“Henry.”
Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.
Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu.
“Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.
“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.
Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan.
Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”
Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.”
Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu mengungkit masalah uang.
Namun, tidak bisa dipungkiri jika ia menikah dengan Henry waktu itu karena keterbatasan finansial saat ibunya berada di rumah sakit.
Meski pada awalnya terpaksa. Dirinya selalu berusaha menjadi seorang istri yang baik dan benar.
Henry tersenyum sinis. “Setelah aku membantu biaya pengobatan Ibumu dan menikahimu, ini balasanmu? Benar kata Julia, kau memang wanita picik yang hanya bisa memanfaatkan orang sepertiku!”
Eva merasa tertampar dengan kata-kata Henry. Namun, perasaannya juga lelah. Tak diinginkan, direndahkan dan rasa bersalah memenuhi hatinya.
Eva tersenyum getir saat Henry lebih percaya pada perkataan Julia. Julia dengan cepat mengambil kesempatan dalam situasi saat ini.
“Terima kasih sudah menjadi penolong dalam hidupku. Maaf jika aku tidak bisa menjadi istri sempurna untukmu.”
Eva meletakkan sebuah kartu hitam di depan Henry. “Aku kembalikan kartu ini. Rasanya aku tidak berhak menerimanya. Aku menggunakan sedikit dari jumlah di dalamnya. Tapi, kau tenang saja, aku akan mengganti uang itu.”
Henry mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak bisa menahan emosi yang menguasai dirinya.
“Baiklah jika itu keputusanmu. Aku pastikan kau akan menyesal dan memohon kembali padaku!”
Eva tersenyum, lalu berkata, “Aku pergi. Bahagia selalu untukmu. Aku tunggu di pengadilan nanti.”
Eva melangkahkan kaki keluar, dengan koper kecil di tangannya.
Henry menatap Eva yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya. Wajahnya dipenuhi dengan amarah.
Bukankah ini adalah hal bagus untuknya? Namun dalam hatinya terselip rasa enggan dengan keputusan Eva.
Di luar, udara malam yang dingin menyapu kulit Eva. Seolah mencerminkan suasana hatinya.
Di tengah hiruk-pikuk Manhattan, ia menyusuri trotoar yang sibuk. Mencari tempat tinggal untuk ia tempati selama proses perceraiannya.
Eva menunggu lampu berubah, agar ia bisa melanjutkan perjalanan. Namun, di tengah-tengah perjalanan, glaukoma yang ia derita kambuh.
Pandangannya semakin kabur, seolah dunia tertutupi kabut putih. Cahaya terang dari lampu-lampu kota membuat matanya terasa terbakar disertai rasa pusing. Memperburuk pandangannya yang buram, dan mengkaburkan batas trotoar.
Ia berusaha melihat dengan jelas. Namun semakin banyak cahaya yang masuk membuatnya tidak bisa melihat pergerakan mobil yang mulai melintas dan berjalan ke sembarang arah.
Suara klarkson mobil membuatnya panik. Ia sadar jika sebuah mobil melaju dengan cepat.
Pengemudi yang cekatan mengerem mendadak. Menghasilkan suara gesekan ban mobil dan aspal yang menakutkan.
Suasana menjadi tidak kondusif.
Pengemudi itu bergegas keluar dengan perasaan kesal. “Apa yang kau lakukan, Nona? Apa kau ingin mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini?”
“Eva!” Pengendara itu ternyata mengenali Eva. Dia adalah Samuel, sepupu Henry.
Suara itu sangat tidak asing di telinga Eva. Dengan sekuat tenaga dia menormalkan pandagannya.
“Apa yang kau lakukan di tengah jalan seperti ini?” Samuel bisa melihat koper kecil di samping Eva.
“Ayo ikut denganku.” Tanpa pikir panjang, Samuel membawa Eva ke dalam mobilnya. Sebelum itu, Samuel meminta maaf pada pengendara lain atas kekacauan yang terjadi.
“Apa yang kau lakukan di tengah jalan seperti itu dengan membawa koper?” Samuel bertanya di sepanjang perjalanan.
“Samuel?” Perlahan-lahan pandangan Eva mulai membaik.
Samuel menarik napasnya panjang. “Ya, aku Samuel. Kenapa kau berada di tengah jalan? Itu bisa membahayakanmu.”
“Aku tidak berniat seperti itu. Tiba-tiba saja pandanganku buram.” Eva menjawab lesu, menatap ke arah luar jendela.
“Apa terjadi sesuatu dengan kondisi matamu? Bagaimana jika aku mengantarkanmu ke rumah sakit?” Samuel cemas dengan kondisi Eva. Dia tahu mengenai kondisi mata Eva saat ini.
Dengan cepat Eva menolak. “Terima kasih atas tawarannya. Tapi itu tidak perlu. Aku tidak mau merepotkanmu.”
