Share

Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku
Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku
Author: Tiga djati

Bab 1

Author: Tiga djati
last update Last Updated: 2025-11-23 14:55:12

Shanina merapikan perlengkapan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas dengan tergesa. Ia melihat seorang pria yang baru saja bangkit dan mulai melangkah keluar kelas diantara murid - murid lain yang sibuk. Shanina mengerutkan keningnya, gusar.

" Kaysen, tunggu aku!" pekik Shanina yang kemudian menggendong tas di bahu dan berlari menyusul Kaysen.

Kaysen sudah berjalan cukup jauh dengan tungkai panjangnya. Shanina susah payah berlari dengan sebelah kakinya yang tidak normal. Langkahnya terseok-seok, meski mendapat atensi banyak murid disepanjang koridor sekolah, Shanina tak peduli, ia sudah biasa mendapat tawa mengejek, tatapan menjijikan, atau hinaan mereka. Baginya, itu tidak menyakitinya, hatinya mungkin telah mati.

Samar-samar dari dalam kelasnya. Shanina mendengar seruan sang ketua kelas. "Jangan lupa bagi mantan anggota extrakulikuler TAF untuk berkumpul diruang pameran."

Shanina menggigit bibirnya, hatinya berdenyut nyeri. Jika ada yang menyakitinya, maka inilah yang menyakitinya, yaitu bahwa ia tidak bisa bebas melakukan hal-hal yang disukainya. Ia masih harus melakukan perintah yang diberikan paman dan bibinya untuk merebut pria yang sedang ia kejar saat ini.

Sejak awal masuk sekolah menengah atas sampai ia akan menjadi calon alumni pun ia tidak bisa fokus pada pelajaran atau kegiatan bermanfaat yang akan menunjangnya meraih cita-cita untuk menjadi desainer. Impiannya mungkin hanya sebatas impian, tidak bisa menjadi nyata. Ia bahkan tidak pernah punya kesempatan untuk ikut ekstrakulikuler TAF atau The Art of Fashion yang selama ini membuatnya ngiler.

"Kaysen!"

Dengan napas terengah dan peluh kecil di dahinya, Shanina berhasil meraih ujung pakaian pria yang ia kejar. Namun, tangannya langsung dihempas kasar hingga Shanina Termundur. Pria itu menatapnya dengan pandangan sengit yang membunuh sebelum kembali melanjutkan langkahnya

Shanina menebalkan muka, ia kembali meraihnya.

"Bolehkah aku pulang bersamamu? Hari ini kau tidak memiliki jadwal apapun lagi, bukan?"

Langkah Kaysen amat cepat, Shanina yang pendek, apalagi dengan sebelah kakinya yang agak kesulitan untuk berjalan, hampir tidak bisa mengimbangi langkah panjang pria itu.

"Kudengar ada kafe yang baru dibuka di jalan seberang alun-alun, bagaimana jika kita pergi ke sana? Apa kau tidak lapar? Apa kau tidak penasaran?" Shanina berlagak asyik sendiri dengan wajah ceria, menyembunyikan suasana hatinya yang badmood.

Akan lebih baik jika dia menolaknya. Aku ingin langsung pulang sendiri.

Meski paman dan bibinya pasti akan mengomel lagi karena ia tidak berhasil menggaet Kaysen, ia hanya tinggal mengatakan bahwa besok ia akan berusaha lebih keras. Hari ini ia memiliki banyak pekerjaan lantaran kakak Kaysen, Theodoric Gray Carter, akan pulang setelah menetap lima tahun di Swiss. Ia harus lembur jika ingin mendapat uang bonus.

Seperti dugaannya, Kaysen bahkan tidak ingin repot-repot membuka mulut. Diam-diam Shanina menghela napas lega. Meski begitu, Shanina tetap mengoceh sembari mengejar langkah Kaysen, bertingkah seakan dirinya adalah fans fanatiknya.

