Share

2. Three Hearts

Andai tidak ada angan-angan, bisakah menghindar dari keping-keping harapan?

PANJI

Ini setahun lalu. Pertemuan kedua gue sama cewek super cantik yang sampai bikin gue si lucky bastard-jangan semena-mena bilang PK-harus mengakui kalau semesta punya cara kerja sendiri dalam mengurus pertemuan dua manusia.

Gue dan Maya Elkarisa. 

Pada pertemuan kedua kami, gue tidak terlalu ingat bagaimana rupa cewek asing yang main masuk kamar penginapan gue empat bulan sebelumnya. Timingnya gue sedang menemani Mona--adik gue--buat cari modul pedoman kuliahnya. Gue berdiri di samping jajaran etalase novel, begitu melihat siapa yang berdiri tidak jauh dari gue, diri ini langsung terserang de javu. Seperti pernah melihat senyumnya, juga mendengar suara tegasnya saat menyeru "Hai". Yang paling gue ingat, rambut lurus berwarna hitam pekat. Cocok dengan kulit putihnya.

Paling-paling gue masih mengira-ngira siapa Bidadari yang jatuh dari langit tersebut kalau dia tidak inisiatif menarik lengan gue dan menyapa duluan. She said, "Panji! Lo ... Panji Senopati, kan?" 

Sementara gue diserang berkarung rasa terkejut juga heran. Baru sadar cewek ini merupakan cewek yang menitipkan kopi dingin buat gue pada resepsionis penginapan, sekaligus yang main masuk kamar dan enak-enak tidur sampai pagi.

Sejujurnya gue benci mengakui ini, tapi sepanjang hidup 28 tahun, gue tidak pernah dapat kebetulan, apalagi bertemu orang yang sama lebih dari satu kali-kecuali pasien gue ya. 

Pertemuan kedua dengan cewek-yang akhirnya gue tahu namanya Maya-terasa konyol, namun menggelitik. Untung gue bisa mengendalikan ekspresi wajah. Kalau tidak, si Maya pasti tahu tatapan gue yang sudah seperti melihat mangsa. Gue serius, dia cantik, sexy, dan menggoda.

Dan ternyata, pertemuan kedua kami berakhir ngobrol sambil ngopi, yang membuka gerbang baru buat kami. Dia ... Maya Elkarisa-yang jika memanggil nama gue ketika berada di atas ranjang, indah banget-ternyata jadi sahabat gue.

Kita sebut apa? Maya suka menyebutnya Friend with benefit, tapi gue lebih suka menyebutnya 'sahabat selamanya' yang kalau gue butuh, dia ada. Dan sebaliknya, gue berusaha ada buat dia. Simple as that. 

"Nji! Lo lihat kunci mobil gue nggak? Aduh, ini si Anjing kenapa buntutin gue, sih?"

Lihatlah, pintar sekali cewek itu berteriak. Pagi-pagi sudah ribut kunci dan Anjing-maksudnya kucing persia yang gue beri nama Anjing. 

"Lo taruh di meja tamu, kan," balas gue ikut teriak. Gue nggak mungkin berlari mengambilkan kuncinya sedang tangan ini sibuk membuat kopi di dapur.

"Masa, sih?" tanyanya balik begitu sampai di samping gue.

"Gue yang minum," sambungnya langsung mengambil kopi yang baru saja gue bikin. Anjing memang si Maya ini. Lebih anjing, karena pagi-pagi dia sudah cantik banget.

"May, that's my coffee."

"I need this coffee more than you," katanya sambil mengangkat cangkir kopi. 

Maya berjalan mengitar meja makan, mengambil satu sandwich lantas menarik stool dan duduk di atasnya. Itu juga sandwich gue. Untung sayang sama Maya, jadi nggak gue rebut.

"Nji, ambilin kunci gue, dong, mager, nih," keluhnya sambil menunjukkan wajah (sok) menggemaskan itu. 

Gue mendesah, tapi pada akhirnya gue yang ambil, karena lemah setiap melihat ekspresi memohon Maya, nggak bisa mengelak tentunya.

"Baik Ibu Karir," kata gue akhirnya sebelum melangkah ke ruang tamu.

Tawa Maya terdengar, dan gue paling suka dengan cara dia tertawa. Bikin tawa gue ikut menyembur. Tawanya nagih.

"Are you finished?" tanya gue begitu duduk di sampingnya dan menyodorkan kunci mobil Maya.

"Selesai apa?" Maya tidak menoleh kemari, terlihat lahap menyantap sandwich.

Gue merapat pada Maya, sehingga bahu kami bersentuhan, tangan ini membelit pinggangnya dan sedikit memberi remasan sebelum berbisik tepat pada telinga Maya. "Haid, ud-aduh! Sakit, May!"

