Share

5. Don't Understand Each Other

ANDREAS

Kalau bicara kedekatan gue dengan Maya. Rasanya kami dekat-dekat amat. Sejak awal bekerja Maya jadi sosok yang ceria dan selalu meramaikan kantor. Semua bisa dia buat tertawa sekaligus kesal.

Mulanya, Maya jadi cewek yang gue samakan dengan cewek kebanyakan. Ceria, penuh warna, dan punya kehidupan yang tenteram. Sampai satu kali, fakta lain gue temukan. She's different. Atau bisa jadi, gue yang tidak pernah tahu gaya hidup Maya.

she slept with many men. Dalam arti tidak benar-benar tidur. Gue memang pernah nonton video bokep. But, I'm serious. Gue belum pernah mengajak cewek ngamar. Sampai gue bertemu cewek seperti Maya. Yang pagi itu, terlihat marah karena baru saja putus dari pacarnya. Cowok yang cuma pengin tidur dengannya saja.

"Dasar bastard! Harusnya gue tahu kalau dia cuma mau tidur sama gue." Teriakkan Maya menggema.

Gue yang baru akan masuk pantry menghentikan langkah kaki. Di sana, Maya membelakangi gue. mulutnya terdengar berdecak lalu membanting ponselnya ke atas meja. Bahunya naik turun dan dia seakan dalam keadaan puncak emosi.

Gue bingung. Harus masuk, atau keluar. Saat itu, gue belum terlalu mengenal Maya, kecanggungan tentu akan menguasai kalau gue seenaknya masuk dan bersuara. Tapi begitu Maya berbalik, tidak ada rasa terkejut dari Maya begitu mendapati gue di hadapannya. Dan gue hanya mendengar kalimat, "Oh. Morning, Ndre. Tumben udah dateng."

Gue merasa seperti mimpi. Kemana emosi Maya tadi? Kenapa hanya tersisa senyum ramahnya?

"Ndre?"

Gue mengerjap. Bingung. "Oh, iya. Lagi pengin," balas gue.

Shit! Maya pasti tahu gue gugup., sampai dia tertawa begitu.

"Lo denger makian gue, ya? Tegang gitu." tanyanya terdengar santai.

Maya berbalik membelakangi gue. Dia sepertinya mau bikin kopi seperti biasa. Sementara gue si cupu kencur hanya bisa diam. Come on! Gue belum lama mengenal Maya. Kami bahkan baru bekerja bersama kurang dari tiga bulan.

"Biasa lah, Ndre. Konflik pacaran. Habis tidur bareng, langsung deh, minta putus. Kesel tahu," ungkapnya tiba-tiba. Padahal gue tidak berniat bertanya.

"Mau kopi?" tawar Maya sambil menoleh kemari.

Gue otomatis mengangguk. Padahal gue nggak demen ngopi pagi-pagi.

"You just broke up with your boyfriend?"

Good, Ndre. Akhrinya lo bisa bicara juga. Walau pertanyaan lo super absurd.

Maya mengangguk. "Yep."

Maya berbalik. Kali ini dengan membawa dia cangkir kopi. Gue ikut duduk dengannya. Sekaligus menerima kopi buatan Maya.

"Baru pacaran dua bulan, sih. Ketemu di klub. Biasa lah. One night stand. Tapi merasa cocok. Keterusan, eh dia tiba-tiba putusin gue. Alasannya, gue bahan taruhan sama temen klub dia," ungkap Maya tanpa gue minta.

serius, bicaranya Maya begitu santai dan mengalir. bikin gue cuma bisa membeku. Tadi dia habis marah-marah, kan? Dan rasanya Maya sadar akan itu. Keningnya mengernyit.

"Ndre. Lo kok kayak kaget gitu?"

"Gimana?"

Maya langsung menutup mulut. Sementara gue hanya bisa mendesah bingung. Ketahuan, ya?

"Jangan bilang lo nggak biasa soal itu?"

