Share

Gencatan Senjata

Rayya memasuki mobil yang sejak tadi pintunya sudah dibuka oleh Ryu. Gadis itu mengempaskan tubuhnya di jok dengan malas, lalu menutup pintu dengan kasar.

"Loppe Coffee Jalan Pramuka," ucapnya singkat.

Ryu menghidupkan mesin lalu melajukan mobil dengan tenang. Hari ini dia memakai pakaian yang berwarna senada dengan kaca mata hitamnya. Lelaki itu mencukur cambang sehingga menyisakan bayangan hitam di dagunya. 

Sepanjang perjalanan suasana begitu canggung. Ryu fokus menyetir tanpa menghidupkan musik, sementara Rayya sibuk bermain ponsel dan membalas pesan. Sejak kemarin inbox-nya penuh dan gadis itu malas membukanya.

"Cepetan dikit. Sandra udah nungguin dari tadi," titah Raya. 

Ryu membisu. Lelaki itu segera menambah kecepatan agar mereka segera sampai. Matanya masih fokus ke depan, kepada padatnya jalanan. Ini hari kerja dan mereka turun di waktu yang kurang tepat sehingga terjebak macet.

"Lo gak denger gue ngomong?" tanya Rayya. Sejak tadi Ryu hanya diam dan mengabaikan ucapannya. Sehingga membuat gadis itu kesal. 

Ryu menambah kecepatan lalu berbelok ke arah sebuah jalan. Lima belas menit berlalu, akhirnya mereka tiba di sebuah kafe yang cukup terkenal di kota ini. Letaknya memang agak jauh dari keramaian tetapi berdekatan dengan salah satu universitas ternama. 

"Gawat, Rayya!" ucap Sandra dengan panik ketika mereka bertemu.

"Ada apa?" tanya gadis itu penasaran. 

"Si Darren mau lapor polisi soal kejadian kemaren."

Sandra melirik ke arah pintu cafe, di mana Ryu sedang berdiri menunggu. Lelaki itu memilih untuk tidak masuk dan mengawasi dari luar. 

"Lo serius?"

"Iya. Dia mogok syuting sampai wajahnya benar-benar sembuh. Itu bikin pak Chanz marah besar," lanjut Sandra. 

"Terus gue harus gimana?" tanya Rayya panik. 

"Pak Chanz minta mediasi. Darren maunya bodyguard lo itu minta maaf."

"Syutingnya gimana?"

"Terpaksa isi skript diubah. Jadinya Darren dikeroyok karena nyelametin lo yang mau diculik."

Rayya menghela napas panjang menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gadis itu terdiam sejenak memikirkan apa tang harus dia lakukan selanjutnya.

"Ryu harus minta maaf sama Darren di depan semua kru. Kalau gak, dia mau batalin kontrak."

"Bukannya kalau batalin kontrak sepihak dia bakalan kena sanksi?"

"Uang segitu gak masalah buat Darren. Penghasilan dia dari tempat lain masih banyak. Lagian ini bukan soal uang, tapi harga diri."

Rayya kembali terdiam, lalu meneguk minuman yang dia pesan sampai habis. Tadinya gadis itu merasa lapar. Namun, kini selera makannya tiba-tiba saja hilang.

"Gue harus gimana?"

"Lo ngomong sama Ryu soal ini. Baik-baik aja biar dia gak tersinggung. Soalnya pas dia maksa lu pulang waktu itu. Gue kok agak ngeri liat tatapannya," bujuk Sandra.

Sebagai seorang manager, Sandra harusnya bekerja sama dengan Ryu. Namun, wanita itu belum berkenalan sama sekali. Tiba-tiba saja Rayya datang membawanya ke lokasi syuting.

"Ini semua gara-gara Papa," ucap Rayya geram.

"Jangan salahin bokap lo. Ini udah terlanjur kejadian. Jadi kita mesti bujuk Ryu buat minta maaf. Itu aja cukup."

"Gue gak yakin dia mau," ucap Rayya malas.

"Belum dicoba udah nyerah."

"Soalnya dari pagi dia gak mau ngomong sama gue."

"Bodyguard lo ngambek?" tanya Sandra heran. 

"Gak tau. Gue juga males mau nanyain."

Mereka asyik berbincang hingga pesanan tiba. Rayya langsung melahapnya karena sudah kelaparan sejak tadi. Sementara Sandra melirik ke arah pintu masuk berulang kali. Gadis itu merasa tertarik dengan tampilan Ryu yang jantan.

"Beb ...."

"Apaan?"

"Gimana kalau gue aja yang ngomong sama Ryu," usul Sandra.

"Yakin lo."

Sandra mengangguk sembari mengulum senyum.

"Yaudah kau gitu. Serah lo aja."

"Kayaknya ... gue naksir dia, deh." 

Sendok di tangan Rayya terjatuh. Gadis itu menatap sang manager dengan heran. Sementara itu, Sandra dengan cueknya melanjutkan makan sembari mengulum senyum senang.

*

[Jemput Rayya sekarang]

Begitulah pesan yang diterima Ryu ketika sedang menikmati makan malamnya di sebuah warung tenda pinggir jalan. Nasi goreng menjadi pilihan lelaki itu. Ditemani segelas teh hangat dan semangkuk kerupuk, dia melahapnya dengan cepat.

