“Deal,” ujar Tania pendek, tangan terulur untuk bersalaman profesional. “Tanpa syarat tambahan. Kau dapat akses penuh pada Juned, kapan saja, di mana saja.” Juned tersedak. “Tunggu, apa—” “Diam, Sayang,” Tania menepuk paha suaminya tanpa menoleh, fokus tetap pada Devina. “Tapi ingat—” Suaranya tiba-tiba dingin seperti baja. “Ini murni transaksi. Tidak ada cinta, tidak ada drama.”Devina mengangguk, genggaman tangannya mantap. “Aku hanya butuh tubuhnya, bukan hatinya.” Tiba-tiba, Tania menarik tangan Devina mendekat, memaksanya membungkuk hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. “Dan satu hal lagi,” bisik Tania dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri. “Kalau kau sampai jatuh cinta pada suamiku...” “Jangan khawatir,” Devina menyela, senyumnya getir. “Aku sudah belajar tidak pernah mencintai pria yang tidak bisa memuaskanku sepenuhnya.” Tiba-tiba, Tania meraih vibrator berbentuk lingga dari lantai, mengusapnya dengan handuk basah sebelum menyerahkannya ke Devina.
“Devina,” ujar Tania pelan, tangan dengan santai mengusap punggung Juned yang masih berbaring lemas, “Bagaimana jika kita atur jadwal rutin? Misalnya... setiap Rabu sore?” Devina mengerutkan kening. “Maksud Mbak...?” “Kau butuh lebih dari ini, bukan?” Tania menyentuh pergelangan tangan Devina. “Juned bisa memberimu apa yang tak bisa diberikan suamimu. Dan aku...” Senyumnya melebar, “Aku dapat memastikan Pak Haryo tidak akan mengganggu.” Juned tersedak. “Tania! Kita tidak bisa—” “Kita bisa,” potong Tania tegas. “Ini solusi sempurna. Devina puas, bisnis Cakra Buana lancar, dan...” Jarinya menunjuk dokumen saham 50% di saku blazernya, “Aku dapat jaminan keamanan finansial.” Devina menelan ludah, matanya berpindah antara Juned yang terlihat bingung dan Tania yang penuh keyakinan. “Tapi Pak Haryo...” “Suruh saja dia berkebun saat jadwal kita,” usul Tania sambil terkekeh. “Atau aku bisa mengajaknya main golf. Pria seusianya pasti suka golf.”Devina mengusap air matanya, dagu sedi
“Tentu saja, Pak Haryo,” jawabnya dengan suara serupa negosiator bisnis. “Tapi sebagai kompensasi... aku ingin lima puluh persen saham PT Semarak.” Suasana mendadak beku. Pak Haryo terbatuk-batuk. “Lima puluh persen?! Itu—” Sebuah erangan panjang dari Devina yang sedang mencapai puncak memotong protesnya. Dagu Pak Haryo bergetar, matanya melirik tak kuasa ke arah pasangan yang sedang menikmati hasrat, lalu kembali ke Tania. “Baik! Setuju! Apa saja!” serunya histeris, tangan meraih dokumen dari meja dan menandatanganinya dengan tergesa-gesa. “Sekarang tolong—” Tania tersenyum puas, melipat dokumen itu dengan hati-hati sebelum disimpan di saku blazernya. “Pintar sekali, Pak Haryo,” bisiknya sambil perlahan membuka resleting celana Pak Haryo. Di atas meja pijat, Juned mengangkat pandangannya, menyaksikan Tania berlutut dengan anggun di depan Pak Haryo—sebuah pemandangan paradoks antara pengkhianatan dan pengorbanan. Tania menggenggam dengan mahir, gerakan jemarinya terlati
“D-Devina...?” suara Pak Haryo pecah, tangan gemetarnya menunjuk ke arah mereka. “Kau... kau tidak pernah seperti ini bersamaku—” Dari belakangnya, Tania muncul dengan ekspresi tenang, bahkan sedikit terhibur. “Wah, rupanya mereka sedang... konsultasi kesehatan, Pak?” ujarnya dengan nada ringan, sambil melipat tangannya di dada. Devina menjerit malu, berusaha menutupi tubuhnya dengan handuk yang sempat terlempar di lantai, sementara Juned tersentak mundur—masih dalam keadaan terangsang, membuat situasi semakin canggung. Pak Haryo yang masih berdiri terpaku di pintu, wajahnya mulai berubah, tangan gemetarnya bukan karena kemarahan, tapi justru kegembiraan aneh. “Jangan berhenti!” serunya dengan suara parau, matanya berbinar seperti anak kecil yang melihat mainan baru. “Aku... aku belum pernah melihat Devina seperti ini!” Devina membeku, wajahnya memerah campur malu dan bingung. “P-Papi...?” Juned menjaga jarak, masih dalam keadaan separuh telanjang, mencoba memahami situasi
Juned tidak lagi memijat secara profesional. Telapak tangannya sekarang menelusuri batas G-string dengan sengaja, jari tengahnya menyentuh kulit paling sensitif di antara lekuk pantat dan paha. “Kau harus menjawab dengan jujur,” desisnya, napasnya membakar kulit leher Devina. “Apa kau tidak puas dengan suamimu?” Devina menggigit bibir bawahnya sampai keputihan. “Dia... dia terlalu tua untuk—” “Untuk apa?” Juned menekan lebih dalam, merasakan tubuh Devina bergetar di bawahnya. “Untuk memberiku kepuasan! Dia tak pernah bisa memuaskanku!” serunya, suara parau bergetar. “Tidak pernah! Hubungan kami selalu... singkat. Terlalu singkat.” Juned menahan napas saat Devina meraih tangannya, menariknya ke bawah G-string. “Rasakan,” bisiknya pedih, memaksa jari Juned menyentuh bagian yang lembab dan hangat. “Ini yang selalu terjadi setiap kali dia menyentuhku... basah tapi tak pernah sampai.”Dengan gerakan kasar penuh frustasi, Devina membuka laci meja rias. Tumpukan vibrator berbagai
“Tak masalah, Mbak.” Juned termangu melihat Devina yang masih berdiri di depannya.“Maaf kalau saya... pakai baju seperti ini,” suaranya teredam oleh kain handuk, sementara tali daleman hitam samar terlihat menyembul di bagian pundak. Kakinya yang mulus bergerak gugup di lantai. Juned nyaris tersedak ludah sendiri. “Mbak Devina, ini tidak perlu—” “Suami saya bilang harus profesional saat dipijat!” potong Devina cepat, tangan kiri mencengkeram erat handuk di dadanya sementara tangan kanan menunjuk meja pijat. “Tapi... tolong jangan lihat ya.” Dia berbalik badan dengan canggung, memberikan kesempatan pada Juned untuk melihat tali tipis daleman yang membentuk huruf ‘V’ di punggung bawahnya sebelum cepat-cepat berbaring tertelungkup di meja pijat. Handuk besar masih menempel di tubuhnya seperti selimut darurat. “Saya... saya sudah siap,” bisiknya, wajah terkubur di lubang meja pijat. Juned berdiri membeku, botol minyak pijat di tangan berkeringat. Di balik jaket yang tergantun