Share

Permintaan

Beberapa bulan yang lalu. 

"Seratus hari saja, Ryu. Kalau gagal, kamu boleh pulang."

Ryu menatap wajah abahnya dengan lekat. Dalam hati lelaki itu ingin mengucapkan penolakan. Namun, lidahnya kelu tak dapat membantah. Jika dia mengiyakan, maka itu bertentangan dengan hati nurani. Nasibnya kini bagai simalakama, semua pilihan sama beratnya. 

Abahnya tak pernah meminta apa pun selama ini. Ryu bahkan diberikan banyak fasilitas untuk menggapai cita-cita. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Al Azhar Kairo, lelaki itu memilih pulang ke Indonesia. Menjadi tenaga pengajar di pondok tempat dia menimba ilmu selama enam tahun.

"Kenapa diam? Apa kamu menolak permintaan Abah?"

Ryu menunduk dan tak berani menjawab. Ada alasan di balik kepulangannya ke sini. Ada seorangg wanita yang telah menambat hatinya. Lelaki itu berencana akan mengajukan taaruf dalam waktu dekat, sampai tabungannya cukup. 

"Aku ndak berani bantah, Abah. Tapi rasanya ini sulit."

"Kamu belum mencoba, Nak."

"Apa ini memang harus dilakukan?"

Rahman mengangguk. Sebenarnya dia juga tak menginginkan ini terjadi. Namun, janjinya kepada Wisnu harus ditepati.

Dulu semasa bujang, Rahman pernah mengalami kecelakaan yang cukup parah. Sebagai seorang dengan ekonomi terbatas, lelaki itu hampir cacat seumur hidup karena tak punya biaya untuk operasi. 

Wisnu datang memberikan bantuan karena keluarga Rahman bekerja di rumah orang tuanya. Lelaki itu meminta papanya untuk membantu biaya operasi dengan menjaminkan mobil. Setelah pulih, mereka malah bersahabat karib.

Wisnu yang terlahir sebagai keluarga berada, membantu Rahman meneruskan cita-cita dengan melanjutkan pendidikan. Hingga lelaki menjadi tenaga pengajar di salah satu pondok pesantren dan menemukan jodohnya. 

Mereka berjanji akan selalu berkomunikasi walaupun terpisah jarak. Wisnu selalu memberikan kabar mengenai diri dan keluarganya. Bahkan ketika lelaki itu diangkat menjadi salah satu pejabat karena menang saat pemilihan umum.

Hingga kematian istrinya mengubah banyak hal. Putrinya tumbuh menjadi gadis urakan yang sulit untuk dikendalikan. Kehilangan ibu membuat perasaan Rayya terluka. Apalagi Wisnu pernah berencana untuk menikah lagi. Namun, niat baik itu urung karena putrinya tak terima. 

"Abah berhutang budi kepada Pak Wisnu. Beliau banyak membantu keluarga kita. Selama bertahun-tahun beliau hanya menanyakan kabar. Minggu lalu dia ngajak ketemu dan meminta bantuan."

Rahman mulai menceritakan secara detail apa saja hasil pertemuannya dengan Wisnu. Sahabatnya itu meminta agar Ryu menjadi pengawal Rayya, putrinya yang sedang terjebak ke dalam gemerlapnya dunia malam. 

Wisnu sudah beberapa kali membayar orang untuk menjaga Rayya, tetapi tidak berhasil. Semua mengundurkan diri dalam waktu beberapa bulan. Sikap Rayya yang kasar membuat banyak pengawalnya tak betah. 

"Apa tugasku hanya mengawal dia?"

"Pak Wisnu hanya meminta itu. Tapi Abah punya tugas lain yang harus kamu lakukan selama mengawalnya."

"Apa itu, Bah?"

"Kembalikan Rayya ke jalan yang benar."

Ryu menarik napas panjang. Sosok Hafsah berkelebat di matanya. Gadis itu dulu sama-sama menimba ilmu dengannya di pesantren ini. Kini mereka sama-sama mengajar santri baru.

Ryu menggantikan abahnya sebagai tenaga pengajar di pondok pesantren ini. Sebagai imbalannya, lelaki itu mendapatkan rumah sederhana untuk tempat tinggal jika kelak sudah menikah. 

