Talita terhenyak, begitu juga dua orang pendamping mereka. Celine sampai berdiri, lalu berjalan mendekati keduanya. "Sayang. Ayo kita pergi dari sini!" pinta Celine agak memaksa. Awalnya Reynald bimbang. Beberapa pertimbangan di pikirkan. Sadar juga bila bisa saja akan ada kegaduhan bila permintaan Celine ini tidak di turuti. Reynald hela napas panjang, baru kemudian memutuskan. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Mendengar jawaban Reynald, Celine tersenyum penuh kemenangan. Tarikan di sambut lingkarkan tangan manja pada Reynald, menjauhkan Reynald dari Talita. Talita terdiam, tapi ujung matanya terpatri pada gerakan Reynald dan Celine menuju ke pintu keluar restoran hotel sampai menghilang. "Bagus, Talita!" puji Mario di sertai tepukan tangan pelan. "Aku perhatikan kamu mulai ada keberanian buat nolak," lanjutnya dengan tatapan bangga. "Yeah, thanks." Talita lantas mengambil tasnya, ingin segera pergi dari tempat tersebut. Tidak mau tersiksa dengan pikiran bodohnya. Suda
Setelah beberapa hari berlalu, Talita mengira sudah selesai segala urusan sisa pertemuan bisnis yang berhubungan dengan Reynald. "Gimanapun juga aku harus berhemat," gumam Talita di depan cermin. Memandang wajahnya sendiri dengan tersenyum, tapi kemudian berangsur memudar setelah mendapati kartu hitam di atas meja belajar sekaligus berfungsi untuk meletakkan kaca. "Nggak, aku bukan orang yang anda cari Pak Wira." Talita lantas memasukkan kartu konsumsi uang level tinggi itu ke dalam laci. "Aku akan berjuang sendiri. Ini mimpiku selama ini." Ya, sesuai obrolan berisi rencana dan mimpinya selama ini, Talita telah teguhkan niat diri untuk memulai hidup dari tantangan kerasnya kota New York. Surat lamaran sebagai pekerja paruh waktu di sebuah cafe dekat apartemennya telah mendapatkan tanggapan. Talita mendapatkan email balasan agar dia menjalani training sekaligus penerimaan sebagai pegawai baru. Hari pertama bekerja setelah pulang studi menjelang malam hari, tentu membuat Talit
Sempat terpikir untuk lari menghindar, tapi kenyataannya tidaklah mungkin untuk melakukannya. Ada pikiran terbesit, apakah pria yang di maksudkan oleh Sophie adalah pria tampan berwajah dingin di hadapannya ini? "Apa yang kamu lakukan di sini?" pertanyaan berisi kekecewaan dari Talita. "Justru aku yang seharusnya bertanya padamu. Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Apa ini yang kamu sebut pekerjaan?" Talita mengikuti tatapan pria di hadapannya yang tidak lain adalah suaminya sendiri, Reynald, pada barang yang di maksudkan. "Ini? Iya, aku memang bekerja di sini. Lalu kamu?" Talita bertanya tidak kalah sinisnya. "Apa yang kamu lakuin di sini?!" pertanyaan bernada tinggi Talita, sedikit terbawa cara bicara Sophie. "Aku lapar pengen makan. Tidak boleh?!" Reynald melewati Talita, tak hiraukan apa ekspresi wanita yang masih sah jadi istrinya itu sekalipun. "Ariana!" Panggilan Sophie barusan mengalihkan Talita. "Layani dia dulu," perintah Sophie tanpa suara. Sophie kemudian
