LOGINSarapan pagi itu begitu membekas di hati Anne, hingga membuat wanita itu makin terluka akan sikap Samuel akhir-akhir ini. Kepergian Samuel ke kantor tanpa suara juga menambah luka di hati wanita itu.
Anne berjalan menuju ke jendela, menatap kepergian suaminya dalam diam. Ia hanya berani melihat dari balik tirai tanpa keluar dan mengucap selamat jalan seperti jauh sebelumnya.
"Apa yang membuatmu berubah sejauh ini, Samuel? Aku hanya ingin kehangatan dan kasihmu seperti dulu," gumam Anne, lalu ia berjalan berbalik arah kembali ke meja makan.
Semua menu pagi ini ludes tanpa sisa, hal ini sedikit mengobati sesak di dada Anne beberapa hari lalu. Anne segera membereskan alat makan yang kotor dan membawanya ke dapur untuk dicuci.
Setelah semua kembali bersih, Anne berjalan masuk ke kamar lalu duduk di depan cermin meja rias miliknya.
Pandangannya tertuju pada deretan make up yang jarang dia gunakan. Bibirnya melengkung seakan sebuah ide muncul di otak kecilnya.
"Apa aku harus berhias diri seperti kaum sosialita di luar sana?" gumamnya kemudian.
"Apa aku ini terlihat jelek akhir-akhir ini, hingga membuat Samuel jadi bersikap dingin padaku?"
Anne menatap dirinya di depan cermin sejenak, lalu bangkit dan memutar tubuhnya, menekan beberapa sudut kemeja yang dikenakan pagi itu.
"Apa tampilanku saat ini sangat membosankan, hingga Samuel tidak mau melirikku?"
Kemudian Anne berjalan menuju ke lemari pakaiannya, dibuka salah satu pintu. Pandangannya memilah satu per satu beberapa koleksi pakaiannya di sana.
Lengannya terulur menyibak deretan gaun yang dia miliki, lalu meraihnya satu yang berwarna maroon.
Gaun indah itu ditempelkan pada tubuhnya, lalu dia berputar. Perlahan kepalanya menggeleng menandakan ia tidak puas.
"Bagaimana begitu bodohnya aku hingga tidak memanfaatkan semua fasilitas dari suamiku. Mungkin dengan sedikit berhias, Samuel akan menatapku penuh gairah," gumam Anne penuh keyakinan dan semangatnya kembali menggelora.
Ia pun berjalan tergesa menuju ke garasi. Siang ini Anne berniat merubah semua penampilannya dengan memanjakan diri di salon langganan ibu mertuanya.
Anne keluar dengan mengendarai mobil kesayangannya. Tidak butuh waktu lama ia sampai di lokasi yang dimaksud, ia masuk dengan wajah ceria.
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya Anne?" tanya salah satu pekerja di salon itu.
"Aku ingin terlihat lebih segar dari biasanya. Bisakah kau rubah model rambutku?" ucap Anne dengan suara lembutnya.
"Baik, silakan duduk di sini.”
Kemudian pelayan itu memerhatikan keseluruhan rambut dan wajah Anne, bibir tipis yang merah alami itu mengulum senyum puas.
"Bersiaplah menghadapi penampilan baru Anda, Nyonya!"
Usai berkata, pelayan salon itu segera bekerja melakukan make over pada tampilan Anne.
Cukup lama Anne berada di salon itu untuk mendapat hasil yang memuaskan dan apa yang dilakukan oleh pekerja salon mampu membuat Anne melongo melihat hasil akhir pada wajahnya.
"Bagimana?" tanya pelayan itu penuh harap.
"Saya puas, terima kasih."
Anne pun bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke meja kasir untuk membayar semua pelayanan salon itu. Kemudian dia kembali mengendarai kendaraannya menuju ke arah pulang.
Malam harinya, Anne mencoba berdandan cantik. Cukup lama ia merias diri agar mampu membuat Samuel menatapnya penuh gairah.
Gaun terbaiknya pun dikenakan malam itu dengan hasil make over salon menambah aura yang berbeda di wajah Anne.
Tidak hanya berdandan, Anne juga menyiapkan makan malam romantis.
Setelah semua siap, dia menunggu di ruang tamu dan duduk di sofa yang menghadap ke pintu utama sambal berharap saat pintu itu terbuka, wajah Samuel dihias dengan senyum kepuasan penuh gairah.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya suara mobil milik Samuel terdengar memasuki garasi yang berada di samping ruang tamu.
Anne pun segera membenarkan cara duduknya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, menandakan malam masih terlalu awal untuk memulai kisah asmara. Bibir Anne melengkung sempurna membayangkan sikap suaminya.
Tidak ada suara ketukan di pintu, hanya derap langkah panjang yang berjalan mendekat mengikis jarak.
Lampu sengaja dinyalakan redup oleh Anne, hal ini menambah kesan romantis. Namun, suara dengusan kasar terdengar di ujung sana dan itu pasti milik Samuel.
Cahaya lampu berganti terang benderang, saat itu juga Anne dapat melihat raut wajah heran Samuel.
