Hari demi hari berganti, Natalia Nawasena mulai pulih pasca sakit selama kurang lebih 3 hari. Pagi ini, Lia bangun lebih awal dan menemukan Bibi Anna telah mempersiapkan kebutuhan untuk Alesia hari ini.
Seperti hari hari sebelumnya, Lia hanya boleh menghabiskan waktu yang membosankan di rumah Alex. Lia tidak pernah menginjakkan kaki ke luar kediaman ini apalagi saat ini pernikahannya sudah terendus oleh publik.
Saat Lia berjalan menuju ruang makan untuk sarapan, Alex juga muncul seraya merapikan kerah kemejanya. Tidak ada tegur sapa di antara mereka, keduanya menjadikan situasi terasa hampa. Bahkan saat keduanya mulai sarapan, masih terasa sangat sunyi.
Di sela-sela sarapannya, Alex dibuat kewalahan dengan dasi yang hendak dia kenakan hari ini. Alex tidak paham, bahan dari dasinya hari ini terasa kaku dan sulit untuk dibentuk.
Awalnya Lia ingin cuek, tetapi karena Alex semakin membuat dasinya tidak berbentuk, Lia meletakkan alat makannya lalu bangkit menghampiri Alex.
Pria itu terkejut saat Lia menyentuh dasi yang masih bertengger di tubuhnya. "Apa yang ingin kamu–"
"Diamlah." Lia nampak telaten membentuk dasi pada dada bidang Alex, mengikis jarak di antara mereka hingga mereka dapat merasakan deru nafas satu sama lain.
Alex merasakan sesuatu membuncah dalam dirinya tatkala Lia memastikan dasi bagian belakang tengkuknya masuk ke dalam kerah kemejanya. Wangi segar wanita itu menyeruak meski ini masih pagi.
Hal yang sama dirasakan Lia, meski dia berhasil menyembunyikan rasa aneh itu di dalam dirinya. Rasa aneh yang dapat menggelitik perutnya jika berdekatan dengan Alex.
Akhirnya Lia berhasil membantu Alex dengan dasi tersebut, Lia lalu kembali ke kursinya dan melanjutkan sarapannya. Dengan bariton yang terdengar datar dan singkat, Alex berkata, "Thanks."
Setidaknya Alex bisa mengucapkan satu kata terima kasih meski dalam versi yang begitu singkat.
Ketika keduanya menikmati sarapan masing-masing, ponsel Lia tiba-tiba berdering. Muncul sebuah nomor asing, membuat Lia mengernyitkan dahi.
Alex sendiri berusaha terlihat tidak peduli meski dirinya dibuat penasaran. Lia pun menggeser tombol hijau di layar ponselnya. "Halo."
"Ah, ternyata kamu belum mengganti nomor ponselmu?"
Lia reflek termangu menemukan suara Jacob Sagara, ayah biologis dari anaknya yang tiba-tiba menelepon. Raut wajah cemas Lia tentunya mengundang perhatian Alex yang semakin penasaran.
"Ada apa?" tanya Alex, tetapi Lia tidak menjawab.
"Ternyata selama ini kamu sudah menikah? Dasar wanita murahan."
Alex dapat menemukan kepanikan dalam wajah Lia yang baru saja menerima telepon dari seseorang. Lia segera meneguk segelas air mineral dan bangkit, sepertinya ingin meninggalkan ruang makan.
"Kamu mau ke mana—" pertanyaan Alex tidak selesai karena Lia tidak menggubris Alex sama sekali. Alex mengernyitkan dahinya, melihat gelagat aneh dari wanita tersebut.
Sementara Lia bergegas masuk ke dalam kamar kecil dan mengunci pintunya. Lia pun kembali pada sambungan telepon. "Mau apa kamu, Jac? Kamu sudah mengatakan jika kamu tidak peduli denganku."
"Hahaha, jadi sekarang kamu sudah sangat sombong karena menikah dengan orang penting?"
"Apa maksudmu?" Lia masih berusaha menutupi pernikahannya.
"Ternyata kamu pembohong dan murahan."
Lia yang kesal dengan cepat memotong pembicaraan Jacob. "Kamu sendiri yang tidak mau lagi bertanggung jawab, dan kenapa sekarang kamu seolah mengatur hidupku?"
"Karena kamu tidak pantas menikah dengan seorang petinggi!" sahut Jacob dengan penuh penekanan.
"Apa pedulimu, Jacob? Biarkan aku menjalani hidupku!" jawab Lia tak kalah tegas.
"Ah, ternyata ini sifat aslimu? Apa kamu akan memperalat semua pria yang bersamamu?"
"Tanya itu pada dirimu sendiri, sialan," tutup Lia dan menekan tombol merah pada layar ponselnya untuk memutuskan sambungan. Nafas Lia memburu, merasakan ketidaknyamanan akan hidupnya.
Lia tak mengerti mengapa Jacob kembali muncul seperti mengancamnya, padahal Jacob sendiri yang dulunya enggan mengakui darah dagingnya sendiri dan meremehkan kehidupan Lia usai melahirkan.
