Share

3. Contrast

MAYA

Panji menjadi satu dari sekian orang yang aku kira akan masuk daftar mantan pacar seorang Maya Elkarisa. Yah, itu yang tercetus pada pertemanan ke dua bulan kami-ya ampun, aku hafal banget, ya.

Let me tell you, siapa yang tidak berpikir begitu kalau cara Panji memperlakukanku, terdeteksi sebagai cowok yang sedang mendekati calon mangsanya?

Permainan flirting Panji terlalu menjurus pada hubungan 'pacaran' atau lebih dari sekadar 'teman'. Aku tidak pernah keberatan soal itu, aku justru enjoy. Toh, selama masih jomlo, why not? Apalagi Panji lebih ganteng dari mantan-mantanku lainnya.

Ya walau, Panji bukan tipikal orang yang rajin menelepon seperti mantan-mantanku. Kami justru jarang bertukar suara, padahal saat itu aku berharap dia bisa menemaniku dengan suaranya yang berat dan terkesan dalam. Mungkin karena profesinya sebagai dokter.

Kami lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Panji menjemputku, menyempatkan makan di luar, dan menonton film di bioskop. Pendekatan yang aku kira juga akan berakhir komitmen.

Well, aku pernah sengaja mengajak Panji mabuk, bukannya dapat apa yang aku perkirakan, aku justru tepar sampai pagi, membuat kami berakhir sarapan di MD. 

Lucu sekali kalau mengingat hal tersebut. Makin lucu kalau tahu aku dan Panji bahkan tidak pernah sampai benar-benar berpacaran seperti yang aku gaung-gaungkan. Hubungan yang sejak kedekatan kami selalu aku pertanyakan, yang pelan-pelan aku terjemahkan sebagai kebutuhan begitu permintaannya tersiar sore itu. Di apartemen barunya.

"May, lo suka apartemen baru gue?"

Sambil mengunyah nasi goreng bikinan Panji lima belas menit yang lalu, aku mengangguk. Aku benar menyukai apartemen baru Panji pada kunjungan pertama kali ini. konsep monokrom yang menenangkan. Apalagi jika sudah duduk pada stool sambil menikmati nasi goreng begini, kenyamanan bertumpuk menjadi satu. Menggembirakan batin. Kapan-kapan, bisa aku pikirkan mengatur apartemenku jadi senyaman milik Panji. Mungkin perlu bantuan Panji juga.

"Kalau lo suka, tinggal di apartemen gue. Mau?"

Kunyahanku terhenti, ini bukan jenis topik yang biasa Panji dominasi, memutar stool, aku pandang saksama pria yang sejak tadi duduk di sampingku, kini berhadapan denganku.

"Buat apa?"

Diam-diam batinku menjerit. Apa Panji sedang melamar? Dengan cara konyol tapi mendebarkan begini? Meremas setiap ruas jari, ada secerca harapan meletup-letup di dadaku. Sekaligus menggiling perut ini, bikin melilit juga membuncah.

"Em, gini, gue nggak percaya cinta. Lo takut disakiti cowok. Dan ... kita saling cocok. I think, kita bisa tinggal bersama. Di apartemen ini. Gimana?"

"Mak ... sudnya?"

Sejujurnya kecewa menelantarkan napsu makanku. Sejurus yang aku bisa, sedikit menghindar dari Panji saat pria itu hendak meraih tanganku. Harapan kosong yang baru saja aku tebak semoga tidak menjadi nyata. Aku mengenal Panji, lebih dari lima tahun. Namun, seringnya aku tidak benar-benar mengenal. Kami cocok, satu frekuensi, hanya saja, banyak misteri-misteri yang Panji sembunyikan, dan itu terasa menyakitkan.

"Yeah ... like ..."