"Aku tinggal dulu." Talita berpamitan pada Reynald dengan perasaan tak enak. Kesannya, setelah Mario maka terbitlah pria lain. Talita segera ke dapur lagi untuk selesaikan pekerjaan mencuci piring. Setelah selesai dan berganti pakaian, Talita kembali ke area depan. Helaan napas lega jadi penyambut ketika sudah tak di temuinya Reynald di mejanya semula. "Sweety. Kemarilah." Sophie melambaikan tangan agar Talita mendekat. Setelah wajah sang manager, tentu saja sosok pria berbadan tegap itu jadi perhatian Talita selanjutnya. "Aku kenalkan kau padanya!" pekik Sophie setelah salah seorang karyawan memberi isyarat menggantikannya sebentar di meja kasir. "Iya?" Mungkin sudah tinggal di kota sebesar New York dalam hitungan berminggu-minggu, tapi setiap norma-norma yang sudah mendarah daging berlaku di Indonesia, tentu masih belum bisa Talita tinggalkan. Perasaan gugup dan jaga jarak pada pria baru, menjadi tingkahnya sekarang. "Namanya Levi. Dia berasal dari Texas. Asal kamu tahu, Le
Reynald tertegun sesaat. Talita sudah semakin berani mengutarakan isi hati. "Ma maaf. Mungkin aku no respect." Talita lepaskan jaket dan sepatu, lalu di taruh tempat khusus sebelum masuk ke dalam terlebih dulu. Reynald masih berdiri mematung, kedua tangannya terangkat di pinggang. Tatapannya tertuju pada Talita. dengan kepala manggut-manggut. Semakin yakin kalau mulai saat ini tidak bisa memandang Talita sebagai wanita lemah dengan segala kerapuhannya. "Katakan apa yang pengen kamu bahas sama aku? Surat cerai? Saham? Apa? Bagiku kok sudah beres semua. Kamunya aja mungkin yang problematik, anggap semua itu belum kelar-kelar." Perlahan, Reynald lepas sepatu booth setengahnya untuk di sejajarkan di samping milik Talita. Hal yang baru kini dia lakukan, tanpa gerak pelayanan Talita seperti masih jadi istrinya. "Soal dirimu," jawab Reynald singkat, karena selanjutnya tidak ada penjelasan lebih sampai beberapa detik. Talita mengambil lap kering untuk membasuh air dari sisa mencuc
Bukk!! "Talita!" Pekikan secara bersamaan antara Reynald dan Mario, tapi Reynaldlah yang pertama menjadi penopang tubuh Talita yang tiba-tiba lunglai dan matanya terpejam. "Lu apain Talita?!" gelegar suara tanya Mario. Ada ketidakterimaan darinya pada Reynald. Reynald yang memang memiliki sifat dasar dingin, tak menggubris pertanyaan Mario. Tubuh Talita telah berada dalam gendongannya. Masih memakai sepatu, Reynald terpaksa masuk ke ruang tamu. Di rebahkan Talita di atas sofa, kemudian di goyang-goyangkan seraya ucapkan panggilan. "Talita ... Talita ... Buka matamu," usaha Reynald dalam kepanikan. Wajahnya pucat, menatap gusar pada wajah cantik istrinya ini. "Minggir!" bentak Mario kasar. Sedianya tangan Reynald akan memegang pipi Talita, tapi telah di tangkis Mario. "Lu sudah nggak berhak sama hidup, Talita!" sentaknya serasa kepemilikan atas diri Talita. "Dia istriku." "Bukan lagi!" Mario dorong tubuh Reynald yang berjongkok, sehingga dengan mudah menjatuhkannya di a
Ke esokan harinya. "Hayo melamun!" Gertakan Mario pada Talita yang termenung menatap kosong layar laptop. "Mikirin apa, sih? Sudah baikan, belum?" "Iya, begitulah." Talita lantas menutup laptop, lalu melipat kedua tangan di atas meja di salah satu meja gazebo. "Maaf, tadi aku langsung jalan ke kampus sendirian. Bangunku kesiangan, jadi ku pikir kamu pasti sudah jalan duluan," penjelasan tak enak hati Talita. Sudah jadi kebiasaan jalan bersamaan, tapi pagi ini ternyata pengecualian. "Pantesan aku gedor-gedor, telpon, kamunya nggak ada respon. But it's oke. Kamu pasti butuh istirahat gara-gara semalam. Apa kamu mau libur kerja part time? Kali aja masih kecapean." Talita gelengkan kepala. "Nggak apa-apa, aku masuk kerja aja. Itu juga buat hiburan, biar nggak keingetan." "Keingetan? Sama siapa? Reynald?" Talita terlambat nyadar. Tak sengaja ungkapkan pikiran, dan sialnya Mario sudah terlanjur menangkap gelagatnya ini. "Eh, ehm ... Itu, nggak begitu ..." "Hayo. Masih kepik