Eva sedikit menghangat dengan perhatian kecil Samuel. Namun ia menganggap jika perhatian Samuel hanya sekedar basa-basi semata.
“Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu pulang. Malam sudah sangat larut.”
“Tidak!”
Eva bersuara dengan keras hingga membuat Samuel terkejut.
“Antarkan saja aku ke kawasan Lower East Side yang tidak jauh dari sini.” Eva mengatakan dengan ragu-ragu.
Samuel mengerutkan keningnya bingung. Namun ia tetap menuruti permintaan Eva.
“Terima kasih atas tumpangannya.”
“Apa kau yakin akan tinggal di sini?” Samuel memastikan.
Sepanjang perjalanan, Eva sudah menceritakan bagaimana nasib rumah tangganya. Ia merasa iba dan tidak tega melihat kondisi istri dari sepupunya itu.
“Aku tidak mau merepotkan banyak orang. Terima kasih sebelumnya.”
“Baiklah.” Samuel tidak memaksa kehendak Eva. “Jika memerlukan sesuatu, kau bisa menghubungiku.”
Eva mengangguk saja.
Samuel kembali melajukan mobilnya.
Sementara Eva mencari apartemen kecil dan murah di kawasan itu.
Keesokan harinya, di Central Park Tower Penthouse.
Henry merasakan perasaan yang tidak biasa. Perasaan kekosongan yang tidak bisa diisi dengan hal apapun.
Namun, Henry tidak memusingkannya. Itu pasti hanya perasaan adaptasi pertama kali Eva meninggalkan penthouse.
Dengan pakaian rapi, Henry bergegas pergi ke perusahaannya. Saat tiba di sana, Henry duduk dengan tenang di kursi kebesarannya. Berkutat dengan dokumen-dokumen di meja.
Hari demi hari berganti, Henry tetap disibukkan dengan pekerjaannya. Ia bekerja seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya.
Dengan ada atau tidak adanya Eva, hari-harinya dihabiskan hanya dengan bekerja.
“Masuk.” Henry bersuara keras ketika mendengar pintu ruangannya diketuk dari luar.
Ryan masuk membawa dokumen di tangannya.
Pandangan Henry terfokuskan pada dokumen yang ada di tangan Ryan. “Apa yang kau bawa?”
Ryan memberikan dokumen itu pada Henry. “Ada dokumen yang harus Anda tanda tangani, Tuan.”
Henry membuka dokumen tersebut. Dia membisu ketika melihat isi dokumen itu.
Hari demi hari terlewati, hingga tanpa terasa usia kandungan Eva sudah tujuh bulan.Sejak kehamilannya, Eva banyak berubah. Bukan hanya perutnya yang semakin membesar, tetapi juga suasana hatinya sering berubah-ubah.Sore itu, Eva berada di ruang tengah dengan TV besarnya menyala. Matanya tak sengaja menangkap keberadaan Rosa yang tengah menikmati cemilan di tangannya bersama pelayan lain di dapur.Eva berharap Rosa akan melihatnya dan menawarkan cemilan itu padanya.Eva terus menunggu. Hingga cemilan itu habis di tangan Rosa.Tiba-tiba saja bibir Eva mengerucut. Tangannya menekan tombol off, lalu melangkah pergi menuju kamar.Sesampainya di kamar, tangannya meraih ponsel dan segera menghubungi Henry.Saat itu, di ruangannya, Henry sedang menerima laporan mengenai perkembangan proyek raksasa miliknya. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering.Begitu melihat nama di layar ponselnya. Henry segera menekan tombol hijaunya. “Ada apa? Ada yang kau inginkan?”Terdengar suara tidak bersahabat dar
Eva dan Henry masih berpelukan erat, seakan merasakan tekad baru. Henry memejamkan kedua matanya, mencium pucuk kepala Eva lagi, dan lagi. Ciuman itu turun ke bawah, berhenti di leher jenjang Eva. Eva menutup mulut Henry, menjauhkan wajah itu darinya. “Hentikan, Henry. Itu geli,” ucapnya diikuti kekehan kecil. Tiba-tiba saja, bel penthouse berbunyi, memecah momen hangat mereka. Keduanya saling pandang. Eva melepaskan pelukannya, sementara wajah Henry gusar, tak ingin lepas, tak ingin diganggu siapapun pagi ini. “Siapa yang datang?” Henry hanya menggeleng tidak tahu. Terhitung jarang sekali mereka kedatangan tamu luar. Bel berbunyi lagi. Henry memberikan isyarat agar Eva tetap di tempat, tak peduli siapa yang datang. Yang dia inginkan hanya bersama Eva. Istrinya. Salah satu pelayan yang bertugas bergegas membuka pintu. Di ambang pintu, tampaklah Martin dan Elise. Martin datang dengan senyum tulusnya, sementara Elise memasang wajah gelisah, campuran kegengsian yang terlihat
