Edwin sedikit gugup dan panik saat melihat dua orang petugas sudah berada di dekat pintu mobil. “Buka pintunya!” perintah seorang dari mereka. Hanz membuka pintu lalu turun. “Iya, ada apa, Pak? Ada masalah dengan kami?”Setelah mengawasi keseluruhan bagian luar mobil, petugas tersebut memindai apa saja yang ada pada Hanz, dari atas sampai bawah. “Kau dari mana dan mau ke mana? Ada berapa orang kalian?”Hanz tidak boleh panik. Jangan sampai dia menampakkan ekspresi tegang atau hal apa pun yang bakal memancing kecurigaan petugas. Jika salah sedikit saja, selesai. Sementara itu, setidaknya ada selusian mobil yang juga disetop oleh petugas di sekitar lampu merah terakhir kawasan ujung Basel. Sebelum keluar dari Basel, mereka harus diperiksa terlebih dahulu. Termasuk kendaraan yang ditumpangi oleh Hanz dan Edwin. Sirine mobil petugas dan lampunya yang berkerlap-kerlip semakin membuat dada Edwin kian bergemuruh. Dia mengawasi sekeliling. Lebih dari tiga puluh petugas yang terdiri dar
Edwin semakin berkeringat dingin saat melihat dari dalam kalau petugas sudah mau membuka pintu. Kecemasan dan ketakutan semakin menyerang nya. Seandainya petugas benar benar memeriksa nya, bahkan dia tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ketenangan nya semakin terkikis seiring berjalan nya waktu. Lantas, bagaiamana cerita selanjutnya? Kendati begitu, Hanz segera mengambil ponsel dari saku dan memperlihatkan sesuatu pada mereka. “Berita terbaru. Edwin Joyden sekarang rupanya sedang berada di Freiburg, Jerman. Lihatlah!”Pria berkulit hitam yang tadi ingin membiarkan Hanz pergi lantas membaca berita tersebut, dan tidak lama berselang, dia pun berkomentar, “Benar. Edwin berada di Freiburg. Dia pergi ke utara, bukan ke selatan. Petugas di sana sedang mencarinya.”Si pria berkumis penasaran lalu juga membaca berita yang dipublikasikan oleh media ternama Eropa. Beberapa detik kemudian dia pun terhenyak sambil menghela napas panjang. “Benar. Berita itu benar.”Rekannya menimpali, “Ya
Hanz dan Edwin tersentak kaget. Baru saja mereka bisa bernapas lega dan segera pergi dari tempat berbahaya ini, tiba-tiba saja dua petugas tadi malah menghadang mereka lagi. Edwin tidak bisa menahan cemas yang menggelayut di wajahnya. Jantungnya langsung bergemuruh disiksa rasa gugup yang membuncah. Lantas, apakah ini adalah akhir dari perjalanan hidupnya? Pria hitam berbadan besar itu mengetuk kaca mobil dan cepat menyuruh Hanz untuk segera keluar. Hanz membuka pintu mobil lalu keluar. “Ada apa, Pak?” tanyanya dengan nada yang sedikit ada keresahan, hanya saja sebisa mungkin dia tidak gugup. Namun, Hanz justru melihat sunggingan senyum lebar pada bapak itu. “Hanz, kami lupa mengembalikan SIM-mu dan kartu Identitas teman mu. Maaf ya.” Pria itu belum menghilangkan senyumannya. Oh, rupanya dua kartu itu lupa dikembalikan. Hanz ketawa sedikit sambil menerima dua kartu tersebut. “Hampir saja lupa. Wajar Bapak berdua tampak buru-buru tadi. Kami kira ada apa. Oke baiklah. Terima kasi
Tadi Hanz mampir sebentar ke sebuah mini market, membeli beberapa makanan minuman. Meskipun waktu tempuh menggunakan mobil hanya dua jam saja, mereka butuh asupan, terlebih kepada Edwin yang makin lama makin lemas. Sambil menyetir Hanz meneguk kopinya. Dia butuh cairan dan kafein untuk kembali menambah energi dan semangatnya. “Edwin, makanlah rotinya. Jangan sampai kau sakit sungguhan.”Edwin mengulas senyum dan kesulitan bicara. Dia tidak menyangka kalau rupanya Hanz tidak hanya jago perkara IT dan sedikit humoris, tapi juga cukup mahir berakting. “Aku salut pada mu, Hanz, padahal usia mu baru dua puluh. Sementara aku sudah tiga puluh lima. Kita beda jauh, tapi kau luar biasa.”Hanz tidak suka pujian. “Aku tidak sebagus dari apa yang ada di pikiran mu, Edwin. Sebagaimana manusia biasa, aku juga banyak kekurangan dan kesalahan. Jangan berlebihan menilaiku. Tidak ada yang spesial dariku.”Padahal, apa saja yang sudah Hanz lakukan itu sebenarnya luar biasa. Kalau saja bukan Hanz akto