Kau menjauh saat ku butuh. Kini, kamu mendekat saat pilar cintaku runtuh. Talita balik pergelangan kirinya. Jam bergelang silver menunjukkannya pada waktu. "Ini belum juga jam 5, kamu kok sudah datang ke sini?" Terlihat jelas, Talita sedang tidak bersahabat. "Aku sudah lapar," jawaban santai Reynald. "Apa yang harus aku makan kalau jam segini?" Di hadapannya telah tersuguh buku daftar menu, tapi Reynald tak sekalipun menyentuh, alih-alih membukanya. Talita berkacak pinggang. Wajahnya tertekuk, biburnya berkerut. "Kemarin malam-malam kesini, sekarang bahkan belum waktu lazimnya makan malam. Apa tunanganmu itu nggak kasih kamu makan? Atau restoran hotel kalian masih tutup? Urusan bisnis kita sudah selesai, kenapa kamu nggak juga balik ke Indonesia?" Bibir Reynald membuka, tubuhnya tergerak ke belakang seolah terkena imbas pusaran kemarahan Talita tepat di depan wajahnya ini. "Mbak. Aku pelanggan baru cafe ini. Masa cuma pesen makanan aja, pake di kasih bonus bentak-bentak
"Reynald. Apa kamu sudah tahu?" Talita membalas dengan pertanyaan. Tubuhnya sendiri tak bereaksi, hanya berdiri diam membeku. Setelah Reynald menjauh, Talita mendongak dengan gerak mata ke kanan kiri berusaha membaca ekspresi Reynald. "Tahu apa? Banyak hal terjadi, dan jangan menuntutku seperti tahu segalanya," protes Reynald. "Soal aku." "Kamu? Apamu?" Reynald tersenyum. "Aku tidak bodoh, Talita. Walaupun banyak serangan ke kamu, tapi aku nggak sepenuhnya percaya. Dan kamu juga ... Kamu jangan coba-coba membuat drama seolah-olah kamu benar-benar melakukannya. Aku lebih mengenalmu daripada orang lain." "A aku ... Maksudku aku dan keluargaku?" "Keluargamu? Ada apa dengan keluargamu? Kalau ini aku tidak tahu. Ku kirain soal masalah kita." "Oh, begitu." Talita mundur lebih jauh ke belakang. Mendadak jadi tak ingin meneruskan. Lebih memilih menilai kejujuran Reynald tanpa harus lakukan kontak fisik dengannya. "Ya sudah lha. Lupakan saja," ucapnya kemudian, berharap memang du
Ruangan dalam kantor milik Ruhut itu kembali hening. Jawaban tak di sangka-sangka keluar dari bibir Reynald. Ekspresi balasan berbeda-beda terjadi kemudian. Talita turunkan pandangan, menelaah semua. Rangkaian kejadian beberapa hari di New York waktu itu jadi isi pikirannya, sedangkan Celine dan Ruhut sontak ternganga tak percaya. Suara detik jam untuk beberapa lamanya sirna oleh pekikan Celine. Sikap percaya dirinya berangsur pudar tertutupi tatapan sayu berisi cairan bening itu tertuju pada Reynald. "Sayang. Kamu ngomonga apa?!" Celine ungkapkan protes. "Wanita ini nggak buat kamu ngerubah pikiran, kan? Bukan karena soal saham perusahaan, kan? Percayalah, Sayang ... Aku bisa beli semua milik dia yang prosentasenya cuma kecil itu!" ucapnya berlanjut sambil menunjuk-nunjuk sinis pada Talita. "Bukan soal itu, Celine. Ada alasan yang nggak bisa aku ungkapkan semua. Aku mohon jangan paksa aku cerita detailnya, tapi pada intinya ini menyangkut konsistensi pemikiranku. Maaf." "Apa