"Friend with benefit? Kumpul kebo?" tembakku. Sepenuhnya berharap bukan itu yang Panji inginkan. Kendati satu-dua kali, kami pernah melakukannya. Dengan pelepasan yang membuatku mabuk kepayang dan nagih. Siapa yang tidak mau di bawah kendali Panji Senopati? Seorang dokter, tampan, tinggi, perkasa, pengertian, lembut, penyayang, dan banyak lagi. Tapi ... apa semua itu cukup?

Panji mengembuskan napasnya, lantas balik menatapku saksama. "Bisa dibilang begitu. Tapi gue cuma ingin hidup bersama."

Hidup bersama? 

Nasi goreng aku biarkan teronggok di atas piring, sendok yang aku gunakan bahkan sudah terlepas dari tangan. Aku memang bisa berganti dari ranjang satu ke ranjang satunya dengan pria yang berbeda. Memanggil nama tiap pria penuh pemujaan-selalu bisa. Juga rajin mencampakkan pacar-pacarnya dengan dalih tidak mau tersakiti duluan.

Kendati begitu, dari seluruh hal yang terdengar buruk tentangku, aku mengenal diriku sebagai cewek penuh perencanaan. Marsi tahu betul, bahkan hanya untuk membeli satu buah novel, semua perlu perencanaan. Tapi, di hadapan Panji, seluruh rencana dan perhitunganku ... hangus.

Aku mengumpulkan keberanian sebelum bertanya, "Lo kasih tawaran atau ... apa?"

Panji mengusap-usap dagunya sambil terlihat berpikir dengan bergumam. "Em, penawaran."

"Artinya gue bisa menolak?"

Panji mengangguk. "Yap."

"Kasih gue alasan kenapa gue harus melakukannya," kataku serius.

Aku tersentak saat Panji meraih jemariku dan menggenggamnya. Hangat. Selalu begitu.

"Gue nggak bilang harus. Gue kasih tawaran. Dengan keadaan yang sama-sama kita tahu. seperti kata gue tadi."

Aku terdiam. Tawaran Panji punya sisi terburuk buat hidupku, sekaligus secerca harapan, barangkali, menyetujui Panji, pelan-pelan aku bisa meyakinkan pria ini soal cinta. Sesederhana aku yang ternyata mulai jatuh hati padanya.

"May, lo mau?"

Aku menunduk, menatap tajam permainan jemari Panji di atas jemariku. Hal begini tidaklah mudah aku mengerti. Sementara menolak sama saja berujung menghindar dari Panji dan itu sama sulitnya dengan menerima.

"Lo tahu, gue hanya mampu mengajak lo. Enggak dengan cewek lain, jika itu yang lo ragukan," ucap Panji. Aku bisa saja percaya. Hanya saja, kenapa aku?

"Kenapa gue?"

"Gue nggak pernah seyakin ini. bersama lo, gue yakin."

Aku ingin menertawakan Panji. Tawaran dan segala bujuk rayunya seakan mengajak kami hidup dalam tenda komitmen. Hanya saja hal perlu di beri garis bawah adalah, ini bukan tawaran menikah. Ini tawaran hidup bersama tanpa ikatan selain rasa saling membutuhkan. 

"Gue nggak akan memaksa. Lo bisa memikirkannya, lagipula ini harus berdasarkan kesepakatan kita."

Aku menatap Panji dalam-dalam. Kenyamanan yang dia ciptakan nyatanya membuatku luluh. Sikapku yang sering kali bisa tegas pada pria justru berakhir lemah di hadapan Panji.

"Pikirkan ini baik-baik, May. Kita bisa saja saling menyakiti. Tapi ... hidup berdua tanpa ikatan akan membuat kita tidak mudah menyakiti. Iya, kan?"

"Kenapa bisa begitu?"

"Simpel saja. Manusia cenderung saling menyakiti usai berada di wilayahnya. Wilayah yang dia rasa miliknya. Seperti rumah tangga. Suami istri bisa merasa paling benar dan berujung menyakiti. Right?"

What?