Sialan. Maya mencubit perut gue. Kapan tangannya bergerak secepat itu? 

"Rasain! Siapa suruh mesum."

"Who's a pervert? I'm just asking about your period," tukas gue.

"Ck, dasar Bapak Dokter berkedok, ya. Gue tahu habis lo beres tanya soal bulanan gue, lo tanya gue mau atau nggak, kan?"

Gue nyengir. Memang yah, pandai banget sahabat gue ini. "Yap. Gue lagi pingin. Suami lo ini udah libur satu minggu lebih lho."

Kalau tidak salah hitung, harusnya Maya sudah selesai haid. Mengingat gue paling rajin menghafal jadwal bulanannya.

Maya berdecak. "Nanti malem."

Mendengar itu, gue semangat empat lima, dong. "Asiap! Pakai lingerie yang gue belikan, ya?"

Maya mengangguk. "Good. Kalau gitu, gue berangkat dulu. See you to night." Lantas buru-buru mengecup keningnya sebelum melesat keluar. Anjir, gue lupa ada shift pagi, sedang jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan.

Dan itu ... terjadi tiga hari yang lalu, karena hari ini, malam ini, gue ada di bandara, bersiap untuk balik ke Jakarta. So there, gue suka mengenang momen-momen bersama Maya. Dengan Maya, gue merasa bisa menjadi diri gue sendiri. Dan tetap hidup dengan prinsip ini, tanpa perlu memaksa orang lain. Sebab yang gue tahu sampai sekarang, Maya juga bersedia mengikuti prinsip ini. And finally, menjadi prinsip kami bersama.

***

MAYA

Bad day. Kalau Panji enggak dinas, mungkin aku bisa pulang cepat dan menyantap makan malam di apartemen daripada sibuk menatap kosong seluruh fail kerjaan kantor.

Dia tiga hari dinas keluar kota. Membuat apartemen yang kami tinggali sepi dan kosong. Hanya ada aku dan Anjing-si kucing persia. Sisanya, aku jadi malas pulang.

Kapan, sih, dia balik? Ngeselin banget karena sama sekali tidak memberi kabar kapan akan pulang. 

By the way, lima tahun berlalu sejak pertemuan kami di Bali-insiden aku yang menguasai tempat tidurnya-semua ternyata tidak ada perubahan, selain kami jadi lebih dekat.

Satu tahun setelah kesepakatan gila kami untuk tinggal bersama, aku mengira dapat mengubah pandangan Panji, nyatanya tetap sama. Mungkin benar, ada satu hal yang tidak pernah bisa kita rubah dari orang lain : prinsip hidup. 

Tapi apa salah kalau aku berharap bisa merubah prinsip hidup Panji selama ini?

Salah, May. Salah!

Tapi aku masih saja bertahan.

Aku mendengkus. Melepas asal earphone lantas gegas beranjak, sebelum kantor benar-benar tutup dan aku harus jadi penunggu selama semalam di sini. Jangan sampai.

Sepanjang melewati koridor yang sepi, tanpa malunya, banyak hal yang berterbangan di kepala ini, tentang alasan kenapa aku berani mengambil langkah senekad ini? Tentang kenapa aku kehilangan jati diri setiap kali bersama Panji?

It's my fault. Aku benci bilang ini, tapi, aku rasa aku terjebak friendzone. Aku mengerti, kami tidak akan menjalin status lebih dari sahabat atau ... friend with benefit?

Iya, kan? 

Aku menertawakan diri sendiri. Naif sekali aku ini, sibuk terlihat hebat dan di belakang justru punya segudang hal sulit yang tidak mau aku selesaikan. Sebut saja aku terlalu nyaman, sampai lupa tujuan utama. Aku pikir akan bisa merubah pandangan Panji, usai satu tahun berlalu. Rasanya itu hanya khayalan belaka dan hal yang paling bodoh dariku adalah, aku sangat menikmatinya.

Yah, inilah aku. Maya Elkarisa yang terjebak permainan friend with benefit. Dengan Panji Senopati yang sama sekali tidak ada tanda-tanda mengajak menikah.

So bad. 

So hurt. 

So sick

So-

"May!"

Shit! Aku tersentak begitu seseorang menarik lenganku. 

"Ndre!"

Tentu aku tahu siapa pelakunya. memang, kalau bukan Andreas siapa lagi? Cuma dia the only one yang hobi menghancurkan lamunanku. 

Aku melotot pada Andreas yang nyengir tolol. Kalau aku punya masalah dengan jantungku.Jadi apa aku sekarang? Pria ini seenaknya mengejutkanku. 

"Sorry sorry. Kaget, ya? Keburu lo jauh, May."

"Gitu masih tanya," ketusku.

Cengiran doi makin lebar. Sama sekali tidak membuatku simpati. Mengabaikan dia, aku berjalan duluan masuk lift.