"Selamat malam, Sayang," sapa Anne dengan lembut sambil tersenyum malu.
Akan tetapi, reaksi Samuel di luar ekspektasinya. Pria itu menatapnya dengan penuh kecurigaan.
Ia berjalan makin dekat, tatapannya menghujam manik mata Anne.
Dengan lirih bibirnya bergerak, "Kenapa dandan seperti itu? mau bertemu dengan siapa?” tanyanya dengan suara dinginnya.
Kalimat itu membuat tubuh Anne menegang, tatapannya redup menahan gairah yang sudah lama terpendam,"Tidak, semua ini hanya untukmu."
Jawaban Anne justru makin membuat Samuel meradang, "Untukku? Sejak kapan kau menjadi wanita yang haus sentuhan, Anne?"
Pertanyaan dari Samuel serasa seperti pisau belati yang menancap dalam ke jantung hati Anne, hingga membuat bibir wanita itu bergetar.
"Apakah tubuhmu ingin disentuh pria lain? Katakan siapa pria itu, Anne?!" tanya Samuel bertubi-tubi tanpa jeda, hingga membuat Anne bingung mendengar pertanyaan itu.
Anne menggeleng dengan kuat. Dia kemudian berdiri dan berusaha menjelaskan keadaannya saat itu yang semua dilakukan hanya untuk Samuel.
Namun, pria itu sama sekali tidak percaya, lalu dia berjalan lebih masuk ke dalam.
Pandangannya menjadi lebih gelap dari sebelumnya saat dilihatnya tatanan meja makan yang terlihat romantis.
"Apa lagi yang kau lakukan di sini, Anne? Apakah begini caramu saat suami kerja hingga larut malam, kau malah bermain dengan pria lain di belakangku?”
Anne yang berjalan menyusul Samuel seketika terhenyak kaget dengan semua kalimat tajam suaminya. ia berdiri mematung tak jauh dari meja makan.
"Tidak seperti yang kau pikirkan, Samuel. Semua kulakukan sejak pagi menyiapkan segalanya hanya untukmu! Untukmu agar kau mau melihatku lagi dan lagi," jelas Anne dengan nada rendah dan mencoba meraih lengan Samuel.
Dengan tegas dan kasar Samuel mengibaskan lengan Anne hingga membuat wanita itu sedikit terdorong ke belakang.
Tatapan Samuel makin tajam dengan dengus napas yang tidak teratur menandakan jika pria itu sedang menekan emosi agar tidak berbuat lebih kasar lagi.
Samuel menghela napas panjang lalu berjalan menuju ke arah Anne.
Jarak yang semakin dekat membuat Anne meningkatkan kewaspadaan. Dia kemudian berjalan mundur, bersiap untuk menghadapi keadaan yang mendesak.
Samuel terus mengikis jarak hingga akhirnya tubuh Anne menempel di dinding.
Kedua lengan Samuel mengukung tubuh Anne, lalu berkata lirih tepat di telinga Anne, "Katakan siapa pria itu, Anne? Siapa yang ingin kau goda malam ini hingga berpenampilan seperti ini?”
Suara isakan Anne memenuhi kamar rumah sakit yang remang.Tubuhnya gemetar hebat, matanya penuh ketakutan.Samuel duduk di tepi ranjang, kedua tangannya memegang bahu Anne, mencoba menenangkan istrinya yang terus meronta seolah dikejar sesuatu yang tak terlihat.“Anne, Sayang, tenanglah. Aku di sini,” ucap Samuel lirih dengan suara bergetar menahan emosi.“Tidak ada siapa-siapa, tidak ada yang bisa menyakitimu lagi. Lihat aku, Anne. Aku, Samuel.”Anne menggeleng histeris dan air matanya jatuh membasahi pipinya yang pucat.“Tidak, Sam! Dia… dia ada di sini tadi! Aku melihatnya! Jeane… dia berdiri di sana!”Anne menunjuk ke sudut ruangan, suara parau dan penuh ketakutan. “Aku tidak gila, Sam. Percayalah padaku!”Samuel memeluknya erat, mencoba meredam gemetar tubuh istrinya. Namun, dalam hati ia mulai goyah.Anne sudah beberapa kali melihat bayangan yang tidak ada, dan setiap kali itu terjadi, ia semakin ketakutan.Pintu kamar terbuka dan seorang dokter berjas putih masuk dengan ekspres
Beberapa hari telah berlalu sejak Samuel resmi melengserkan Tyas dari jabatannya di perusahaan, dan sejak saat itu badai baru mulai mengguncang kehidupan mereka.Di sebuah ruang mewah yang jauh dari rumah sakit, Tyas duduk di kursi kulit dengan secangkir teh di tangannya.Wajahnya tampak tenang, tetapi mata itu menyala penuh amarah dan dendam. Di depannya, Jeane berdiri dengan senyum penuh kebencian, aura liciknya begitu jelas terasa.“Kau yakin rencana ini akan berhasil?” tanya Jeane sambil menyilangkan tangan di dada.Tyas tersenyum miring. “Tentu saja. Anne mungkin berhasil memikat hati Samuel, tapi dia tidak sekuat yang terlihat. Kita akan menghancurkannya perlahan. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga pikirannya.”Jeane mendekat lalu membisikkan sesuatu dengan nada rendah. “Aku sudah mulai menyebarkan gosip. Aku katakan pada beberapa wartawan bahwa Anne adalah penyebab kau dikeluarkan dari perusahaan.“Katakan padaku, Bibi, bukankah kau suka melihat dunia percaya bahwa menantumu itu h