"Reynald!" "Kamu sudah mengenalku, Talita. Sekali aku memutuskan sesuatu, berarti itu akan konsisten sampai kapanpu!" Reynald tidak kalah kerasnya. Pintu ruangan di ketuk, bahkan sebelum Talita ataupun Ruhut baru saja akan memberikan tanggapan. Nama Ruhut di sebut oleh seorang wanita dari balik pintu. "Masuk," ucap Ruhut lantang. Ada kesal ketika sudah terlibat lebih dalam di sebuah percakapan penting, tapi kemudian terganggu oleh panggilan. Pintu terbuka, dan salah seorang asisten pribadi Ruhut menjulurkan kepala. "Maaf, Pak. Ada tamu," ujarnya. "Akukan sudah bilang nggak mau di ganggu!" tandas Ruhut tegas. Watak aslinya memanglah keras, tapi dalam segi keprofesionalitasan, dia adalah seorang pengacara yang dapat di andalkan. "Maaf, Pak. Tamunya maksa. Bilangnya istri Pak Reynald." Ruhut sontak beralih pada Reynald. Kebingungan baru untuknya. "Istri Pak Reynald?" pertanyaan lebih tertuju pada Reynald. "Dia ... Tidak ada hubungannya dengan pertemuan ini, jadi ..." "
"Ehem ..." Reynald berdehem, menandai keberadaannya. Talita menoleh, sedikit terkejut. Reynald berpenampilam berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu. Potongan rambut baru dan sengaja di beri pomade, sehingga terlihat klimis. "Selamat sore," sapa Reynald. Tarikan bibir tipis searah dengan tatapan tertuju lurus pada Talita. "So sore," balas Talita gugup. Tatapan sendu Reynald sangat berbeda dengan dulu saat mereka masih bersama. Semakin gugup saat Reynald berikan tangan untuk awali jalinan berkabar. "Bagaimana kabarmu?" "Aku baik-ba ..." "Kamu kelihatan pucat?" sela Reynald dalam rangkaian pertanyaan. Tangannya tak juga melepas, seperti sebuah genggaman. "Kamu pasti sakit?" pertanyaan kedua dengan ekspresi murung. "Oh, mungkin karena kecapean saja. Nggak apa-apa, kok." Talita memaksa melepaskan tangan. Walaupun iringan lembut ketika menariknya, tapi jelas tersirat perasaan tak nyaman. "Silahkan duduk. Jujur saja, saya tadi nggak mengenali Nyonya Talita. Sepertinya
"Sayang? Kamu ngagetin aja!" Celine menghambur memeluk Reynald, serasa sempat berpisah dalam waktu lama dan baru bertemu kembali. "Kita pergi dari sini sekarang." Reynald lepaskan ikatan tangan Celine dengan lembut, lalu berbalik sebagai komando untuk segera lakukan apa yang baru di ucapkan. "Tapi, Sayang. Kita sudah sejauh ini. Sekalian saja buat Talita malu. Mama Vero dan Vanessa baru saja chat aku. Mereka sudah lihat video uploadtan di medsosku, dan ..." "Hentikan, Celine. Hapus video-video itu!" perintah Reynald dingin. Langkahnya bahkan lebih cepat, namun juga tidak menggandeng Celine sebagai bantuan bagi wanita hamil seperti biasanya. "Tapi kenapa, Sayang? Talita pantas dapat perlakuan seperti itu, dan kamu berhak mempermalukannya di depan orang banyak, kok." Celine lingkarkan satu tangan pada lengan Reynald dengan manja. Tampak beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan Reynald. Mereka memastikan bahwa pria di samping depannya adalah pebisnis muda yang sedang naik d
Di lain tempat. "Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa ya, Van." Ucapan Talita setelah selesai berdandan. Secara singkat, malam itu juga dia persiapkan diri untuk pertemuan dengan Wira. Dress sifon lengan panjang dengan panjang di atas lutut, membuat Talita semakin cantik. Warna pastel mencerminkan pribadi Talita yang kalem dan bersahaja. "Lagian, semua itu belum tentu bener," lanjutnya. "Kalau memang bener gimana?" Vani beringsut lebih mendekati Talita. Kepalanya miring, mencari celah tatapan Talita. "Lu ternyata kaya raya, Ta!" pekik Vani histeris sendiri. "Tapi kenapa selama ini mama gue nggak cerita?" Keraguan yang selalu jadi pengusik pikiran Talita untuk percaya pada Wira. "Nah itu dia. Gue juga kepikiran sampe situ." Vani terus mengikuti Talita yang sedang lakukan persiapan akhir. Sepatu sandal bertali warna nude jadi pilihan Talita kali ini. "Pokoknya lu harus tanyain semua ke Pak Wira soal asal-usul masa lalu dan keluarga ibu lu. Menurut gue juga patut di curigai. Sela
