Beranda / Romansa / Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan! / Bab 6. Rasa ini, Tak Seharusnya Ada

Share

Bab 6. Rasa ini, Tak Seharusnya Ada

Penulis: Arga_Re
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-31 15:38:46

“Ayah,” panggil Marley selepas melihat pesan masuk di ponselnya. 

Pandangan Arnon tertarik, pria itu mengangkat sebelah alis matanya walau mulutnya masih terbungkam saat Marley memanggilnya. 

“Aku akan pergi ke kamar mandi sebentar.” Pamit Marley beranjak dari kursinya.

Tetapi saat ia akan melangkah pergi, tangan dingin Giselle lebih dulu menahan. Ia seperti memohon lewat tatapannya agar tak meninggalkannya sendirian bersama Arnon. 

“Tenang saja, aku hanya sebentar. Ayah juga akan menjagamu.” kata Marley menenangkan sambil menepuk punggung tangan Giselle sekilas, kemudian melepaskannya. 

Marley benar-benar pergi meninggalkan rasa canggung pada Giselle. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa saat ini, tapi ia merasa kesalahpahaman yang terjadi harus diluruskan malam ini juga. 

Dengan segenap hati, Giselle memberanikan diri berbicara saat mata itu menatap wajah Arnon yang masih sama seperti sebelumnya. 

Tak berekspresi, pria itu sangat dingin hingga kepribadiannya sangat sulit ditebak. 

“T-tuan.” cicit Giselle memanggil dengan lirih. 

Mendengar kata ‘Tuan” yang disebut Giselle, Arnon kembali menarik senyum tipis. Walau tipis namun cukup mengusik relung hati Giselle yang tengah gelisah saat ini. 

“Tuan, saya—”

 “Kau merubah panggilan lebih cepat dari yang kuduga.” sela Arnon, intonasinya rendah nyaris tak ada nada. 

“Ma-af?”

“Tidak memanggilku paman lagi, hmm?” kepala itu miring, seringainya tercetak tipis. 

Gleg! 

Giselle meneguk ludah kepayahan berhadapan dengan Arnon, sekali lagi pria itu sangat terlihat dominan. Berulang kali Giselle harus meremas gaun di pangkuan hanya untuk membuat rasa dingin yang menguasai suhu tubuh menghilang. 

“S-saya hanya ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita sebelumnya.” kata Giselle, menyikirkan sejenak pada panggilan yang dikoreksi oleh Arnon. 

“Soal?”

 “Pekerjaan saya,” tandas Giselle.

“Pekerjaanmu di klub itu?” selidik Arnon, menaikkan sebelah alisnya.

Giselle menelan ludah, buru-buru menjelaskan, “Saya tidak benar-benar bekerja sebagai pengantar minum di klub. Malam itu, ibu dari teman saya sedang sakit, tidak bisa ditinggal untuk bekerja walau semalam saja. Namanya Sofia, dia meminta saya untuk menggantikan mengantar minum di ruang VIP yang Anda lihat. Sungguh, saya belum pernah menginjakkan kaki di tempat seperti itu.”

Giselle bahkan tak mengambil jeda sedikit pun hanya agar Arnon tidak berpikir ia bukan gadis baik-baik. 

“Kenapa baru menjelaskan sekarang?”

Giselle mengusap belakang lehernya, tidak enak dengan pertanyaan selanjutnya. 

“Karena … saya pikir Anda pria asing yang tidak akan pernah saya jumpai lagi. Saya hanya merasa tidak perlu memberi penjelasan.”

Penjelasan yang dikatakan Giselle, bahkan masih tak merubah raut wajah Arnon sama sekali.

Lihatlah! Sorot mata Arnon masih sama, dingin dan datar. Ekspresi pada wajahnya sangat sulit diartikan oleh Giselle, seakan ada kabut yang menghalangi jarak pandangnya. 

“Tuan, saya tidak berbohong.” imbuh Giselle, dengan cepat dia menyambar ponsel kemudian sibuk dengan benda pipih yang telah menyala. 

Di tempat duduknya, Arnon mengernyit melihat gelagat Giselle yang seperti mencari sesuatu untuk diperlihatkan padanya. 

“Saya bekerja di salah satu bakery,” kata Giselle, menunjukkan potretnya saat sedang menghias tart di ruang kitchen, “Di Batterbake. Jika Anda tak percaya, Anda bisa datang ke sana dan menanyakan secara langsung pada kepala Bakery.”