"Lo bisa ya berpikir seburuk itu? Nikah, kan nggak seburuk itu, Nji."

Panji menggeleng. "Nikah seburuk itu, May."

Aku mendengkus. Memalingkan wajah dari hadapan Panji. 

"Lo cinta gue?" tanyaku pelan.

Bukan jawaban yang aku terima, melainkan pelukan Panji. "Gue nyaman sama lo."

"Take your time. Ini bukan keputusan mudah. Apa pun jawaban lo, gue akan terima. Toh, biarpun lo nggak bersedia, gue tetap selalu ada buat lo."

Ya. Selalu ada buat aku. Dan tololnya, aku memutuskan mengangguk, menerima tawaran Panji. Mengiyakan seluruh permintaannya sambil pelan-pelan menyusun langkah supaya gagasannya bisa berubah. Supaya prinsip hidupnya bisa sama denganku. Sampai aku sadar, satu tahun berlalu ... aku tidak bisa mengubah Panji.

Jakarta itu indah, bisa merubah siapa pun. bisa jadi teman jatuh cinta, teman patah hati, dan teman mengobati diri. Tapi, barangkali dari seluruh orang yang bisa diubah oleh Jakarta, Panji salah satu yang tidak bisa. Jika Jakarta tidak bisa, aku sepertinya juga tidak bisa. Namun, bolehkah aku terus berharap hubungan ini lebih dari sekadar teman mengobrol, teman tidur, dan teman bersenang-senang? I mean, teman hidup, yang artinya menikah. 

***

PANJI

"Kenapa?" tanya gue saat melihat kening Maya berkerut dalam-dalam. Serius banget cewek ini.

Gue baru sampai apartemen kurang dari satu jam yang lalu. Menemukan Maya masih sibuk menonton televisi. Begitu beres mandi, gue menyusul Maya yang sudah tiduran di ranjang.

Dari penglihatan gue, dia sudah akan tidur. Wajahnya mengkilap, tanda krim malam sudah melekat. Gue ikut baring di sampingnya. Sementara itu, Maya menunjukkan layar ponselnya.

"Ini, Wendi kasih undangan tujuh bulanan anaknya."

I see, Wendi. Salah satu rekan kantor Maya. Dia sering bercerita. 

Gue merapat pada Maya, supaya bisa melihat undangan digital yang di kirim via grup w******p tersebut.

"Dateng?"

"Iyalah. Tapi heran deh, kenapa juga harus di Bogor. Rumah mertuanya kali ya," Gerutu Maya. 

Gue tertawa. Maya dan seluruh protesnya, always make me laugh.

"Kenapa? Pengin di temenin?"

Dengkusan Maya terdengar.

"Eh, apa itu? Ngeremehin?" goda gue. 

Maya menatap gue. Ekspresinya terbaca seperti benar-benar meremehkan gue. 

"Kayak mau ikut beneran aja."

Gue memeluk Maya dari samping. Hangat tubuh kami menyatu. "Em, kapan sih? "

"Weekend besok. "

Maya terdengar ogah-ogahan membalas, sejujurnya gue memang hanya ingin menggoda saja. Namun, sikap Maya bikin gue tertantang. 

"Ya udah, weekend ya, boleh. Gimana kalau sekalian liburan?"

Nah, Maya justru terbahak. "Seriously? Nggak percaya."

Dia mencibir gue? Okay! 

"Seriuslah."

Kali ini, bisa gue lihat sorot mata Maya seakan penuy tanda tanya. Mengacak rambutnya gemas, gue sekalian mengecup pipinya. 

"Why?"

"Bukan lo banget lho."

"Gitu banget. Gue serius."

Maya mendorong gue, sehingga kami memiliki jarak. Apa lagi, coba? 

"Ketemu temen gue?"

Gue mengangguk. 

"Hubungan kita bakal ketahuan."

Lagi. Gue mengangguk. 

"Memangnya, selama ini kita menyembunyikan, ya?"

