Pagi itu Nara sudah bangun dan segera menyiapkan makan pagi untuk Jaden. Nenek yang berada di dalam dapur sedikit terkejut melihat ada Nara di sana.
"Kamu sedang apa di sini, Nara?" "Pagi, Nek, aku sedang membuat makan pagi untuk tuan JL." Tangan Nara sembari mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang. "Tuan JL?" Nenek melihat bingung pada Nara. "Tuan JL itu ya cucu Nenek." "Kenapa kamu memanggil cucuku dengan sebutan Tuan JL?" "Tuan Jaden Luther dan aku singkat Tuan JL saja." "Hm! Kamu ini bisa-bisa mendapat masalah memanggil cucuku seperti itu. Dia itu orang yang tidak suka dikatai aneh-aneh." "Itu bukan aneh, Nek, tapi itu inisial nama saja. Dia kalau mau marah ya aku biarkan saja, kan memang dia suka sekali marah-marah." "Cucuku itu dulu memang orang yang tegas dan kaku, tapi dia selalu menunjukan rasa sayangnya padaku, Nara, tapi sejak kejadian itu dia bahkan sama sekali tidak pernah memeluk neneknya ini, padahal aku sangat merindukan dia memanggilku wanita tua cantikku." Wanita sepuh di samping Nara berdiri itu tampak meneteskan air matanya. "Nenek jangan menangis." Tangan Nara mengusap punggung nenek Miranti dengan lembut. "Kita akan berusaha agar Tuan JL bisa kembali seperti dulu dan aku juga berharap dia bisa berjalan lagi, Nek." Nenek melihat Nara yang sepertinya melamun setelah mengatakan hal itu. "Nara, kamu memikirkan apa?" Tepukan tangan nenek Miranti pada pundak Nara membuat wanita itu seolah kembali menginjakkan kakinya di bumi. "Aku hanya memikirkan semoga apa yang aku lakukan bisa membuat Tuan JL sembuh, walaupun aku tau jika hal itu sulit, tapi aku tidak mau putus asa dulu." "Kenapa kamu sepertinya ingin sekali cucuku sembuh, Nara?" Nara mencoba menyembunyikan rasa keterkejutan atas pertanyaan nenek dengan tersenyum. "Nek, aku sudah memilih menjadi pelayan Tuan JL dan aku harus bertanggung jawab, lagi pula bukannya aku sudah berjanji pada Nenek jika aku akan bekerja sebaik mungkin agar Tuan Jaden bisa berubah seperti dulu." Nenek Miranti seketika memeluk Nara yang membuat Nara terkejut. "Terima kasih, Nara, aku tidak tau apa yang harus aku berikan sama kamu yang sampai sekarang masih bertahan bekerja di sini? Mungkin gaji yang aku tawarkan juga tidak cukup untuk mengganti semua perlakukan yang sudah cucuku lakukan." "Nenek tidak perlu berpikir seperti itu. Gaji yang Nenek tawarkan lebih dari cukup." "Baunya enak sekali!" Tiba-tiba suara Reno terdengar di sana. "Nara yang sedang membuat sarapan pagi untuk Jaden, Ren. Oh ya! Apa semua sudah kamu selesaikan?" "Sudah, Nek, hanya tinggal sedikit saja dan nanti malam rencana bisa dijalankan." "Bagus kalau begitu. Aku benar-benar semalaman tidak bisa tidur memikirkan bagaimana reaksi cucuku saat dia tau kamu culik dan berada di rumah kenangan?" Nenek melihat ke arah Nara. "Aku berharap dia tidak menyuruh orang untuk membunuhku nantinya, Nek." "Itu juga yang terlintas dipikiranku, Nona Nara. Nona Nara takut ya?" Nara menggeleng pelan. "Aku tidak pernah takut akan kematian, Ren. Aku hanya takut meninggal sebelum menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan," ucap Nara pelan sembari melamun. "Maksud Nona Nara apa sih?" "Sudahlah! Aku mau