"Itu?" beo gue.

"Sex."

Oh shit Maya! Mudah sekali dia bilang begitu sementara gue sudah kepalang malu.

Dan tawa Maya makin bikin gue bingung Serta kikuk.

"Ya ampun. Serius, Ndre?"

Gue berdecak. Mengambil cangkir kopi tapi belum ingin meminumnya.

"Nggak semua cowok main gitu, kan?"

Maya tertawa lagi.

"Iya juga sih. Ih, berarti lo ini cowok alim dong? Waduh."

Wah, harga diri gue sebagai cowok malah tersentil, nih.

"Tapi gue juga nonton!" elak gue.

Maya melipat kedua tangannya di atas meja. Tatapannya terlihat mengejek gue.

"Anak esempe pun bisa, Ndre."

Gue berdecak. Maya benar.

Maya lagi-lagi tertawa. Tawa yang benar-benar lepas. Padahal baru saja patah hati. Tapi sepertinya tidak benar-benar patah. Entahlah, gue malah jadi senang melihatnya.

"Tapi nggak masalah, sih. Biasanya cowok baik-baik dapatnya cewek baik juga," kata Maya.

Out of the box banget.

"Terus, lo?" pancing gue.

"Ya, gue mah tinggal trima nasib aja."

Terdengar begitu santai. Tapi, entah kenapa mendengar kenyataan tentang Maya, gue tidak bisa membencinya. tidak juga merasa jijik. Gue justru biasa saja. Lantas tetap akrab dengan Maya. Sampai gue tahu, kedekatan kami ternyata berbahaya. Makin lama. Makin terjalin kedekatan kami, makin gue tidak bisa melepaskan dia sendirian. Memberi rasa nyaman yang membuat gue ingin memiliki dia.

Kemana pun dia pergi. Gue harus ada buat dia. Kemana dia menangis, gue harus jadi batu buat Maya. Kambing emang, bahkan gaya hidup gue cukup berubah begitu dekat dengan Maya.

Kehidupan tanpa hingar bingar klub malam harus lenyap begitu gue punya rutinitas menjemput Maya di klub. Atau, kebiasaan hemat duit gue harus jebol saat tahu Maya suka terbang sembarangan ke Bali. Menyusul dia dan berujung mengurus sampai kembali ke Jakarta.

Wajarnya gue merasa lelah. Tapi, yang ada gue merasa itu lebih dari cukup.

Sampai gue tahu Maya kembali menjalin hubungan. Yang kali ini, gue tidak ingin dia kembali jadi teman tidur doang.

Tapi sepertinya cara gue salah.

Barangkali, puncaknya siang tadi. Gue ingin Maya berhenti dengan tabiatnya. Sementara bagi Maya, gue telah merendahkan dia. Kendati pada kenyataannya, benar begitu. Gue sudah menyentuh titik sensitif Maya. Hal yang mulanya ingin melindungi, justru menjadi menusuk.

Sekarang, lo pusing balikin keadaan, kan, Ndre?

Shit!

***

ANDREAS

"Guys, gue duluan ya."

Marsi berpamitan terlebih dulu. Sudah berdiri dan bersiap pulang. Sore ini pekerjaan kami memang sudah selesai. lebih cepat dari yang gue duga. meski rasanya neh. ya gimana dong, gue merasa dapat musuh dalam selimut. Siapa lagi kalau bukan Maya dan kebisuannya pada gue.

"Hati-hati, Mar," seru gue dari kubikel. Suara gue enggak kayak curut kejepit, kan, ya?

"Gue juga duluan guys. Eh Mar, bareng deh."

"Yuk!"

"Jangan manpir-mampir Girl, kalau itu tanpa gue lho," ujar Maya.

Gue bersyukur karena sejak insiden siang tadi. Dia terlihat baik-baik saja.

"Ye, emang lo yang enak-enak ke Bali sendirian ha?"

Maya tertawa. "Besok deh kita keroyokan ke Bali. Gimana?"