"Ah. Itu, maksud gue..."

Maya terlihat kukuk, dan gue justru curiga. 

"Ada yang lo sembunyiin dari gue?"

Maya menggeleng. Cepat sekali. "Nggak. Oke, lo ikut. Tapi jangan banyak bicara. oke?"

Gue tertawa. Lantas segera memeluk Maya. "Siap, Kapten!"

Diam-diam, gue mempertanyakan, kenapa Maya terlihat begitu ketakutan? 

***

MAYA

"Rame juga, ya, May," seru Panji begitu kami sampai di depan rumah Wendi. 

To be honest, aku masih tidak percaya membawa Panji di hadapan seluruh teman kantor. Pasalnya, tidak ada yang mengetahui hubungan kami. Ini yang pertama dan rasanya akan bikin heboh. Menahan degup dada, aku berusaha menghalau perasaan bahagia dan penuh harap. Ini... Berita bagus, kan? 

"May."

Aku tergeragap. "Eh? Gimana?"

"Gue ajak ngomong malah melamun. Itu, rumah Wendi rame banget."

Aku berdecak. Konsentrasiku memang sedikit, eh banyak terpecah, sih. Apa lagi kalau bukan karena pria yang duduk di depan kemudian tersebut. 

"Namanya juga acara anak pertama, Nji. Nikah udah bertahun-tahun, begitu tahu hamil, apa yang akan lo lakukan, coba?"

Tawa Panji yang tersembur dan debar dadaku karena sudah salah bicara seketika membuatku lemas. Shit! Panji nggak sadar, kan?

"May, lo sinting, ya. Gue kan belum pernah punya anak. Gue juga nggak bisa hamil kali, " katanya. Terdengar bergurau dan aku mampu bersyukur.

"Ah, iya, ya," responsku pelan.

Panji menyentuh jemariku, membuatku mendongak. Sekuatnya aku berusaha menetralkan pandangan.

"Buruan turun, yuk, gue nggak sabar makan di sana hehe. Belum sarapan ini," ujarnya sambil mengelus perut.

Aku mengangguk, guna menghindar, cepat-cepat keluar mobil, di susul Panji yang berjalan di belakangku. Panji benar, rumah Wendi sangat ramai, sepertinya seluruh keluarga Wendi dan suaminya datang kemari, belum lagi tetangga dan teman-teman. Ah, si Wendi itu memang suka sekali hal heboh, lebih heboh dariku malah. Ini kalau aku jadi Si Bayi, pusing kali, ya, melihat ramainya rumah ini. untung rumahnya besar, gimana kalau hanya sebesar apartemen Panji coba? Ah, aku tidak bisa membayangkan.

"May!"

Aku melambaikan tangan pada Wendi yang baru saja memanggil. Sudah ada Bos Mega, Marsi dan Andreas. 

Bagus. Tenang, May. Jangan panik. Anggap ini bukan pentas seni. 

"Gue telat, ya?" sambutku begitu berada di hadapan mereka. 

Wendi tertawa. "Nggak juga, cuma udah selesai acara siramannya, tinggal ngobrol-ngobrol doang."

Hening menerjang. Merekan menatapku seakan penasaran dengan siapa yang aku bawa. 

"Ah, ya, kenalin. Ini... Panji." Aku harus lebih cepat, kan? 

Panji mengangsurkan tangannya. Menyalami satu persatu dari mereka sambil memperkenalkan diri dengan nama, "Panji."

Akun langsung waspada saat Wendi dan Marsi bisa bersamaan bersedekap. Mati. Jangan sampai mereka mulai memberi banyak pertanyaan. 

"Pacarnya Maya, ya?" tanya Marsi. 

Duh, Mar. Mentang-mentang udah taken. Harus banget ya tanyanya begitu? 

Panji tertawa. Sementara aku menahan ringisan.