mengantarkan sup jagung untuk Tuan JL, dan setelah itu aku akan membawa dia pergi terapi." Nara menuangkan sup yang dia buat ke dalam mangkuk. "Sup jagung? Kenapa kamu bisa mengetahui makanan kesukaan cucuku?" "Nek, sebelum masuk ke sini dan melamar menjadi pelayan Tuan JL, aku harus mencari tau semua hal tentangnya agar aku tidak salah nantinya." Nara tersenyum dan pergi dari dapur dengan baki yang berisi makanan kesukaan Jaden. Reno melihat ke arah Nenek Miranti dengan aneh. "Nek, sebenarnya Nona Nara itu pelayan atau dia bidadari yang menyamar menjadi manusia?" "Siapapun dia, aku berharap Nara bisa membuat cucuku kembali seperti dulu." Nara berdiri di depan pintu kamar Jaden yang masih tertutup. "Semoga dia tidak menuangkan sup panas ini pada mukaku." Nara mengetuk pintunya, tapi dia tidak mendapat jawaban. Beberapa kali Nara mengetuk tetap saja tidak mendapat jawaban. "Nara, sebaiknya kamu tidak menganggu Tuan Muda, dia pasti masih tidur dan akan bangun sesukanya," ucap seorang pelayan yang sedang membersihkan ruangan di sana. "Tapi dia ada jadwal untuk terapi hari ini." "Tuan muda tidak pernah mengikuti terapi lagi setelah dia jatuh dan merasakan sakit pada pinggangnya. Tuan muda sepertinya tidak memiliki keinginan untuk sembuh, apa lagi setelah mendengar vonis dokter itu." Nara tampak terdiam sejenak. Dia kemudian mencoba membuka pintu kamarnya dan ternyata tidak dikunci. Nara masuk dan melihat di sana masih tampak gelap karena tirai di kamar Jaden yang masih tertutup rapat. "Bagaimana dia bisa sembuh kalau malas begini?" Nara meletakkan baki yang dia bawa dan perlahan berjalan menuju jendela kamar Jaden. "Shit! Siapa yang menyuruhmu membuka tirainya?" suara bentakan Jaden marah. "Selamat pagi, Tuan JL, saya membawakan sarapan pagi untuk Tuan." Jaden mengucek kedua matanya saat tirai sudah terbuka semua. Jaden yang masih berbaring di atas tempat tidurnya melihat kesal pada Nara. "Pelayan tidak tahu diri! Kenapa kamu menggangguku? Apa kamu tidak tahu kalau aku akan bangun tidur sesuai keinginanku?" "Saya tahu, tapi hari ini Tuan JL ada terapi, jadi Tuan JL harus bangun pagi dan nanti kita pergi ke tempat terapi." "Aku sudah katakan kalau aku tidak mau tetapi. Pergi kamu dari kamarku karena aku mau melanjutkan tidurku." Jaden sekarang malah memiringkan tubuhnya, membelakangi Nara. "Tuan JL harus bangun." Nara mencoba membalikan tubuh Jaden dengan sekuatnya. "Kamu benar-benar berisik sekali." Jaden menarik tangan Nara dengan kasar. "Auw!" Kedua orang itu seketika terdiam karena bibir mereka menyatu dengan sempurna. Jaden tiba-tiba mendorong Nara dengan kasar. "Shit! Dasar pelayan tidak tahu diri!" Jaden mengusap bibirnya dengan marah. Nara pun mengusap bibirnya dengan wajah kesal. "Saya minta maaf, tapi Tuan JL tadi yang menarik tangan saya." Nara memijit tangannya yang memang terasa sakit. Jaden segera beringsut dan duduk bersandar pada tepian ranjang. "Aku sangat membencimu, pelayan tidak tahu diri!" "Aku akan menyiapkan air hangat untuk, Tuan Jaden." Nara masuk ke dalam kamar mandi dan membuka air pada bathub, kemudian dia keluar lagi mengambilkan baju ganti untuk Jaden. Jaden hanya duduk diam di tempatnya melihat apa saja yang