"Boleh, deh. Dah ah kita balik dulu. May, Ndre buruan pulang," pesan Marsi.

"Siap Mar!" balas gue. Sementara Maya hanya tertawa saja. Lantas kembali menekuni PC di hadapannya.

Hening menyelimuti begitu ruangan hanya tersisa gue dan Maya. Sebenarnya, dia masih ada kerjaan atau pura-pura sibuk?

Gue berdehem pelan. Beruntung kubikel Maya tepat di samping gue. Membuat gue bisa terang-terangan menatapnya. Sibuk dan sangat fokus. Gue tersenyum, Maya dalam mode bekerja memang beringas.

"May," panggil gue spontan. Sudah tidak bisa menahan diam ini.

"Hm?"

Good job. Masih mending Maya mau memberi reaksi Ndre, meski tidak menoleh. Sebab sejak tadi dia sudah mendiamkan gue.

"Belum selesai?"

Maya menggeleng. "Belum."

"Mau di bantu nggak, Nyet?"

mulut sialan. Sudah tidak tahu diri, gue masih sempat seolah tidak terjadi apa-apa. dan gue terkesiap saat Maya mendadak menatap gue.

"Lo kalau mau bahas yang tadi siang. Gue ogah. Serius. Nggak perlu banyak basa-basi juga, Nyet"

Gue mendesah. Peka banget sih. "May.sorry, gue nggak bermaksud begitu."

"Terus, maksud lo yang bagaimana?"

Gue terdiam. Suara Maya tidak memberi tekanan. Terdengar santai, tapi bikin gue kicep. Apalagi dia sama sekali tidak menatap lawan bicaranya.

"Gue cuma pengin lo menemukan cowok yang benar-benar cinta sama lo," jujur gue/

Maya tertawa. serius, gue enggak bisa mengatagorikan jenis tawa bagaimana. Yang jelas, gue tidak bisa ikut tertawa. Padahal biasanya, tawa Maya selalu menular.

"Picisan banget, deh. Udah, Ndre. Gue bukan anak kecil lagi. Gue juga udah nggak perlu dapat banyak perhatian lo yang khawatir. serius, urusan hati. Biar gue yang atur. Ngerti?"

"Dia beneran serius sama lo, kan?" tanya gue memastikan.

Gue khawatir. Lama Maya sendiri, tahu-tahu mendapat kabar dia pacaran dengan orang lain, rasanya buat gue itu menyakitkan sekaligus mengkhawatirkan.

"Iya. Lo nggak perlu khawatir."

Paling tidak itu bisa menenangkan gue. Walau pada kenyataannya gue tetap khawatir.Atau... menyesal karena tidak bisa lebih cepat dari Panji itu? jadi, sudah saatnya gue mengakhiri perasaan ini?

Gue mendesah. "Maaf soal tadi, May. Gue pikir. Gue udah kelewatan."

"It's okay. Lo ada benernya. Tapi gue juga benar. So, lupain aja."

Gue mengangguk. Bersyukur Maya terlihat santai. Rasanya kemarahan Maya hanya sesaat. Dia pasti hanya tersinggung sebentar.

Gue sumringah saat Maya sudah mematikan PCnya.

"Nyet, makan bareng yuk?"

"Gu-"

Maya tidak melanjutkan ucapannya karena ponselnya berbunyi. Gue melirik dan menemukan nama Panji pada layar ponsel.

Panji. Pacar Maya?

"Wait, Ndre."

Gue mengangguk.

Gue pikir dia akan menelepon di sini. Tapi ternyata Maya justru menyingkir, bikin gue tidak bisa menguping. Tidak tahu apa yang dia bicarakan. Namun, dari tempat gue duduk, bisa gue lihat ekspresi wajahnya terlihat begitu serius.

Gue menegakkan badan saat melihat Maya melangkah kemari.

"Kenapa?" tanya gue.

