Setelah pemeriksaan itu, Henry memutuskan beristirahat total di penthouse. Tak ada laptop atau komputer di depannya, tak ada bunyi bising dari teleponnya. Jika penthouse yang biasanya tenang, kini mendadak berubah fungsi menjadi ‘ruang rawat pribadi’ dengan suasana yang jauh lebih sibuk.Dan hari itu, Henry mengaktifkan mode manjanya.Dia berbaring nyaman di sofa panjang ruang tengah yang menghadap jendela besar, lengkap dengan selimut mahalnya yang membungkus dirinya. Di depannya, TV 85 inch menyala, tapi tidak benar-benar dia tonton. Fokusnya hanya tertuju pada satu–Eva. “Kau mau ke mana?!” teriaknya, ketika Eva baru dua langkah menuju dapur.Eva berhenti, lalu menoleh dengan wajah datar. “Ke dapur. Mau mengambil minum.” “Oh … aku juga haus,” sahut Henry cepat, tapi memelas. “Bawakan aku juga. Tapi jangan air putih saja. Yang dingin, dan sedikit lemon. Es dan lemonnya jangan terlalu banyak, perutku masih sakit.” Dia sedikit berdesis dan memegang perutnya, seperti merasakan sakit
Dokter baru saja selesai memeriksa Henry. Dengan senyum tipis dan santai dia menyampaikan, “Pencernaan Anda sedikit terganggu. Kemungkinan besar karena Anda mengkonsumsi cabai berlebihan,” ucapnya, sambil membereskan stetoskop. “Saran saya, untuk sementara ini, hindari makanan pedas, Tuan.”Henry hanya mengangguk lemah di balik selimutnya. Wajahnya yang biasa arogan dan selalu percaya diri kini terlihat lesu. Kemudian, dokter menoleh ke arah Eva yang berada di sisi tempat tidur. “Nyonya, tolong pantau makanan yang dikonsumsi Tuan Henry. Kadang, pasien susah dikendalikan, apalagi soal makanan. Saya sudah menuliskan resep obatnya.”Eva mengangguk. “Baik, Dokter. Terima kasih.” Pemeriksaan telah selesai, dokter pun menunduk dan berpamitan sopan sebelum akhirnya pergi. Pintu kamar kembali tertutup. Suasana kamar kembali hening. Eva duduk di tepi kasur sambil memandang pria itu dengan perasaan campur aduk. “Jadi … karena dumpling semalam? Kenapa kau tidak memberitahuku.” Henry tak lan
Lincoln Square. Mereka mulai memasuki gedung untuk pemutaran film. Saat ini, udara sedikit terasa dingin, sangat cocok untuk mereka menonton film. Past Lives Eva pilih untuk mereka tonton. Dan saat mereka akhirnya masuk ke bioskop, mereka duduk di kursi empuk teater sambil memegang popcorn dan soda. Dalam hati, Henry berdoa bahwa filmnya cukup bagus, agar membuatnya lupa jika perutnya sedang memberontak sejak tadi. Lampu bioskop mulai meredup, layar raksasa di depan mereka menyala perlahan, memutar trailer film. Henry duduk dengan tegang, tangan kirinya memegang soda, sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan Eva yang terasa hangat dan ringan. Namun, dibalik itu, gejolak perutnya semakin tak bisa diabaikan. Setiap dentuman suara di film terasa menggema dalam perutnya, membuat irama yang mengganggu konsentrasinya.Walau begitu, dia tetap memasang wajah tenang. Sesekali menggertakkan gigi setiap kali rasa mual dan tekanan datang menyerang. Setiap adegan, Henry hanya diam. Tan
Henry dan Eva duduk di kursi depan truk makanan. Eva yang menunggu dengan antusias, sementara Henry menatap sekeliling, sambil melipat tangannya di depan dadanya. Memastikan tidak ada orang yang mengenalnya. Beberapa saat, penjual itu mengantarkan pesanan Eva.Eva tersenyum puas ketika melihat piring di depannya. Asap masih mengepul dari dumpling pedas khas Sichuan yang baru saja di sajikan. Aromanya menggoda, penuh cabai, minyak wijen dan rempah yang tajam menusuk indera penciumannya. Dia tidak bisa menahannya lagi. Mulutnya terbuka dan mulai mencicipinya. Baru merasakan gigitan pertama, mata Eva berbinar. “Emm ….” Mulutnya penuh karena mengunyah. “Rasanya … pedas, tapi enak.” Dia menelannya dengan cepat.“Ayo coba satu. Kau sudah janji tadi,” kata Eva sambil menyodorkan dumpling itu di depan mulut Henry.Henry menatap dumpling itu seperti menatap keputusan hidup yang buruk, lalu menoleh ke arah Eva yang masih menunggunya untuk membuka mulut. Helaan napas terdengar, mulutnya terbu
“Saat di trotoar, kau bukan CEO, dan aku bukan Istri yang hanya diam di kursi emas,” lanjutnya. “Kita dua orang bisa bicara tanpa batas, melangkah bersama tanpa sekat.”Henry terdiam. Tidak langsung menjawab, tidak juga mengalihkan pandangannya. Dia terus menatap wajah Eva yang tampak tenang, memastikan dia memahami setiap apa yang diucapkan. Eva menghela napas pelan, lalu melanjutkan, “Aku tahu kau bisa memberiku apapun. Tapi hal-hal besar itu terkadang membuatku semakin jauh denganmu.”Henry tetap diam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Eva. Langkah mereka pelan, menyusuri trotoar kota yang semakin sibuk lalu lalang penduduk lokal. Henry berjalan di sisi luar, menjaga Eva dari jarak tipis lalu lintas, sementara tangannya menggenggam tangan Eva. Erat, tapi tidak ada unsur paksaan.Sadar pria itu tak langsung merespon, Eva kembali berkata, “Mungkin memang aneh buatmu. Tapi bagiku … ini adalah cara unik untuk kita saling memiliki.”Masih menatap lurus ke depan, Eva menamba
Sore itu, langit Manhattan berwarna oranye. Di cakrawala, jalanan masih ramai oleh suara mobil, pejalan kaki, lampu lalu lintas bergantian menyala. Henry baru saja tiba di basement. Pintu mobil terbuka, dia turun menuju lift dengan tatapan sedikit kosong. Jarinya menekan tombol lift menuju lantai paling atas, di mana tempat dia tinggal bersama Eva. Matanya kosong, lurus ke depan, tapi pikirannya kembali melayang pada ucapan Martin siang tadi. “Kalau kau benar-benar ingin tahu, awasi semua gerak-gerik Julia, di kantor, maupun di luar kantor.” Ck!Henry berdecak pelan. “Kenapa tidak memberitahuku langsung?” gumamnya pelan, pikirannya dipenuhi dengan seribu pertanyaan. Segalanya bercampur aduk di benaknya, hingga rasanya kepalanya ingin meledak saat itu juga. Ting!Pikirannya terlalu larut dalam arus tak berujung, hingga dia tak menyadari saat pintu lift terbuka. Butuh waktu sepuluh detik kemudian untuk membuatnya tersadar. Saat itu juga, dia mulai meninggalkan lift, menuju kamar