LOGIN
"Kita menjadi suami istri karena perjodohan masa lalu sialan ini! Lalu ayahmu memaksa kita menikah, begitupun kedua orang tuaku. Aku tidak sepenuhnya menerima pernikahan ini tapi kalau mau menjalaninya dengan baik juga tidak masalah. Dengan satu cara," ucap seorang pria di malam pertama pernikahan mereka.
Gadis yang sudah menjadi istrinya itu mengangkat pandangan, menatapnya dengan wajah lelah setelah seharian melakukan pesta. "Apa caranya, Devan?" "Kita bisa melakukan pernikahan Sandiwara, aku tidak mau nama baikku rusak, nanti orang tuaku malu dan merasa bersalah. Kita bisa menjalani pernikahan sandiwara, selamanya, karena aku tidak mencintaimu sama sekali." Aluna menarik napasnya pelan lalu bangkit. Dia menatap wajah suaminya, seorang CEO ternama di kota mereka dan tempatnya bekerja dan kini harus terjebak pernikahan dengannya. Devano Herdian, nama asli pria ini. "Tidak ada tenggat waktu?" Devano menatapnya. "Tidak, Amanda sudah memutuskan untuk menikah dengan pria lain dan meninggalkanku karena aku harus terjebak pernikahan denganmu. Dia adalah cinta pertamaku, dia tidak akan bahagia dengan orang lain yang menjadi suaminya saat ini begitu juga denganku dan kamu. Jadi, nikmati saja menjadi istriku, hanya saja jangan pernah menganggap kamu istriku sepenuhnya." Aluna hanya bisa diam mendengar ucapan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Meskipun termasuk hal yang mengagetkan, tapi Aluna memang tak bisa berharap banyak pada pernikahan mereka ini. Mereka dinikahkan karena permintaan orang tua, dia bahkan tak memiliki perasaan sama sekali pada pria ini tapi dia harus tetap melakukannya karena mereka dijodohkan. Devano terlihat mengambil selimut dari dalam lemari lalu berjalan ke arah ranjang dan duduk di sana. Aluna hanya bisa menarik napasnya, tak tahu harus melakukan apa karena kamar ini adalah kamar milik Devano. Andaikan saja dia di rumahnya pasti akan lebih mudah, tapi dia juga baru lulus satu Minggu lalu tapi Ibunya sudah menikahkannya dengan Devano yang selama ini adalah gurunya di pesantren. "Kamu bebas mau tidur di mana saja, di ranjang atau di mana pun terserah. Yang penting kamu nyaman tapi aku berharap di hadapan orang tua kita, jangan pernah tunjukkan kalau aku tidak menerimamu. Paham?" Aluna mengangguk saja lalu berjalan ke arah ranjang itu karena merasa lelah. "Pakai selimut yang ini, kita tidak usah satu selimut." Setelah mengatakan itu, Devano berbaring memunggunginya dan tidur begitu saja. Aluna hanya bisa duduk di sana, menarik selimut dan berbaring terlentang memandang langit-langit ruangan. Semua ini terlalu cepat tapi dia sudah mengenal Devano selama bertahun-tahun. Dia juga sudah pernah mengetahui kalau mereka akan dijodohkan tapi menganggap kalau itu mungkin hanya sebuah gurauan. Siapa yang menduga semuanya malah menjadi kenyataan saat ini? Aluna tak di terima oleh suaminya karena Devano mengira kalau bukan Aluna gadis yang akan dijodohkan dengannya, ada seorang gadis lagi yang lebih dekat dengan keluarganya dulu tapi ternyata hanya dia saja yang mengira kalau gadis itu akan menjadi istrinya. Amanda Veretta, cinta pertama Devano, dia salah mencintai orang karena tak mengetahui selama ini gadis yang dijodohkan dengannya siapa, dia juga tidak begitu peduli karena lebih memikirkan perasaannya. Makanya saat mengetahui kalau Aluna yang menjadi istrinya, kekecewaan begitu besar terasa di hatinya, sehingga membuat