"Posisi kalian di mana?" tanya Ryu saat menelepon Sandra. Untuk keadaan darurat begini, dia tak mau berkirim pesan. Baginya menghubungi secara langsung itu lebih jelas.

"The Paradise," ucap Sandra menyebutkan sebuah nama kelab terkenal di kota ini.

Ryu mengumpat karena merasa telah dibohongi. Tenyata kedua gadis itu malah pergi bersenang-senang ke diskotik.

"Oke. Saya jalan ke sana. Tolong jagain Mbak Rayya."

Ryu menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu membayar semua tagihan. Lelaki itu mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Untunglah karena ini sudah tengah malam, sehingga jalanan cukup sepi.

"Bikin susah aja," umpat lelaki itu. 

Malam ini Rayya sedang menghadiri pesta di sebuah tempat. Ryu hanya diminta mengantarnya ke apartemen Sandra, lalu membiarkan dua gadis pergi tampa pengawalannya. 

Awalnya Ryu menolak. Namun, dia sadar akan statusnya yang hanya bawahan. Sehingga membiarkan majikannya betindak sesuka hati. 

Sebelum melepas Rayya, Ryu sudah berpesan kepada Sandra untuk menjaga gadis itu dan mnegabari jika terjadi sesuatu. Dia akan stand by di daerah sekitar tempat pesta, walaupun tak tahu posisi pastinya. Mungkin ke depannya, lelaki itu akan menggunakan alat penyadap ponsel sehingga bisa memantau dengan jelas.

Ryu bukanlah bodyguard yang sebenarnya. Dia hanya diminta untuk mengawal Rayya. Untungnya lelaki itu menguasai bela diri, juga terbiasa mengunakan senjata tajam. Bukan untuk melukai orang lain, tetapi mencari kayu di hutan. 

"Kalian di sebelah mana? Saya di depan."

Ryu memilih untuk tak masuk karena enggan melihat apa yang terjadi di dalam. Sebagai seorang lelaki muda tentu saja sempat terbesit di dalam dirinya untuk mengunjungi tempat seperti itu karena penasaran. Namun, nasihat Abahnya selalu teringiang-ngiang, sehingga dia tak mau melakukannya.

"Astagfirullah!" 

Ryu hanya bisa saat melihat Rayya dipapah oleh dua orang lelaki dalam keadaan teler dan sedang meracau. Sementara Sandra berjalan di belakangnya dengan perasaan bersalah. 

"Anterin dia pulang, ya."

Ryu menatap Sandra dengan geram. Sepertinya gadis itu mengabaikan pesannya tadi. Rayya bahkan telihat mabuk berat dengan rambut acak-acakan dan baju yang terbuka kancingnya di depan.

"Tadi udah gue larang, tapi dia nekat," jelas Sandra meminta maaf.

"Mulai besok kamu gak usah lagi jadi managernya Mbak Rayya. Saya bakalan ngomong sama Pak Wisnu," ancam Ryu.

"Tapi, gue--"

Sebelum Sandra sempat menyelesaikan ucapannya, Ryu sudah membopong Rayya menuju mobil. 

"Lepasin! Gue masih mau minum."

Rayya meracau sehingga membuat Ryu kewalahan. Akhirnya dia nekat menggendong gadis itu dan memasukkannya secara paksa ke mobil.

"Lo, jangan suka ngatur-ngatur gue. Dasar kacung!"

Setelah mengucapkan itu, Rayya langsung tak sadarkan diri. Dengan cepat Ryu menurunkan sandaran kursi dan memasangkan seat belt agar posisi gadis itu baik-baik saja. 

Ryu mengendarai mobil dengan pelan. Jika saat sendiri lelaki itu berani kebut-kebutan. Sebaliknya, saat bersama Rayya dia begitu hati-hati.

*

Ryu memencet bel berulang kali sehingga membuat security yang sedang terlelap menjadi terkejut dan terbangun. Lelaki itu memasukkan mobil ke garasi dan memapah Rayya menuju lantai atas, tempat di mana kamarnya berada. 

"Berat banget ini cewek," umpat Ryu. 

"Untung kamu pulang sama saya, Mbak. Coba kalau sama yang lain. Udah ditidurin kali," gumamnya.

Setelah mengucapkannya, Ryu tertegun sesaat. Tentu saja ini bukan pertama kalinya Rayya mabuk. Bisa saja gadis itu dibawa lelaki lain. Dadanya tiba-tiba saja sesak ketika membayangkan jika hal itu benar terjadi.

"Astagfirullah. Mbak Rayya bikin saya khawatir terus."

Tiba di kamar, Ryu merebahkan Rayya di ranjang dengan lembut. Lelaki itu ingin menggantikan bajunya, tetapi sungkan. Bibik yang bekerja di rumah ini akan pulang setiap jam 5 sore. Sehingga hanya ada mereka di rumah, bersama dua security yang bergantian jaga setiap 12 jam. 

Dalam kebimbangan akhirnya Ryu menarik selimut dan memasangkannya ke tubuh Rayya. Ketika dia hendak berbalik tiba-tiba tangannya dicekal.

"Sayang, sini."

Ryu terbelalak karena tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Lelaki itu hendak menghindar, ketika lengannya tiba-tiba saja ditarik. Dia terjatuh di ranjang dengan posisi menindih Raya. Lalu, gadis itu menyentuhnya dengan panas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status