Di tempat lain, Reynald berdiri di balik kursi kerja melihat ke arah luar. Pikirannya sedang berkutat pada obrolannya dengan Celine yang tak lama berselang. "Aku yakin, Talita dan Mario sedang siapin rencana jahat sama kamu, Sayang," ucap Celine, tak lama setelah masuk ke ruangan kerja Reynald. Dress floral hitam putih yang di kenakan masih belum sepenuhnya mampu menutupi perutnya yang terlihat membuncit. "Tuduhan sama dari dulu." Celine cemberut. Jawaban santai Reynald tak sesuai harapannya. "Kan emang kenyataannya begitu!" Celine mulai meradang. Beberapa hari, di rasanya sikap Reynald berubah. "Sayang. Aku dengar desas-desus. Boleh aku tanya ke kamunya langsung?" "Desas-desus darimana?" Reynald merasa perlu mempertanyakan tentang seberapa valid Celine mendapatkan informasi. "Ada deh, itu pastinya sumber terpercaya." "Tapi aku meragukannya." Celine lebih mendekati Reynald. Perubahan Reynald yang semula hanya dugaan, namun sekarang telah jadi nyata. "Berarti kamu meragu
"Masa, sih?!" Vani tak setuju. "Kayaknya adem ayem aja." Vani berdiri, lantas menarik pegangan koper Talita. "Sudah yuk. Kita pulang," ajaknya. Rasa enggan itu tidak lagi jadi bias, sebab Vani menunjukkannya dengan jelas. Apapun pembahasan soal Reynald, Vani akan berubah murung. Talitapun akhirnya memutuskan untuk tak membahasnya. Sejak perlakuan menyakitkan Reynald padanya, sahabatnya ini seolah membuat suaminya itu sebagai antagonis pada setiap topik pembicaraan. "Iya iya. Antar aku pulang." Talita memutuskan menurut. Tekukan wajah Vani, berasa tak enak di lihat juga. Saat beberapa langkah keluar dari pintu lobby bandara, keduanya di kejutkan dengan kedatangan seorang pria berpakaian setelan safari mendekat. "Nyonya Talita. Mobil jemputan anda di sini." Pria itu memberi anggukan hormat, lalu menunjuk pada mobil tipe sedan mewah warna hitam di parkiran khusus. Talita dan Vani saling bertatapan. Raut kebingungan memunculkan pertanyaan baru dari Vani. "Maaf, bapak siapa ya?
"Apa? Kenapa dadakan?!" Dahi Mario berkerut. Tas koper kecil Talita kini jadi perhatiannya. "Kamu ke Indonesia cuma bentaran doang, kan?" tebaknya. "Iya. Nggak mungkin juga aku ijin nggak kuliah sama kerja part time lama-lama." Talita menutup resleting tas tentengnya. Memakai cara klasik ala-ala anak remaja, baru bercerita atau ijin bila mendekati hari yang di tuju. Berharap orang yang di pamiti tidak punya pilihan mencegah, selain harus menuruti. "Ada urusan apa ke Indonesia?" Mario bersandar pada lemari pantry dengan kedua tangan bertaut, satu kaki maju sebagai penopang. "Pak Wira minta aku datang, karena ada dokumen yang harus aku tanda tangani." "Pak Wira?" tanya Mario, tapi kemudian di jawab sendiri setelah teringat. "Oh, yang orang dari Tanjung, corp. itu?" "Iya, dia. Aku harus pergi ke bandara. Kamu nggak perlu anter, aku naik yellow cabs aja." Talita telah siap dengan kepergiannya. Dua tas yang di bawa merupakan cerminan harap Talita berkunjung ke Indonesia dalam wa