Suasana penthouse semakin sunyi. Eva masih terjaga menunggu kedatangan Henry. Dia tampak mengantuk, tetapi matanya menyimpan kekhawatiran yang mendalam. Tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring, memecah keheningan. Eva segera berlari ke arah pintu dan menariknya hingga pintu terbuka. Di ambang pintu, berdirilah Samuel yang memegang lengan Henry, yang kini terlihat lebih buruk daripada di bar. Henry terseok-seok, kepalanya bersandar penuh pada Samuel. Bau alkohol begitu menyengat menusuk hidung Eva. Seketika wajahnya berubah, bercampur lega sekaligus panik karena melihat kondisi Henry. “Dia mabuk?” “Seperti yang kau lihat.” Tanpa berlama-lama, Samuel segera menuntun Henry masuk. Langkah Henry tak beraturan, kakinya tersandung dengan kakinya yang lain. Samuel mengerahkan seluruh tenaganya untuk membimbing tubuh Henry yang berat sampai di sofa. Mereka mencapai sofa. Samuel dengan hati-hati merebahkan tubuh Henry di atas sofa panjang. Eva menatap ke arah Henry lalu beralih mengara
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Henry belum pulang. Biasanya, suaminya akan memberi kabar jika telat, tetapi malam ini ponselnya terasa dingin, tak ada notifikasi apapun. Eva meraih ponselnya mencoba menghubungi Henry. Panggilan pertama, tidak terjawab. Panggilan kedua, tidak terjawab. Tak biasanya Henry mengabaikan panggilannya. Rasa cemas mulai merayapi hatinya. Apa terjadi sesuatu?Eva mencoba menepis pikiran negatif. Dia beralih menghubungi sopir pribadinya, terakhir, dia pergi bersama Henry.Setelah beberapa detik sambungan terhubung, dan mulai terdengar suara di ujung telepon. “Selamat malam, Nyonya.”“Apa Tuan Henry di mobil sekarang?” tanya Eva, mencoba untuk tenang. “Saya sudah di rumah, Nyonya. Tuan Henry meminta saya pulang sejak sore tadi. Tuan kata, ada urusan pribadi yang harus diselesaikan, Nyonya.”Tak berselang lama panggilan telepon berakhir. Dia mencoba menghubungi orang-orang yang bersama Henry. Nomor Ryan pun tak ada jawaban. Mengingat keberad
Martin menepuk pundak Samuel. “Terima kasih atas bantuanmu, Sam. Uncle berhutang budi padamu.”Samuel tersenyum lalu menggeleng. “Tidak perlu sungkan, Uncle. Aku hanya tidak ingin membiarkan wanita itu terus-terusan memanipulasi keluarga kita.”“Uncle akan memberimu bonus atas kerja kerasmu.” Pandangan Martin beralih ke arah Elise yang terduduk dengan tatapan tidak percaya. “Sekarang kau tahu sendiri, ‘kan? Orang yang selalu kau bela itu justru pelaku sebenarnya. Apa kau masih ingin memusuhi orang yang tidak bersalah?”Elise hanya diam, tidak bisa menjawab. Dia merasa menyesal dan bersalah, tetapi gengsi mengalahkan semuanya. Dia hanya bisa menunduk malu di hadapan suami dan keponakannya. Malu karena sudah membela Julia dengan sepenuh hatinya. “Papa harap setelah ini Mama meminta maaf pada Eva.” Elise ingin menunjukkan protesnya, tetapi, baru saja dia membuka mulut, Martin kembali membuatnya terdiam. “Papa tidak menerima bentuk protes apapun!” Sementara di ruang kerja…Mata Henry
Julia menggeleng panik. “Aku … tidak, itu bukan … rekaman itu hanya editan!” Jari telunjuknya mengacung ke arah Samuel. “Kau datang pasti hanya untuk mengacaukan semuanya, ‘kan? Iya, ‘kan?” Sebelum Samuel menjawab lagi, Julia dengan cepat meraih tangan Elise. “Aunty, ini semua tidak benar.” Elise terdiam tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah dia harus percaya pada Julia, atau keponakannya?Senyum sinis muncul di bibir Samuel saat melihat kepanikan Julia. Dia merasa puas. Perlahan, langkahnya semakin mendekat. “Editan?” Senyum Samuel semakin melebar. “Aku punya bukti. Aku punya saksi. Aku tahu segalanya, Julia.”“Tidak!” Suara Julia menggelegar. “Kau bohong! Kau pasti bersekongkol dengan Eva karena kau menyukainya, ‘kan?!”Mendengar nama Eva disebut, membuat Henry kembali naik pitam. “Jangan sebut nama Istriku dengan mulut kotormu!” Martin kembali menenangkan Henry sebelum benar-benar kalap. Sedari tadi, emosi putranya meluap. Pikiran Julia dipenuhi dengan ketakutan akan k