LOGIN"Kau sudah masuk kerja secepat ini?"
Aluna menoleh ke arah samping saat mendengar suara itu. Hingga dia menemukan Bastian yang bicara dan itu membuatnya dengan malas menoleh lagi ke arah komputer. Bastian menaikkan alisnya, mengambil duduk di depan Aluna yang tampak serius. "Astaga, Nona Aluna yang terhormat. Bagaimana bisa kau langsung masuk kerja padahal semalam baru selesai melakukan acara pernikahan? Apakah tidak ada kegiatan bulan madu atau setelah menikah liburan dulu begitu? Kenapa langsung masuk kerja?" tanyanya tak habis pikir. "Kalian juga orang kaya, mustahil sekali kalau kalian kehabisan uang hanya untuk membuat acara pernikahan makanya sekarang sudah masuk kerja, 'kan?" Aluna menatapnya datar. "Jangan mengejekku dengan pura-pura tak tahu," balasnya datar membuat Bastian terkekeh pelan. "Baiklah, baiklah, aku hanya bercanda. Aku tidak menduga kalau dia akan sekejam itu." Bastian menggeleng pelan. "Harusnya walau dia tak menyukaimu, berikan sedikit harga diri. Siapa sangka dia malah langsung begini." Aluna menghela napas. "Biarkan saja, dia bebas mau melakukan apa. Aku juga tidak butuh perhatian dan pengertiannya," balas Aluna tanpa menatap Bastian. "Dia suka dengan Amanda, salah pengertian dan salah menyukai orang. Kenapa dia malah kesal padaku atas kebodohannya sendiri?" "Oh ya? Dia mengatakan begitu? Dia menyalahkanmu?" tanya Bastian tak percaya membuat Aluna menghela napas. "Brengsek, dia yang bodoh kenapa harus menyalahkan orang lain?" "Sudahlah, tidak penting membahasnya sekarang. Toh aku dan dia juga takkan saling memberi apa-apa, aku juga tidak peduli pada mereka." Aluna mengatakannya dengan cukup yakin dan serius, tapi sebenarnya dia khawatir dengan tuntutan keluarganya. Dia mungkin bisa tidak mau pedulikan Devano tapi bagaimana dengan keluarganya? Mereka dinikahkan untuk bisnis dan menjalin kerjasama semakin besar, kalau kedua orang tua mereka tahu kalau hubungan mereka tak baik seperti ini yang ada dia yang akan disalahkan. "Aku akan bicarakan lagi padanya." *** Jam makan siang datang dengan hampa di dalam hati Aluna, dia membawa makanannya sama dengan Leny dan menuju tempat yang kosong di area restoran. "Nona, itu Tuan Devano, Nona bilang mau bicara dengannya?" tanya Leny membuat Aluna menatap ke arah pria yang ditunjuk oleh asistennya itu. Devano sedang sendirian di salah satu meja saat ini, meja di bagian jajaran utama yang hanya boleh ditempati oleh orang-orang berjabatan tinggi. Pria itu tengah makan siang sambil membaca dokumen, seperti yang biasa dia lakukan. "Bawa ke mejaku," ucap Aluna membuat Leny mengangguk dan membawa tas Aluna lebih dulu ke meja makan yang sudah disiapkan pelayan. Aluna sendiri berjalan dan hanya tersenyum saja menjawab sapaan dari para rekan dan karyawan. Sapaan palsu mereka, dia tahu karena para karyawan ini juga kebanyakan penjilat. "Devano, aku mau mengatakan sesuatu." Devano mengangkat kepalanya, melihat wanita yang ada di hadapannya saat ini lalu kembali menatap berkas yang ada di tangannya. "Mau bicara apa? Katakan saja tanpa banyak basa-basi." Aluna menatap sekitarnya sebentar, tak begitu banyak yang memperhatikan mereka karena barang karyawan juga sedang sibuk memakan makanan mereka sendiri. "Kau tidak menolak pernikahan ini awalnya, hanya mengatakan keberatan dan kekesalanmu padaku di malam pernikahan kita. