Share

4. Complicated

MAYA

Sesuai permintaanku. Tidak ada pergi ke penginapan. Tidak ada obrolan sepanjang pulang ke Kemang. Aku dan Panji pada akhirnya memutuskan pulang kendati jaraknya lebih jauh. Bukan sepenuhnya memutuskan, aku tahu, Panji mengalah. Pulang dari Bogor, aku berlagak seperti patung. Panji sesekali membuka obrolan. Sementara aku seperti tidak punya tenaga buat memberi jawaban. Berpura-pura tertidur, nyatanya membuatku benar-benar tidur.

Paginya aku bangun lebih awal. Memandang wajah lelapnya selalu bikin senang. Panji punya wajah tegas, tapi setiap tidur, dia seperti bayi saja. Galaknya hilang, jailnya hilang, tersisa wajah polos dan lucunya.

Segumpal rasa kesal kembali menumpuk dalam dada saat ingat perihal semalam. Memutus kontak mata, aku gegas turun ranjang.

Sesaat aku terdiam saat mendengar kombinasi sandi apartemen terdengar. Setahuku, selain aku dan Panji, hanya Mona seorang yang tahu. buat apa dia pagi-pagi ke sini?

"Lho, kok di sini, Kak? Katanya liburan," buka Mona begitu melihatku keluar kamar.

Aku tersenyum. Rasa kantuk masih menguasaiku. "Itu yang mau gue tanyakan ke lo. Kok lo di sini?"

"Oh, Kak Panji nggak cerita?"

Aku menggeleng. Lantas mengekor pada Mona yang berjalan ke dapur.

"Kemarin dia suruh gue ke sini, ya, isi-isi apartemen, kan kalian rencana ke Bogor sampai besok. Terus, kenapa pagi ini di sini?"

Perasaan kesal kembali berkumpul. "Ada sedikit masalah, jadi kami balik," jawabku sekenanya.

"Lah, gitu banget. Pasti karna mama, kan?"

Aku mengernyit. "Mama?"

Mona menoleh ke belakang. "Kak Panji nggak cerita juga?"

Aku menggeleng, bingung. Ini kita ngomongin apa, ya?

"Aduh, Kak Panji ngajak liburan ke Bogor kan supaya bisa menghindar dari pernikahan ke tiga mama, Kak. Gitu deh, gue aja males, mending di sini," serunya terdengar santai.

Sementara aku harus berpegang pada ujung meja guna menjaga keseimbangan diri. Aku ... tidak salah dengar, kan? Jadi Panji bukan sembarang merencakan liburan?

Entah kenapa, rasa bersalah begitu saja menyusup. Pria itu ingin menghindar dari hal yang tidak dia suka? Dan aku justru menambah beban dengan permintaan kemarin?

"Mama itu ... gue heran, deh. Udah tua masih aja sibuk nikah. Mana suami barunya seusia Kak Panji lagi," jelas Mona.

"Kak, bangunin Kak Panji, gih. Gue bawa soto ini, bisa di makan bareng, sih," sambung Mona. Tanpa melihatku.

Seperti kerbau dungu, aku tidak punya respons selain mengangguk lemah. Aku terlalu terkejut sekaligus bingung.

Apa yang sudah aku lakukan?

"Kok masih di sini, Kak?"

Aku mengerjap. "Eh i-iya."

Aku buru-buru melesat ke kamar, makin panik begitu tidak menemukan Panji sama sekali. Namun lega saat mendengar suara air dari kamar mandi. Tidak butuh waktu lama karena pintu kamar mandi terbuka. Lantas, tubuh pria yang sudah sangat aku kenal itu keluar. Panji. Aku kontan menerjang tubuhnya tanpa peduli pekikkannya.

"Eh, kenapa, May?"

Tidak memberi jawaban, aku justru menumpahkan tangis yang membasahi kausnya. Aku hanya ingin menangis saja. Panji yang seperti mengerti melingkarkan tangannya untuk membalas pelukanku, sampai aku rasa tubuh ini di angkat sebelum duduk di pangkuan Panji begitu dia duduk di ranjang.

"Kenapa?" bisiknya. Jemarinya lembut mengusap sisa air mata ini.

Sementara aku bingung. Tergugu. Aku tidak tahu jika selama ini Panji masih saja menyembunyikan banyak hal. Seandainya Panji mau bercerita, paling tidak pagi ini kami akan bangun di penginapan Bogor serta bercada gurau. Bukannya menghabiskan malam dengan kemarahan serta tekanan.

"May, what's wrong?"

"Maaf," cicitku.

Panji tertawa. "Buat apa cob-"

"Mama lo nikah lagi, maaf karena nggak mengenali situasi itu."

Aku tidak mendapat jawaban apa pun selain pelukan Panji yang mengerat. Bisa aku rasakan wajah Panji tenggelam pada leherku. Hangat.

"Hal seperti itu nggak perlu diceritakan."

