. "Lumayan."

"Bagus, deh."

"Em, maaf dan thanks atas tumpangannya," kataku pelan.

Dari tempat duduknya, dia mengangguk sambil tersenyum. Sedang aku yang sudah tertimpa malu, langsung sadar dan buru-buru turun ranjang, walau rasanya pecah. Kepalaku masih keliyengan.

"Eh, mau ke mana?"

"Kamarku. Em, gue ... duluan, ya."

Aku tidak memberinya kesempatan bicara. Aku malu, sehingga cepat-cepat berlari. Meraih ganggang pintu dan baru sadar hal lain.

"Oh, ya, by the way, what is your name?" cicitku begitu membuka pintu dan menoleh ke arahnya.

Senyumnya terbit. Serius, manis banget. Apalagi brewok pada dagunya, bukan jadi hutan wajah, justru bikin makin terlihat jantan. "Panji. Panji Senopati."

"Em, thank you, Panji," kataku cepat sebelum melesat keluar.

Serius! Gue malu!!! Apalagi begitu tawanya terdengar begitu keras. Sepertinya dia benar-benar menganggapku tayangan komedi.

***

Panji Senopati. Aku terus mengingat namanya. Nama yang terasa begitu pas untuk ukuran pria berpenampilan seperti dia. Dan aku mengutuk diri ini karena main kabur, lantas hanya meninggalkan ucapan maaf sekaligus terima kasih. Tiga jam setelah membersihkan diri dan mengembalikan kesadaran, aku memesan dua makanan dari food court. Aku pikir kami bisa menjadi teman mengobrol, makanan ini juga bisa lebih sopan sebagai tanda maaf dan terima kasih karena tidak mengusirku keluar. Well, saat aku mengetuk pintu kamarnya, tidak ada balasan apa pun. Dari luar, mengintip dari jendela, aku tidak melihat apa pun selain kamar yang sudah kembali rapi. Dia belum pergi, kan?

Menunggu satu jam tidak ada hasil, aku memutuskan sarapan dengan tiga sahabatku. Ngomong-ngomong, apa bercerita pada mereka, ya? Mumpung kami sedang sarapan. soal kejadian tadi, serius, aku memang bisa dapat ceramah dadakan. Tapi bodoh amat.

"Diem-diem aja, Nyet. Kenapa?"

Melirik Andreas yang duduk di depanku, aku berdehem.

"Nggak enak?" tanya Wendi.

Aku menggeleng.

"Gais," panggilku.

Ketiganya hanyar menatapku dengan tatapan terlihat lapar akan kabar.

"Gue ... salah masuk kamar," cicitku.

"What!"

"Anjing!"

"May!"

Aku kontan merapatkan kelopak mata. Duh,  reaksi mereka gitu banget deh.

"Sumpah, nggak lucu," sambung Marsi sambil menggeleng. Seperti butuh penolakan dariku.

Aku meringis. "Serius." Suaraku lirik dan seperti tikus kejepit.

"Gila gila gila. Terus gimana?" timpal Andreas.

"Ya pasti malu lah." Thanks Wendi, sudah mewakili jerit batinku.

Aku mengangguk penuh sesal.

"Sampai pagi?" tanya Andreas.

Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.

"Amazing. Ini yang bikin gue sangsi lo aman tiap mabuk, Nyet," sindir Andreas.

"Lo sih kenapa juga nggak mau kita anter?" sewot Marsi.

Ya mana aku tahu. "Kalian kenapa nggak maksa aja. Daripada cuma tanya sama gue. Kan gue mabuk suka gitu," Sewotku balik.

Nah mereka terlihat jengah.

"Malah balik nyalahin."

"Terus gimana dia? Cowok apa cewek?" tanya Andreas.

"Cowok."

"May!"

Duh terima kasih Marsi pas sekali ditelingaku.

"Kalian nggak an-"

"Aman! Gue tidur di kasur. Dia di sofa. Puas?"

Tuh, bukannya lega, mereka justru tertawa.

"Emang rusuh ya lo tuh," Kata Wendi.

Ada benarnya. Aku memang rusuh kalau mabuk.

"Gue mau kasih dia kopi sama makanan tapi belum keluar kamar dianya."

"Boleh tuh. Sebagai ucapan maaf," kata Wendi.

"Setuju," tempat Andreas.

Aku juga setuju but rest in peace buat seluruh harapanku tadi karena sampai dua jam sebelum aku terbang ke Jakarta, Panji tidak juga aku temukan. Kembali mengintip dari jendela, aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya. Sepertinya bukan keberuntungan kami untuk kembali mengobrol.

Supaya aku tidak semakin merasa bersalah, aku menitipkan kopi pada resepsionis penginapan. "Buat Panji Senopati, ya, Mbak."

Dia mengangguk. "Baik, Mbak. kalau boleh tahu, dari siapa?"

Aku sedikit ragu menyebutkan nama karena kami berlum benar-benar berkenalan, sekadar aku yang tahu namanya, tapi ini tentu perlu buat laporan resepsionis. "Maya Elkarisa. Bilang juga, terima kasih dari saya dan maaf."

Aku mungkin tidak akan bertemu lagi dengan Panji, semoga kopi yang barangkali akan dia dapatkan dalam keadaan dingin bisa mengganti ketololanku sudah main nyelonong ke kamarnya.

"May!" Andreas melampai dari dalam mobil. Duh ganggu, deh. Dengan setengah hati, aku melangkah, masih sempat mendongak ke atas, di sana ada kamar Panji. Aku masih meyakinkan diri kalau kami tidak akan bertemu lagi, kendati ada sedikit harapan tersimpan. Entah kenapa, pertemuan kami tadi terasa menyentuh buatku. Ada debar kecil yang menyengat, sampai aku sadar, barangkali efek pesona Panji tidak bisa diabaikan.

"Nyet! Buruan!"

Aku mendengkus. Andreas ini memang nyebelin, deh! Kapan sih dia nggak buntut aku?

"Iya-iya, sabar kalik!"

"Bisa di titipin?" tanya Marsi saat aku masuk mobil.

Aku mengangguk. Walau sedikit ragu. Kembali menoleh ke belakang, entah mengapa rasanya berat.

"Udah, aman deh, tenang, May," hibur Wendi.

Ya, tenang, May.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status