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang tua kita jadi aku perlu bicara padamu saat ini untuk mengatakan padamu kalau bagian orang tua adalah tanggung jawabmu. Sebagai laki-laki, yang disukai oleh Ayahku hingga dia meninggalkanku denganmu maka kau yang harus menjawab pertanyaan tentang apakah kita bisa memberikan pewaris atau tidak. Jangan melibatkanku dalam urusan ini karena aku tidak mau, Aku tidak mau menjadi pihak yang disalahkan padahal aku sudah baik-baik menerima semua pernikahan ini tapi kau yang berulah di malam pertama." Aluna berkata membuat Devano terdiam. Dia menatap wajah Aluna yang mengatakannya dengan serius, hingga pria itu memalingkan wajahnya lagi. "Kita hanya tinggal sepakat untuk tidak saling memberikan pewaris. Membahas ini padaku sekarang apakah kau sangat berharap aku melakukannya?" Aluna menatap wajah pria itu dengan tatapan datarnya yang terlihat sebal. Entah mengapa setelah melihat pria ini dengan Amanda tadi dia merasa kesal, seolah-olah dia sudah memisahkan hubungan mereka padahal Devano yang sudah salah mencintai seseorang. "Aku tidak peduli padamu, Aku sama sekali tidak ada niatan untuk mengganggu. Aku cuma mau mengatakan ini dan kuharap kau tidak melimpahkan semua masalah padaku. Kau tahu kalau ayah dan ibuku mengerti kalau kau tidak mencintaiku tapi mereka tetap menikahkan kita. Membuat Ayah dan ibumu mengerti adalah hal yang sulit, jadi kau saja yang membicarakan soal pewaris pada mereka." "Tidak perlu susah payah," ucap Devano sambil menatapnya datar. "Aku hanya perlu memberikan satu anak, 'kan? Anak yang akan ku hasilkan belum tentu harus denganmu. Aku bisa melakukannya dengan siapapun, misalnya dengan Amanda dan kau hanya perlu berpura-pura hamil saja. Lalu saat nanti anak kami lahir, kau hanya perlu mengambil beberapa waktu untuk mengurusnya. Atau langsung saja kita bercerai saat itu karena aku bisa mengatakan pada mereka kalau kau tidak bisa memberikan keturunan. Kenapa kau harus mempersulit sesuatu?" Wajah Aluna terlihat memerah menahan rasa tak percaya dan juga sakit hati akibat penghinaan yang dibuat suaminya. Meskipun dia tidak mencintai pria ini tapi harga dirinya sebagai istri tetap saja tak ada di hadapan Devano. Dia tidak mengharapkan cinta tapi apakah pria ini bahkan tak bisa memberikan harga diri sedikit saja untuknya? "Kalau begitu lakukan saja sekarang," ucap Aluna sambil menahan dirinya dengan mengepalkan tangan di bawah meja. "Semakin cepat kau lepas dariku bukankah semakin bagus? Bukankah itu adalah hal yang kau inginkan?" Devano bangkit dari duduknya, menatap wajah Aluna dengan tatapan sinisnya yang terlihat begitu meremehkan. "Aku perlu waktu karena saat ini aku baru menikah dan tidak mungkin aku langsung membuat nama baikku rusak. Lagi pula kau tidak perlu, dibutuhkan waktu kurang lebih 1 sampai 2 bulan untuk membuat seorang wanita hamil. Kau hanya tinggal menunggu kapan kabar kehamilan ini akan terdengar. Ibuku juga akan lebih memilih wanita yang mengandung anakku dibandingkan kau yang istri sah," ucapnya membuat Aluna merasa bodoh karena air matanya menganak. Aluna mengusap sudut matanya dan itu membuat Devano menyipit, tak tahu apa penyebab Aluna bisa sedih hanya dengan ucapannya barusan. "Kalau begitu, tolong jangan rahasiakan padaku tentang apapun yang