Aku melerai pelukan kami. Lantas menatap tajam Panji. "Tapi setidaknya kalau lo cerita kit-"

Panji mungkin tidak ingin mendengar apa pun dariku sampai mengambil celah dengan menciumku, memotong apa yang hendak aku katakan. Aku mendorong tubuhnya guna melepas ciuman kami. "Gue belum selesai bicara," pekikku kesal.

"It's okay. gue juga salah karena menutup ini. jadi, fair, kan?"

"Tapi, Nji."

Panji menggeleng. Kembali mempertemukan pelukan kami.

"Bisa kita nggak bahas perempuan itu?"

Permintaannya terdengar tajam dan tegas.

Aku mengangguk. Tidak punya pilihan. Seluruh kesal ku seketika sirna, berganti rasa bersalah. Seharusnya aku tahu, seluruh alasan-alasan keengganan Panji adalah ketakutan yang tidak bisa dia tepis.

"Sekarang, kita hanya bicara soal gue dan lo," ucapku.

Tawa Panji menyembur. Menular padaku.

"Itu yang selalu gue inginkan."

***

MAYA

Aku harus bersyukur karena punya rekan kerja yang dewasa. To be honest, aku belum siap membuka lebar perihal hubunganku dengan Panji.

Aku takut akan seperti kejadian Marsi dan Syahdan yang mendapat olokan-olokan dari kami tapi, itu sudah bertahun-tahun berlalu. Kami sudah makin tua. Makin dewasa. barangkali yang lain juga sadar.

Tibanya aku di kantor, tidak lebih tidak kurang hanya dapat cie-cie saja. Dan pernyataan, ditunggu ya undangannya.

Tapi, aku tidak bisa lepas dari Andreas. Sial memang. Dia cowok, tapi bibirnya sudah seperti pembawa berita gosip picisan saja. terbukti. Lunch ku harus kembali mendapat pertanyaan darinya. Berkedok bercanda. tapi bikin pusing.

"Ini gue doang yang jomlo, ya?"

Aku bukan ikan. Jadi aku tidak mau menanggapi umpan Andreas.

"Lebay deh, Ndre. Kayak abege aja lo ini ributin masalah jomlo atau enggak," sewotku sambil mengaduk kopi yang aku bikin.

"Bukan lebay. namanya minta klarifikasi."

Bukannya ikut tertawa, cengiran Andreas malah-malah bikin aku mendengkus kesal. Kadang aku meragukan, Andreas ini cewek atau cowok, pasalnya dia hobi sekali mencampuri urusan orang lain.

"lah, emang gue artis, harus kasih klarifikasi? Dan kalau tinggal lo aja yang jomlo, mending buruan cari cewek deh. Gampang, kan?"

"Nggak sem-"

"Ya ya ya, buat lo yang hobi nabung, nggak semudah itu," potongku.

Aku terang-terangan terlihat kesal. Supaya Andreas sadar diri. Tapi sepertinya kali ini, cowok ini jadi pihak yang tidak peka sama sekali. Bikin kesal.

Aku menatap serius Andreas sebelum menggenggam erat cangkir kopi. "Sama kayak gue yang nggak semudah itu kasih klarifikasi. Right? Dah. Gue, dulu-"

"Bentar. Gue belum selesai, May."

Aku menahan napas. tahu ini akan sulit.

"Tapi gue udah selesai bikin kopi, lho. Mau ke dalem, nih." Maksudku ruanganku.

"Buru-buru banget, sih. Nih, gue beliin ayam geprek. Siang-siang harusnya makan, bukan ngopi."

Aku melotot. Banting topik banget ini? terus, kapan coba Andreas bawa ayam geprek?

"Tapi gu-Ndre!"

Aku sulit mengelak saat cowok ini justru menarikku duduk. Menaruh dua box ayam geprek di atas meja. Sial, baunya bikin perut melilit.

"Gue cuma heran aja, May. Nggak biasanya lo tertutup masalah relationship lo. Lo kira gue anak kecil yang mudah saja lupa soal hobi lo ganti pacar, hm?"

Andreas membuka box makan sambil melirikku yang duduk di depannya.

Sebisa mungkin aku tidak menunjukkan rasa canggung yang menimpulkan kecurigaan dia. Aku lupa, cowok di hadapanku ini bukan sekadar teman kantor. Tapi juga tean curhat tiap kali patah hati.

Aku berdehem guna meleburkan kegugupan. "Kata orang, kalau sering di perlihatkan sebelum nikah..." Ah basi banget sih.

"... nanti nggak bisa nikah," sambungku berusaha santai.

Tawa Andreas tersembur, bersamaan dengannya yang menyodorkan box ayam geprek ke arahku. Sudah siap aku santap.

"Udah gede beneran nih." Dia mengerling. Sementara aku menahan dongkol karna dia harus mengungkit hal yang tidak ingin aku bicarakan.

"Apa sih. Yang lain lho, cuek aja. Lo kayak kepo banget gitu," sindirku.

Aku sekaligus menyindir perutku yang sudah tidak tahan begitu bau ayam geprek menyergap. Bodoh amat, aku lapar dan perlu makan. Salahkan diri ini yang sok tidak mau ikut lunch bersama yang lainnya demi menghindar dari intrograsi dadakan mereka soal Panji Senopati.

