Dua hari selepas media memberitakan Alex yang diam-diam telah menikah, Alex berencana membawa Lia pulang untuk menghindari adanya pemberitaan tambahan dari media.
Selama dua hari itu, baik Alex maupun Lia sama sekali tidak pernah meninggalkan hotel. Dan sekarang, mereka harus keluar pada larut malam dengan menggunakan jalur khusus untuk menghindari wartawan.
Sejak dari kamar yang mereka huni, Alex terlihat cukup kalang kabut, meminta Resham sebagai pengawal yang membawa mobil untuk mengantar mereka pulang.
Di sisi lain, Lia sendiri begitu lemas dengan wajah yang pucat dan tetesan keringat yang membanjiri pelipisnya. Sejak berada di hotel, pikiran Lia terpecah antara nasibnya jika sampai identitasnya sebagai istri Alex tersebar dan keadaan anaknya saat ini yang entah bagaimana.
Karena terfokus pada perjalanan pulangnya, Alex tidak menyadari kondisi Lia. Beruntungnya, Resham berhasil membawa kedua atasannya meninggalkan hotel bintang 5 itu meski ada beberapa wartawan yang sengaja tinggal di depan bangunan tersebut.
Resham yang tidak sengaja melihat melalui cermin dashboard berusaha memastikan kondisi Lia dengan baik. "Tuan, apa nyonya baik baik saja?"
Barulah setelah Resham mengajukan tanya, Alex menoleh menatap Lia dalam cahaya yang minim.
"Kamu sakit?" Alex bertanya dengan tangan yang menyentuh dahi Lia. "Atau kamu teringat anakmu? Toh kita sudah menyewa babysitter untuk itu."
Lia berusaha menghindari tangan Alex meski gagal dan menjawab seadanya. "Tidak, aku━aku baik baik saja."
Alex menghela nafas, menemukan Lia yang berbohong di saat-saat genting seperti ini.
Resham lalu memberi usul, "Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit?"
Alex menggeleng dengan cepat tanpa mempertimbangkan ide Resham. "Kita tidak bisa muncul meski ini sudah malam, Resham. Bisa saja ada yang menyebarkan identitas Lia. Panggil dokter ke rumah saja.”
"Baik, tuan." Resham tidak lagi melanjutkan pembicaraan.
Lia sekadar menyimak percakapan di antara Alex dan Resham, merasakan tubuhnya semakin kedinginan meski suhu di sekitarnya tidak sedingin yang Lia bayangkan.
Sepertinya, jadwal makan Lia yang berantakan, sikap Alex yang seenaknya, hingga beban pikiran dan ketakutan Lia tentang pemberitaan media membuat kondisinya menurun di luar perkiraan.
**
Hujan di pagi hari menyambut Lia yang baru saja membuka matanya. Lia merasakan dirinya sedikit lebih baik dari semalam, dan menyadari jika tangannya sedang terhubung dengan selang infus.
Baru saja Lia hendak bangun, Bibi Anna, salah satu pelayan senior di rumah Alex yang telah merawat Alex sejak kecil, muncul bersama Alesia di dalam gendongannya. "Lia, kamu berbaring saja dan biarkan tubuhmu beristirahat penuh. Sarapanmu akan dibawakan ke sini.”
Lia mengangguk ringan, melihat Alesia yang sangat tenang bersama bibi. "Bi, apa Alesia rewel?"
Bibi dengan tenang menjawab Lia. "Di hari pernikahanmu sampai kemarin, dia sama sekali tidak rewel. Barulah semalam, dia menangis. Mungkin dia tahu kondisimu sedang sakit, Lia."
Roman wajah Lia menjadi murung. "Maafkan aku, bi."
Dengan cepat bibi menggeleng. "Kamu juga tidak mau kondisimu menurun seperti ini. Fokuslah untuk sembuh, karena Alesia juga sudah lebih baik."
"Terima kasih, Bi. Oh ya, bagaimana dengan Alex? Apa dia sudah berangkat kerja?"
Bibi menurunkan Alesia untuk terbaring di samping Lia, kemudian meraih sebuah remote untuk menyalakan televisi yang berada di dalam kamar Lia.