pelayannya lakukan. Beberapa menit kemudian Nara berdiri di depan Jaden dan memberitahu jika air hangat untuk Jaden mandi sudah siap. "Baiklah, aku akan mandi jika kamu mau memandikanku, Pelayan." Kedua mata Nara seketika membulat kaget. "Memandikan Tuan JL? Saya hanya akan membawa Tuan masuk ke dalam kamar mandi dan membantu duduk pada tepian bathub saja. "Kamu mau atau tidak?" tanya Jaden tegas."Nara masih serius mendengarkan cerita dari Jaden tentang rencana Jaden memberi kejutan untuk Kalista dan Devon. Jaden juga bercerita jika dirinya tidak memperbolehkan Reno ataupun Nenek Miranti menghubungi Nara setelah acara itu. Jaden membutuhkan banyak waktu. Ada perasaan lega dan bahagia saat Nara mengetahui jika pria lumpuhnya yang kini sudah bisa berjalan itu tidak jadi menikah dengan Kalista. Nara tiba-tiba ditarik pinggangnya oleh Jaden dengan tangan yang masih bebas sampai wajah Nara sangat dekat dengan wajah pria itu. "Sekarang, apa kamu mau menikah denganku tidak?" "Apa? Aku?" Nara pun tentu saja tersentak kaget dengan pertanyaan dan gerakan Jaden yang tiba-tiba."Tentu saja, Nara! Aku ini ingin menjadi ayah sambung bagi Nio.""Em ...." Nara malah bingung sendiri. Nara bukannya bingung hanya saja dia masih benar-benar tidak percaya dengan semua ini."Kenapa kamu lelet sekali menjawabnya? Kalau orang bicara, kamu harus fokus mendengarnya!" omel Jaden.Kedua alis Nara malah
Devon berdiri di antara kerumunan orang-orang yang hadir di acara akad nikah Jaden Luther dan Kalista. Pria itu tampak tersenyum miring saat mengakhiri panggilan teleponnya dengan Kalista. "Dev, kenapa kamu bisa datang ke sini? Apa kau dan si lumpuh itu sudah berteman lagi?" tanya Andrew yang tiba-tiba menghampiri temannya itu. Andrew tetap bersikap seolah-olah dia tidak terlalu akrab dengan Devon."Iya, aku dan si lumpuh itu kembali berteman dan aku senang sekali karena aku nanti bisa dengan mudah menghancurkannya sekali lagi. Kakak tirimu itu benar-benar pria yang sangat bodoh," umpat Devon lirih."Dia tidak hanya bodoh, tapi juga lumpuh." Andrew pun tersenyum miring.Reno yang berdiri tidak jauh dari sana, tampak geram melihat dua orang yang sedang berbicara itu. Meskipun dia tidak mendengar apa yang sedang dikatakan oleh Devon dan Andrew. Namun, Reno tahu, pasti dua orang itu memiliki niat jahat pada Tuna Muda Jadennya, mengingat, Reno sangat tahu apa yang sudah Devon dan Andrew
Nara berjalan keluar menemui seseorang yang ingin bertemu dengannya. Saat berada di luar cafe. Tepatnya meja pelanggan yang ada di bagian halaman luar. Nara memindai pria yang berdiri tegap dengan membelakanginya. Kedua mata Nara tampak heran melihat penampilan pria yang saat ini mengenakan suit lengkap itu."Selamat pagi, maaf, apa Anda orang yang ingin bertemu dengan saya?" tanya Nara dengan sopan. "Ibu!" seru seseorang yang baru saja turun dari dalam mobil tepat di depan cafe miliki Nara."Nio? Kamu kenapa bisa ke sini? Ibu juga di sini?" Kedua mata Nara pun mendelik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka akan melihat putranya dan ibunya di sini."Nio, jangan berlarian, Sayang!" pekik sang Nenek, tapi bocah tampan itu malah sudah menyambar pelukan di pinggang Nara.Nara yang masih berdiri di sana tampak tercengang, tapi tangannya membalas memeluk tubuh putranya. Bocah laki-laki itupun terlihat tidak melepaskan pelukannya. Dia seolah sangat bahagia bisa berada di tempat selain ruma