"Kalau aku berhasil?"

"Maka Rayya boleh kamu miliki."

"Tapi, Bah--"

"Itu tawaran Pak Wisnu. Jika kamu menolak maka dia akan memberikanmu sebuah mobil."

Ryu mengangguk. Sebuah kendaraan roda empat cukup menarik minatnya. Bayangan Hafsah dan anak-anak mereka yang sedang asyik bercengkerama di mobil sedikit membuat perasaannya lega. 

"Astagfirullah." 

Tiba-tiba saja Ryu mengucap istigfar berulang kali. Lelaki harusnya melakukan ini karena ingin membantu Rayya dan Pak Wisnu. Bukan karena imbalan harta dunia. 

"Apa Pak Kyai ngasih izin kalau aku ninggalin pondok sementara waktu?"

"Abah sudah meminta izin untuk kepergianmu. Tapi pesan Pak Kyai cuma satu."

"Apa itu, Bah?"

"Tidaklah berduaan laki-laki dengan perempuan kecuali masuk setan di antara keduanya."

Rahman mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh. Sebuah pesan sekaligus peringatan bagi putra sulungnya agar menjaga diri. Orang yang dia kawal bukan gadis sembarangan. Rayya sangat memikat lawan jenis dengan pesonanya.

Ryu tertegun sejenak lalu mengangguk. Hadist itu dengan gamblang menjelaskan apa larangan bagi laki-laki dan perempuan yang bukan mahram jika berduaan. Sebisa mungkin dia akan bersikap profesional. 

Ryu tidak akan menyentuh Rayya karena bukan mahram. Dia akan selalu ingat apa yang Pak Kyai pesankan melalui Abah. 

"Pamit dulu sama Ummi dan adikmu. Semalaman mereka nangis karena kamu mau pergi."

"Besok aku akan bicara sama Ummi. Biar hatinya tenang dulu."

Rahman menepuk pundak putranya. Lelaki paruh baya itu mengambil tongkat untuk membantunya berjalan. Jika Wisnu begitu gagah perkasa di usia senja. Dia malah menderita kelainan tulang akibat kecelakaan dulu. 

"Nak. Hutang emas itu dibayar emas. Tapi hutang budi dibawa mati. Semoga setelah ini, hutang Abah kepada Pak Wisnu bisa lunas. Jadi Abah bisa tenang sebelum meninggalkan dunia."

Ryu meneteskan air mata setelah mendengar ucapan tadi. Lelaki itu hanya menatap kepergian abahnya dengan gamang. Lusa, akan ada sebuah mobil yang akan menjemputnya menuju Jakarta. Kota di mana selama tiga bulan ini dia akan tinggal dan mengawal seorang gadis yang tak dikenal.

*

"Assalamualaikum."

Wisnu tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Ryu di rumahnya. Lelaki itu bahkan meminta para ART menyiapkan kamar khusus dan makanan yang lezat. Bahkan dia sendiri yang membukakan pintu mobil saat kendaraan itu terparkir di halaman rumahnya.

"Waalaikum salam, Pak Wisnu."

Ryu meraih lengan Wisnu dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Lelaki itu langsung tercengang saat melihat kediamannya, megah dan mewah layaknya sebuah istana.

"Ayo, masuk! Kita makan. Bibik sudah masak banyak."

Ryu hanya bisa pasrah saat tangannya ditarik. Kopernya bahkan dibawakan oleh supir yang tadi menjemputnya dari desa. 

"Mau langsung makan atau mandi dulu?"

"Saya mau istirahat sebentar, Pak. Nanti setelahnya baru makan," pinta Ryu dengan sungkan.

"Kalau gitu ke kamar dulu. Semua sudah disiapkan."

Wisnu menunjukkan arah sebuah ruangan yang terletak di sudut. Dulunya itu adalah gudang tempat menyimpan barang-barang yang jarang dipakai. Lelaki paruh baya itu membayar beberapa pekerja untuk merenovasinya. 

"Silakan masuk. Saya tunggu kalau sudah mau makan. Nanti kita bisa sambil ngobrol."

