Mag-log inSesi pelatihan pertama Adit dimulai di ruangan luas, dengan hanya Adit, Rendra (Sutradara), Ayu (Penulis), dan Pak Herman (Acting Coach) yang hadir. Vera duduk di sudut, mengamati dengan saksama.“Oke, Adit,” ujar Pak Herman, pria paruh baya yang sabar itu. “Kita mulai lagi ya. Ambil posisi. Ini adalah adegan kunci: saat Aji, karakter yang nanti kamu mainkan itu, melihat rekaman CCTV dan menyadari bahwa polisi yang datang bukan untuk menolong, melainkan untuk menghancurkan bukti.”Adit berdiri, naskah di tangan. Ia mulai membaca dialognya, tetapi suaranya datar, matanya kosong.Adit membaca dengan kaku dan masih merasa gugup. Malu. Tak percaya diri. “Bajingan! Ini tidak bisa percaya. Mereka... mereka seharusnya melindungi hukum. Bukan melanggar.”Rendra menghentikannya dengan lembut. “Cut mas. Itu masih terlalu reading, Mas Adit. Terlalu membaca. Coba buang naskahnya sebentar. Lebih rileks. Coba hilangkan perasaan sedang ditonton. Lebih bebas lagi. Hilangkan perasaan harus bagus. Iku
Malam itu, Adit kembali ke apartemennya setelah pertemuannya yang intens dengan Produser Krisna, Rendra, dan Ayu. Keputusannya untuk menerima tawaran film terasa seperti beban berat yang akhirnya berhasil ia letakkan. Perasaan gila dan lega bercampur aduk.Saat ia memasuki area basement yang sepi, ia melihat sebuah mobil sedan merah baru saja diparkir. Dan benar saja, sosok yang keluar dari mobil itu adalah Vera. Wanita itu tampak sedikit lelah, tetapi raut wajahnya ceria.“Lho, Dit! Pas banget!” seru Vera, terkejut melihat Adit. “Kamu dari mana? Kok sendirian?”“Dari cafe,” jawab Adit sambil berjalan mendekat.Vera memegang sebuah kotak pizza yang nyaris utuh. “Baguslah ada kamu! Aku baru beli ini, tapi nggak sanggup ngabisin sendiri. Mood banget kayaknya makan sama teman. Mampir ke tempatku yuk. Ada kopi juga.”Adit tersenyum lega. Setelah pertemuan yang memusingkan itu, ia butuh interaksi yang santai dan tanpa tuntutan. “Ide bagus, Ver. Aku juga mau cerita sesuatu.”Sesampainya di
Keesokan harinya, Adit seharian ada di dalam unitnya. Malas keluar. Bahkan makan saja ia pesan dan diantar karyawan katering apartemen itu. Semuanya diantar tepat waktu, dan Adit cukup membuka pintu, mengambil pesanan, lalu kembali mengunci diri di dalam.Adit berbaring di sofa, menatap langit-langit yang putih bersih, memikirkan bagaimana hidupnya yang tadinya sederhana kini berubah menjadi rumit.Adit tidak menghubungi Larasati. Ia ingin menjauh. Bukan karena ia membenci, tapi karena Larasati terlalu berharga. Wanita itu terlalu baik, terlalu polos, dan terlalu... bersih. Adit merasa dirinya sudah terlalu ternoda dengan segala yang telah ia lalui. Ia tak ingin merusak kemurnian Larasati dengan membawanya masuk ke dalam kekacauan hidupnya.Ia tak menghubungi Renata. Tentu saja, ia tak mau terjebak dengan kehidupan kelam itu. Renata adalah bagian dari dunia yang ingin ia tinggalkan. Dunia yang pernah memberinya uang, tapi juga yang membuatnya tak merasa tenang.Dan juga, tentu ia tak
Krisna tentu tak akan menyerah merayu Adit agar mau main film. Sudah sering ia menemukan orang baru, yang kemudian ia angkat di dunia film, dan dia terkenal. Semua orang bisa akting. Itu mudah. Hanya perlu latihan.Krisna kemudian menatap Vera. "Apakah Mbak ini manajer Mas Adit? Kita bisa langsung bicarakan kontraknya. Kami menawarkan kontrak eksklusif yang sangat menggiurkan, jauh lebih besar dari bayaran TV Prime Time manapun!"“Hahaha. Bukan Mas. Manager apaan. Adit juga bukan artis kok. Saya temannya. Tapi, kayaknya Mas Krisna datang di waktu yang tepat loh. Adit tadi bingung mau kerja apaan!” kata Vera sengaja. Ia tertawa geli. Lalu meringis saat merasakan kaki Adit menginjak kakinya.Adit merasakan kepalanya berputar lagi. Tawaran itu… sebenarnya membuatnya penasaran. Setiap orang, mungkin, pernah sempat berpikir ingin menjadi bintang film. Setiap orang, mungkin, pernah atau sempat ingin ‘masuk TV’.Tapi konon, dunia entertainment itu juga adalah sebuah dunia yang gila. Para pel
Mereka keluar dari area apartemen dengan mobil Vera. Perjalanan ke mall terdekat terasa normal, tetapi begitu mereka memarkirkan mobil di basement, Vera sudah tidak sabar.“Ingat ya, jangan pasang muka serius. Kamu itu sekarang seleb,” bisik Vera saat mereka berjalan menuju eskalator.“Aku cuma mau beli bantal dan selimut, Ver. Bukan mau gaya-gayaan…” balas Adit datar, meskipun ia merasakan degup jantungnya sedikit lebih cepat. Ia mendambakan anonimitas, tetapi ia telah setuju dengan permainan Vera.Begitu mereka tiba di lantai utama, suasana langsung berubah.Awalnya, hanya tatapan sekilas. Beberapa orang menoleh, mengerutkan dahi, mencoba mengingat di mana mereka pernah melihat wajah itu. Kemudian, seorang remaja putri yang sedang bermain ponsel di dekat toko es krim tiba-tiba menjerit tertahan.“Astaga! Itu Adit, yang di TV!” bisiknya keras kepada temannya.Seperti efek domino, keramaian kecil mulai terbentuk. Kepala-kepala menoleh. Bisikan-bisikan mulai terdengar, “Itu pahlawan ya
Adit viral. Itulah yang terjadi setelah dia diwawancarai Nusantara TV, dan berita-berita tentang dirinya menjadi tranding topik di internet.Di persidangan-persidangan berikutnya, yang datang untuk meliput dan mencari berita semakin banyak. Orang luar yang sekadar datang memberi dukungan juga luar biasa banyak; mereka bahkan sampai rela berada di luar pengadilan, sampai di pinggir jalan, seperti orang demo.Tak ada yang tahu; itu murni dari hati, atau ada sebuah permainan tak kasat mata. Yang jelas, kasus itu memang kental dengan politik. Tak sedikit yang ingin menjatuhkan Jendral Guntur. Sebab begitu dia jatuh, maka akan ada kubu di pemerintah yang lemah seketika.Perang itu tak kasat mata. Adit paham, tapi ia tak ingin memikirkannya. Ia hanya ingin, urusannya selesai dengan cepat. Dan ia tak lagi memiliki beban atas kasus itu.Beberapa hari kemudian, Jendral Guntur dan Kroni-kroninya sudah resmi menjadi tersangka. Dan atas desakan banyak pihak, mereka pun di tahan.Progres dan prose