"Sorry, Ndre. Gue nggak bisa nemenin lo makan. Panji ajak gue keluar. gue duluan ya."

Sambil melambai Maya mengambil tasnya. Dan gegas melangkah keluar. tanpa menunggu jawaban gue.

Sementara diri ini tetap membeku. Sejak awal, gue memang membiarkan Maya bersama cintanya. Tapi, ternyata banci banget karena gue merasa begitu kesal dan marah pada keadaan.

***

MAYA

Tahu rasanya terjebak bersama orang yang bikin marah padahal sebelumnya baik-baik saja, kan?

Bikin mumet dan canggung. Lebih-lebih jika dituntut bersikap biasa saja.

Aku bersyukur karena Panji menelepon di tengah obrolan dengan Andreas. Dia memintaku untuk menjemputnya karena Mona baru saja meminja mobil yang biasa dia pakai.

Bohong kalau aku sudah lupa dengan sindiran Andreas kendati dia tidak sengaja. Dan yang ada, pertengkaran kecil kami siang tadi membuat aku canggung padanya. Ingin seperti biasa, namun rasa kesal terus menggunung.

Ingin mendiamkan, dia sepertinya tidak sadar kalau aku ingin sendiri dulu. benar kata orang, yang sedekat nadi, bisa menjadi jauh. Walau karena hal kecil saja.

Aku meremas rambut di balik kemudi. Kenapa hidupku malah lebih rumit dari hidup orang lain yang sering curhat sama aku, sih? Ngerti nggak, sih, aku bingung bagaimana harus menghadapi Andreas. Atau, memang benar aku pura-pura lupa saja, ya? Toh, yang seperti kataku tadi, Andreas ada benarnya. Dan aku tidak salah.

Apalagi jika melihat kedekatan kami.

"Shit! Dasar monyet satu itu! Bikin mumet deh!"

Tok ... tok ...

Aku terkesiap saat tahu Panji mengetuk kaca mobil. Aku membuka kaca dan langsung tersenyum demi menyembunyikan kebingungan.

"Nunggu lama ya?"

"Nggak, baru aja. Masuk, gih."

Panji menggeleng. "Turun. Biar gue yang nyetir."

Aku mendengkus. "Nggak capek?"

Lagi-lagi pria yang aku cinta tersebut hanya menggeleng. Entahlah, melihat Panji ternyata bisa menguras kekesalan dan menyiram kebahagiaan. Lebay, May!

"Okay Bapak Dokter," seruku riang sebelum turun dan berpindah pada kursi penumpang. Begitu kami sudah masuk, Panji segera menjalankan mobil keluar area parkir rumah sakit.

"Lo kelihatan pucet, mau mampir makan dulu?"

"Boleh, deh."

"Sushi Tei?"

Aku mengangguk sambil menyandarkan punggung.

"Tumben Mona pinjem mobil lo, Nji," kataku. Habis aku sadar betul kalau Mona jarang pinjam mobil Panji.

"Biasa, mobil dia lebih kecil dan butuh mobil gue yang lebih besar."

"Liburan?" beoku.

Panji mengangguk. "Sama mama."

Membeku. Aku kontan menoleh pada Panji. Artinya, Mona sedang liburan dengan mama Panji.

"Kenapa diam?" tawa kecil Panji terdengar. Seolah hal barusan biasa saja.

Sejujurnya, kedekatan kami benar tidak membuat aku bisa mengenal Panji. Tidak juga tahu soal kehidupan keluarganya. Aku jadi tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa.

"Kaget aja." Wajar, kan?

Traffic light membuat Panji menghentikan mobil. Dia menoleh padaku. "Gue nggak se-melo yang lo kira, May."

Aku tertawa pelan. Panji benar, toh, dia hanya memberi kabar. Bukan membuka sesi curhat.

"Lo nggak ikut?" serius. Aku spontan saja. Sedetik selanjutnya aku jelas menyesal. Namun, rasanya Panji tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Dia malah tertawa, terdengar seperti geli atas pertanyaanku barusan.