"Kaysen, bukankah kau terpilih ke babak final volleyball bersama tim-mu besok? Apa kau ingin aku membawakanmu makanan? Oh! Aku juga akan memberikanmu hadiah. Aku yakin kau pasti akan menang!"

Kaysen hanya meliriknya tajam.

Melihat itu, Shanina memasang senyum lebarnya.

"Besok aku akan melihat pertandinganmu lagi! Kau keren sekali! Pasti banyak yang ingin menjadi kekasihmu, tapi itu buruk. Aku tidak ingin kau memiliki kekasih lain kecuali aku. Kaysen, dengar, 'kan? Aku menyukaimu!"

Jika Shanina sempat menghitung, mungkin dirinya sudah mengungkapkan rasa suka pada Kaysen lebih dari sepuluh kali hari ini. Kaysen tidak pernah seberapa kuat Shanina menahan rasa geli ya sendiri. Gadis itu bukan tipe orang yang suka berbicara mengenai emosi atau mendengarkan kalimat afeksi dari orang, baginya itu menggelikan.

World of acfirmation jelas bukan love languange-nya.

Kaysen menghela napas lelah. Telinganya berdarah mendengar kalimat yang sama ribuan kali selama hampir masa highschool-nya. Entah Shanina munafik atau bohong, tapi ia tahu gadis itu tidak sekalipun menonton pertandingannya tadi. Entah apa tujuan gadis itu sebenarnya.

Shanina bilang menyukainya, tapi terkadang ada sesuatu yang aneh yang membuatnya ragu.

"Kaysen apa kau sedari tadi mendengarku?"

Shanina memutar bola matanya. Ia muak dengan semuanya, ingin istirahat dan tidur. Kaysen mungkin masuk dalam list bocah menyebalkan nomor satu di kamus hidup Shanina. Ia tidak akan mau berinteraksi dengannya jika bukan karena paksaan paman dan bibinya.

Meski begitu, Shanina masih harus berceloteh sendiri. Kaysen terganggu dengan celotehannya, bukan? Kalau begitu Shanina akan terus berceloteh agar pria itu terganggu mentalnya.

Mereka tiba diparkiran sekolah. Kaysen masih acuh, membuatnya jengah sendiri. Shanina buru-buru menahan tangan Kaysen yang hendak memasuki mobil. Kaysen yang tidak siap, terbawa oleh kekuatan lemah Shanina. Mata pria itu melebar kala Shanina dengan amat singkat berhasil mengecup pipinya.

Shanina tersenyum lebar meski dilubangi tatapan tajam Kaysen, padahal di dalam hatinya, Shanina ingin segera mensucika bibirnya secepatnya.

Sementara itu, Kaysen merasa pipinya yang dikecup Shanina terasa gatal.

"Apa yang kau lakukan?"

" Oh, aku hanya tidak tahan, hari ini kau tampan sekali, Kaysen."

Kaysen menatapnya dengan sorot pandangan yang sulit diartikan.

Shanina merutuki dirinya sendiri di dalam hati.

Kenapa aku harus melakukan semua ini? Masih untung aku tidak ditendang.

Hanya kalimat itu yang terpikirkan, sesungguhnya ia tidak tau bagaimana cara merayu seorang pria. Siapa pun bisa mendengar bahwa ucapannya payah dan menggelikan. Ia memang tidak berpengalaman dalam berinteraksi dengan lelaki, apalagi membuat suatu hubungan.

"Ayo! Kita mungkin akan mengantre lama jika terlalu lama saling tatap penuh cinta seperti ini!"

Shanina hendak masuk ke dalam mobil Kaysen, tapi berakhir jatuh terjerembab ke belakang saat Kaysen mendorongnya.

Kaysen melebarkan matanya sepersekian detik, seolah terkejut. Shanina meringis kesakitan, bokongnya cenat-cenut. Ia memasang tatapan menyedihkan seakan hendak menangis meski ia gagal membuat matanya berkaca-kaca.

"Kaysen? Kenapa kau mendorongku? Ini sakit."