Arnon menatap lekat pada foto yang diperlihatkan oleh Giselle dari layar ponselnya. Ibu jarinya mengusap dagu sendiri saat tatapan serius itu tak teralihkan. 

“Apa alasanmu menjelaskan padaku perihal pekerjaanmu? Apa benar hanya ingin memutus kesalahpahaman yang terjadi?”

Giselle masih diam, ia bisa melihat jika Arnon masih ingin berbicara. 

“Jika hanya karena kesalahpahaman, kau salah. Aku sudah tak mengingat lagi kejadian malam itu,” tandasnya lugas. 

Mendengar itu, Giselle kian menundukkan kepalanya, ia tahu jika ia tak cukup berharga untuk diingat Arnon. Tetapi entah kenapa, tak di anggap itu tetap saja menyakitkan. 

“Tidak, Tuan. Saya takut Anda tidak merestui hubungan saya dengan Marley, menganggap saya wanita buruk karena telah bekerja disana.” paparnya, lirih namun cukup jelas di telinga Arnon. 

“Kau sangat mencintainya?”

 “Kami telah menjalin hubungan yang begitu lama.”

“Bukan itu yang ku tanyakan.”

 “Jika saya tidak mencintai Marley, tidak mungkin saya berada di hadapan Anda saat ini. Tidak mungkin juga saya membuang banyak waktu untuk bersamanya.”

Arnon manggut-manggut, mengerti.

“Marley, dia tidak tahu apa yang terjadi di malam itu? Atau dia tidak tahu kau sedang menggantikan pekerjaan temanmu?”

“Keduanya. Marley tidak tahu apa pun.” lirih Giselle. 

“Menjalin hubungan tanpa adanya kejujuran satu sama lain.” simpul Arnon mendesis. 

“Tidak!” Giselle memekik cukup panik. 

Kenapa bisa Arnon mengambil kesimpulan demikian? Seharusnya Arnon mengerti jika tak mudah bagi Giselle mengatakan dengan jujur. 

“Saya hanya tidak ingin membuat Marley kecewa,” ujar Giselle membela diri. 

“Dengan berbohong padanya.”

Giselle menghela nafas dengan berat, dari bola matanya terpancar rasa pasrah. Sebuah kesalahan yang tak diungkapkan memang cukup menyesakkan dada. 

“Sejujurnya jika saya boleh memilih, saya juga tidak ingin berbohong pada Marley. Saya juga tidak menginginkan peristiwa itu terjadi pada hidup saya. Mungkin saya egois, namun—”

 “Hmm, aku mengerti,” tandas Arnon lebih cepat dari penjelasan yang akan dibeberkan pada Giselle. 

Giselle terperangah, saat ia akan membuka mulut lagi untuk berbicara, Marley sudah datang. 

Kekasih Giselle tersebut datang sambil melempar canda pada Noel yang masih ada disana.

“Apa aku terlalu lama?” tanya Marley pada Giselle saat lelaki itu sudah kembali duduk di tempatnya. 

Giselle hanya menggeleng, ia sempat mencuri pandang pada Arnon. Dan ya! Pria itu kembali menyesap alkohol dengan gerakan pelan. 

Raut wajah Arnon masih acuh tak acuh seakan tidak ada hal serius yang diobrolkan beberapa detik yang lalu bersamanya. 

“Noel, kemari, duduk di sampingku, kita makan bersama-sama!” ajak Marley, menyeret pelan lengan Noel yang dipaksa untuk duduk di kursi sebelahnya. 

Noel bersama Marley sempat saling adu mulut singkat, sebuah candaan sebab Noel sempat menolak ajakan Marley. 

Tapi Marley lebih dulu menuang wine ke beberapa gelas, diberikan pada Noel, lalu ayahnya, dan tanpa sadar gelas itu digeser pada Giselle. 

Itu merupakan kebiasaan Marley saat berkumpul dengan beberapa rekan ayahnya. Dia bahkan melupakan jika yang berada di sampingnya adalah Giselle. 

“Ayo lagi,  minum lebih banyak lagi,” ledek Marley pada Noel. 

Marley memang kerap kali meledek dan dengan antusias menuangkan beberapa kali gelas Noel yang sudah kosong. 

“Aish, kau ingin membuatku mabuk.” protes Noel. 

“Satu gelas  lagi tidak akan membuatmu mabuk. Kau kan sangat pandai minum.”

“Tapi ini bukan pesta perayaan.”

“Tak masalah, ayo minum lagi.”