"Enggak. Kalau gue pergi, siapa yang nemenin lo tidur, hayo?"

Aku spontan memukul lengan Panji, kontan dia tertawa dong.

"Apa? Bener, kan?" gurau Panji sambil kembali menjalankan kemudi.

Aku berdecak. "Isi kepala lo itu-"

"Wait. Gue nggak mikir jorok ya, jangan bawa-bawa isi kepala gue," elak Panji.

Aku tertawa. "Helo, Pak Dokter, gue bukan bocah SD yang nggak paham ya."

Aku terkesiap saat Panji pede menarik pingganku dalam keadaan menyetir. Wajahnya tepat berada di samping wajahku.

"Karna lo memang bukan bocah SD, Sayang."

Sementara aku gagal melayangkan protes karena Panji sudah mengambil satu ciuman dariku. Sialan. Bisa-bisanya kami berciuman di dalam mobil yang masih melaju.

***

MAYA

Entah sejak kapan. Aku senang sekali melihat Panji makan. Caraya menyuap, caranya mengunyah dan bagaimana diam tersenyum padaku begitu menelan makanan, menjadi candu buatku. Dia memang berhasil mencuri hatiku. Lebih kuat daripada mantan-mantanku yang lainnya. Bersama Panji, aku seolah lupa waras. Cinta mengendalikan semuanya. Sementara logikaku tidak berjalan.

Kalian bisa sebut ini toxic relationship. Karena kenyataannya benar begitu. Aku justru menyiksa diri sendiri dengan berada di samping Panji, namun, bukankah kebanyakan perempuan memang lebih suka terlibat cinta yang rumit? Sementara hatinya terus berdoa kalau semua pasti akan baik-baik saja, walau ... nyatanya tidak.

Jangan salahkan pesona Panji, sejatinya seluruh sikap dan perlakuan darinya jauh lebih mematikan. Right?

"May!"

Aku terkesiap. Mengerjap bingung.

"Lha, melamun. Mikir apa sih?"

Astaga. Bisa-bisanya aku melamun di depan Panji. Aku memijat kening guna mengalihkan.

"Pusing aja, banyak kerjaan."

"Minta cuti lah."

Aku tertawa. "Ya kali. Minta cuti nggak seenak berak kali."

"Dan susah BAB nggak semudah minta cuti."

Aku melotot. "Nji! Lagi makan nih gue."

Kan, dia malah tertawa. "Lo yang mulai lho."

Mendengkus pelan, aku memilih menyudahi perdebatan kami dan memutuskan melanjutkan makan. Sampai dering telepon Panji berbunyi. Aku otomati melihat si pemanggil dan terkejut saat tahu kalau nama 'mama' terpampang pada layar.

Belum sempat melihat arah Panji, cowok itu sudah menggeser tombol tolak dan membalik ponselnya. Aku mendongak, menatap Panji.

"Nggak diangkat?" tanyaku pelan.

"Nggak. Nggak penting."

Raut bergurau Panji jelas menghilang. Tersisa sisi gelapnya. Aku mendesah pelan, acara makan kami jadi kacau. Suasana hati Panji pasti tidak senang.

"Kenapa jadi muka kamu yang lusut, May?"

Aku mendengkus. Dia juga lusut. Diam-diam berpikir, kalau barangkali mama Panji yang membuat Panji seperti sekarang ini. tidak bersedia untuk berkomitmen dalam arti menikah.

"Gue nggak pernah membeci mama, May."

Aku terdiam. "Lo pasti berpikir gue benci mama kan?"

Sejujurnya iya. Apalagi begitu tahu kalau Panji selalu menghindar dari mamanya. Walau pada kenyataannya aku tidak benar-benar tahu bagaimana hubungan mereka. lagi-lagi karena kedekatan kami tidak menghasilkan apa pun selain kepuasan di atas ranjang.