Selagi menunggu benda persegi panjang besar yang canggih itu menyala, bibi berkata. "Aku tidak tahu apa ini bisa disebut bekerja. Aku mau kamu sendiri yang melihatnya."
Lia melihat televisi, menampilkan berita terkini yang meliput sebuah pers yang diadakan oleh Alexander Adarsa. Mata Lia nyaris terbelalak.
Melihat respon Lia, bibi menambahkan ucapannya. "Dia mengadakan pers ini untuk meluruskan berita yang terus muncul dan terus mengejar keberadaan kalian."
Tatapan berubah Lia menjadi sayu, melihat layar yang menunjukkan keberadaan Alex di tengah-tengah pengawalan dan para wartawan.
Dengan gagah, Alexander Adarsa buka suara perihal pernikahannya yang sangat tiba-tiba dan tidak dipublikasikan.
"Memang benar, saya telah melangsungkan pernikahan dengan seorang yang wanita, yang tentunya … sangat saya cintai," jelas Alex untuk menjawab pertanyaan utama itu.
Mendengar Alex menyebutkan kata mencintai, membuat Lia merasakan getaran yang aneh di dalam benaknya. Lia berusaha menganggap itu omong kosong, lalu kembali fokus pada layar.
Bagi orang lain yang melihatnya, mereka pasti berpikir jika Alex adalah suami yang penyayang. Namun kenyataannya, itu hanya untuk menutup pernikahan palsunya.
"Saya memutuskan merahasiakan pernikahan ini dan istri sah saya, untuk terus menjaga privasi keluarga kami nantinya."
Lalu, seorang wartawan mengajukan pertanyaan lain. "Apa istri Anda adalah seseorang yang berasal dari keluarga konglomerat juga, atau mungkin berasal dari dunia hiburan?"
Alex terdiam sejenak, kemudian melanjutkan. "Saya tidak bisa membahas hal apa pun yang berkaitan dengan istri saya untuk sekarang. Saya masih sepakat untuk mengumumkan pernikahan saja."
"Apa Anda benar-benar tidak bisa membahasnya sedikit pun?"
Dengan tegas Alex menjawabnya. "Ya, ini merupakan hal penting yang harus saya jaga. Dan siapa saja yang berani melanggar privasi keluarga saya, maka saya akan mengambil tindakan hukum, terima kasih." Tutup Alex atas pembahasan pernikahannya yang mendadak itu.
Sorot lampu dari jepretan kamera semakin banyak, para pengawal berusaha melindungi Alex.
Lia yang masih menatap layar menjadi risau, menjaga privasi bahkan sekadar merencanakan itu semua ternyata tidak mudah. Secara tidak sadar, Lia menggigiti kuku ibu jarinya karena cemas.
Pikirannya terus berlarian tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di hari esok.
Bibi Anna menemukan Lia yang kembali khawatir, dan beliau akhirnya berusaha menenangkan Lia. "Semuanya akan baik-baik saja, Lia. Kamu akan baik-baik saja, percaya aku."
Ucapan Bibi Anna merupakan salah satu harapan Lia saat ini, mengingat Alex sering kali membuat Lia linglung dan bingung. Alex yang arogan itu menjengkelkan hanya enggan membuat namanya buruk di publik.
Jika bukan karena ingin menyelamatkan kehidupan dan anaknya yang tidak ingin diakui oleh ayah kandungnya, Lia tidak akan berani bertindak sejauh ini.
Tok tok tok!
Lia tersadar dari pemikirannya karena seseorang yang mungkin adalah asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar Lia.
"Ya, silahkan masuk," ujar Lia berusaha mengeraskan suaranya.
Seorang asisten kemudian masuk, mengundang tanya dari Lia. "Ada apa, Hani?"
"Ada yang datang, nyonya," kata asisten yang bernama Hani itu membuat Lia dan bibi menatap satu sama lain.
Lia kembali bertanya, "apa itu rekan Alex?"
Asisten menggeleng. "Itu … itu Tuan Andreas, Nyonya."
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in