"Gue emang kepo, May."

Aku terdiam. Melirik Andreas yang air mukanya terlihat serius.

"Lo temen gue. Dan gue harus memastikan kalau lo itu dalam hub-"

Aku mengangkat tangan, memberi kode pada Andreas untuk diam. "Wait. Are you kidding me?" potongku.

Seketika juga aku tertawa. Serius, aku heran dengan sikap dadakan Andreas kali ini. yah, dia memang suka memberi nasihat, tapi kan kalau aku curhat. Kalau tidak, tandanya aku sedang tidak butuh, kan?

"Yang benar saja. Lo lagi nggak berusaha ikut campur urusan gue, kan, hanya karena kita dekat?"

"Gue selalu ikut campur, kan?"

Aku mendesah. Shit! Shit! Shit! Andreas nggak salah. Dia benar. Apa, sih yang tidak dia tahu soal aku? dia tahu aku selalu kabur setiap kali tahun baru dan lebaran.

Dia tahu aku suka sekali menghabiskan waktu di pantai. Dia tahu aku tidak kuat mabuk. Dia tahu makanan kesukaanku. Dia tahu aku sering tidur dengan banyak cowok. Dan dia ... tidak tahu aku terlibat hubungan rumit dengan Panji. Hanya itu.

"Gue cuma belum bisa cerita aja. Toh, kalau sudah waktunya, gue pasti cerita," kataku mengalah.

Aku berusaha menghindar dari tatapan penuh curiga Andreas dengan terus menyantap ayam geprek. Duh, dia ini sengaja ya, ini pedas banget. Dan gue tipe orang yang sulit berdusta setiap kali kepedesan.

"Dia dokter di mana?"

"Uhuk!" Aku tersedak. Shit!

"Eh, minum, May."

Aku langsung saja meraih botol mineral dari Andreas dan meneguknya hampir setengah botol.

"Are you crazy, Ndre? Lo stalking dia?" tuntutku tidak percaya.

Napasku memburu. Rasa kesal menerjang. Sementara cowok di hadapanku, bisa-bisanya hanya diam saja. Terlihat begitu santai.

"Gue kan perlu memastikan, May."

Aku mendengkus. Aku juga biasa ikut campur, tapi, ternyata begini rasanya kalau orang lain ikut campur urusan kita. Kesal dan marah. Sementara dia adalah orang yang juga penting. Termasuk Andreas.

"Memang kalau lo udah tahu dia dokter di mana. Mau lo datengin?"

Andreas mengangkat kedua bahunya.

"Enggak juga."

Berdecih pelan, aku melanjutkan acara makan. "Jangan berlebihan, deh. Gue belum lama sama dia. Toh, kalau jadi nanti gue kasih undangan, kalau enggak. Ya sudah, gue cari yang lain aja." Elah, mudah banget, ya, May bicaranya?

"Cewek itu bukan piala bergilir, May. Jangan berkedok putus karna tidak cocok dan mencari kecocokan yang lain, lantas bisa sembarangan cari pasangan. Nggak akan dapat kalau yang di cari hanya soal cocok saja."

Aku terdiam. Kunyahanku juga berhenti. Andreas menyindirku?

"Lo nyindir gue?" tuduhku.

"Eh, bukan gitu-"

Aku mendesah. Menatap tajam Andreas.

"Cewek memang bukan piala bergilir, Ndre. Dia manusia. Dia patut di hargai eksistensinya. Lo nggak sepatutnya mengkotak-kotakkan cewek. Semua sama, yang bikin beda justru cemooh orang-orang di luar sana. Yang membuat di tingkatkan pada kasta. Kayak lo barusan."

"May-"

"Memangnya lo mau tanggung jawab kalau ada cewek yang cari pasangan tanpa standar kecocokan? Mau lo nikahin gitu?" potongku.

Andreas diam. Sementara aku makin bergemuruh. Mudah sekali batin ini tersulut emosi.

"Bukan gitu, maksud gue, kita nggak bisa menganggap enteng pasangan seperti kata lo tadi, May."

Aku berdecak. Secara tidak langsung dia menyindir tabiatku. Bukan hanya soal berganti pacar, tapi juga soal teman tidur.

"Sama saja. Basi tahu."

Aku berdiri. Napsu makanku seketika sirna.

"Lo mau kemana?"

Aku bisa melihat kepanikan pada dua bola mata Andreas. Tapi itu justru bagus. Biar dia kapok.

"Gue udah kenyang," kataku sebelum beranjak.

"May!"

Tidak aku hiraukan teriakkan Andreas. Sementara kaki ini semakin lemas. Mataku terasa panas. Memilih berbelok pada toilet. Aku mengunci diri di dalam. Menahan sesak dalam dada.

Piala bergilir?

Andreas tahu pasti aku mudah berganti ranjang dan pria, tapi, kenapa dia tega berucap seperti itu?

Shit! Bisa-bisanya aku menangis.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status