"Gue kira lo udah balik duluan," bukaku sambil menekan tombol lantai tujuan kami. Lobi kantor. 

"Gue emang udah balik duluan, cuman mampir pantry bentar. Biasa, sebat santai."

Aku mengangguk paham. Duh, badanku pegal semua. Sampai apartemen bisalah aku pikirkan untuk berendam. 

"Dinner, yuk."

"Ogah."

Aku sudah biasa menolak semena-mena Andreas. Dan ini sudah menjadi penolakan kesekian. Tapi aku tahu, bukan Andreas namanya jika begitu saja selurus dengan penolakanku.

"Ya elah, May. Lo belum makan, kan? Gue traktir, deh."

Aku melirik Andreas yang berdiri di sampingku. Malam-malam begini, ekspresinya masih cerah banget. Aku sampai heran, apa dia tidak punya beban hidup? Segala hal yang datangnya dari Andreas terasa begitu mudah. Lebih-lebih, aku bahkan tidak pernah melihat muka lesunya setiap bersamaku.

"Malam-malam stamina lo masih oke aja, ya, Ndre?" celetukku bersamaan dengan pintu lift yang terbuka dan kami sudah berada di lantai lobi, aku gegas melangkah. Andreas tentu menyamakan langkahnya di sampingku.

"May, I never lost my stamina."

"Idih!"

Jijik banget dengar bisikan begitu dari teman sendiri.

"Gimana, dinner, ya?"

"Bosen ah makan sama lo mulu," keluhku.

Bayangkan, masa, aku dan Si curut Andreas ini akhir-akhir ini bisa keluar makan bareng lebih dari enam kali dalam satu minggu. Kurang apa coba? 

"Duh, bosen pun bisa makan gratis juga. Dah, gue traktir ya."

Lagi-lagi aku tersentak saat Andreas langsung merangkulku dan seenaknya menarikku. Pria ini, hobi sekali bikin terkejut ya.

"Eh eh eh. Gue nggak bilang iya ya Ndre!"

"Gue nggak menerima penolakan. Oh ya, gue nebeng mobil lo ya, Nyet."

"Ndre!"

Kapan sih Andreas ini berhenti mengekor padaku? 

***

ANDREAS

To be honest, my favorite day is the workday. Because through work, I get to meet her.

Maya Elkarisa. 

Gue bisa menyebut namanya berjuta-juta kali. Dalam mimpi, dalam obrolan, dalam kejauhan, dalam segala hal. And for God's sake. Dia cantik banget. Gue enggak bohong. Matanya tajam, bersanding dengan hidung mancungnya. Potongan rambut sebahu yang selalu dia biarkan tergerai tersebut membuatnya lebih dewasa. Jauh dari kesan childish yang biasa gue lihat dari perempuan lain.

Belum lagi wangi tubuhnya, penampilan on pointnya, juga seluruh makian yang bikin semangat gue makin bergelora.

She's a unique woman. Different from others. And I love it. 

Dan malam ini Maya di sini. Duduk di hadapan gue. Bersama gue. Dinner--shit. Maksudnya gue makan sama dia seperti biasanya. Elah Ndre, kayak lo enggak pernah makan malam sama Maya saja. Gue kan rajin mengajak Maya makan malam. 

Gue mengenal Maya lebih dari lima tahun. Sejak pertama kali duduk pada kubikel sendiri, lantas memperkenalkan diri sebagai karyawan baru. Di sana, Maya sama. Setara dengan gue. Anak baru juga. Sejak saat itu gue punya banyak waktu yang bisa di habiskan brrsama Maya. Kami banyak berdiskusi, saling memberi feedback. Yang lama-kelamaan bikin gue peduli padanya. 

And I don't know, gua harus menyesal atau bersyukur, karena seiring berjalannya waktu, di mata gue, Maya bukan lagi sekadar teman kantor. Lebih dari itu, gue menatapnya sebagai cewek yang gue cinta. Bahkan usai tahun-tahun bersama kami. Tololnya, sebagai orang yang tidak ingin merusak hubungan baik. Gue memilih bungkam. Memakan seluruh perasaan ini sendirian.

Gue bukan nggak pernah memberi kode pada Maya. Terlampau rajin. Gue buatkan dia kopi, gue ajak dia jalan, gue susul dia setiap kali nekad ke Bali. Contoh lain yang masih anget seakan habis di masak, ya seperti tadi. Wajarnya cewek akan mempertanyakan kedekatan begitu mendapat tawaran "Dinner yuk."

Maya tidak serupa. Ajakan gue seakan jadi kumur air sebelum tidur. Penting, tapi tidak begitu dapat perhatian.