kau lakukan dengan tujuan membuatnya hamil. Supaya sandiwara ini tetap kita lakukan, kita akan tetap pura-pura dihadapan keluarga dan aku juga akan mulai mengangsur barang-barangku ke apartemen pribadi milikku." Aluna berkata sambil menarik cairan dari hidungnya. "Kutunggu kau menceraikanku, Tuan Devano.""Tidak," tolak Amanda lalu bergerak menyamping, menjauhi Devan dengan cepat. "Devan, itu tidak akan menyelesaikan masalah kita. Kau tetap suami Aluna dan tidak akan bisa menjadi suamiku walaupun aku hamil anakmu. Itu hanya akan jadi aib, aku hanya akan malu sendiri kalau sempat melakukannya." "Amanda masih rasional juga pemikirannya," gumam Aluna mendengarnya. "Tapi, aku tidak mencintai Aluna! Kalau kamu hamil anakku, setidaknya aku bisa membuat posisi ini berganti. Aku akan mudah mencampakkan Aluna dari dalam hidupku, lalu membawamu dalam pernikahan yang baru." Devano terus memaksa, cara soal sesuatu yang pasti masuk akal dalam pikirannya sendiri. Amanda terlihat kesal, tapi dia menahannya baik-baik dan kembali menatap wajah Devano dengan tatapan seolah-olah dia adalah gadis tersakiti. "Devan... kalau kau memang mencintaiku, caranya bukan begini. Cari cara untuk menceraikan Aluna, cara lain yang tidak perlu melakukan sesuatu untuk mempermalukanku. Aku tidak mau kalau harus ham
Aluna bangun dengan tubuh yang terasa cukup pegal karena dia tadi malam mabuk. Saat bangkit dari ranjang dan duduk, Gadis itu melihat Devano yang baru keluar kamar mandi hingga dia bergerak menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang."Aku mau memasukkan satu pelayan," ucap Aluna tiba-tiba membuat Devano yang akan berjalan ke walk in closet berhenti dan menoleh ke arahnya."Untuk apa?"Aluna menatapnya, lalu menaikkan alis. "Kau bertanya untuk apa? Tentu saja untuk melayaniku, aku terbiasa dilayani dari kecil dan saat sampai di rumahmu ini aku bahkan tidak menemukan satupun pelayan. Meskipun aku bisa memasak, tapi aku juga bekerja dan sangat sibuk. Aku butuh seseorang untuk mengurus ku selain Leny, karena kau sama sekali tidak ada niatan untuk memberikan pelayan di rumah ini jadi aku akan membayar pelayanku sendiri," ucapnya membuat Devano terdiam.Tak juga mendapatkan respon dari pria itu, Aluna menarik napasnya. "Tidak perlu khawatir, dia hanya akan melayaniku dan tidak akan mengganggum
"Apa? Astaga, bagaimana bisa kau melakukan hal bodoh itu bersamanya?" Bastian menatapnya tak percaya, malam itu saat mereka bertemu lagi untuk membahas beberapa proyek. Aluna menghela napas, dia mengambil wine untuk melegakan lehernya karena rasanya sangat kering setelah dia menceritakan perjanjian yang dia buat dengan Devano tentang siapa yang akan hamil dan memberikan keturunan untuk keluarga pria itu. "Hanya itu yang bisa kulakukan, sejauh ini aku tidak mungkin langsung bercerai hanya karena permasalahan kecil tentang dia yang tak menerimaku. Dia yang bodoh dengan salah menyukai orang lain, tapi menyalahkanku karena bukan Amanda. Harusnya hari itu dia bisa langsung menikah dengan Amanda saja, Kenapa pura-pura menerima di hadapan keluargaku dan membuatku kesulitan sendiri?" Aluna berkata sambil menarik nafasnya. Devano adalah seorang yang cukup menyebalkan, tapi Aluna tidak bisa melakukan apa pun saat ini karena dia tahu pria itu juga tidak akan mau disalahkan atau dipermalukan.