Dalam sedih dan cemasnya, Lia menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Lia berusaha menenangkan dirinya dan menguatkan mentalnya yang kembali dipermainkan oleh Jacob.
Setelah merasa cukup damai, Lia akhirnya berniat keluar dari kamar kecil. Saat langkahnya sudah mencapai pintu, Lia dikejutkan dengan kehadiran Alex. Keduanya saling menatap dalam sorot yang berbeda.
Alex menatap Lia tajam, sementara Lia menatap Alex dengan sendu dan gelisah. Tanpa basa-basi, Alex pun bertanya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Lia?"
"Ti–tidak ada."
Alex maju untuk terus memangkas jarak di antara mereka dan mendesak Lia.
"Beri tahu aku," desak Alex penuh penekanan.
Lia memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafas berat. "Beri aku waktu untuk menenangkan diriku, dan jika aku sudah siap, aku akan memberitahukannya pada kamu."
"Memangnya kenapa sampai aku harus menunggu?" Tanya Alex semakin mendekat hingga aroma tubuhnya dapat tercium dengan jelas pada Lia.
"Karena aku punya hak untuk ini, Alexander Adarsa." Balas Lia yang ikut memberi penekanan. "Selama aku tidak meninggalkan rumah ini, kamu tidak perlu panik."
Tangan Lia berusaha mendorong Alex, membebaskan dirinya dari tekanan yang ditimbulkan Alex. Lia hanya enggan tenggelam dalam beban pikiran yang akan membuatnya sakit.
* * *
Menikmati waktu dan berusaha beradaptasi, Lia kini mulai melalui 2 bulan pertamanya di kediaman Alex. Setidaknya Lia bisa merasakan kehangatan bersama Alesia dan Bibi Anna yang selalu ada di rumah bersamanya.
Di sisi lain, Alex disibukkan dengan bisnis akuisisi yang akan dijalankan oleh Andreas Adarsa, ayahnya. Maka dari itu, akhir-akhir ini Alex tak banyak memantau Lia dan Alesia.
Lia sendiri masih saja berusaha dihubungi ditelepon oleh Jacob, padahal pria yang kini terkenal sebagai aktor papan atas itu terlihat memiliki banyak proyek drama, pemotretan, hingga film. Tentu saja Lia tahu, karena Jacob merupakan orang yang populer dan selalu muncul di layar dan papan periklanan.
Sudah banyak cara Lia lakukan, tetapi gilanya, Jacob tetap mencoba mengusik Lia melalui nomor ponsel yang lain.
Saat ingin melangsungkan makan malam hari ini, Alex belum juga pulang. Sudah beberapa kali Alex terlambat pulang dari jam biasanya, namun Lia berusaha untuk tidak menggubris.
Ya, Lia sering kali merasa kosong karena kesibukan Alex. Meski keduanya hanya melangsungkan pernikahan kontrak, tetapi Lia merasa tidak ada yang berbeda jauh dari hidupnya yang dulu.
Hani, si kepala asisten, ikut terdiam menatap Lia. Hani sering kali menemukan Lia duduk dan melamun. Memang Hani tak tahu banyak hal mengenai majikannya tersebut, namun Hani merasa iba.
Lia tidak pernah terlihat bahagia selama melangsungkan pernikahannya.
"Nyonya, apa Nyonya baik baik saja?" tanya Hani membuyarkan lamunan Lia.
Lia reflek tersenyum pada Hani, "tentu saja."
"Apa … masakanku kurang enak hari ini?" kata Hani berhati-hati
Lia segera membantah. "Kamu selalu membuat masakan yang lezat, Hani."
Terdengar Hani menghela nafas lega. "Syukurlah jika seperti itu, Nyonya."
Lia mengangguk lalu bangkit setelah meneguk air mineral.
"Terima kasih ya," ucapnya lembut. Lia berniat mengangkat piring yang tadi dia gunakan, tetapi Hani segera mencegatnya.
"Jangan, Nyonya. Biar aku saja dan yang lainnya membereskan ini. Nyonya tidak perlu repot."
"Astaga, aku hanya ingin meletakkannya di wastafel." Balas Lia.
Hani menggeleng. "Ini sudah tugas kami, nyonya. Dan jika tuan Alex melihat nyonya masuk ke dapur dan melakukan hal seperti ini, makan tuan Alex akan marah."
Lia menggigit bibir bawahnya mendengar penuturan Hani. Jadi selain keluar rumah, Alex juga membatasinya untuk pergi ke ruangan lain?
Dengan berat hati, Lia memberikan piringnya pada Hani. "Sekali lagi terima kasih, Hani."
"Sama-sama, Nyonya."
Lia mengangguk lagi dan kini berbalik untuk kembali ke dalam kamarnya. Secara bersamaan, Alex muncul pertanda dia sudah kembali dari pekerjaannya. Alex tampak menggenggam sebuah tas plastik kecil.
Karena mereka saling berhadapan, maka mau tak mau Lia berhenti. Tanpa diduga, Alex menyodorkan tas plastik tersebut. "Gunakan ini dari sekarang, dan buang milikmu yang lama."
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in