Hanz berjongkok di dekat ban yang pecah. Jika biasanya orang pada mengeluh ketika mendapat musibah, sebaliknya, Hanz tidak berkomentar apa pun dan tidak pula bersedih. Masalah, solusi. Tapi, di sekitar sini cukup sepi dan bengkel pun jauh. Kemudian dia mengambil ponsel di saku celana dan menghubungi Avraam. “Jangan lebih dari satu jam. Cepatlah!”Sementara Edwin tetap berada di dalam mobil. Dia tidak boleh keluar karena berbahaya. Selagi mereka masih berada di sekitar sini dan belum sampai di rumah, mereka mesti tetap menjaga diri. Mereka belum aman. Hanz menyilangkan tangan di dada sembari meluaskan pandangan. Pemandangan yang sungguh indah. Swiss memang terkenal dengan nuansa alamnya yang bagus. Tetap keren walaupun hanya bentangan alam biasa. Satu jam berada di sini dengan menyaksikan pemandangan tentu bisa sambil merefleksikan diri sementara waktu.Hanz menarik napas cukup dalam sambil tersenyum tipis, berupaya menghilangkan rasa tak nyaman yang barusan melanda dirinya. Bebe
Usai memperhatikan setiap ucapan dan gerak gerik empat pria tersebut, akhirnya Hanz menilai bahwa mereka bukanlah petugas yang sedang melakukan penyamaran, melainkan mereka hanyalah preman jalanan yang kebetulan lewat. Hanz bernapas lega karena dugaannya tidak benar. Dia justru senang kalau mereka ternyata preman, bukan petugas seperti FBI dan kepolisian. Preman tidak lebih menakutkan ketimbang FBI. Hanz malah mengajak mereka bicara, “Apa kalian bisa membantu kami? Ban mobil kami pecah. Entah lah mungkin hanya kempis saja.”Tetap, mereka tidak menggubris omongan Hanz. Ketika Roger sudah berada di dalam mobil, tiga anak buahnya mendesak agar segera melakukan tindakan cepat. “Mereka pasti bawa barang berharga seperti ponsel dan jam tangan.”“Dompet mereka juga pasti ada isinya.”“Kita dapat rejeki nomplok, Bos. Kenapa malah pergi? Kita tidak perlu membegal dan merampok seperti biasanya. Mangsa sudah ada di depan mata.”Roger bersedekap sambil memperhatikan mobil yang menepi di depa
“Hanz, kita tidak perlu lagi melanjutkan hubungan kita. Setelah lulus, aku ragu jika kau punya masa depan yang cerah. Selamat tinggal!”Hanz tercekat dan merinding. Seakan-akan dadanya mau runtuh mendengarnya. Hanz jelas tidak bisa menerima kalimat perpisahaan tersebut hanya dengan alasan masa depannya yang tidak cerah.Hanz menatap Alyona dengan bingung lalu berkata lembut, “Kita sudah empat tahun menjalani hubungan selama kita kuliah di sini. Bagaimana mungkin kau ingin pisah begitu saja?”Alyona mengerutkan bibirnya lalu menjawab sadis, “Selama empat tahun aku hanya memanfaatkan kecerdasanmu, Hanz. Apa kau tidak sadar bahwa aku seperti parasit? Aku memang tidak butuh uangmu karena kau miskin. Kau tidak bisa diandalkan dalam persoalan finansial. Bagaimana mungkin aku akan bahagia dalam berumah tangga dengan pria pekerja cafe sepertimu?”Hanz menengok ke belakang. Sebentar lagi acara wisuda akan segera dilaksanakan. Topi toga di atas kepalanya rasanya mau jatuh berdebam. Suara riuh ra
Keluarga Fadeyka merupakan keluarga terkaya di dunia!Anak kandung dari Tuan Dmitry Fadeyka pertama bernama Feofan Fadeyka, saat berumur enam tahun, tewas dibunuh oleh seorang mantan buruh yang bekerja di Oilzprom, alasannya si buruh tidak terima diperlakukan semena-mena oleh Tuan Dmitry.Tuan Dmitry dikenal sebagai sosok yang arogan dan kejam. Oleh karena itu, banyak orang yang benci terhadapnya, sampai-sampai ingin menghancurkan kehidupan keluarganya. Saat kelahiran anak kedua bernama Stefan Fadeyka, Tuan Dmitry langsung mengasingkannya di pedalaman Rusia dengan alasan keamanan dan keselamatan. Begitu juga dengan anak ketiga. Jangan sampai mati sia-sia seperti Feofan. Sementara putri bungsunya nomor empat bernama Misha Fadeyka menetap di kediamannya yang super mewah dengan penjagaan super ketat di Rusia. Misha tidak sekolah formal seperti wanita pada umumnya, tetapi belasan tahun hanya belajar privat di rumah.Tuan Dmitry sangat merahasiakan keberadaan anak-anaknya karena hingga sa