Ryu kembali tertegun menatap kamarnya. Lelaki itu mengucapkan hamdalah di dalam hati. Dia belum berbuat apa pun untuk keluarga Wisnu. Namun, sambutannya begitu hangat.

"Kenapa, Nak Ryu? Apa kamarnya kurang cocok. Ini memang sederhana. Tapi nanti Nak Ryu akan pindah ke tempat Rayya yang lebih luas," jelas Wisnu.

"Memangnya Rayya tinggal di mana?"

"Di rumah saya yang lain. Dia pilih mandiri sejak mamanya berpulang."

Ada rasa sedih dalam hati Wisnu ketika mengucapkannya. Lelaki paruh baya itu kembali terkenang akan harmonisnya keluarga mereka dulu.

"Apa hanya saya berdua tinggal di sana?"

"Oh, enggak. Nanti ada Bibik, Mamang, sama Pakde yang jaga di depan. Rame' kok."

Ryu mengangguk sebagai tanda mengerti. Dia akan menolak jika mereka hanya tinggal berdua. 

"Makanya Rayya harus ada yang mengawal. Kadang-kadang kami dapat ancaman pembunuhan."

Wisnu berpamitan setelah menjelaskan itu. Dia membiarkan Ryu beristurahat sesuai dengan permintaan. 

*

Ryu menggeliat ketika mendengar suara ketukan di pintu. Lelaki itu enggan membuka mata dan masih merasa kelelahan. 

"Nak Ryu, apa gak mau makan?"

Ryu tersentak lalu mencoba duduk sekalipun kepalanya terasa pening. Lelaki itu menutup mulut dan menguap beberapa kali. Dia terkejut karena suasana yang begitu asing. Lalu tersadar setelah mengingat yang terjadi. 

"Makanannya sudah dingin, loh!" 

Suara itu kembali terdengar. Dengan malas Ryu menyeret kakinya menuju pintu. Tampak wajah Wisnu yang ramah ketika daunnya terbuka.

"Sudah mau ashar. Nak Ryu belum makan."

Ryu mengucap istigfar berulang kali. Tadi setelah mandi dan salat zuhur, dia langsung terlelap dengan perut kosong. Rasa kantuknya lebih dominan sehingga laparnya tak terasa. 

"Maaf, Pak. Capek banget saya."

"Kalau gitu saya tunggu di meja makan. Kita makan bareng."

Dua orang itu duduk sembari menikmati sajian dengan lahap. Wisnu yang canggung hendak memulai pembicaraan. Sementara Ryu begitu kelaparan sehingga enggan bercerita. 

"Gimana kamarnya, apa Nak Ryu suka?"

Ryu mengangguk sembari mengunyah. Ini nasi piring kedua yang dia lahap sejak tadi. Menu yang disajikan lebih lezat dibandingkan dengan yang ada di rumahnya. 

"Kamarnya nyaman, Pak," jawab lelaki itu sembari meneguk minuman.

"Syukurlah. Saya hanya merenovasi seadanya. Ya, sederhana karena waktunya terbatas."

Ryu tersentak mendengar itu. Sederhana menurut Wisnu itu lebih mewah dibanding rumah orang tuanya.

"Nanti ada kamar khusus di tempat Rayya. Lebih luas dan bagus."

Mereka berbincang banyak hal, sembari menikmati potongan chocolate cake sebagai makanan penutup. Wisnu banyak bercerita tentang putrinya. Sedangkan Ryu menyampaikan salam dari kedua orang tuanya.

"Oh iya, ada satu lagi. Sebelum Nak Ryu mengawal Rayya. Baiknya ikut pelatihan militer untuk berjaga-jaga," usul Wisnu.

"Tapi saya jago bela diri, Pak. Sabuk hitam," jawab lelaki itu yakin.

"Untuk formalitas, Nak. Biar ada setifikat kalau Nak Ryu itu seperti bodyguard benaran. Jadi Rayya gak curiga."

"Memangnya bisa, Pak?"

"Bisa. Biar saya yang atur."

Ryu mendengarkan rencana Wisnu dengan khidmat. Dalam hati lelaki itu bergumam bahwa sepertinya tugasnya kali ini cukup berat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status