Devano harus merasakan sakit hati seperti ini. "Sandiwara, sampai kapan? Aku tidak tahu bagaimana cara bersandiwara. Ya Tuhan, jika memang ada jalan lain segera pisahkan kami." Aluna menatap punggung suaminya, CEO yang dia kenal baik di perusahaan selama ini sudah jadi suaminya dan sikapnya berubah begitu besar. Mereka tak diberikan pilihan, dinikahkan begitu saja karena perjanjian bertahun-tahun lalu. Aluna harusnya bukan di sini, dia juga sudah sempat menolak tapi perjodohan itu sudah tak bisa diubah, makanya sekarang dia hanya bisa menerima kenyataan menjadi istri yang tak diinginkan. *** Aluna membukakan pintu rumah, menyambut kedatangan Devano yang baru pulang dari jogging. Mereka ada di mansion besar milik Devano yang selama ini tinggal sendiri di sini, setelah tadi pagi bangun mereka sudah pindah ke sini setelah dari rumah orang tua Devano . Sekarang barang-barang mereka juga masih sedikit berantakan, Aluna sedang mengemasnya dengan baik supaya merasa nyaman. "Tadi aku sudah memasak," ucap Aluna saat melihat pria itu hanya diam saja dan membuka jam tangan untuk diletakkan di meja. "Kau mau makan di rumah atau di mana juga terserah, kita hanya berdua jadi mau sandiwara atau tidak juga bebas." Aluna masih kesulitan dalam urusan bersandiwara ini, tapi sebagai seorang istri sandiwara dan orang yang peka dia sudah pernah melihat kemarahan besar yang dilakukan Devano. Dia tak mau menimbulkan masalah dan menciptakan kemarahan itu, makanya hanya bisa menuruti apa saja yang Devano inginkan. "Masak apa?" Aluna berjalan ke belakang mengikuti pria yang menjadi suaminya itu. "Tadi pagi Mommy memberikan bahan-bahan untuk sarapan pagi ini. Habis pernikahan semalam juga membuat Mommy dan Daddy makan dari masakan luar, jadi aku diberikan bahan makanan yang bisa dimasak saja. Aku buat olahan udang dan spaghetti, karena Mommy bilang kalau kau suka sekali makan makanan seperti ini," ujar Aluna membuat Devano terdiam. Dia memandang makanan yang ada di hadapannya, sebelum mengambil piring dan mengisinya sendiri dengan makanan itu. Saat dia mulai makan, dia sempat berhenti mengunyah ketika merasakan makanan ini enak. "Kau yang masak sendiri?" Aluna mengangguk pelan. "Kurang enak ya? Aku sudah lama tidak memasak jadi kalau rasanya kurang ya maaf. Aku sudah berusaha membuatnya sesuai seleraku tadi, jadi mungkin berbeda dengan lidahmu," ucapnya dengan wajah tenang. Devano menatap wajah gadis yang dia nikahi semalam itu, dibalik ketenangannya ada sifat dewasa dan keturunan bangsawan yang terpancar dengan begitu baik di dalam dirinya. Ya, Aluna itu cantik, yang membuat Devano tak bisa menerimanya adalah karena dia bukan Amanda. "Eh, tidak usah dimakan, Devan." Aluna menahan tangan Devano yang sudah akan menyuapkan lagi makanan itu ke mulutnya. "Bukankah tidak enak? Jadi tidak usah dipaksa." Devano menatap Aluna lalu melepaskan tangan gadis itu dari sendoknya. "Aku tidak ada bilang kalau tidak enak," ucapnya sambil menyuap makanan itu. "Setidaknya bisa aku makan, tidak seburuk itu." Aluna menghela napas pelan, lalu mengangguk saja. Dia mengambil duduk di depan Devano, membuat pria itu menatapnya hingga Aluna bangkit lagi. "Oh ya, maaf, aku akan makan di kursi halaman belakang." Devano terdiam, belum sempat mencegah tapi Aluna sudah berjalan meninggalkannya sambil membawa piring. Pria itu menghela napas berat, tak tahu harus melakukan apa karena kenapa dia harus