Kaysen masuk ke mobil setelah menatapnya dingin dan acuh. Shanina hanya diam dengan posisi sama sambil merintih sakit, memeriksa sikunya yang sedikit lecet. Sampai mobil Kaysen melaju dan tertutup mobil lain di belakangnya, Shanina berdiri, menghapus seluruh ekspresi menggelikannya barusan, menyisakan ekspresi datar.

Gadis berusia delapan belas tahun itu menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskan ya. Kemudian melakukannya hingga beberapa kali. Ia perlu menyatu dengan alam setelah melakukan hal menjijikan seperti tadi.

"Aku lelah."

Setelah merogoh saku di rok seragamnya yang sengaja dipendekkan beberapa senti diatas lutut oleh bibinya. Shanina mengambil sebuah kartu yang akan ia gunakan untuk naik bus nanti.

Manik jade-green-nya yang langka bergulir, melihat sekeliling sebelum akhirnya ia melangkah menuju halte busway.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 13

    Theo tidak pulang, mungkin dia menginap lagi di kantornya. Shanina tidak keberatan. Masalahnya, mereka baru saja menikah, orang-orang mungkin membicarakannya di belakang, tapi sekali lagi, Shanina sebetulnya tidak begitu peduli. Ia hanya tidak memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan semenjak menikah. Siang itu Shanina mendengar pembicaraan Helena, ibu mertuanya tersebut menyuruh seseorang untuk mengantarkan makan siang ke kantor Theo. Shanina tahu kenapa wanita itu tidak menyuruhnya. Namun, ia tetap menghampirinya dan menawarkan diri, bersikap tebal muka. Alhasil, di sinilah Shanina berada, berdiri di depan sebuah gedung menjulang yang ada dihadapannya. Dia belum pernah melihat kantor kebesaran Theo secara langsung, dan ternyata itu sungguh luar biasa, mungkin gedung tersebut memiliki empat puluh laintai lebih. Dengan menenteng tas bekal berisi makanan yang disiapkannya sendiri, Shanina mulai memasuki gedung tersebut. Shanina menaiki undakan di lobi, flat shoes tanpa mere

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 12

    Ia mengangguk, menelan salivanya susah payah. Shanina sungguh paham bahwa meminjam uang di hari pertama pernikahan akan sangat tidak wajar untuk pasangan yang saling membenci seperti ini. Namun, pagi-pagi sekali bibinya sudah memberi perintah untuk mentransfer mereka uang. "Kalau begitu apa aku boleh pergi keluar hari ini?" "Akan lebih baik jika kau pergi dan tidak kembali lagi." Theo berbalik, matanya segera bertubrukan dengan manik hijau cerah milik Shanina yang berkaca-kaca, wajahnya tampak tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Gadis itu menelan tangisannya. Theo justru semakin ingin menghancurkan pertahanan itu. "Jangan pernah meminta izin lagi dariku untuk hal apapun itu, jangan berbicara padaku atau menyentuh barang-barangku. Kau hanya istri dalam nama, jadi urus saja urusanmu sendiri." Melihat pandangan Shanina yang sesekali tak fokus, Theo mengernyit samar. Ia berbalik lagi, memakai pakaiannya. Sementara itu Shanina menatap lantai di bawahnya dengan sorot kosong

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 11

    Baru saja Shanina melangkahkan kakinya masuk ke kamar Theo, aroma musk yang menenangkan menyeruak Indra penciumannya. Suara gemericik air yang datang dari kamar mandi menarik perhatian Shanina, samar-samar tercium bau sabun yang khas. Theo sedang mandi di sana, jika pria itu keluar, ia akan mati gaya. Shanina menyeret kopernya, melangkah menuju lemari besar yang terdapat di sisi ruangan, Ia meletakkan pakaiannya yang tidak seberapa disana, bersebelahan dengan pakaian Theo yang begitu banyak. Setelah merapikan semua barangnya, ia menyiapkan pakaian santai untuk Theo. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, ia duduk di kasur, memijat kaki kanannya yang sakit dan linu. Pikirannya seperti benang kusut, apakah Theo suka minum teh sebelum tidur atau makan camilan sebelum tidur. Perintah agar membuat Theo menyukainya sungguh membebaninya. Shanina amat pesimis, ia bahkan sudah sangat bersyukur apabila Theo mau sedikit saja melunakkan sikap padanya. Tangannya yang menyentuh permukaan k