"Kalau sudah di bawa biasanya pacar," timpal Andreas. Aku langsung melotot pada pria itu. Nyebelin, deh. 

Salah ternyata aku membawa Panji. Aku belum siap. 

"Iya, pacarnya Maya."

Aku makin melotot. Kali ini pada pria di sampingku. 

"Wah, pinter ya, udah punya pacar tapi enggak kabar-kabar." Ini Andreas niat banget nyindirnya? 

"Apa sih. Suka-suka gue, dong," balas ku berusaha tenang. 

"Oke-oke, tenang. Udah gede, nggak akan kita introgasi berlebih, May," seru Wendi sambil tertawa. 

Aku justru makin cemberut.

"Suami lo mana?" tanyaku mengalihkan.

"Oh itu." Wendi menunjuk sosok pria berpakaian rapi yang tengah berjalan kemari. 

"Yang!" Wendi memanggil suaminya.

Saat dia berdiri di depanku, aku segera mengangsurkan tangan. "Selamat, Mas," kataku.

"Makasih, ya, aku doakan kalian cepet nyusul dan disegerakan momongannya."

Waduh. Ini suami dan istri kok kompak bikin aku kebat-kebit, sih. Aku melirik Panji yang hanya menggaruh rambutnya. Sementara Marsi sudah enak cekikikan. Dan Andreas, ah, pria itu nggak bisa diandalkan. Pasti sudah menyiapkan ledekan buatku.

Dan semoga Panji bisa memahami situasi ini. Aku hanya bisa tertawa pelan, mau bilang semoga juga takut salah. Dia lebih baik. Iya, sangat sangat lebih baik.

"Oh ya, yuk makan-makan dulu. kalian laper, kan?"

Oh, thanks Wen sudah mengalihkan pembicaraan. 

"Good. Gue lapar banget," kataku sambil mengelus perut.

Wendi berdecih. "Dasar, yuk, gue anter ambil makan."

Aku langsung menarik Panji sambil tertawa, lihat, matanya sudah berninar kalau diajak makan. Salah sendiri tidak sarapan, sampai sini kelaparan, kan. 

Panji benar, di sini ramai sekali. Aku sampai bisa mengobrol dengan beberapa tamu yang bertanya perihal diriku. Datang kemari seperti pulang ke rumah, bedanya tidak ada pertanyaan kapan menikah. Ah, aku jadi rindu ibu dan bapak. Sudah lama tidak pulang demi menghindar dari pertanyaan dan kenyataan jika aku belum bisa membawa calon mantu buat mereka. Barangkali kalau sampai bapak dan ibu tahu hubunganku dengan Panji, pulang-pulang aku bisa di penggal kali. Hha, membayangkannya sjaa sudah bikin mules.

"May, satainya enak banget," bisik Panji.

Nah, dia itu kalau makan memang tidak tanggung-tanggung.

Aku bersedekap, geleng-geleng melihat Panji yang masih sibuk mengunyah satai. "Habis berapa tusuk, lo?"

Dia nyengir. "Nggak terhitung."

Aku mendengkus, menahan tawa geli. "Pantes ya Mona malas ditemani kondangan. Lo isi perutnya nggak tanggung-tanggung, sih."

Eh, dia malah tertawa. "Lo tahu, namanya di kasih makan ya harus di makan semua."

"Buset! Nggak gitu cara mainnya, Peak!"

Panji merangkul bahuku setelah meletakkan piring satai yang sudah bersih, "Tapi gue mainnya gitu, gimana dong?" dia menaik-turunkan alisnya.

"Dasar! Dah, gue mau cari minum," kataku sambil menyikut perutnya dan beranjak. Lantas harus mendengar tawanya yang masih menyembur. Sinting banget dia. Pokoknya kalau dia masih mau makan, aku tidak mau dekat-dekat. Malu tahu!