menikah dengan gadis itu bukan dengan gadis yang dia inginkan? Wajahnya terlihat kusut, dia belum bisa menerima kenyataan kalau saat ini sudah menjadi suami. Meskipun di hadapan orang-orang mungkin dia adalah suami yang jahat, tapi mungkin dia tidak akan seperti ini jika yang dinikahi adalah Amanda. Mengusap wajahnya sendiri, Devano bingung. "Bagaimana pernikahan ini kedepannya? Apa aku harus terima?""Tidak," tolak Amanda lalu bergerak menyamping, menjauhi Devan dengan cepat. "Devan, itu tidak akan menyelesaikan masalah kita. Kau tetap suami Aluna dan tidak akan bisa menjadi suamiku walaupun aku hamil anakmu. Itu hanya akan jadi aib, aku hanya akan malu sendiri kalau sempat melakukannya." "Amanda masih rasional juga pemikirannya," gumam Aluna mendengarnya. "Tapi, aku tidak mencintai Aluna! Kalau kamu hamil anakku, setidaknya aku bisa membuat posisi ini berganti. Aku akan mudah mencampakkan Aluna dari dalam hidupku, lalu membawamu dalam pernikahan yang baru." Devano terus memaksa, cara soal sesuatu yang pasti masuk akal dalam pikirannya sendiri. Amanda terlihat kesal, tapi dia menahannya baik-baik dan kembali menatap wajah Devano dengan tatapan seolah-olah dia adalah gadis tersakiti. "Devan... kalau kau memang mencintaiku, caranya bukan begini. Cari cara untuk menceraikan Aluna, cara lain yang tidak perlu melakukan sesuatu untuk mempermalukanku. Aku tidak mau kalau harus ham
Aluna bangun dengan tubuh yang terasa cukup pegal karena dia tadi malam mabuk. Saat bangkit dari ranjang dan duduk, Gadis itu melihat Devano yang baru keluar kamar mandi hingga dia bergerak menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang."Aku mau memasukkan satu pelayan," ucap Aluna tiba-tiba membuat Devano yang akan berjalan ke walk in closet berhenti dan menoleh ke arahnya."Untuk apa?"Aluna menatapnya, lalu menaikkan alis. "Kau bertanya untuk apa? Tentu saja untuk melayaniku, aku terbiasa dilayani dari kecil dan saat sampai di rumahmu ini aku bahkan tidak menemukan satupun pelayan. Meskipun aku bisa memasak, tapi aku juga bekerja dan sangat sibuk. Aku butuh seseorang untuk mengurus ku selain Leny, karena kau sama sekali tidak ada niatan untuk memberikan pelayan di rumah ini jadi aku akan membayar pelayanku sendiri," ucapnya membuat Devano terdiam.Tak juga mendapatkan respon dari pria itu, Aluna menarik napasnya. "Tidak perlu khawatir, dia hanya akan melayaniku dan tidak akan mengganggum
"Apa? Astaga, bagaimana bisa kau melakukan hal bodoh itu bersamanya?" Bastian menatapnya tak percaya, malam itu saat mereka bertemu lagi untuk membahas beberapa proyek. Aluna menghela napas, dia mengambil wine untuk melegakan lehernya karena rasanya sangat kering setelah dia menceritakan perjanjian yang dia buat dengan Devano tentang siapa yang akan hamil dan memberikan keturunan untuk keluarga pria itu. "Hanya itu yang bisa kulakukan, sejauh ini aku tidak mungkin langsung bercerai hanya karena permasalahan kecil tentang dia yang tak menerimaku. Dia yang bodoh dengan salah menyukai orang lain, tapi menyalahkanku karena bukan Amanda. Harusnya hari itu dia bisa langsung menikah dengan Amanda saja, Kenapa pura-pura menerima di hadapan keluargaku dan membuatku kesulitan sendiri?" Aluna berkata sambil menarik nafasnya. Devano adalah seorang yang cukup menyebalkan, tapi Aluna tidak bisa melakukan apa pun saat ini karena dia tahu pria itu juga tidak akan mau disalahkan atau dipermalukan.