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 10

    Terlepas dari pilihannya atau bukan, dekorasi pesta yang dilihatnya adalah hal yang amat menakjubkan. Siapapun akan bahagia melihat pernikahannya diadakan semegah sekaligus se-elegan ini. Kilauan lampu kristal terpasang di setiap area langit-langit yang dihiasi berbagai dekorasi yang sesuai tema, yaitu tema kastil klasik penuh keanggunan yang anehnya mengingatkannya pada Theo. Saat pandangannya mengedar kesekeliling, mendadak ia menyadari bahwa seluruh atensi tertuju padanya, membuat tubuhnya lemas seperti agar-agar. Namun, itu belum seberapa di bandingkan saat matanya bertubrukan dengan mata biru berlian yang membekukan. Pria itu berdiri di altar dengan setelan tuksedo hitam yang bernilai jutaan dolar. Postur tubuhnya tegap, sempurna bagai bangsawan. Layaknya manifestari dari Zeus, pria itu tak terjangkau, ia kuat, terhormat, dan tak bisa di tandingi oleh siapa pun. Shanina bisa membayangkan seberapa sulitnya itu bagi Theo untuk bersanding dengannya, ibarat seorang pangeran yang

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 9

    Shanina menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Walaupun ia selalu memakai bedak setiap pergi ke sekolah, tetap saja ia tidak pernah berdandan setebal ini. Meski tebal, anehnya riasan di wajahnya terlihat natural. Keluarga Carter jelas tidak akan menyewa MUA murahan untuk pernikahan putra sulung mereka sekalipun pernikahan itu tak di inginkan. Matanya yang sedikit bengkak juga tidak terlihat lagi berkat tangan-tangan berbakat dan produk berkelas yang dibubuhi di wajahnya. Ia tidak berniat menangis semalaman, tapi memikirkan akan menikahi pria seperti Theo membuat Shanina dilanda cemas setengah mati. Belum apa-apa ia sudah menerima kebencian Theo, gagang sapu saja dibanting sampai patah, bagaimana jika ia tidak sengaja membuat Theo marah lagi nanti? "Sekarang bisakah anda berdiri? Saatnya memakai gaun." "Ah, ya. Tentu." Shanina berdiri, membiarkan mereka memasang gaun yang rumit tersebut sama sekali bukan style yang disukainya. Dalam sek

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 8

    Shanina kaku, padahal bibinya-lah yang semalam menguncinya bersama Theo. Jika ia membuka mulut, dirinya juga akan terkena imbas. Belum lagi, Amela mencubitnya keras secara diam-diam untuk tutup mulut. "Mungkin saja," Potong Amela hanya untuk melihat Theo dengan pandangan menuduh, lalu memalingkan tatapannya, "Tuan Theo secara tidak sadar mengunci dan menahan Nina sehingga Nina tidak bisa berbuat apa-apa." Theo mendengus pelan. Shanina menunduk takut melihat Helena yang memelototinya, tubuhnya semakin gemetar. Ia merasa seperti orang paling bersalah disaat dirinyalah yang merupakan korban. Kepalanya pusing, Ia mual. "Itu benar." Kalimat Kaysen mengambil alih atensi semua orang. Mereka semua menatap Kaysen dengan pandangan bertanya. Kaysen melanjutkan ucapannya, "Apa yang dikatakan Shanina benar, dia hanya mengantarkan teh untukku, aku menyuruhnya untuk memberikan teh itu pada Theo sekaligus menyuruhnya mengawasi Theo, kalian tahu kalau Theo sangat menyebalkan ketika mabuk."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status