Mata Lia terbelalak, mendapati Tuan Andreas Adarsa atau ayah dari Alex datang.
Lia berniat bangkit tetapi Bibi Anna segera menahannya. "Tidak perlu, Lia. Alex yang memberitahukan ayahnya kalau kamu sedang sakit."
"Tapi, Bi━"
Ucapan Lia segera disergah lagi oleh Bibi Anna. "Dengarkan dan percaya aku, karena Tuan Andreas akan mengerti keadaanmu. Tenang saja, Lia."
Lia menghela nafas pasrah. "Baik jika seperti itu, Bi."
Akhirnya, Bibi Anna dan Hani keluar dari dalam kamar Lia untuk menyambut Tuan Andreas yang baru saja tiba. Lia hanya bisa menatap Alesia yang tidur dan cukup berjarak darinya.
Lia kembali menyadari jika Alesia semakin lucu, semakin membuat Lia dapat menerima keadaan dan takdir ini. Lia dibuat untuk tak mudah menyerah dan meyakinkan diri untuk bertahan hingga akhir.
Saat Lia tersenyum menatap Alesia, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Tuan Andreas muncul dengan wajah datar sama seperti anaknya, berjalan dalam diam dan menghampiri sang menantu.
"Apa sakitmu parah?" tanya Tuan Andreas.
"Mu-mungkin ini hanya karena aku kelelahan, Ayah." Jawab Lia yang langsung mendapatkan balasan dari tuan Andreas. "Kenapa kamu bisa tidur di kamar tamu ini?"
Deg!
Di balik selimut, diam-diam Lia mengepalkan kedua tangannya.
Selama ini, orang tua Alex memang tidak tahu perihal kondisi pernikahan Lia dan Alex, termasuk tentang mereka yang tidur secara terpisah.
Lia berusaha mencari alasan hingga terpikirkan sesuatu. "Alex sedang memikirkan dekorasi baru untuk kamar yang akan menjadi kamar kami nantinya, Ayah."
Tuan Andreas terdiam sejenak, lalu mengangguk paham. "Jika kamu sakit, setidaknya jangan terlalu sering dengan cucuku. Aku khawatir jika dia akan ikut tertular penyakit."
Lia menjadi kelu dengan menggigit bibir bawahnya. Apakah ini pertanda jika Tuan Andreas yang mengira Alesia adalah cucu kandungnya akan bersikap lebih baik pada bayi itu dibanding kepada Lia dan Alex?
Kedatangan Tuan Andreas memicu kecemasan Lia, tetapi Lia berusaha terlihat lebih baik-baik saja meski sang mertua lebih fokus pada Alesia.
Meski begitu, Lia dibuat membatin.
'Bagaimana kalau nanti kontrak di antara aku dan Alex berakhir? Apa dia akan membenci anakku juga?'
Beberapa jam kemudian, Alex akhirnya kembali ke rumah. Tuan Andreas yang sedang menggendong Alesia menatap Alex sedikit dingin. "Bagaimana dengan pers dan tanggapan orang-orang?"
"Tidak terlalu buruk dan tidak terlalu baik. Tapi ayah tenang saja, aku akan berusaha menghadapi semuanya," jelas Alex dengan tenang. "Aku akan bisa mengatasinya, Ayah."
"Sesuai dengan yang kamu katakan, aku tidak ingin anak ini sampai diketahui publik."
Dahi Alex mengernyit mendengar ucapan ayahnya. "Apa Ayah tidak suka dengan anak itu?"
Tuan Andreas mengendus kecil. "Kamu hanya akan membuatnya terancam jika publik tahu kamu sudah punya anak juga. Kamu harus bertanggung jawab untuk apa yang sudah kamu mulai."
Alex terdiam, meski ayahnya tidak mengetahui rencana Alex yang sebenarnya, tetapi Alex menjadi terfokus dengan pernikahan kontraknya dengan Lia. Alex mengangguk, dan menjawab ucapan ayahnya seperlunya.
"Baik, Ayah. Kalau begitu aku akan melihat Lia di kamar."
"Tunggu." Tuan Andreas mencegat Alex dengan suaranya untuk kembali bertanya. "Ada apa dengan kamarmu?"
Satu alis alex terangkat. "Ada apa? Aku rasa kamarku baik-baik saja."
"Lia bilang, kalian harus tidur di kamar tamu karena kamarmu akan di dekorasi ulang. Ayah ke sini untuk menjenguknya, dan melihat dia tidur di kamar tamu yang membuat aku heran."
Penjelasan tuan Andreas membuat Alex menelan salivanya cukup berat.
Ah, hal sesederhana ini terlewatkan darinya!
Alex berusaha menutup kebohongannya yang bisa saja mencurigakan.
"Ah, i–itu benar. Sepertinya ahli dekorasi akan datang lusa," ucap Alex seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku akan ke kamar dulu, Ayah."
Tuan Andreas berdehem sejenak, mengamati Alesia yang masih terjaga dan sesekali tersenyum. Sedangkan Alex bergegas pergi, masuk ke kamar Lia dan mengunci pintunya.
Lia yang sedang memainkan ponselnya dikejutkan akan kehadiran Alex yang mendadak. Lia berusaha bangkit untuk duduk dan melempar tanya. "Ada apa dengan raut wajahmu?"
"Kenapa kamu mengatakan kepada ayah jika kamarku akan didekorasi ulang?" Suara Alex nyaris berbisik.
Lia reflek menjawab, "lalu aku harus mengatakan apa untuk menjawab pertanyaannya tentang diriku yang menghuni kamar tamu?"
Nafas Alex terhembus cukup kasar, dan tidak dapat membalas apa apa. Pria itu lantas bersandar pada dinding di seberang ranjang Lia. "Seharusnya kamu meneleponku dulu, Lia."
"Maksudnya aku harus meneleponmu dulu sebelum menjawab ayah?" Dahi Lia mengernyit. "Lagi pula aku tak tahu jika dia akan berkunjung, aku juga tak memiliki akses untuk memasuki kamarmu."
"Lain kali, aku tidak ingin menemukan kecerobohanmu. Karena bisa saja kamu membuat rencana kita terbongkar,” kata Alex lagi yang justru membuat Lia menjadi kesal karena Alex kembali menyalahkan dirinya.
“Kenapa kamu menyalahkan aku? Seharusnya, kamu juga sudah memikirkan hal seperti ini sebelumnya.” Lia benar-benar merasa kesal. Selalu saja Alex menyalahkannya.
Bukankah seharusnya Alex berterima kasih kepada Lia karena bisa memberi alasan yang cukup logis?
“Apa kamu pikir aku punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal kecil seperti itu?” sanggah Alex tak mau kalah.
“Lalu kamu mau apa, Alex? Semua sudah terlanjur dikatakan. Toh, ayahmu juga masih bisa percaya dengan alasan itu.” Lia menghela napas berat.
“Apa kamu tidak berpikir kalau ayahku bisa saja masuk ke kamarku? Dia jelas tahu akses kamarku. Kalau itu terjadi, apa kamu mau bertanggung jawab?” Alex menatap Lia dengan gusar.
Namun, kondisi Lia tidak mendukung untuk melakukan perdebatan, yang membuat Lia akhirnya mengalah dari Alex.
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in