Di sore yang lembut, matahari menyelinap lewat tirai ruang intensif dan menorehkan garis-garis emas di wajah Anne yang sekarang tampak lebih tenang.Mesin-mesin masih berdenting pelan, tapi napasnya yang dulu tersengal kini lebih teratur.Luka-luka dan pembalut masih menempel, tetapi ada warna hidup yang kembali di pipinya — samar, tetapi nyata.Samuel duduk di kursi samping, kepalanya hampir menempel di bahu Anne. Tangannya tak lepas dari jemari kecil istrinya, kedua ibu jarinya sesekali mengusap punggung tangan itu seperti mantra.Setelah malam-malam penuh kecemasan dan dokumen-dokumen yang harus diurus, kini dia bisa menikmati momen yang sederhana namun berharga.“Aku… aku ingin bicara tentang… tentang kita,” ucap Anne dengan suara lembutnya.Samuel mencondongkan tubuh dan wajahnya berubah lembut seketika. “Apa yang kau inginkan, Sayang?”Anne menarik napas dalam-dalam seraya menahan rasa sakit di kepalanya ketika kata-kata hendak keluar.“Aku merasa… bersalah, Sam. Karena kehadira
Gedung tua itu berderit setiap kali angin malam menyelinap melalui celah-celah kusamnya.Lampu redup bergoyang, menorehkan bayangan panjang di dinding yang retak — saksi bisu pada rahasia yang tak seharusnya hidup di dunia yang terbuka.Di sebuah ruangan kecil bertutup selimut kotor, Jeane duduk terhimpit, mata tajamnya mengamati setiap gerak penjaga yang lewat.Ia tahu waktu adalah musuhnya; namun keganasan pikiran adalah sekutu yang selalu setia.Jeane menarik napas panjang, menahan sakit yang sebenarnya setengah pura-pura.Sekian hari disekap membuat tubuhnya lelah, tapi otaknya malah menyala. Ia harus keluar.Harus — bukan hanya untuk kebebasannya sendiri, tetapi untuk melanjutkan rencananya: menghancurkan Samuel dan Anne, sekali untuk selamanya.Di luar pintu, dua penjaga bergantian berjaga. Mereka berpakaian gelap, wajah kebanyakan kosong — orang yang melakukan tugas karena upah, bukan karena kesetiaan.Jeane mengamati mereka seperti predator mengamati mangsa; dia tahu tepat tit
Malam di lorong rumah sakit terasa dingin, lampu-lampu remang membuat bayangan panjang menari di dinding.Di dalam kamar perawatan intensif, suara mesin berdenyut lembut, menandai napas dan detak jantung Anne yang mulai stabil.Samuel duduk di kursi samping ranjang, matanya merah karena kurang tidur, namun wajahnya dipenuhi rasa syukur yang tak terkatakan.Di pangkuannya, handuk kecil yang dipakai Anne untuk mengelap bibirnya masih tersampul.Anne, yang tubuhnya masih lemah, menoleh perlahan saat mendengar suara-suara wajah yang akrab di luar.Ia sengaja membuka mata samar, ingin merekam setiap nada suara Samuel yang menenangkan itu.Namun, ia tidak sengaja mendengar cuplikan percakapan yang bukan untuk telinganya — sebuah bisik yang berubah menjadi pengakuan dan sumpah.“Daryl… aku sudah urus semuanya,” gumam Samuel pelan, suaranya hanya untuk orang di dekatnya.“Dokumen legal, bukti transaksi, saksi-saksi — aku akan membersihkan nama Anne sampai bersih. Kalau itu berarti aku harus m
Suasana kamar ICU dipenuhi suara mesin yang berdengung pelan. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara, dingin dan menusuk.Di samping ranjang putih bersih itu, Samuel duduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk.Wajahnya tampak lelah, mata merah karena berhari-hari tidak tidur. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Anne yang terasa dingin dan lemah.Sudah hampir seminggu Anne koma setelah kecelakaan mengerikan di panti asuhan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Samuel.Ia hanya bisa memohon pada Tuhan agar perempuan yang dia cintai kembali membuka matanya.Samuel mengusap rambut Anne dengan lembut.Suaranya parau ketika ia berbisik,“Anne tolong, bangunlah. Aku tidak peduli seberapa marah kau padaku, seberapa kecewamu padaku, asalkan kau tetap di sini bersamaku.”Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia merasa hancur, merasa gagal melindungi wanita yang selama ini menjadi pusat dunianya.Tiba-tiba, jemari Anne bergerak pelan di genggamannya. Samuel terhenyak dan jan