Giselle yang menyaksikan kekasihnya sedang beradu minum bersama Noel hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. 

Kesenangan pria memang berbeda, Giselle juga tak pernah melarang Marley untuk melakukan apa pun asal tidak melebihi batas.

Sedangkan Giselle sendiri sedang menatap pada gelas yang diisi cairan alkohol. 

Haruskah ia minum?

Ini pertama kalinya Giselle duduk di resto mewah bersama Marley, biasanya ia akan meminta ke kedai kopi biasa. 

Apa minum memang wajib di saat seperti ini?

Giselle bimbang namun, benaknya berpikir jika iya ia sampai mabuk akan ada Marley yang melindunginya. 

‘Ah, sudahlah, mungkin aku harus meminum walau sedikit untuk menghargai mereka.’ batin Giselle. 

Setelah lama bertarung, perlahan-lahan Giselle mengangkat tangan kanan, ia hendak mengambil gelas hingga …

Grep! 

Gelas itu sudah lebih dulu direbut oleh Arnon, digantikan dengan minuman bebas alkohol. 

Mata Giselle mengerjap, ia terpaku beberapa saat hingga mendengar suara Arnon yang datar berbicara. 

“Minumlah.” suruh Arnon, menunjuk gelas yang sudah ditukar melalui ekor matanya. 

Cepat-cepat Giselle mengalihkan pandangannya, kemana saja asal tidak lagi bersitatap dengan Arnon. Perasaan di hatinya entah kenapa terasa aneh. 

Seharusnya, perasaan ini tak boleh ada. Giselle merasa kalut. 

Sedangkan Marley— lelaki itu masih sibuk beradu minum dengan Noel. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 34. Kamar Yang Sama

    Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Marley, ketika Marley baru saja membuka pintu apartemen setelah mendengar bel yang berbunyi. Mata Marley terbelalak melihat siapa yang saat ini berdiri dihadapannya. Terlebih lagi terkejut siapa sosok yang berani melayangkan tamparan padanya. “Apa-apaan ini, Marley. Apa kau sepakat untuk mempermainkanku dengan Arnon.” Bella, wanita itu datang tanpa diundang membawa gema kemarahan. Bella mendorong tubuh Marley yang berdiri di tengah pintu, kemudian dia masuk tanpa menunggu persetujuan dari Marley. Bahkan tindakan tersebut lebih cepat dari respon Marley yang terkejut dengan kedatangan Bella yang tiba-tiba. “Bukankah kau mengatakan jika hari ini akan menjadi hari pernikahanmu bersama gadis yang kau cinta. Tapi apa yang kulihat hari ini?!” Bella menekan setiap protes sambil menghempaskan pantat ke sofa. Bella tidak berhenti bicara sampai disitu saja. “Aku justru harus menyaksikan pernikahan pria yang selama ini aku cinta, pria yang ku harap

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 33. Seperti Palu Takdir

    Langkah Giselle menggema pelan di sebuah lorong dengan karpet merah. Di depan sana pastor sudah menunggu kedatangan pengantin untuk mengucapkan sumpah pernikahan.Setiap derap heals beradu dengan bunyi sepatu Arnon seolah menghitung detik yang tersisa sebelum hidup Giselle benar-benar berubah. Gaun itu bergerak anggun, berbeda dengan bahu Giselle yang tegang menahan ribuan pasang mata yang kini menatap penuh tanda tanya terhadapnya.Giselle sadar arti tatapan semua tamu yang memenuhi kursi sisi kanan dan kiri. Bukan hanya pada kebiasaan yang akan dilaksanakan saat sumpah pernikahan. Biasanya pengantin pria akan menanti di depan sana, tapi kini Arnon sendiri yang menggandeng tangan Giselle untuk menguatkan Giselle melangkah. Dan ya! Keheranan itu juga datang karena pengantin pria tak sama seperti bayangan mereka. Bisik-bisik mulai berhembus tanpa bisa dicegah.“Itu Giselle, kan?”“Kita tidak sedang salah masuk ke dalam gedung pernikahan orang lain, kan?“Iya, benar, kau tidak salah