"Kau sudah masuk kerja secepat ini?"Aluna menoleh ke arah samping saat mendengar suara itu. Hingga dia menemukan Bastian yang bicara dan itu membuatnya dengan malas menoleh lagi ke arah komputer.Bastian menaikkan alisnya, mengambil duduk di depan Aluna yang tampak serius. "Astaga, Nona Aluna yang terhormat. Bagaimana bisa kau langsung masuk kerja padahal semalam baru selesai melakukan acara pernikahan? Apakah tidak ada kegiatan bulan madu atau setelah menikah liburan dulu begitu? Kenapa langsung masuk kerja?" tanyanya tak habis pikir. "Kalian juga orang kaya, mustahil sekali kalau kalian kehabisan uang hanya untuk membuat acara pernikahan makanya sekarang sudah masuk kerja, 'kan?"Aluna menatapnya datar. "Jangan mengejekku dengan pura-pura tak tahu," balasnya datar membuat Bastian terkekeh pelan."Baiklah, baiklah, aku hanya bercanda. Aku tidak menduga kalau dia akan sekejam itu." Bastian menggeleng pelan. "Harusnya walau dia tak menyukaimu, berikan sedikit harga diri. Siapa sangka
Devano bersiap untuk pergi bekerja hari ini. Ya, bekerja. Padahal mereka baru menikah semalam dan pria ini sudah sibuk untuk masuk kerja lagi."Tidak mau libur dulu? Apa kata karyawan nanti kalau kamu langsung masuk setelah menikah?" Aluna berkata sambil menatap Devano yang sedang bersiap."Apa aku peduli dengan ucapan karyawan?" Devano menatapnya dengan tatapan datar. "Mereka tidak akan bisa melakukan apapun padaku, lagi pula sudah menikah atau tidak juga tidak ada bedanya dengan jam operasional kerja. Untuk apa aku di rumah ini?"Aluna menghela napas pelan lalu diam sesaat."Kau berharap kita akan bulan madu seperti pasangan-pasangan yang baru menikah lainnya?"Belum sempat Aluna bicara, Devano sudah kembali bersuara dan itu membuat Aluna tak jadi mengatakan apa yang dia pikirkan."Jangan harap, aku hanya mencintai Amanda."Setelah mengatakannya, Devano mengambil tas dan berjalan pergi meninggalkan kamar. Aluna hanya bisa memperhatikan dengan wajah yang tampak serba salah, mau bagai
"Kita menjadi suami istri karena perjodohan masa lalu sialan ini! Lalu ayahmu memaksa kita menikah, begitupun kedua orang tuaku. Aku tidak sepenuhnya menerima pernikahan ini tapi kalau mau menjalaninya dengan baik juga tidak masalah. Dengan satu cara," ucap seorang pria di malam pertama pernikahan mereka. Gadis yang sudah menjadi istrinya itu mengangkat pandangan, menatapnya dengan wajah lelah setelah seharian melakukan pesta. "Apa caranya, Devan?" "Kita bisa melakukan pernikahan Sandiwara, aku tidak mau nama baikku rusak, nanti orang tuaku malu dan merasa bersalah. Kita bisa menjalani pernikahan sandiwara, selamanya, karena aku tidak mencintaimu sama sekali." Aluna menarik napasnya pelan lalu bangkit. Dia menatap wajah suaminya, seorang CEO ternama di kota mereka dan tempatnya bekerja dan kini harus terjebak pernikahan dengannya. Devano Herdian, nama asli pria ini. "Tidak ada tenggat waktu?" Devano menatapnya. "Tidak, Amanda sudah memutuskan untuk menikah dengan pria lain dan