Sudah hampir sebulan Nara berada di Belanda. Dia sengaja pergi di saat pria yang sangat dia cintai memilih untuk memiliki masa depan dengan wanita lain. Sakit? Tentu saja sangat sakit, oleh karena itu Nara memutuskan untuk pergi ke Belanda. Setidaknya di sana dia bisa menghabiskan waktu dengan putra yang baginya sebagai obat akan kesedihan yang sedang dia alami. "Ibu, kenapa kemarin malam aku lihat Ibu menangis dia sudut sofa? Apa ada yang membuat Ibu sedih?" tanya polos Nio yang sekarang sedang disuapo oleh Nara. "Ibu tidak apa-apa, Nio. Mungkin Ibu hanya sedih karena lusa Ibu harus pulang. Ibu harus bekerja juga soalnya." Nara sebenarnya berbohong pada putranya itu. Dia teringat kembali akan kebersamaannya dengan Jaden. "Ibu, kata dokter Nio sudah lebih baik dan beberapa bulan lagi, Nio sudah dibolehkan pulang jika keadaan Nio semakin membaik. Kita bisa tinggal bersama." "Iya, Sayang. Nio nanti menurut pokoknya dengan semua ucapan yang dokter suruh agar keadaan Nio semakin memba
Jaden yang sedang berada di dalam kantornya, tampak melihat beberapa berkas di tangannya. Dia terlihat sangat serius membaca setiap tulisan yang ada di sana. Tak lama pintu ruangannya di ketuk."Pak, ada yang ingin bertemu dengan Anda," ucap wanita dengan rambut sebahunya yang adalah sekretaris Jaden Luther.Pandangan Jaden seketika dialihkan pada pria yang baru saja memasuki ruangan itu. Pria dengan sorot mata nanar itu memandang Jaden Luther."Ada apa kau datang ke sini?" tanya Jaden dingin."Selamat, akhirnya kamu mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu, Tuan Jaden Luther," ujar pria itu datar."Kalista maksudmu?" jawab Jaden dingin."Iya, kau dan dia akan menikah bukan? Aku menghubunginya, tapi dia marah padaku dan mengatakan sebentar lagi dia akan menikah denganmu."Jaden mendorong kursi rodanya berjalan mendekat ke arah Devon yang berdiri tepat di depannya. "Tentu saja, dia akan menjadi milikku seperti seharusnya. Namun, aku sama sekali tidak merasa menang karena
Nenek Miranti sudah kembali ke rumahnya. Keadaan wanita tua itu sudah dinyatakan baik-baik saja. Nara sesuai janjinya akan pergi dan kembali pada kehidupannya seperti biasanya. Nenek dan Nara bisa bertemu hanya melalui telepon karena Jaden tidak ingin jika neneknya akan kenapa-napa karena terlalu dekat dengan wanita itu."Reno, bagaimana dengan persiapan hari pernikahannya?" tanya Jaden disela-sela makan malamnya bersama dengan para keluarganya.Reno yang berdiri di sana tampak melihat pada Nenek Miranti yang memperlihatkan wajah datarnya. Reno malas sebenarnya harus diminta mempersiapkan acara pernikahan Jaden dan Kalista. Dirinya seolah menjadi pengkhianat bagi Nara."Persiapannya sudah hampir seratus persen, Tuan Jaden.""Bagus kalau begitu." Wajah Jaden tampak puas."Apa kamu sudah benar-benar memikirkan masalah ini, Jaden?" tanya wanita tua itu lembut."Sudah, Nek. Aku ingin segera menikah dengan Kalista. Aku ingin menyelesaikan semuanya agar setelah ini kehidupanku jauh lebih te