"Kau sudah masuk kerja secepat ini?"Aluna menoleh ke arah samping saat mendengar suara itu. Hingga dia menemukan Bastian yang bicara dan itu membuatnya dengan malas menoleh lagi ke arah komputer.Bastian menaikkan alisnya, mengambil duduk di depan Aluna yang tampak serius. "Astaga, Nona Aluna yang terhormat. Bagaimana bisa kau langsung masuk kerja padahal semalam baru selesai melakukan acara pernikahan? Apakah tidak ada kegiatan bulan madu atau setelah menikah liburan dulu begitu? Kenapa langsung masuk kerja?" tanyanya tak habis pikir. "Kalian juga orang kaya, mustahil sekali kalau kalian kehabisan uang hanya untuk membuat acara pernikahan makanya sekarang sudah masuk kerja, 'kan?"Aluna menatapnya datar. "Jangan mengejekku dengan pura-pura tak tahu," balasnya datar membuat Bastian terkekeh pelan."Baiklah, baiklah, aku hanya bercanda. Aku tidak menduga kalau dia akan sekejam itu." Bastian menggeleng pelan. "Harusnya walau dia tak menyukaimu, berikan sedikit harga diri. Siapa sangka
Devano bersiap untuk pergi bekerja hari ini. Ya, bekerja. Padahal mereka baru menikah semalam dan pria ini sudah sibuk untuk masuk kerja lagi."Tidak mau libur dulu? Apa kata karyawan nanti kalau kamu langsung masuk setelah menikah?" Aluna berkata sambil menatap Devano yang sedang bersiap."Apa aku peduli dengan ucapan karyawan?" Devano menatapnya dengan tatapan datar. "Mereka tidak akan bisa melakukan apapun padaku, lagi pula sudah menikah atau tidak juga tidak ada bedanya dengan jam operasional kerja. Untuk apa aku di rumah ini?"Aluna menghela napas pelan lalu diam sesaat."Kau berharap kita akan bulan madu seperti pasangan-pasangan yang baru menikah lainnya?"Belum sempat Aluna bicara, Devano sudah kembali bersuara dan itu membuat Aluna tak jadi mengatakan apa yang dia pikirkan."Jangan harap, aku hanya mencintai Amanda."Setelah mengatakannya, Devano mengambil tas dan berjalan pergi meninggalkan kamar. Aluna hanya bisa memperhatikan dengan wajah yang tampak serba salah, mau bagai
"Kita menjadi suami istri karena perjodohan masa lalu sialan ini! Lalu ayahmu memaksa kita menikah, begitupun kedua orang tuaku. Aku tidak sepenuhnya menerima pernikahan ini tapi kalau mau menjalaninya dengan baik juga tidak masalah. Dengan satu cara," ucap seorang pria di malam pertama pernikahan mereka. Gadis yang sudah menjadi istrinya itu mengangkat pandangan, menatapnya dengan wajah lelah setelah seharian melakukan pesta. "Apa caranya, Devan?" "Kita bisa melakukan pernikahan Sandiwara, aku tidak mau nama baikku rusak, nanti orang tuaku malu dan merasa bersalah. Kita bisa menjalani pernikahan sandiwara, selamanya, karena aku tidak mencintaimu sama sekali." Aluna menarik napasnya pelan lalu bangkit. Dia menatap wajah suaminya, seorang CEO ternama di kota mereka dan tempatnya bekerja dan kini harus terjebak pernikahan dengannya. Devano Herdian, nama asli pria ini. "Tidak ada tenggat waktu?" Devano menatapnya. "Tidak, Amanda sudah memutuskan untuk menikah dengan pria lain dan