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 32. Pernikahan

    Pagi datang tanpa benar-benar membawa sinar cahaya bagi Giselle.Ia berdiri di depan cermin tinggi masih di dalam kamar dengan nuansa yang sama. Tubuh ramping miliknya sudah terbalut gaun pengantin berwarna gading. Kainnya jatuh sempurna mengikuti lekuk badan Giselle yang ramping. Belum lagi ditambah renda halus menghiasi bahu hingga sebatas dada, seolah gaun itu diciptakan khusus hanya untuk menjadikan ratu bagi Giselle. Namun … pantulan di cermin nampak terasa asing.Perempuan di dalam kaca itu terlihat cantik dan anggun secara bersama. Terlalu cantik untuk seseorang yang semalam hancur berkeping-keping karena sebuah pengkhianatan. Sisa malam bahkan tidak membuat Giselle merasakan ketenangan sama sekali. Ia benar-benar tidak bisa terlelap dalam tidur di sisa malam. ‘Apa keputusan ini sungguh benar?’ ia sedang bertanya pada hatinya sendiri. Mungkin lebih tepatnya, bisa disebut bertarung pada keputusan yang telah diambil dengan terburu-buru. Jari lentik dengan nail art itu naik

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 31. Besok, Akan Menjadi Hari Yang Panjang

    “Tolong, bawa aku pergi.” pinta Giselle menghiba. Permintaan tersebut membuat Arnon menatap Giselle cukup lama. Sorot mata Arnon juga tak berubah, tetap dingin, tetap tegas namun ada sesuatu yang mengeras di rahangnya.Bukan ragu melainkan keputusan yang diambil dalam benaknya.“Baik,” ucap Arnon singkat.Satu kata yang terlontar dari Arnon sudah cukup membuat Marley kehilangan kendali.“Ayah!” seru Marley tak sadar membentak, “Ayah tidak bisa—” dia ingin mengajukan protes namun, Arnon lebih cepat memotong. “Kau sudah terlalu banyak bicara malam ini,” potong Arnon tanpa menoleh. “Dan sudah terlalu banyak menyakiti.”Arnon meraih bahu Giselle saat mengatakan hal tersebut, bukan dengan rangkulan kasar, bukan pula dengan kelembutan yang berlebihan. Pegangan Arnon stabil, meyakinkan seolah berkata ‘Giselle aman sekarang.“Aku akan membawamu pergi,” kata Arnon lagi pada Giselle sambil melirik sekilas pada Marley.Mendengar hal tersebut, Marley yang tidak terima lantas melangkah untuk m

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 30. Arnon, Bawa Aku Pergi...

    "Nona Sofia memang sedang hamil saat ini. Tapi kami sangat menyayangkan bahwa bayi dalam kandungan Nona Sofia tidak bisa diselamatkan. Saya menemukan bahwa Nona Sofia sering mengkonsumsi minuman keras ditambah lagi dengan tekanan yang baru saja beliau alami, membuat kandungannya lemah dan tak mampu dipertahankan." Penjelasan dokter tersebut terasa mendengungkan telinga Giselle. Keterangan tersebut bukan membuat Giselle iba namun, justru membuat Giselle semakin terhantam oleh fakta mengenai Sofia yang memang sedang hamil saat ini. Tubuh Giselle lemas tak bertenaga, matanya memanas karena telah berkaca-kaca oleh genangan air mata. Kenapa mereka harus begitu tega. Apa salahnya selama ini? Giselle bertanya-tanya mengenai kekurangan pada dirinya sendiri hingga harus mendapatkan penghianatan dari orang terdekat. "Giselle, ini bukan salahmu." Septia— dia yang selalu setia mendampingi Giselle kini mengusap punggung Giselle untuk menenangkan

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 29. Hancurnya Di khianati

    "Aku sungguh tidak tahu apa salah Sofia. Kenapa Sofia harus diincar oleh mereka. Apa motif mereka melakukan hal kejam seperti ini." Giselle mengeluh, dia meremas kedua tangan yang telah dingin saat berdiri di lorong panjang rumah sakit.Giselle yang ditemani oleh Septia, kini masih menunggu Sofia yang diperiksa oleh dokter saat sahabatnya itu tidak sadarkan diri beberapa menit yang lalu.Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Malam semakin merangkak naik hingga menyentuh waktu tengah malam, sementara pernikahan Giselle tetap menanti esok hari. Namun masih tidak ada tanda-tanda kapan ia bisa kembali ke hotel. "Giselle, tenangkan dirimu. Dari pada kau berjalan kesana kemari tak tentu. Lebih baik duduk saja dengan tenang dan tunggu dokter yang memeriksa Sofia keluar." kata Septia, saat tak tahan melihat Giselle yang tak berhenti berjalan kesana kemari dengan gelisah. "A-aku tidak bisa tenang, Septia.""Ingat, besok kamu juga harus menikah. Malam ini, kamu justru berakhir di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status