"Lo nggak benci mama lo?" Mau tanya bagaimana lagi coba? Diam juga tidak bisa.

Diluar dugaan. Panji justru menggeleng. Sambil mengunyah sushinya dia menatapku. Terasa sangat serius.

"Enggak. Tidak pernah bertemu bukan berarti membenci, kan?"

"Lantas?"

"Gue cuma nggak mau aja. Entah, sampai sekarang gue juga tidak tahu alasan pastinya."

"ya mungkin, gue pikir, apa yang gue lakukan selama ini karena justru gue takut membenci dia," sambung Panji,yang seketika bikin tubuh ini membeku.

"Lo udah lama pisah sama mama lo?" tanyaku pelan. Sedikit ragu.

"Lumayanlah. Sejak perceraian dengan Papa, gue sama Mona memutuskan buat tinggal sama Eyang."

Aku mengangguk saja. Sementara pikiran ini berkeliaran kemana-mana. Sebelum Panji, aku juga terlibat dengan Marsi, cewek yang hidupnya complicated. Korban perceraian. Aku kira, Marsi sudah lebih dari cukup. Nyatanya aku dipertemukan lagi dengan Marsi versi pria. Panji dan seluruh kerumitan hidupnya. Walau yang lebih membuatku terkejut, dia tidak membenci mamanya. Tapi, apa benar?

"May. Kok diem, sih?"

Aku mendongak. Kicep seketika.

"Banyak masalah kantor atau karena habis dengar pernyataan gue, hm?"

Eh?

Aku memang tidak bisa menutup ekspresi dari Panji. Dia pandai sekali membaca ekspresi dan situasiku.

Ayolah, May. Kan lo sahabat lama sama dia.

"Nji, apa itu yang bikin lo nggak mau nikah?"

Biarlah. Biar aku tanyakan hal yang sudah berterbangan di kepalaku. Ajaibnya, Panji justru tertawa. Bahkan sampai matanya menyipit.

"Udah gue tebak, lo pasti tanya itu."

Aku cemberut. Karena memang itu yang ingin aku ketahui sejak dulu. Alasan paling mendasar selain karena konflik tinggal dan meninggalkan.

"So?" tuntutku.

"Sayangnya bukan karena itu," balas Panji terdengar santai.

Keningku otomatis mengernyit. Lantas? Semua hal pasti memiliki alasan, kan?

"Kebanyakan orang, menikah karena ingin bahagia. Sama halnya dengan gue yang tidak ingin menikah. Juga karena ingin bahagia."

Ba-ha-gia?

"Maksudnya?"

Panji tertawa. Kali ini dia sepertinya paham dengan kebingunganku.

"Listen to me, ini bukan soal tradisi masyarakat yang mengharuskan menikah. Ini soal prinsip hidup. Prinsip hidup gue. Gue cuma memandang diri gue sendiri. Menginvestasikan diri gue sendiri. Untuk gue sendiri. Right?"

Untuk dia sendiri? Jadi, ini karena konsep bahagia versi Panji?

Panji melipat kedua lengannya di atas meja, lantas, tatapannya terasa serius. Sementara aku diserang kebingungan dan kebekuan.

Dan tebak, apa yang dia katakan setelahnya.

"Dan dengan menginginkan pernikahan ataupun menikah. Gue merasa nggak bahagia, May. Itulah alasan gue."

Entah, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. kendati aku telah tahu alasannya. kenapa aku justru makin sakit? Bahkan sampai tidak bisa berkata-kata.

"Sampai gue menemukan lo. Orang yang bisa bergabung dengan prinsip gue. Yang bikin gue bahagia, sampai saat ini."

Tubuhku terasa panas dingin saat Panji meraih tanganku. Barangkali, orang akan menganggap kami pasangan romantis, kendati yang terjadi sebaliknya.

"Makasih ya, May. Lo bahagia juga, kan?"

Ini nggak masuk akal. Tapi aku sudah terjebak...

"Ya, kan?"

Sampai mampus.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status