***

MAYA

Panji sudah melakukan reservasi penginapan sejak kemarin. Begitu kami pamit pulang pada Wendi dan keluarga juga rekanku lainnya, mobil Panji segera meluncur ke penginapan. Setelah dihitung-hitung ternyata tidak terlalu jauh, hanya perlu waktu sekitar satu jam saja, I guess, kalau tidak macet tentu bisa lebih cepat.

"Nji, perut Wendi lucu, ya," kataku membuka pembicaraan.

Dari tempatnya duduk, Panji tertawa. "Dia hamil lho," ungkap Panji.

Aku mengangguk. "Iya, gue jadi penasaran, gimana... rasanya hamil."

Aku tahu ini seperti masuk ke dalam kandang macan. Namun, entah kenapa aku ingin merajut seluruh harapan lewat pertanyaan barusan. Pola menyetir Panji masih sama, dia tidak terlihat terkejut atau sampai mengonfirmasi pertanyaanku. Hanya saja dia tidak begitu saja memberiku jawaban.

"Yang benar aja, May. Hamil nggak seenak yang lo bayangin lho."

"Memang yang gue bayangin gimana?" tembakku mantap.

"Yang enak-enak. Dapat perhatian dan lain sebagainya."

Aku terdiam. Lagi-lagi tidak langsung memberi jawaban. Ada setitik kesal mendengar pernyataan Panji barusan. 

"Gue tahu kok hamil nggak seenak itu. Tapi pasti menyenangkan."

Panji sedikit menoleh kemari, mungkin untuk meyakinkanku jika sejak dulu sampai sekarang, hamil satu paket dengan pernikahan. 

"Banyak lho yang enggak menikah tapi punya anak," sambungku mencoba santai.

"Dan kalau mereka berpisah, anak akan jadi beban."

"Kok ngomongnya gitu, sih? Kesannya barang aja," keluhku.

"Bukan gitu Sayang. Maksud gue. Coba lo pikir, sudah sepakat hidup berdua. Kenapa harus ada anak?"

"Ya biar ramailah."

"Memangnya berdua enggak cukup ramai, May?" Kendati suara lembut Panji terdengar, perasaan kesal makin menghubungi batinku sendiri.

"Enggak," tegasku.

"Kalau lo nggak suka analogi beban. Okay, gini aja, kita sama-sama tahu lo sibuk kerja sampai sore, gue juga. Apalagi kalau dapat shift malam dan dinas ke luar kota. Kalau kita punya anak, apa jadinya anak kita? Bukannya justru bikin dia nggak terawat, kan? Yang ujungnya kita akan melaknatnya jadi beban. Right?"

Panji mengatakannya dengan nada yang begitu santai. Namun rasanya cukup menusuk dada ini. semudah itukah menjadikan anak seperti beban?

"Kita kan bisa cari baby sister, Nji? Banyak kemungkinan yang bisa kita pakai."

"Kenapa mendadak pengin anak?"

"Ya pengin aja."

"Lo nggak sedang mencoba mencari peruntungan mengikat gue dalam pernikahan dengan adanya anak, kan?"

Aku menoleh pada Panji yang masih fokus menyetir.

"Gue cuma pengin," ungkapku tegas.

"Kita sudah menyepakati ini bersama. Lo lupa?"

Aku tertawa pelan. Kesepakatan, ya? Panji benar. Kami berdiri di atas kesepakatan, bukan paksaan.

"Tapi, gue pikir kita bisa mencobanya, Nji. Lagipula, masa depan, siapa yang tahu?"

"Lo pasti capek, makanya ngelantur. Kita udah mau sampai ini."

Aku tertawa. Penuh sindiran. Entah kenapa aku kali ini tidak bisa satu frekuensi dengan Panji.

"Pulang," kataku tegas. 

Panji langsung menoleh. Tatapannya terlihat kaget. 

"Maksudnya?"

Aku memalingkan wajah. Lantas kembali bebersuara. "Balik ke apartemen. Gue nggak mau ke penginapan."

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status