Tapi itulah Maya. Dan inilah gue : banci Kemang, yang memutuskan menekan perasaan demi tidak merusak apa yang sudah terjalin. Persahabatan gue dengan Maya. Yang barangkali, gue tidak pernah dia anggap lebih dari sekadar teman kantor biasa.

"Ndre, gue nggak pinter ngeruqyah. Jangan ngelamun!"

Gue tertawa. Ajaib benar yang namanya Maya Elkarisa ini. 

"Jin mana sih yang berani masukin gue?"

"Jin dan Jun. Btw, beneran traktir, kan? Gue mau pesen banyak ini."

Buset. Beda menit, beda pemikiran, ya? 

"Katanya ogah!" protes gue.

"Kasihan lo, kan mau sedekah. Gue bantu. Eh, wine, ya, Ndre?"

"Nggak!"

Terakhir kali membiarkan Maya minum wine malam-malam, dia tidur di emperan apartemen. Kali ini nggak akan gue biarkan cewek mudah mabuk dan sok jago minum itu pesan barang segelas saja minuman tersebut.

"Yah. Nggak seru. Lagi pengin mabuk ini."

"Kayak punya masalah berat aja, May."

Maya mengangkat wajahnya dari daftar buku menu. Gue merinding begitu tatapannya menajam. 

"Gue memang punya masalah berat kali. Lo aja yang nggak tahu."

Gue terdiam. Membeku. Iya, gue enggak pernah tahu elo, May. 

"Lo nggak mau cerita sama gue?" tembak gue langsung. 

"Gue pesan roasted tomato basil soup, banana sunday, sama soft drink aja deh."

Baik. Mengalihkan pembicaraan. Pintar sekali cewek ini. 

"Gue selalu ada buat lo kalau lo butuh May."

"Apa sih. Lebay deh. Lagian percaya aja gue punya masalah besar. Wlek."

Mata ini kontan melotot saat wajah jebakan dan penuh ejek itu terlihat. 

Holyshit! 

"Gue anter sampai kontrakan lo, kan?" tanya Maya begitu kami tengah menunggu makanan datang.

"Iyalah. Ya kali gue tidur di apartemen lo."

Kalau tidak salah lihat, ekspresi Maya terlihat menegang. Kendati gue berusaha tidak ikut campur dan menerka-nerka.

"Iya iya. Gue heran sih dama lo itu, udah berduit masih aja ngontrak. Masihhh juga nggak mau bawa mobil."

Aku terbahak. "Nggak semua orang pengin hidup begitu, May."

"Siapa yang tahu." Maya mengangkat bahunya seakan masa bodoh. 

"Gue kan cowok, harus nabung buat masa depan. Toh, buat apa ikut trend orang-orang. Ngantor pakai mobil kalau ujungnya bisa nebeng lo?"

Maya melotot. Sedetik kemudian melempar gulungan tisu ke arah gue. Sementara gue makin terbahak.

"Oh jadi itu ya alasannya?!"

"Haha, enggak-enggak. Tapi serius, gue emang lagi banyak waktu buat nabung."

"Cielah. Buat kawin, ya? Cewek mana, nih? Kok lo nggak pernah cerita?"

Maya merapat pada meja diantara kami. Tubuhnya sedikit condong ke arah gue. Dari sini, ekspresi penasaran begitu kentara. Sementara gue hanya bisa menipiskan bibir. 

Kalau bisa sama lo, May. 

"Ada lah. Kapan-kapan gue kasih tahu."

Tai, Ndre. Telen tuh rasa takut lo sendiri. 

Maya langsung mendengkus, membenturkan punggungnya pada sandaran kursi. "Ih, nggak seru."

"Lo sendiri, udah ada rencana kawin? Apalagi, cuma kita berdua yang masih jomlo, Marsi kayaknya udah mau nikah, Wendi udah mau punya anak," pancing gue.

"Lo lupa Bos Mega. Masih jomlo juga."

"Who know she was married?"

"Ngaco, nggak mungkin."

"Back to topic. So, lo nggak berniat lajang sampai mati, kan, May?"

Maya tertawa. Walau separuh perasaan gue bisa merasakan keterkejutan dari mata Maya.

"I'm serious. Lo aneh kalau sibuk mengurusi urusan gue, Ndre."

Maya benar, ini memang aneh. Tapi siapa yang tahu? 

"Itu karena pikiran gue sudah mengarah ke sana."

Maya tertawa sambil geleng-geleng. 

"Dasar."

"May."

"Hem?"

Maya menatap gue, seakan sangat serius.

 "Kamu akan menikah,kan, May?"

Maya tidak memberi tanggapan apa pun selain tertawa. Barangkali karena makanan yang sudah datang, kami jadi sibuk menyantap hidangan masing-masing.

And my feelings were never as bad as tonight. 

Bersambung ... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status